BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ergonomi Definisi ergonomi dapat dilakukan dengan menjabarkannya dalam fokus, tujuan, dan pendekatan mengenai ergonomi (Mc Coinick, 1993) dimana dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut: 1. Secara fokus Ergonomi memfokuskan diri pada manusia dan interaksinya dengan produk, peralatan, fasilitas, prosedur, dan lingkungan dimana sehari-hari manusia hidup dan bekerja. 2. Secara tujuan Tujuan ergonomi ada 2, yaitu peningkatan efektivitas dan efisiensi kerja, serta peningkatan nilai-nilai kemanusiaan seperti peningkatan keselamatan kerja, pengurangan rasa lelah dan sebagainya. 3. Secara pendekatan Pendekatan ergonomi adalah aplikasi informasi mengenai keterbatasanketerbatasan manusia, kemampuan, karakteristik tingkah laku, dan motivasi untuk merancang prosedur dan lingkungan tempat aktivitas manusia tersebut sehari-hari. Berdasarkan ketiga hal tersebut maka definisi ergonomi dapat terangkum dalam definisi yang dikemukakan oleh Chapanis (1985), yaitu bahwa ergonomi adalah ilmu untuk menggali dan mengaplikasikan informasi-informasi mengenai perilaku manusia, kemampuan, keterbatasan, dan karakteristik manusia lainnya untuk merancang peralatan, mesin, sistem, pekerjaan, dan lingkungan untuk meningkatkan produktivitas, keselamatan, kenyamanan, dan efektivitas pekerjaan manusia. Definisi mengenai ergonomi juga datang dari Iftikar Z. Sutalaksana (1979) yang mendefinisikan ergonomi sebagai suatu cabang ilmu yang sistematis untuk 10
11 memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan, dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman, dan nyaman. (Sutalaksana dkk, 1979). 2.2. Musculoskeletal Disorders (MSDs) Alifatul (2014) dengan judul penelitian Analisis Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) Dengan Metode Quick Exposure Checklist (QEC) Pada Pekerja Laundry menyatakan bahwa Gangguan musculoskeletal dapat dialami oleh semua pekerja yang banyak menggunakan tenaga fisik serta bekerja dengan posisi janggal dan statis. Musculoskeletal Disorder (MSDs) adalah gangguan pada bagian otot skeletal yang disebabkan oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan keluhan pada sendi, ligamen dan tendon. Sikap kerja yang tidak alami antara lain punggung terlalu membungkuk, pergerakan tangan terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal atau sering disebut sebagai MSDs (Ulfah, 2014). Musculoskeletal disorder (MSDs) pada umumnya berupa bentuk nyeri, cidera, atau kelainan pada sistem otot-rangka, meliputi pada jaringan saraf, tendon, ligament, otot atau sendi. Bekerja dengan rasa sakit dapat mengurangi produktivitas kerja dan apabila bekerja dengan kesakitan ini diteruskan maka akan berakibat pada kecacatan yang akhirnya menghilangkan pekerjaan bagi pekerjanya. MSDs terjadi dengan dua cara: 1. Kelelahan dan keletihan terus menerus yang disebabkan oleh frekuensi atau periode waktu yang lama dari usaha otot, dihubungkan dengan pengulangan atau usaha yang terus menerus dari bagian tubuh yang sama meliputi posisi tubuh yang statis; 2. Kerusakan tiba-tiba yang disebabkan oleh aktivitas yang sangat kuat atau berat atau pergerakan yang tak terduga.
12 Frekuensi yang lebih sering terjadi MSDs adalah pada area tangan, bahu, dan punggung. Aktivitas yang menjadi penyebab terjadinya MSDs yaitu penanganan bahan dengan punggung yang membungkuk atau memutar, membawa ke tempat yang jauh (aktivitas mendorong dan menarik), posisi kerja yang statik dengan punggung membungkuk atau terus menerus dan duduk atau berdiri tiba-tiba, mengemudikan kendaraan dalam waktu yang lama (getaran seluruh tubuh), pengulangan atau gerakan tiba-tiba meliputi memegang dengan atau tanpa kekuatan besar. Musculoskeletal disorders (MSDs) juga dikenal dengan nama lain (Arinda, 2013), diantaranya: 1. Repetitive Strain Injuries (RSIs). 2. Cumulative Trauma Disorders (CTDs). 3. Overuse Injuries. 4. Repetitive Motion Disorders. 5. Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs). Gejala Musculoskeletal disorders (MSDs) dapat menyerang secara cepat maupun lambat (berangsur-angsur), menurut Kromer (1989), ada 3 tahap terjadinya MSDs yang dapat diidentifikasi yaitu: a. Tahap 1: Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh pada performance kerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat. b. Tahap 2: Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah bekerja. Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan berkurangnya performance kerja.
