BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Lahan Kering Desa Kebondowo Karakteristik lahan merupakan sifat lahan Djaenudin dkk (2003). Dalam budidaya menyesuaikan jenis tanaman dengan karakteristik lahan merupakan salah satu kuci utama untuk mendapatkan hasil yang optimal. Maka dari itu perlu dilakukan pengukuran untuk mengetahui bagaimana karakteristik lahan kering di Desa Kebondowo. Data ini digunakan untuk mengetahui kelas kesesuaian dan faktor pembatas di lahan kering Desa Kebondowo khususnya untuk budidaya Jahe (Zingiber officinale). Jenis data yang digunakan adalah suhu udara, elevasi, curah hujan, kelembaban, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, KTK, ph H 2 O, C-Organik, salinitas kelerengan, batuan permukaan. Penilaian karakteristik dilakukan berdasarkan data hasil analisis pada titik sampel yang telah ditentukan. Data tersebut dieksterpolasi dengan menggunakan Arcview 3.2 sehingga dapat membentuk peta. Data yang diperoleh ditampilkan pada tabel 4.1. 1
Tabel 4.1. Karakteristik Lahan Pertanian Desa Kebondowo di 18 Titik Observasi Komponen Temperatur Temperatur rerata ( 0 Ketersediaan Bahaya Penyiapan C) Media Perakaran Resistensi hara Toksisitas Oksigen Erosi Lahan Curah Bahan Kedalaman KTK C Batuan Sampel Temperatur Elevasi Kelembaban ph Salinitas Lereng rerata ( 0 Hujan Drainase Tekstur Kasar Tanah liat Organik permukaan C) (mdpl) (%) H2O (ds/m) (%) (mm/thn) (%) (cm) (Cmol) (%) (%) 1 22 590 83 Baik Liat < 5 50 70 31.68 5.68 2.92 0.00057 < 40 < 5 2 22 550 83 Baik Liat < 5 50 70 39.81 5.73 3.17 0.0025 25-40 < 5 3 23 540 83 Baik Liat < 5 50 70 29.47 5.41 1.66 0.0018 15-25 < 5 4 23 520 83 Baik Liat < 5 50 70 29.05 5.57 3.58 0.002 15-25 < 5 5 22 590 83 Baik Liat < 5 50 70 35.95 5.55 2.26 0.0015 15-25 < 5 6 22 660 83 Agak baik Liat < 5 50 70 67.40 5.52 4.00 0.002 25-40 < 5 7 22 690 83 Baik Liat < 5 50 70 21.36 5.49 2.22 0.0018 15-25 < 5 8 22 560 83 Baik Liat < 5 50 70 12.23 5.4 2.10 0.0024 15-25 < 5 1599.76 2002 9 23 500 83 Baik Liat < 5 50 70 20.48 5.28 1.91 0.0012 8-15 < 5 10 22 750 83 Baik Liat < 5 50 70 32.58 5.32 1.61 0.0018 25-40 < 5 11 22 650 83 Baik Liat < 5 50 70 24.37 5.32 0.95 0.0003 15-25 < 5 12 23 540 83 Baik Liat < 5 50 70 23.44 4.87 3.08 0.0013 15-25 < 5 13 22 790 83 Baik Liat < 5 50 70 27.38 5.12 2.54 0.0014 25-40 < 5 14 22 620 83 Baik Liat < 5 50 70 21.00 5.4 1.87 0.0017 15-25 < 5 15 23 550 83 Baik Liat < 5 50 70 34.86 5.19 2.45 0.0014 15-25 < 5 16 22 830 83 Baik Liat < 5 50 70 19.49 5.23 2.33 0.0022 15-25 < 5 17 22 660 83 Baik Liat < 5 50 70 28.44 5.22 1.61 0.0014 8-15 < 5 18 25 530 83 Baik Liat < 5 50 70 34.71 4.92 1.64 0.0037 25-40 < 5 Sumber: Analisis Primer, 2017 2
4.2 Kelas Kesesuaian Lahan Kering Desa Kebondowo Untuk Budidaya Jahe Penentuan kelas kesesuaian jahe dilakukan berdasarkan data analisis primer yang kemudian di Matching kan dengan kriteria kesesuaian lahan, dengan menggunakan Software yakni ArcView 3.2. dengan ekstensi ModelBuilder. Hasil kelas kesesuaian Jahe pada wilayah Desa Kebondowo menunjukan bahwa Jahe masuk dalam kelas kesesuaian S1, dan S2, seperti pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.2. Tabel 4.2 Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Jahe di Desa Kebondowo Kelas Kesesuaian Lahan N S1 S2 Luas Lahan (ha) 121,733 208,510 215,333 Sumber: Analisis Primer, 2016 Gambar 4.1. Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Jahe di Desa Kebondowo Berdasarkan hasil pemetaan wilayah lahan kering Desa Kebondowo terbagi menjadi 3 kriteria kelas kesesuaian yakni N dengan luas wilayah 121.733 yang merupakan daerah rawa/ sawah, kemudian kriteria kelas kesesuaian S1 dengan luas wilayah 208,510 ha, dan terakhir kriteria kelas 3
