UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI SAWAH (Oryza sativa L.) SYTI SARAH MAESAROH A

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI DAYA HASIL GALUR DIHAPLOID PADI SAWAH (Oryza sativa L.) MELA WAHYUNI A

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

III. BAHAN DAN METODE

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

BAHAN DAN METODE. I. Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera.

III. METODE PENELITIAN

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut

UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN GALUR-GALUR PADI BERAS MERAH DAN HITAM HASIL KULTUR ANTERA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Ciherang, Urea, SP-36,

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO

BAB III METODE PENELITIAN

UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH DI SUBAK DANGIN UMAH GIANYAR BALI

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari 3 golongan ecogeographic yaitu Indica, Japonica, dan Javanica.

III. BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

1) Dosen Fakultas Pertanian Unswagati Cirebon 2) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kuningan

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

Lampiran 1: Deskripsi padi varietas Inpari 3. Nomor persilangan : BP3448E-4-2. Anakan produktif : 17 anakan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di lokasi : 1) Desa Banjarrejo, Kecamatan

KAJIAN POLA TANAM TUMPANGSARI PADI GOGO (Oryza sativa L.) DENGAN JAGUNG MANIS (Zea mays saccharata Sturt L.)

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI VARIETAS MEKONGGA TERHADAP KOMBINASI DOSIS PUPUK ANORGANIK NITROGEN DAN PUPUK ORGANIK CAIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

BAHAN DAN METODE. 1. Studi Radiosensitivitas Buru Hotong terhadap Irradiasi Sinar Gamma. 3. Keragaan Karakter Agronomi dari Populasi M3 Hasil Seleksi

UJI DAYA HASIL LANJUT 30 GALUR HARAPAN PADI (Oryza sativa L.) TIPE BARU (PTB) DEDE TIARA A

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan Politeknik Negeri Lampung yang berada pada

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

KARAKTER MORFOLOGI DAN AGRONOMI PADI VARIETAS UNGGUL

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

II. BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Faktor kedua adalah jumlah bibit per lubang yang terdiri atas 3 taraf yaitu : 1. 1 bibit (B 1 ) 2. 2 bibit (B 2 ) 3.

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Padi Hibrida

II. Materi dan Metode. Pekanbaru. waktu penelitian ini dilaksanakan empat bulan yaitu dari bulan

BAB IV METODE PENELITIAN. (RAK) faktor tunggal dengan perlakuan galur mutan padi gogo. Galur mutan yang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU

Persyaratan Lahan. Lahan hendaknya merupakan bekas tanaman lain atau lahan yang diberakan. Lahan dapat bekas tanaman padi tetapi varietas yang

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat. Rancangan Penelitian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian,

PENGUJIAN DAYA HASIL PENDAHULUAN GALUR-GALUR PADI SAWAH (Oryza sativa) HASIL KULTUR ANTERA NIDA KHAFIYA

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. KACANG HIJAU. 36 Laporan Tahun 2015 Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan 3. Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Kacang Tanah pada Populasi Tanaman yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN

KERAGAAN BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI PENANGKARAN SEBAGAI BENIH SUMBER DI LAMPUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Deskripsi Padi Varietas Ciherang

PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA GALUR PADI TAHAN TUNGRO DI KABUPATEN BANJAR

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi merupakan tanaman yang termasuk genus Oryza L. yang

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk

Transkripsi:

i UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI SAWAH (Oryza sativa L.) SYTI SARAH MAESAROH A24080008 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 i