13 c. Tahap 3: Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika bergerak secara repetitive. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan pekerjaan, kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja. 2.3. Postur Kerja Postur kerja merupakan titik penentu dalam menganalisa keefektifan dari suatu pekerjaan. Apabila postur kerja yang dilakukan oleh operator sudah baik dan ergonomis maka dapat dipastikan hasil yang diperoleh oleh operator tersebut akan baik. Akan tetapi bila postur kerja operator tersebut tidak ergonomis maka operator tersebut akan mudah kelelahan. Apabila operator mudah mengalami kelelahan maka hasil pekerjaan yang dilakukan operator tersebut juga akan mengalami penurunan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan (Susihono, 2012). 2.3.1. Pengaruh Postur Kerja terhadap Musculoskeletal Postur janggal adalah deviasi (pergeseran) dari gerakan tubuh atau anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktivitas dari postur atau posisi normal secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif lama. Gerakan postur janggal ini adalah salah satu faktor untuk terjadinya gangguan, penyakit, atau cidera pada sistem muskuloskeletal (Humantech, 1995) dalam (Reyhanandar, 2016). Menurut (Weiner, 1992) dalam (Reyhanandar, 2016), postur tubuh yang tidak seimbang dan berlangsung lama dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan stres pada bagian tubuh tertentu, yang disebut dengan postur stres akibat dari postur tubuh yang jelek. Musculoskeletal adalah risiko kerja mengenai gangguan otot yang disebabkan oleh kesalahan postur kerja dalam melakukan suatu aktivitas kerja. Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal.
14 Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Tarwaka, 2010): 1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan. 2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut. 2.3.2. Program Pengendalian Kelelahan pada Pekerja Program pengendalian kelelahan pada pekerja adalah suatu program yang dibuat berdasarkan analisa terhadap kelelahan pada pekerja yang mana bertujuan untuk membuat suatu program kerja yang baru yang lebih baik agar tingkat kelelahan yang dialami pekerja lebih kecil (Tarwaka, 2010). Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kelelahan pada pekerja antara lain adalah: 1. Melakukan perbaikan terhadap postur kerja operator yang salah atau kurang ergonomis. 2. Melakukan perbaikan pada stasiun kerja si operator, seperti jarak, dan letak bahan-bahan yang akan dipergunakan operator. 2.4. Nordic Body Map Metode untuk mengetahui keluhan muskuloskeletal yang merupakan indikasi keluhan fisik adalah dengan menggunakan skala nordic body map. Melalui nordic body map dapat diketahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan. Untuk menekan bias yang mungkin terjadi pada saat pengukuran, maka sebaiknya pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas kerja (Tarwaka,2004). Kuesioner nordic body map merupakan kuesioner yang digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja, kuesioner ini paling sering digunakan karena sudah terstandarisasi dan tersusun rapi. Kuesioner ini