kesesuaian S2 dengan luas wilayah 215,333 ha. Menurut Djaenudin dkk (2003) Kelas kesesuaian S1 masuk dalam kriteria kelas sangat sesuai untuk budidaya tamanan jahe, sedangkan S2 masuk dalam kriteria kelas cukup sesuai untuk budidaya tanaman jahe, untuk kelas kesesuaian N masuk dalam kriteria kelas tidak sesuai untuk budidaya tanaman jahe. Menurut deskripsi varietas tanaman jahe Balittro (2011) memiliki jumlah rata-rata produksi mencapai 3 12 ton/ha syarat panen lebih dari 9 bulan. Dengan menerapkan pola tanam tumpang sari pada lahan S1 dan S2, petani dapat memiliki presentase keberhasilan target produksi antara 60% - 80%. Sehingga potensi hasil produksi yang diperoleh jika membudidayakan jahe pada lahan yang memiliki kesesuaian S1 dan S2 berkisar antara 7 10 ton/ha. 4
4.3 Faktor Pembatas Budidaya Tanaman Jahe Faktor pembatas merupakan sesuatu dalam karakteristik lahan yang dapat membatasi atau menjadi penghambat pada suatu penentuan kesesuaian, hal ini dapat berasal karakteristik fisika tanah, kimia tanah, dan keadaan geografis wilayah setempat. Rekomendasi budidaya yang diberikan berlandaskan hasil dari faktor faktor pembatas yang diketahui. Skor faktor pembatas diperoleh dari pengolahan data antara skor kelas dengan presentase luas wilayah dimana pemberian skor dilakukan dengan range 1 4, skor 1 untuk bukan kelas faktor pembatas, skor 2 untuk kelas faktor pembatas ringan, skor 3 untuk kelas faktor pembatas berat dan skor 4 untuk kelas faktor pembatas sangat berat. Tabel 4.3. Peringkat Faktor Pembatas Karakteristik Lahan di Desa Kebondowo No Komponen Luas Wilayah % Skor BP P1 P2 P3 Pembatas Peringkat 1 Kelerengan 28,745 18,425 42,671 10,159 0,551 1 2 Curah Hujan - 100 - - 0,367 2 3 ph H 2 O 94,383 5,617 - - 0,194 3 4 KTK 94,685 5.315 - - 0,193 4 5 Drainase 100 - - - 0,183 6 C-Organik 100 - - - 0,183 7 Suhu 100 - - - 0,183 8 Tekstur 100 - - - 0,183 9 Bahan Kasar 100 - - - 0,183 10 Batuan Permukaan 100 - - - 0,183 11 EC 100 - - - 0,183 12 Solum 100 - - - 0,183 13 Kelembaban 100 - - - 0,183 Sumber: Analisis Primer, 2016 Berdasarkan Tabel 4.3 terdapat 5 jenis faktor yang membatasi untuk kesesuaian tanaman Jahe (Zingiber officinale) di Desa Kebondowo yaitu: Kelerengan, Curah Hujan, Drainase, Kapasitas Tukar Kation, ph H2O. Pada Desa Kebondowo kelerengan menjadi faktor pembatas pertama. Berdasarkan Djainudin dkk., (2003), terdapat 5 kelas kelerengan, sehingga penentuan faktor pembatas kelerengan dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut. Nilai kelas kelerengan ditentukan berdasarkan hasil interpolasi peta kontur Desa kebondowo yang kemudian direklasifikasi ulang menjadi 5 kelas 5
