IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Lignin Klason dan lignin terlarut asam Kandungan lignin kayu tarik; lignin Klason dan lignin terlarut asam; beragam berdasarkan posisi dalam batang kayu. Dalam penentuan kandungan lignin pada jenis kayu daun lebar, kandungan lignin terlarut asam perlu mendapat perhatian karena berpengaruh terhadap keakuratan kandungan total lignin kayu. Selain itu, lignin terlarut asam merupakan suatu fenomena dari reaktivitas lignin yang berkaitan dengan struktur kimia molekul lignin. Oleh sebab itu, ada dugaan bahwa perbedaan kandungan lignin terlarut asam pada posisi melingkar batang merupakan implikasi dari perbedaan struktur kimia molekul lignin. Perbedaan ini terjadi selama pertumbuhan kayu reaksi sebagai akibat dari faktor mekanis dari lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan jenis kayu api-api dan sengon memiliki keragaman kandungan lignin dalam satu batang (Tabel 3). Kandungan lignin Klason cenderung meningkat dari arah bagian kayu tarik ke bagian kayu opposit. Kayu tarik memiliki kandungan lignin Klason sebesar 18,60% untuk kayu api-api dan 18,20% untuk kayu sengon, sedangkan bagian kayu opposit memiliki kandungan lignin Klason sebesar 20,72% untuk kayu api-api dan 21,50% untuk kayu sengon. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan Timell (1986) pada kayu tarik Eucalyptus goniocalyx F. Muell dengan kandungan lignin bagian kayu tarik sekitar 14% sedangkan bagian oppositnya sebesar 23%. Perbedaan kandungan lignin Klason maupun lignin total antara kayu tarik dan kayu opposit dapat dijelaskan melalui sifat anatomis kayu tarik. Panshin dan de Zeeuw (1970), menyatakan bahwa pada bagian kayu tarik terjadi modifikasi serat dan dinding sel yang membentuk lapisan gelatin. Keberadaan lapisan gelatin ini membuat lapisan dinding sel pada bagian kayu tarik menjadi lebih tebal dibandingkan dengan kayu normal dan terlihat tidak ada indikasi dari keberadaan lignin pada bagian yang membentuk lapisan gelatin. Haygreen dan Bowyer (1996) menambahkan, dinding sel sekunder kayu tarik yang tebal dan terikat secara lemah hampir seluruhnya mengandung selulosa
murni dengan bagian kristalin yang tinggi. Oleh sebab itu, lapisan ini mengandung sedikit lignin, lapisan ini lunak atau seperti gelatin. Khusus untuk kayu opposit, daerah pertumbuhan yang tertekan pada kayu tarik atau bagian opposit kayu tarik dilaporkan memiliki serat (fiber) yang lebih sedikit dan pendek dengan kandungan lignin yang tinggi pada dinding-dinding selnya (Panshin dan de Zeeuw 1970). Tabel 3. Kandungan lignin Klason, lignin terlarut asam dan total lignin kayu tarik api-api (Avicennia sp.) dan sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) pada arah melingkar batang Jenis Kayu Api-api Posisi Sampel Klason (%) Lignin ASL *) (%) Total (%) Klason/ Total ASL/Total 0 o 18,60 5,46 24,06 0,773 0,227 60 o 19,21 5,47 24,68 0,778 0,222 120 o 20,47 5,05 25,52 0,802 0,198 180 o 20,72 5,22 25,94 0,799 0,201 240 o 20,49 5,19 25,68 0,798 0,202 300 o 19,94 5,30 25,24 0,790 0,210 0 o 18,20 2,10 20,30 0,897 0,103 60 o 21,03 2,19 23,22 0,906 0,094 Sengon 120 o 22,19 2,77 24,96 0,889 0,111 180 o 21,50 3,24 24,74 0,869 0,131 240 o 20,70 2,91 23,61 0,877 0,123 300 o 20,45 2,58 23,03 0,888 0,112 (ket: 0 o : bagian kayu tarik; 180 o : bagian kayu opposit; *) ASL: Lignin Terlarut Asam) Terdapat kecenderungan proporsi kandungan lignin terlarut asam kayu apiapi (Avicennia sp.) yang semakin rendah, dari bagian kayu tarik ke arah bagian kayu opposit, yang diikuti dengan semakin tingginya kandungan lignin Klason (Gambar 6). Kecenderungan ini ditemukan pula pada kayu tarik Melia azedarach (Syafii dan Nawawi 2008), dan kayu tarik poplar (Akiyama et al. 2005). Sehingga kalau benar asumsi bahwa lignin terlarut asam berkaitan dengan struktur kimia lignin, hal ini menunjukkan bahwa selama pembentukan kayu tarik pada jenis
hardwood, bukan saja menyebabkan perubahan kandungan lignin tetapi diikuti oleh perubahan struktur kimianya. Lignin terlarut asam dalam hardwood berkisar antara 3-5%. Beberapa peneliti bahkan melaporkan kandungan lignin terlarut asam hardwood bisa lebih tinggi dari kisaran 3-5% (Fengel dan Wegener 1995; Yasuda dan Ota 1986). Akiyama et al. (2005), melaporkan bahwa kandungan lignin terlarut asam lebih rendah untuk semua jenis softwood (< 0,005 g/g atau 0,5%). Untuk hardwood memiliki kandungan yang lebih tinggi berkisar antara 0,0065 g/g (0,65%) untuk jenis ulin (Eusideroxylon zwageri) sampai 0,053 g/g (5,3%) untuk jenis Avicennia sp. Gambar 6. Kandungan lignin Klason, lignin terlarut asam dan total lignin kayu tarik apiapi (Avicennia sp.) pada arah melingkar batang (Ket: 0 dan 360 : bagian kayu tarik dan 180 : bagian kayu opposit) Pada jenis kayu sengon, kandungan lignin terlarut asam meningkat searah melingkar batang, dari bagian kayu tarik ke bagian kayu opposit, seiring dengan naiknya kandungan lignin Klason (Gambar 7). Jumlah kandungan lignin terlarut asam kayu sengon pada bagian kayu tarik adalah 2,10% dan bagian kayu opposit adalah 3,24%. Kecenderungan kandungan lignin yang terjadi pada kayu sengon berbeda dengan kayu api-api. Pada kayu sengon, lignin terlarut asam yang tinggi dihasilkan dari bagian kayu dengan kandungan lignin yang tinggi. Hal ini mendukung hipotesis bahwa lignin terlarut asam lebih ditentukan oleh komposisi struktur kimia lignin dan tidak berkaitan dengan jumlah lignin secara kuantitatif. Oleh sebab itu, muncul dugaan bahwa lignin terlarut asam merupakan salah satu
indikator dari reaktivitas lignin dalam kondisi asam terkait dengan struktur kimia penyusunnya (Syafii dan Nawawi 2008). Hubungan lignin terlarut asam dengan lignin Klason pada kayu tarik sengon yang ditemukan pada penelitian ini mungkin berbeda jika dibandingkan dengan kayu tarik jenis lainnya. Hal ini mengindikasikan adanya keragaman kandungan lignin pada beberapa kayu tarik tropis bukan saja pada antar jenis yang berbeda tetapi juga dalam satu batang pohon yang sama. Gambar 7. Kandungan lignin Klason, lignin terlarut asam dan total lignin kayu tarik sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) pada arah melingkar batang (Ket: 0 dan 360 : bagian kayu tarik dan 180 : bagian kayu opposit) Dari penelitian didapatkan hasil rata-rata lignin Klason untuk api-api adalah 19,91% dan 20,68% untuk sengon, sedangkan untuk rata-rata kandungan lignin terlarut asam untuk api-api adalah 5,28% dan 2,63% untuk sengon. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kandungan lignin terlarut asam pada api-api cenderung lebih besar dibandingkan dengan sengon. Kecenderungan ini dapat dipengaruhi oleh kondisi, waktu reaksi, struktur kimia lignin dan hemiselulosa kayu. Waktu reaksi hidrolisis asam sulfat 72% yang diperpanjang dalam beberapa kasus dapat meningkatkan kandungan lignin terlarut asam (Yasuda et al. 2001). Kemungkinan lain adalah dominannya reaksi kondensasi yang amat kuat antar komponen lignin membentuk produk kondensasi sebagai residu (Matsushita et al. 2004). Disamping itu, hemiselulosa kayu diduga berkontribusi pula pada pembentukan lignin terlarut asam selama perlakuan asam sulfat 72%. Yasuda et al. (2001) dan Matsushita et al. (2004), menyatakan bahwa hemiselulosa mungkin berperan penting dalam proses pembentukan lignin terlarut asam. Ikatan antara
lignin dengan hemiselulosa ini dinamakan lignin carbohydrate complex (LCC) atau lignin hemicelluloses complex (LHC). Hal ini didasarkan pada hasil penelitian lignin model oleh Matsushita et al. (2004) bahwa produk lignin terlarut asam dari perlakuan lignin model berupa fragmen produk kondensasi antara lignin dengan hemiselulosa yang stabil pada reaksi hidrolisis asam sulfat 3% panas dan bersifat terlarut. Ditemukan pula bahwa jenis kayu daun lebar (hardwood) dengan kandungan metoksil tinggi menghasilkan lignin terlarut asam yang tinggi (Akiyama et al 2005). Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan lignin siringil yang dipercaya dapat meningkatkan jumlah ikatan lignin terlarut asam dengan produk-produk karbohidrat melalui ikatan C-glikosida yang dibentuk selama proses kondensasi dengan hemiselulosa. Yasuda et al. (2001) menemukan pada lignin terlarut asam, fraksi yang terlarut dalam asam sulfat 72% mengandung 58% siringil dan yang tidak terlarut dalam 72% asam sulfat mengandung 19% lignin siringil. Lignin terlarut asam sebagai bagian dari filtrat yang terbentuk dari hasil hidrolisis lignin Klason secara langsung memberikan efek yang cukup besar terhadap hasil total lignin kayu, khususnya pada jenis kayu hardwood. Kandungan lignin Klason pada kayu api-api berkisar antara 77,3%-80,2% dan lignin terlarut asam berkisar antara 19,8%-22,7% terhadap total lignin. Lignin terlarut asam yang cukup besar pada kayu api-api dapat menyebabkan bias pada penentuan kandungan lignin. Untuk kayu sengon kandungan lignin Klason berkisar antara 86,9%-90,6% dan lignin terlarut asam berkisar antara 9,4%-13,1% terhadap total lignin. Walaupun kandungan lignin kedua jenis kayu tersebut relatif hampir sama, akan tetapi memiliki lignin terlarut asam yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan lignin terlarut asam tidak berkorelasi dengan kandungan lignin. Jika dilihat dari rataan lignin terlarut asam terhadap total lignin antara kedua jenis, jenis api-api memiliki rataan lignin terlarut asam sebesar 21% terhadap total lignin dan jenis sengon memiliki rataan lignin terlarut asam sebesar 11,25% terhadap total lignin. Oleh karena itu, kandungan lignin terlarut asam harus diperhitungkan pada penentuan kandungan lignin total untuk kedua jenis