ii RINGKASAN SYTI SARAH MAESAROH. Uji Daya Hasil Galur-Galur Dihaploid Padi Sawah (Oryza Sativa L.). (Dibimbing oleh BAMBANG S. PURWOKO). Pertumbuhan penduduk mendorong meningkatnya laju permintaan beras. Peningkatan permintaan beras ini belum dapat diimbangi dengan peningkatan produksi padi nasional. Bioteknologi dengan teknik kultur antera diharapkan dapat menghasilkan tanaman dihaploid yang menghasilkan galur berdaya hasil tinggi secara efisien. Pengujian terhadap galur-galur yang dihasilkan diperlukan sebelum varietas unggul dapat dilepas. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menguji daya hasil sepuluh galur dihaploid hasil kultur antera terhadap dua varietas pembanding, Ciherang dan Inpari 13. Penelitian ini dilaksanakan di University Farm IPB, Babakan, Darmaga dan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor pada bulan November 2011-Maret 2012. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan genotipe. Perlakuan terdiri atas 12 genotipe yang diulang sebanyak tiga kali sehingga seluruhnya terdiri atas 36 satuan percobaan. Satuan percobaan adalah satu petakan berukuran 3 m x 3 m. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 25 cm dan dua bibit ditanam per lubang tanam. Galur-galur yang diuji memiliki tinggi tanaman pada fase vegetatif antara 74.4-90.7 cm, sedangkan pada fase generatif tinggi tanaman antara 85.2-118.5 cm. Jumlah anakan total per rumpun galur-galur yang diuji antara 17.6-25.2. Pada umumnya galur yang diuji termasuk genotipe dengan jumlah anakan sangat banyak. Rata-rata jumlah anakan produktif galur yang diuji sekitar 11.3-16.1. Galur KP-4-42-2-2, KP-4-43-1-2, dan I5-10-1-1 memiliki persentase jumlah anakan produktif di atas 75 % (kriteria varietas unggul). Kisaran rata-rata umur berbunga yaitu antara 79.3-94.7 hari setelah semai dan umur panen antara 105.0-124.0 hari. Umur panen yang paling genjah ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan umur panen paling lama ditunjukkan oleh galur KP-4-43-1-4. Kisaran rata-rata panjang malai yaitu 21.4-25.5 cm. Malai terpendek ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan malai terpanjang ditunjukkan ii

iii oleh galur IW67. Inpari 13 memberikan jumlah gabah total yang paling tinggi (161.8), sedangkan jumlah gabah total paling rendah ditunjukkan oleh galur IW67 (120.2). Persentase gabah isi semua genotipe yang diuji antara 56.0-77.5 %, sedangkan persentase gabah hampa genotipe yang diuji antara 22.5-44.0 %. Rata-rata bobot 1,000 butir beberapa genotipe yang diuji pada kadar air ± 14% antara 23.6-30.5 g. Bobot 1,000 butir paling rendah ditunjukkan oleh galur I5-10-1-1, sedangkan bobot 1,000 butir paling tinggi ditunjukkan oleh galur KP-4-43-1-2. Galur I5-10-1-1 memiliki ukuran gabah yang paling kecil dibandingkan dengan ukuran gabah galur dihaploid lainnya, sedangkan galur KP-4-43-1-2 memiliki ukuran gabah yang besar. Nilai rata-rata Gabah Kering Panen (GKP) antara 2.98-6.68 ton/ha. Bobot GKP paling rendah ditunjukkan oleh galur FG1R 36-1-1, sedangkan bobot GKP paling tinggi ditunjukkan oleh varietas Ciherang. Nilai rata-rata bobot Gabah Kering Giling (GKG) pada kadar air ± 14% antara 2.54-4.98 ton/ha. Bobot GKG paling tinggi ditunjukkan oleh varietas Inpari 13, sedangkan bobot GKG paling rendah ditunjukkan oleh galur FG1R 36-1-1. Galur KP-4-42-2-2, KP-4-42-2-3, KP-4-43-1-2, KP-4-43-2-4, dan galur IW67 menunjukkan bobot GKG (4.47-4.94 ton/ha) yang setara dengan Ciherang (4.66 ton/ha) dan Inpari 13 (4.98 ton/ha). Galur KP-4-42-2-2 dan KP-4-43-2-4 memiliki potensi hasil berdasarkan hitungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Ciherang dan Inpari 13. Galur KP-4-42-2-2, KP-4-42-2-3, KP-4-43-1-2, KP-4-43-2-4, FG1R 36-1-1, I5-10-1-1, dan galur IW67 memiliki potensi hasil berdasarkan hitungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Ciherang. iii

i UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor SYTI SARAH MAESAROH A24080008 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 i

ii Judul Nama NIM : UJI DAYA HASIL GALUR-GALUR DIHAPLOID PADI SAWAH (Oryza sativa L.) : SYTI SARAH MAESAROH : A24080008 Menyetujui, Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc. NIP. 19610218198403 1 002 Mengetahui. Ketua Departemen Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr. NIP. 19611101 198703 1 003 Tanggal Lulus : ii