sehingga dapat diketahui wilayah persebaran berdasarkan kelas kelerengan (Gambar 4.3). Menurut Permentan (2006), kategori kelas kelerengan S1 dan S2 merupakan wilayah yang sangat dan cukup sesuai untuk dipergunakan sebagai lahan pertanian. Kategori kelas kelerengan S3 menurut aturan penggunaan lahan adalah untuk tanaman kehutanan hal ini bertujuan untuk meminimalisir pengolahan lahan yang berlebih serta tetap mejaga kelestarian hutan lindung. Sedangkan kategori kelas kelerengan N sangat tidak sesuai, menurut aturan pemerintah pada wilayah ini tidak dimungkinkan untuk dilakukan pengolahan lahan ataupun pemukiman sehingga aturan penggunaan lahannya adalah hutan lindung/ konservasi. Gambar 4.2. Peta Kelerengan di Desa Kebondowo Hasil analisis faktor pembatas, memiliki menunjukan bahwa Desa Kebondowo memiliki persentase kelerengan yang beragam seperti pada Gambar 4.3. Terdapat 29,1% dari wilayah dengan luas 122,157 ha masuk dalam kriteria kelerengan < 8% (landai). kriteria kelerengan 8% - 15% (bergelombang) dengan persentase 18% dari seluruh wilayah memiliki luas 78,3 ha, kemudian 42,7% dari wilayah dengan luas 181,337 ha masuk dalam kriteria kelerengan 25% - 40% (berbukit) dan 6
sisanya 10,2% dengan luas wilayah 43,174 ha masuk dalam kriteria kelerengan < 40% (bergunung). Sebaran data curah hujan di Desa Kebondowo tidak menunjukan adanya perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan cakupan wilayah Desa Kebondowo tidak terlalu luas sehingga tidak terjadi perbedaan curah hujan antar dusun. Dalam peringkat faktor pembatas curah hujan terdapat di urutan ke 2 dengan skor 0,37% sebagai faktor pembatas untuk tanaman jahe seperti pada Tabel 4.3. Gambar 4.3. Peta curah hujan di Desa Kebondowo Curah hujan sangat mempengaruhi pertumbuhan. Menurut Lesmana, (2008) jahe sangat membutuhkan curah hujan tinggi, bila kebutuhan air tidak terpenuhi maka tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik. Untuk wilayah Desa Kebondowo curah hujan masuk dalam kelas kesesuaian S2 disebabkan rata rata curah hujan tahunan untuk Desa Kebondowo sebanyak 1.500 2.000 mm/thn sedangkan untuk syarat kelas S1 adalah 2.500 3.500 mm/thn (Djainudin dkk., 2003). Faktor pembatas ketiga adalah kapasitas tukar kation (KTK) dengan persentase 0,193%. KTK memiliki hubungan yang sangat erat dengan kesuburan. Menurut Hardjowigeno (1987), tanah dengan KTK tinggi mampu 7
menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik bila dibandingkan dengan tanah dengan KTK rendah. Gambar 4.4. Peta KTK di Desa Kebondowo Berdasarkan hasil analisis 95% dari wilayah Desa Kebondowo dengan luas 516,586 ha masuk dalam kriteria kelas kesesuaian S1. Sedangkan sisanya 5% dengan luas 29 ha masuk dalam kelas kesesuaian S2 untuk tanaman Jahe (Zingiber officinale). Status ph H 2 O tanah masuk pada urutan peringkat keempat sebagai faktor pembatas pada lahan tegalan Desa Kebondowo. Menurut Djaenudin dkk, (2003) syarat kelas kesesuaian untuk tanaman jahe adalah 5 7. Pengaruh ph yang rendah menyebabkan konsentrasi alumunium yang cukup tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan. Hal ini disebabkan terhambatnya ketersediaan fosfat dan proses penyerapan besi yang berdampak keracunan pada metabolisme pertumbuhan (Fahrudin, 2009). 8