kayu. Achmadi (1990), menyatakan bahwa analisis lignin Klason dapat dilakukan terhadap kayu daun jarum, tetapi kurang tepat untuk kayu daun lebar karena 10-20% lignin kayu daun lebar dapat larut dalam asam sulfat 72%. Lignin yang terlarut ini harus dikoreksi dengan metode spektroskopi yang diukur dengan panjang gelombang 205 nm. 4. 2 Hubungan lignin terlarut asam dengan rasio siringil/guaiasil Sifat kimia lignin pada kayu api-api dan sengon dipengaruhi oleh struktur kimia ligninnya yang terutama disusun oleh unit siringil dan guaiasil, yang merupakan karakter dari jenis lignin penyusun kayu daun lebar. Banyaknya monomer siringil dan guaiasil yang menyusun makromolekul lignin bukan saja menentukan lignin secara kuantitatif, akan tetapi proporsi siringil dan guaiasil dapat mempengaruhi reaktivitas lignin. Oleh sebab itu, proporsi siringil dan guaiasil sangat mungkin berperan penting dalam pembentukan lignin terlarut asam yang dihasilkan setelah terjadinya proses hidrolisis pada saat penentuan lignin Klason. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya korelasi antara lignin terlarut asam dengan kandungan metoksil dalam lignin (Yasuda dan Hirano 1990; Akiyama et al. 2005). Kayu daun lebar (hardwood) dengan kandungan metoksil yang tinggi menghasilkan lignin terlarut asam yang tinggi pula. Oleh karena metoksil merupakan substituen dari monomer lignin, maka tinggi rendahnya kandungan metoksil berkaitan dengan proporsi unit monomer penyusun lignin. Seperti diketahui, unit siringil lignin memiliki dua unit gugus fungsi metoksil pada posisi C-3 dan C-5 dari cincin aromatik, sedangkan unit guaiasil hanya memiliki satu unit gugus metoksil. Separuh dari total lignin yang terlarut dalam asam sulfat 72% mengindikasikan adanya lignin siringil setelah kondensasi yang kuat dengan jumlah yang besar. Tingkat kelarutan lignin pada 72% asam sulfat telah ditemukan meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan metoksil (Yasuda dan Hirano 1990) Hasil penelitian menunjukkan terdapat kecenderungan bahwa pembentukan lignin terlarut asam semakin tinggi dengan semakin tingginya rasio siringil/guaiasil penyusun lignin (Gambar 8 dan 9), sedangkan hubungan antara
lignin Klason dengan rasio siringil/guaiasil berbeda untuk jenis api-api dan sengon. Pada jenis api-api rasio siringil/guaiasil meningkat seiring dengan menurunnya kandungan lignin Klason. Pada kayu sengon semakin tinggi rasio siringil/guaiasil sejalan dengan semakin tingginya kandungan lignin Klason (Tabel 4). Tabel 4. Kandungan lignin dan rasio siringil/guaiasil pada kayu tarik api-api (Avicennia sp.) dan sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Jenis Kayu Api-api Posisi Sampel Klason (%) Lignin ASL (%) Total (%) Siringil/ guaiasil *) 0 o 18,60 5,46 24,06 4,22 60 o 19,21 5,47 24,68 4,06 120 o 20,47 5,05 25,52 3,51 180 o 20,72 5,22 25,94 3,61 240 o 20,49 5,19 25,68 3,97 300 o 19,94 5,30 25,24 4,09 0 o 18,20 2,10 20,30 1,22 60 o 21,03 2,19 23,22 1,32 Sengon 120 o 22,19 2,77 24,96 1,35 180 o 21,50 3,24 24,74 1,48 240 o 20,70 2,91 23,61 1,39 300 o 20,45 2,58 23,03 1,34 (ket: 0 o : bagian kayu tarik; 180 o : bagian kayu opposit; ASL: Lignin Terlarut Asam; *) Syafii dan Nawawi 2008) Hubungan antara lignin terlarut asam dengan rasio siringil/guaiasil (rasio S/G) untuk jenis api-api memberikan koefisien determinasi sebesar 0,686 (R 2 = 0,686) dan 0,869 (R 2 =0,869) untuk kayu sengon, yang mengindikasikan bahwa hubungan tersebut cukup kuat.