iii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Juni 1990 di Desa Padasuka, Cibatu, Garut. Penulis merupakan anak dari pasangan Bapak Juju Juhaeni dan Ibu Maemi. Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 2002 di SDN Padasuka I, Cibatu. Pendidikan lanjutan menengah diselesaikan pada tahun 2005 di SMP Negeri 1 Cibatu dan pendidikan lanjutan menengah umum diselesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 3 Garut. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2008. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor dengan Mayor Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian serta Minor Pengembangan Usaha Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian periode 2008-2009 sebagai sekretaris Department of Agriculture, Lembaga Dakwah Fakultas FKRD periode 2008-2009 dan 2009-2010 sebagai anggota, dan Himpunan Mahasiswa Garut sebagai anggota. Selain itu penulis juga mendapatkan hibah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dalam bidang penelitian dan gagasan tertulis. Penulis juga mengikuti Program IPB Go Field pada tahun 2009. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Ilmu Tanaman Pangan pada tahun 2011 dan Mata Kuliah Metode Statistika pada tahun 2012. Penulis menerima beasiswa Pengembangan Potensi Akademik (PPA) sejak tahun 2008 hingga 2012. iii

iv KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, dan penulisan skripsi yang berjudul Uji Daya Hasil Galur-Galur Dihaploid Padi Sawah (Oryza sativa L.). Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis dapat mengatasi berbagai kesulitan dan hambatan dalam penyusunan skripsi ini berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi selama di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. 2. Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS. dan Dr. Ir. Ketty Suketi, MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi. 3. Kedua orang tua dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang. Semoga skripsi ini menjadi persembahan yang membanggakan. 4. Dimas Guntur Julianto, Laila Rahmadona, Lela Marlenasari, Yuniar Rizki, Mela Wahyuni, teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan 45, temanteman Pondok Ratna serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian maupun skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi yang memerlukan. Bogor, Mei 2012 Penulis iv

v DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Hipotesis... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Botani dan Morfologi Padi... 3 Pengembangan Varietas Padi Unggul di Indonesia... 4 Kultur Antera Padi... 6 BAHAN DAN METODE... 8 Tempat dan Waktu... 8 Bahan dan Alat... 8 Metode Penelitian... 8 Pelaksanaan Penelitian... 9 Pengamatan Penelitian... 10 HASIL DAN PEMBAHASAN... 12 Kondisi Umum Penelitian... 12 Keragaan Karakter Agronomi... 13 KESIMPULAN DAN SARAN... 27 Kesimpulan... 27 Saran... 27 DAFTAR PUSTAKA... 28 LAMPIRAN... 31 vi vii viii v

vi DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Analisis ragam pengaruh genotipe pada karakter agronomi galur dihaploid hasil kultur anter... 14 2. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata tinggi tanaman pada fase vegetatif dan fase generatif... 15 3. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata jumlah anakan total dan anakan produktif... 16 4. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata umur berbunga dan umur panen... 18 5. Pengaruh genotipe terhadap panjang malai dan kerapatan malai... 20 6. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata jumlah gabah total dan jumlah gabah isi... 21 7. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata bobot 1,000 butir gabah isi... 23 8. Pengaruh genotipe terhadap produktivitas gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG)... 24 vi

vii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Persentase jumlah anakan produktif per rumpun beberapa genotipe... 17 2. Persentase gabah isi dan presentase gabah hampa beberapa genotipe... 22 3. Potensi hasil berdasarkan hitungan beberapa genotipe... 25 vii

viii DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap tinggi tanaman vegetatif... 32 2. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap tinggi tanaman generatif... 32 3. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah anakan total... 32 4. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah anakan produktif... 32 5. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap umur berbunga... 33 6. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap umur panen... 33 7. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap panjang malai... 33 8. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah gabah isi... 33 9. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah gabah hampa... 34 10. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah gabah total... 34 11. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap bobot 1,000 butir gabah... 34 12. Sidik ragam pengaruh genotipe terhadap produktivitas... 34 13. Deskripsi varietas Ciherang... 35 14. Deskripsi varietas Inpari 13... 36 15. Denah petak percobaan... 37 16. Data iklim Darmaga... 38 viii