Gambar 4.5. Peta ph H 2 O di Desa Kebondowo Berdasarkan hasil analisis 94% dari wilayah dengan luas 514,94 ha masuk dalam kelas kesesuaian S1. Sisanya sebanyak 6% dengan luas 30,646 ha masuk dalam kelas kesesuaian S2 dengan syarat kondisi ph tanah < 5. Menurut Sarwono (1987), ph mempengaruhi penyerapan unsur hara dalam tanah. Pada umumnya tanaman mudah menyerap unsur hara pada ph netral dikarenakan pada ph tersebut unsur hara lebih mudah terlarut dalam air sehingga mampu diserap oleh tanaman. 4.4 Status Unsur Hara Tanah Unsur hara esensial merupakan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman, dan fungsinya bagi tanaman tidak dapat tergantikan oleh unsur lain. Dan unsur unsur tersebut harus dalam kondisi yang seimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman yang dibudidayakan (Sarwono, 1987). Beberapa unsur hara yang digunakan dalam jumlah yang relatif besar sering disebut dengan unsur hara makro, antara lain: Karbon, Oksigen, Hidrogen, Nitrogen, Fosfor, Kalium, Kalsium, Magnesium dan Sulfur. Sebagian diantaranya dapat diperoleh dari udara dan air tetapi sebagian lainnya berasal dari dalam tanah (Buckman dan Brady, 1982). 9
Peran unsur hara bagi pertumbuhan tanaman jahe merupakan hal yang sangat mendasar. Kelas kesesuaian lahan perlu diimbangi dengan ketersediaan hara sehingga dapat memenuhi target produksi sesuai dengan deskripsi varietas tanaman jahe. Status hara tanah di Desa Kebondowo tergolong sangat rendah (Tabel 4.4). Sebanyak 99% dari wilayah Desa Kebondowo memiliki kriteria Nitrogen sangat rendah. Dan untuk hara Phospor dan Kalium seluruh wilayah masuk pada kriteria sangat rendah. Walaupun sifat tanah ph H 2 O dan KTK dalam kesesuaian jahe saat ini dianggap sebagai faktor pembatas ringan berdasarkan standart Djaenudin dkk., (2003), untuk jangka panjang diperlukan upaya meningkatkan guna meminimalisir potensi defisiensi pada sifat tersebut. Tabel 4.4. Tingkat Kesuburan Tanah Desa Kebondowo Berdasarkan Kriteria Sifat Kimia Tanah (menurut Sarwono, 1987) Sifat Tanah Hasil Pengukuran Kriteria ph H 2 O 4,87 5,515 Masam 5,515 5,729 Agak Masam KTK (me/100g) 0,015 16,861 Sangat Rendah 16,861 33,707 Sedang 33,707 67,399 Sangat Tinggi Nitrogen (%) 0,01 1,107 Sangat Rendah 1,107 0,14 Rendah Fosfor (mg/100 g) 0,01 0,02 Sangat Rendah Kalium (mg/100 g) 0,01 0,02 Sangat Rendah Sumber: Analisis Primer, 2017 Kaitan ketersediaan unsur hara dengan lahan kering di Desa kebondowo adalah terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman yang dibudidayakan. Jika lahan tidak mampu menyediakan atau pun mungkin tersedia tetapi tidak dapat diserap akibat belum terfiksasi secara sempurna, tanaman yang dibudidayakan pun akan mengalami defisiensi hara. Kondisi tersebut terjadi ketika tanaman tetap tumbuh tetapi tidak mencapai pertumbuhan yang optimal. Akibat dari defisiensi hara N tanaman akan menjadi kerdil, daun akan menguning dan gugur karena tidak terbentuknya klorofil secara sempurna. Jika mengalami defiensi P terhambatnya pembelahan sel yang akan mempengaruhi pembentukan bunga, buah, biji, serta pertumbuhan akar. Jika defisiensi K terjadi maka akan mempengaruhi proses fotosintesis pada tanaman, 10