15 menggunakan gambar tubuh manusia yang sudah dibagi menjadi 9 bagian utama, yaitu : Leher; Bahu; Punggung bagian atas; Siku; Punggung bagian bawah; Pergelangan tangan atau tangan; Pinggang atau pantat; Lutut; Tumit atau kaki (Dewayana, 2008). Penilaian keluhan muskuloskeletal menggunakan nordic body map, dengan menggunakan ini dapat diketahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak sakit sampai sangat sakit. nordic body map meliputi 27 cara pembagian otot rangka pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri. Dimulai dari bagian atas tubuh yaitu otot leher sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki. Melalui kuesioner nordic body map maka akan dapat diketahui bagian otot mana saja yang mengalami keluhan atau nyeri (Jalajuwita, 2015). 2.5. Rapid Entire Body Assessment (REBA) Rapid Entire Body Assessment (REBA) merupakan salah satu metode yang bisa digunakan dalam analisa postur kerja. REBA dikembangkan oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney yang merupakan ergonom dari universitas di Nottingham (University of Nottingham s Institute of Occuptaional Ergonomic). Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktifitas pekerja (Anon., 2016) Pengembangan Rapid Entire Body Assissment (REBA) terdiri atas 3 (tiga) tahapan (Sutrio, 2011) yaitu: 1. Mengidentifikasikan kerja, 2. Sistem pemberian skor,
16 3. Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada tingkat yang ada, dibutuhkan untuk mendorong penilaian yang lebih detail berkaitan dengan analisis yang didapat. Salah satu hal yang membedakan metode REBA dengan metode analisa lainnya adalah dalam metode ini yang menjadi fokus analisis adalah seluruh bagian tubuh pekerja. Melalui fokus terhadap keseluruhan postur tubuh ini, diharapkan bisa mengurangi potensi terjadinya musculoskeletal disorders pada tubuh perkerja. Dalam metode REBA, analisis terhadap keseluruhan postur tubuh pekerja dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing masing grup dapat diketahui skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk grup A dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing masing tabel. Penilaian postur kerja pada masingmasing grup tersebut didasarkan pada postur-postur pada gambar dan tabel berikut: Gambar 2.1 Range Pergerakan Punggung Tabel 2.1 Skor Pergerakan Punggung Pergerakan Skor Perubahan Skor Tegak/alamiah 1 0ᵒ - 20ᵒ flexion 2 +1 Jika 0ᵒ - 20ᵒ extension memutar/miring 20ᵒ - 60ᵒ flexion 3 kesamping >20ᵒ extension >60ᵒ extension 4
17 Tabel 2.1 pergerakan punggung menjelaskan pembobotan skor dari masingmasing sudut tubuh. Nilai pergerakan 1 diberikan jika pergerakan tubuh pada saat posisi tubuh tegak secara alamiah. Pergerakan tubuh extension maupun flexion yang membentuk sudut mulai dari 0-20 bernilai skor sebesar 2, sedangkan pergerakan tubuh membentuk sudut 20-60 flexion dan lebih dari 20 extension bernilai 3, dan pergerakan yang membentuk sudut lebih dari 60 flexion bernilai skor sebesar 4. Skor-skor tersebut akan mendapatkan tambahan skor sebesar 1 jika saat bergerak membentuk sudut tubuh terjadi gerakan memutar/tiring kesamping. Gambar 2.2 Range Pergerakan Leher Tabel 2.2 Skor Pergerakan Leher Pergerakan Skor Perubahan Skor 0ᵒ - 20ᵒ flexion 1 +1 Jika >20ᵒ flexion atau memutar/miring 2 extension kesamping Tabel 2.2 skor pergerakan leher menjelaskan bobot skor dari pergerakan leher yang dilakukan. Pergerakan leher membentuk sudut 0-20 flexion bernilai skor sebesar 1, sedangkan pergerakan leher membentuk sudut lebih dari 20 flexion atau extensionbernilai skor 2. Skor akan bertambah 1 jika saat bergerak, leher melakukan pergerakan memutar atau miring ke samping.