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proyeksi perkembangan penduduk menunjukkan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang berpenduduk sangat besar pada beberapa dekade mendatang. Imbangan permintaan dan penawaran komoditas pangan menjadi indikator penting dalam perencanaan pencapaian ketahanan pangan masyarakat. Ketergantungan pangan pokok masyarakat pada beras mengharuskan pemerintah tetap memprioritaskan penanganan peningkatan produksi dengan berbagai upaya. Kenaikan permintaan beras sebesar 15.12 juta ton dalam waktu 40 tahun (2010-2050) merupakan beban berat yang harus ditanggung (Mulyani et al., 2010). Upaya pemenuhan kebutuhan beras nasional hingga tahun 2025 akan ditempuh melalui dua cara: (1) peningkatan produktivitas padi dengan laju pertumbuhan 1.0-1.5 % per tahun; dan (2) peningkatan areal panen padi melalui peningkatan intensitas pertanaman (IP), pengembangan di areal baru, termasuk sebagai tanaman sela di lahan perkebunan dan lahan bukaan baru (Departemen Pertanian, 2005 ). Produktivitas padi masih dapat dinaikkan, namun dalam beberapa tahun terakhir peningkatan produktivitas mengalami pelandaian. Penyebabnya antara lain adalah telah tercapainya potensi hasil optimum dari varietas unggul baru (VUB) padi dan menurunnya kesuburan lahan sawah karena eksploitasi yang terus menerus tanpa memperhatikan kelestarian kesuburan tanah, baik fisik maupun kimawi (Abdullah et al., 2008). Karena itu, perakitan varietas unggul padi sawah dengan potensi hasil lebih tinggi harus dilakukan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Perakitan varietas dapat dilakukan secara konvensional dan dengan bioteknologi. Perakitan varietas unggul dengan cara konvensional memerlukan waktu yang lama karena memerlukan periode penggaluran dan seleksi selama beberapa generasi. Oleh karena itu, pengembangan bioteknologi menjadi penting untuk dilakukan. Salah satu teknik bioteknologi dalam menciptakan varietas unggul padi yaitu dengan perakitan galur dihaploid. Dewi dan Purwoko (2011) menyatakan bahwa dengan menggunakan sistem dihaploid, proses pemuliaan 1

2 untuk mendapatkan galur murni dapat lebih singkat melalui satu sampai dua generasi saja. Kultur antera merupakan salah satu cara untuk mempercepat perakitan varietas. Kultur antera dapat menghasilkan tanaman dihaploid atau galur murni yang meningkatkan efisiensi perakitan varietas unggul. Teknik ini menghasilkan tanaman haploid melalui induksi embriogenesis dari pembelahan berulang mikrospora atau polen tanaman donor antera yang berasal dari persilangan tetua yang diinginkan. Kultur antera diperlukan dalam menghasilkan varietas unggul baru. Pengujian daya hasil galur-galur dihaploid hasil kuntur antera merupakan salah satu tahap yang harus dilalui sebelum varietas unggul dilepas. Potensi hasil dan daya adaptasi galur tersebut diuji di beberapa lokasi. Galur-galur yang berdaya hasil tinggi pada berbagai lokasi dapat diusulkan sebagai varietas unggul baru dengan daya adaptasi luas (Sudarna, 2010). Sjafii et al. (2011) pada penelitian sebelumnya telah melaporkan galur-galur padi sawah dengan potensi hasil tinggi. Galur-galur tersebut perlu diuji untuk mengetahui penampilan hasilnya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hasil galur-galur dihaploid hasil kultur antera padi sawah yang dibandingkan dengan varietas padi berproduktivitas tinggi. Hipotesis Terdapat galur-galur dihaploid hasil kultur antera padi sawah yang dapat memberikan hasil lebih tinggi atau sama dengan varietas yang sudah dilepas. 2