dikarenakan daun tua yang seharusnya bekerja optimal melakukan fotosintesis terhambat akibat daun muda mengambil unsur K pada daun-daun tersebut. Sehingga daun daun tua akan mulai kuning kecokelatan yang memberi dampak terhambatnya proses fotosintesis (Sarwono, 1987). Peran KTK dalam reaksi kimia tanah adalah sebagai momen terjadinya pertukaran antara ion hidrogen yang digantikan dengan ion ion lain. Peran ph dalam proses KTK adalah sebagai penyeimbang karna tersebut membutuhkan kalsium tinggi dan ketika ph mulai normal unsur hara akan lebih mudah difiksasi dan diserap oleh tanaman (Sarwono, 1987 dan Buckman dan Brady, 1982). 4.5 Rekomendasi Budidaya Komponen yang menjadi faktor pembatas budidaya jahe pada lahan dengan kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marjinal) masih dapat diperbaiki sehingga lahan tersebut menjadi sangat sesuai (kelas S1) untuk budidaya jahe. Faktor pembatas dalam budidaya jahe di lahan kelas S2 dan S3 adalah kelerengan, curah hujan, drainase, ph tanah, dan KTK tanah. 4.5.1 Upaya Peningkatan Kelas Kesesuaian Lahan Dari Segi Fisik Memanipulasi kondisi lahan yang memiliki nilai faktor pembatas berat sangat mungkin dilakukan. Rekomendasi yang diberikan untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan menjadi S1 (sangat sesuai) adalah menggunakan teknologi konservasi. Definisi konservasi adalah semua perlakuan secara kimia, fisika, dan biologi terhadap lahan dalam bentuk pembuatan model lahan, penanaman vegetasi dan perbaikan hara yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan, pengendalian erosi, serta manungkatkan kelas kemampuan lahan (Permentan, 2006). Menurut Permentan dan karsyno (2006 dan 2010), terdapat berbagai macam cara teknologi konservasi yang dapat digunakan pada lahan kering untuk meningkatkan kemampuan lahan. Salah satu tekknologi konservasi yang sering digunakan adalahn pembentukan teras bangku atau teras tangga, dibuat dengan cara memotong kelerengan kemudian ditimbun dan diratakan membentuk pola seperti tangga atau seperti bangku sesuai dengan kondisi 11
lahan. Pada zona yang memiliki tingkat kelerengan yang tinggi (S3) penerapan metode ini dapat mengurangi aliran permukaan dan bisa digunakan sebagai wilayah pertanaman keras untuk mengurangi resiko longsor. Selain itu juga dapat meminimalisir hilangnya kandungan hara yang larut dalam air. Untuk zona wilayah yang memiliki tingkat kelerengan sedang (S2) penggunaan teras dapat memanipulasi kelerengan sebagai faktor pembatas sehingga dapat masuk menjadi kelas kesesuaian S1. Menggunakan metode pola tanam budidaya lorong (alley cropping), sistem yang digunakan adalah tanaman sekunder ditanam diantara lorong pada barisan tanaman. Sehingga lahan yang tersisa dapat termanfaatkan secara maksimal. Pada wilayah yang memiliki kelerengan tinggi dapat menggunakan pola tanam mengikuti kontur (contour farming), sistem yang digunakan adalah menanam langsung mengikuti garis kontur pada area lahan baik yang memiliki tingkat kelerengan tinggi S3 maupun sedang S2. Tetapi rekomendasi yang diberikan untuk zona wilayah yang memiliki tingkat kelerengan S3 adalah tetap membudidayakan tanaman kayu keras untuk meminimalisir resiko potensi longsor dan erosi. Sedangkan pada zona wilayah S2 dapat memaksimalkan penggunaan lahan dengan menggunakan jahe sebagai tanaman sela. Pembuatan rorak dan sumur, merupakan lubang penampungan atau resapan air sedangkan sumur adalah lubang yang sengaja digali sebagai wadah untuk menampur air tanah. Selama ini warga setempat hanya mengandalkan hujan untuk memenuhi kebutuhan air. Pembuatan sumur dan rorak merupakan langkah strategis untuk mengatasi kebutuhan air pada lahan. Hal ini adalah upaya untuk mengatasi kondisi curah hujan yang kurang hanya 1.500-2.000 mm/thn untuk memenuhi kebutuhan tanaman jahe di Desa Kebondowo. 4.5.2 Upaya Peningkatan Kelas Kesesuaian Lahan Dari Segi Kimia Jahe (Zingiber officinale) termasuk tanaman yang membutuhkan unsur hara yang tinggi (Yusron, 2005). Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa status unsur hara makro esensial, terutama N, P, dan K, di Desa Kebondowo masih sangat rendah. Metode yang efisien untuk mengatasi 12