Gambar 8. Korelasi lignin terlarut asam dengan rasio S/G kayu tarik api-api (Avicennia sp.) Gambar 9. Korelasi lignin terlarut asam dengan rasio S/G kayu tarik sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Dari persamaan tersebut dapat terlihat bahwa kandungan lignin terlarut asam meningkat seiring dengan meningkatnya rasio siringil/guaiasil. Hal ini mendukung dugaan awal bahwa lignin terlarut asam merupakan sinyalemen dari karakteristik reaktivitas molekul lignin dalam kondisi asam. Oleh sebab itu, kemungkinan besar pembentukan lignin terlarut asam lebih berkaitan dengan karakteristik struktur kimia molekul lignin dibanding kandungan lignin secara kuantitatif. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Yasuda et al. (2001), bahwa siringil memiliki reaktivitas yang tinggi selama reaksi kondensasi dengan karbohidrat dalam 72% asam sulfat, menghasilkan glikosida dengan ikatan karbon-karbon (C-C).
Selain itu, hasil ini mempertegas hasil penelitian Yasuda dan Hirano (1990) dan Akiyama et al. (2005) yang menemukan adanya korelasi positif antara kandungan metoksil dengan lignin terlarut asam. Kecenderungan rasio siringil/guaiasil dapat dievaluasi berdasarkan kandungan metoksil pada lignin. Hal ini karena metoksil merupakan salah satu karakter pembeda antara siringil dengan guaiasil lignin. Semakin tinggi proporsi unit siringil dibanding guaiasil akan menyebabkan kandungan metoksil yang semakin tinggi pula. Jadi, dapat dilihat bahwa lignin terlarut asam akan meningkat sejalan dengan meningkatnya kandungan metoksil yang menunjukkan semakin tingginya rasio siringil/guaiasil. Keterkaitan antara proporsi siringil/guaiasil lignin dengan pembentukan lignin terlarut asam sangat ditentukan oleh reaktivitas kedua jenis unit penyusun lignin selama perlakuan asam sulfat. Pada dasarnya reaksi utama yang terjadi selama perlakuan asam sulfat pada penentuan lignin Klason adalah reaksi hidrolisis dan kondensasi (Yasuda dan Ota 1986; Yasuda dan Hirano 1990; Matsushita et al. 2004). Berdasarkan mekanisme reaksi lignin model selama penentuan lignin Klason, guaiasil akan terhidrolisis dan kemudian mengalami re-kondensasi pada perlakuan asam sulfat 72% menghasilkan produk kondensasi yang stabil dan tidak larut yang merupakan residu sebagai lignin Klason. Sementara itu, siringil lignin akan terhidrolisis dan terlarut dengan cepat pada asam sulfat 72%. Pada saat yang sama siringil lignin mengalami kondensasi antar unit yang sama dan kondensasi dengan karbohidrat serta reaksi-reaksi lainnya. Reaksi-reaksi tersebut menghasilkan lignin terlarut asam dan lignin Klason yang tidak larut. Formasi lignin terlarut asam dari fraksi yang terlarut dalam 72% asam sulfat kelihatannya berkaitan dengan reaktivitas yang tinggi dari siringil (Yasuda dan Hirano 1990; Matsushita dan Yasuda 2002). Menurut Syafii dan Nawawi (2008), hubungan antara kandungan lignin, lignin terlarut asam dan rasio siringil/guaiasil yang terjadi pada jenis kayu daun lebar menunjukkan bahwa kayu reaksi sebagai respon pertumbuhan pohon terhadap faktor mekanis dari lingkungan, bukan saja menyebabkan perubahan kandungan lignin akan tetapi juga struktur kimianya. Sebagai akibatnya, kayu reaksi dibanding kayu normal atau kayu opposit bukan saja berbeda dalam hal