18 Gambar 2.3 Range Pergerakan Kaki Tabel 2.3 Skor Pergerakan Kaki Pergerakan Skor Perubahan Skor Kaki tertopang, bobot tersebar 1 merata, jalan atau duduk +1 Jika lutut antara 30º dan 60º flexion Kaki tidak tertopang, bobot tersebar merata/postur tidak 2 +2 Jika lutut >60º flexion(tidak ketika duduk) stabil Tabel 2.3 skor pergerakan kaki menjelaskan bobot yang diperoleh dari gerakangerakan yang dilakukan oleh kaki saat beraktivitas. Pergerakan kaki tertopang atau bobot tersebar merata pada kedua kaki mendapatkan skor sebesar 1, sedangkan pergerakan kaki tidak tertopang atau bobot tersebar tidak merata mendapatkan skor 2. Skor akan bertambah 1 pada gerakan kaki yang dilakukan apabila lutut kaki membentuk sudut antara 30 dan 60 flexion, sedangan apabila lutut membentuk sudut lebih dari 60 flexion (tidak ketika duduk) akan ditambahkan skor sebesar 2. Gambar 2.4 Range Pergerakan Lengan Atas
19 Tabel 2.4 Skor Pergerakan Lengan Atas Pergerakan Skor Perubahan Skor 20º extension sampai 20º flexion >20º extension 20º - 45º flexion 45º - 90º flexion 3 >90º flexion 4 1 +1 Jika posisi lengan: -adducted 2 -rotated +1 jika bahu ditinggikan -1 jika bersandar, bobot lengan ditopang atau sesuai gravitasi Bobot skor akan bertambah 1 apabila posisi lengan pada posisi adducted ataupun rotated, jika bahu ditinggikan, dan jika bersandar atau bobot lengan ditopang atau sesuai gravitasi. Tabel 2.4 merupakan rangkuman dari penjelas sebelumnya. Gambar 2.5 Range Pergerakan Lengan Bawah Gambar 2.5 range pergerakan lengan bawah menunjukkan pergerakan lengan bawah yang membentuk sudut-sudut tertentu saat bekerja. Terlihat pada tabel 2.5 skor pergerakan lengang bawah. Tabel 2.5 Skor Pergerakan Lengan Bawah Pergerakan Skor 60º - 100º flexion 1 <20º flexion atau >100º flexion 2
20 Gambar 2.6 Range Pergerakan Pergelangan Tangan Berdasarkan ilustrasi pada gambar 2.6, maka diuraikan pergerakan yang terjadi pada pergelangan tangan menjadi skor-skor. Tabel 2.6 merupakan rangkuman dari skor terbebut. Tabel 2.6 Skor Pergerakan Pergelangan Tangan Pergerakan Skor Perubahan Skor 0º - 15º flexion/extension 1 >15º flexion/extension 2 +1 Jika pergelangan tangan menyimpang/beputar Tabel 2.7 Skor Coupling 0 1 Good Fair Pegangan pas Pegangan tangan & kuat bisa diterima tapi ditengah, tidak ideal atau genggaman coupling lebih kuat sesuai digunakan oleh bagian lain dari tubuh 2 Poor Pegangan tangan tidak bisa diterima walaupun memungkinkan 3 Unacceptable Dipaksakan, genggaman yang tidak aman, tanpa pegangan, coupling tidak sesuai digunakan oleh tubuh Tabel 2.8 Skor Aktivitas +1 :1 atau lebih bagian tubuh statis, ditahan lebih dari satu menit +2 : Pengulangan gerakan dalam rentang waktu singkat, diulang lebih dari 4 kali permenit (tidak termasuk berjalan) +3 : Gerakan menyebabkan perubahan atas pergeseran postur yang cepat dari posisi awal
21 Perhitungan nilai melalui metode REBA ini dimulai dengan menganalisis posisi neck, trunk, dan leg dengan memberikan score pada masing-masing komponen. Ketiga komponen tersebut kemudian dikombinasikan ke dalam sebuah tabel untuk mendapatkan nilai akhir pada bagian pertama atau score A dan ditambah dengan score untuk force atau load. Selanjutnya dilakukan scoring pada bagian upper arm, lower arm, dan wrist kemudian ketiga komponen tersebut dikombinasikan untuk mendapatkan nilai akhir pada bagian kedua atau score B dan ditambah dengan coupling score. Setelah diperoleh grand score A dan grand score B, kedua nilai tersebut dikombinasikan ke dalam tabel C, melalui tabel kombinasi akhir ini kemudian ditambahkan dengan activity score akan didapat nilai akhir yang akan menggambarkan hasil analisis postur kerja. Tabel 2.9 Skor Level Risiko dan Tindakan Action Level Skor REBA Level Resiko Tindakan 0 1 Bisa diabaikan Tidak perlu perbaikan 1 2-3 Rendah Mungkin perlu perbaikan 2 4-7 Sedang Perlu perbaikan 3 8-10 Tinggi Perlu perbaikan segera 4 11-15 Sangat Tinggi Perlu perbaikan saat ini juga