permasalahan hara tersebut adalah pemberian pupuk secara langsung. Jenis pupuk yang digunakan dapat berasal dari bahan organik ataupun anorganik dalam bentuk padatan maupun cair. Menurut standar kebutuhan hara tanaman jahe BPTP (2012), lahan kering Desa Kebondowo membutuhkan N dalam bentuk urea sebanyak 400 kg/ha, untuk unsur K dalam bentuk KCl sebanyak 300 kg/ha dan membutuhkan fosfor dalam bentuk SP-36 sebanyak 300 kg/ha. Akan tetapi, pemberian pupuk anorganik semata secara terus menerus tidak akan memberikan keseimbangan bagi unsur-unsur lainya. Pengaruh kelebihan pupuk anorganik dapat menyebabkan penurunan ph selain itu pemberian pupuk secara berkelanjutan dapat berpotensi mengubah struktur secara fisika, kimiawi dan biologis (Khairunisa 2015). Kaitan peran bahan organik secara fisika terhadap kondisi tanah adalah sebagai granulator yang menyebabkan keadaan gembur pada tanah sehingga tanah memiliki kapasitas menahan air tanah. Secara kimia, bahan organik merupakan sumber pokok utama unsur fosfor dan sulfur serta sedikit menyumbang kandungan nitrogen. Secara biologis bahan organik merupakan sumber utama dalam penyedia makanan bagi mikroorganisme dalam tanah (Sarwono, 1987 dan Buckman dan Brady, 1982). Oleh karena itu, peningkatan ketersediaan hara di lahan juga dapat diimbangi dengan pemberian bahan organik. Penambahan bahan organik meningkatkan ion negatif (kation) di dalam tanah sehingga dapat memperbaiki status KTK tanah. diiringi dengan pemberian kapur disebabkan pengaruh kapur yang menetralkan tanah asam akan mengaktifkan ion kasium sehingga dengan aksi massanya dapat menukarkan hidrogen dan kation lain (Buckman dan Brady, 1982). Bahan organik juga dapat meningkatkan ph tanah. Peningkatan ph terjadi karena adanya dekomposisi tingkat lanjut dimana bahan organik yang telah termineralisasi melepaskan mineralnya yang berupa kation-kation basa (Atmojo, 2003). Pemberian bahan organik juga dapat membantu memperbaiki drainase yang buruk. Bahan organik dapat meningkatkan pori makro tanah dan menekan pori mikro sehingga tanah memiliki laju perkolasi yang lebih baik (Atmojo, 2003). Meminimalisir genangan di lahan akan berdampak pada berkurangnya potensi penyakit layu 13
bakteri (Pribadi, 2013). Menurut Latifah, dkk (2008) pemberian bahan organik 30 ton/ha dapat berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan dan hasil jahe. Pengaruh pemberian kapur dan dolomit mampu mempercepat dan meningkatkan kualitas hasil proses dokomposisi sehingga sangat tepat digabungkan pada saat pemberian bahan organik. Menurut Sukarman dan Melati (2011), pemberian dengan dosis 1-3 ton/ha kapur atau 0,5-2 ton/ha dolomit dapat meningkatkan kondisi ph tanah yang rendah. Pemenuhan kebutuhan hara dengan menggunakan organik maupun anorganik diharapkan dapat memperbaiki kesuburan hara di Desa Kebondowo. 14