jumlah kandungan ligninnya akan tetapi juga dalam komposisinya yang berimplikasi terhadap perbedaan reaktivitasnya. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap sifat pengolahan dan penggunaan kayu berbasis komponen kimianya. Kecenderungan lignin siringil-guaiasil yang meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan lignin terlarut asam memberikan implikasi terhadap sifat kimia kayu. Penentuan ada tidaknya hubungan yang relatif kuat antara rasio siringil/guaiasil dengan lignin terlarut asam akan memberikan gambaran terhadap sifat kayu yang pada akhirnya akan menentukan proses pengolahan dan penggunaan kayu selanjutnya. Salah satu pengolahan dan pemanfaatan kayu yang berhubungan dengan kimia lignin adalah proses pulping. Pada proses pulping, lignin mengalami proses degradasi dan pelarutan yang dinamakan proses delignifikasi. Proses delignifikasi bertujuan untuk menghilangkan lignin dengan menghindari degradasi terhadap polisakarida. Sudah diterima secara luas bahwa kayu dengan kandungan lignin yang rendah akan lebih mudah untuk didelignifikasi dibandingkan dengan kayu yang mempunyai kandungan lignin yang tinggi (Panshin dan de Zeeuw 1970). Hal ini karena kandungan lignin yang semakin tinggi akan membutuhkan bahan kimia yang semakin banyak dan atau proses pulping yang semakin lama serta akan menghasilkan kertas bermutu rendah. Jumlah lignin dalam kayu tarik umumnya lebih rendah dibandingkan dengan kayu normal, sehingga akan lebih mudah untuk dilakukan proses pulping dengan kebutuhan bahan kimia yang relatif lebih sedikit. Selain kandungan lignin dalam kayu, struktur kimia lignin juga memegang peranan penting dalam proses pulping. Komposisi penyusun lignin akan sangat menentukan reaktivitas lignin. Semakin banyak unit penyusun lignin yang reaktif, akan berpotensi semakin tinggi laju delignifikasi sehingga proses pulping menjadi lebih mudah. Lignin guaiasil mempunyai lebih banyak daerah ikatan (binding site) per molekul dibanding lignin siringil. Proporsi yang lebih tinggi dari struktur terkondensasi akan direfleksikan oleh tingginya jumlah binding site. Derajat kondensasi yang lebih tinggi menjadikan polimer lignin lebih sulit untuk didegradasi secara kimia selama proses pulping. Hal ini yang menyebabkan lebih rendahnya laju delignifikasi pada jenis kayu daun jarum yang ligninnya didominasi oleh unit guaiasil.
Kayu yang mengandung unit siringil lebih mudah untuk didelignifikasi. Adanya unit siringil dalam lignin berarti menambah tingginya kandungan metoksil di dalam struktur lignin. Lignin yang mangandung unit siringil tidak mudah mengalami reaksi kondensasi dengan binding site yang lebih sedikit. Menurut Panshin dan de Zeeuw (1970), guaiasil merupakan hasil substitusi dari fenilpropana dengan satu gugus metoksil sedangkan siringil disubstitusi dengan dua gugus metoksil. Oleh karena itu, unit siringil tidak mudah mengalami kondensasi. Menurut Singh et al. (1982) dalam Rahmawati (1999), Laju delignifikasi meningkat dengan peningkatan rasio S/V (siringil/vanillin) pada lignin. Hal ini dipercaya sebagai akibat dari lebih reaktifnya unit siringil dibanding guaiasil lignin, misalnya dalam larutan alkali pulping. Gonzalez-Vila et al. (1999) dan del Rio et al. (2005) menemukan bahwa pada beberapa jenis kayu eukaliptus, tingginya laju delignifikasi dalam proses pulping berkaitan dengan tingginya rasio siringil/guaiasil. Oleh sebab itu, rasio siringil/guaiasil kelihatannya akan menjadi faktor penting yang mempengaruhi laju delignifikasi dan efisiensi proses pulping.