3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O. glaberrima Steud. O. sativa merupakan spesies yang lebih penting dibandingkan O. glaberrima. O. glaberrima hanya tumbuh terbatas di sebagian kecil wilayah di Afrika Barat, sedangkan O. sativa tumbuh menyebar di wilayah tropis dan subtropis (Grist, 1959). Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas dan antara ruas yang satu dengan ruas yang lainnya dipisahkan oleh satu buku. Ruas batang padi berongga dan berbentuk bulat dari atas ke bawah (Departemen Pertanian, 1983). Pada tiap buku, terdapat sehelai daun. Kuncup yang tumbuh di dalam ketiak daun menjadi batang-batang sekunder yang serupa dengan batang primer. Batang-batang sekunder ini akan menghasilkan batang-batang tersier dan seterusnya. Peristiwa ini disebut sebagai fase menganak. Anakan mulai terbentuk sejak 10 hari setelah tanam dan mencapai maksimum pada umur 50-60 hari setelah tanam (Prasetyo, 1996). Sifat daya merumpun padi pada umumnya lima kali atau lebih dari tanaman yang ditanam. Sifat ini diperlukan untuk menantisipasi serangan hama penggerek batang atau hama sundep yang menyerang ketika tanaman masih muda. Jika tanaman memiliki daya merumpun yang rendah, maka tanaman akan habis oleh hama karena tidak mampu membentuk banyak anakan atau tunas baru (Siregar, 1981). Fase pertumbuhan padi terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase vegetatif, fase reproduktif, dan fase pemasakan. Fase vegetatif dimulai dari saat berkecambah sampai dengan inisiasi primordia malai, yaitu pertambahan anakan yang cepat sampai tercapai anakan maksimal, bertambah tingginya tanaman, dan daun tumbuh secara teratur. Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga, yaitu ditandai dengan pemanjangan ruas batang, berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting, dan pembungaan. Fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai panen, yaitu ditandai dengan

4 menuanya daun, dan bertambahnya ukuran biji, bobot, dan perubahan warna biji. lnisiasi primordia malai biasanya dimulai 30 hari sebelum pembungaan (Yoshida, 1981). Berdasarkan lingkungan dan manajemen air, padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan (Prihatman, 2000). Satu tahun di berbagai wilayah tropik terbagi ke dalam dua musim yang berbeda yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada beberapa wilayah, padi diproduksi pada musim hujan dan ketergantungan terhadap air hujan merupakan faktor pembatas dalam memproduksi padi pada lahan tadah hujan. Padi yang dibudidayakan pada musim kemarau memerlukan sistem irigasi untuk mencukupi kebutuhan air. Oleh karena itu, penanaman padi pada musim kering menjadi terbatas (De Datta, 1981). Musim tanam padi di wilayah sub tropis Asia (Jepang, Korea, dan Cina) dan di wilayah lain seperti Amerika Utara, Australia, dan Eropa ditentukan terutama oleh pola suhu. Dengan menggunakan irigasi, penanaman dapat diuntungkan dengan adanya kondisi iklim yang sesuai seperti suhu optimum dan radiasi matahari yang tinggi (De Datta, 1981). Pengembangan Varietas Padi Unggul di Indonesia Faktor iklim dan tanah merupakan faktor pembatas produksi padi di berbagai wilayah di Indonesia. Introduksi varietas dari negara lain yang menyediakan gen spesifik, resisten, dan toleran terhadap kondisi suboptimum membantu dalam menciptakan varietas tertentu. Karakter tersebut diperlukan untuk program pemuliaan varietas modern yang spesifik lokasi (De Datta, 1981). Pemuliaan tanaman didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan penelitian dan pengembangan genetik tanaman (modifikasi gen ataupun kromosom) untuk merakit varietas atau varietas unggul yang berguna bagi kehidupan manusia (Dewi dan Purwoko, 2001). Menurut Sumarno dan Zuraida (2008) pemuliaan tanaman merupakan ilmu genetika terapan yang didukung oleh berbagai cabang ilmu kegenetikaan, termasuk plasma nutfah, genetika klasik, genetika molekuler, sitogenetika, dan genetika transformasi. Teknik pemuliaan tanaman pangan berkembang dengan pesat terutama untuk tanaman padi.

5 Pemuliaan tanaman melalui upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi. Selain itu, upaya perakitan varietas juga ditujukan untuk menciptakan varietas yang sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat (Susanto et al., 2003). Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, permintaan terhadap tipe varietas yang dihasilkan juga berbeda-beda. Oleh karena itu, pemuliaan tanaman padi bertujuan untuk menghasilkan varietas baru yang lebih baik dibanding varietas yang telah ada (Sasmita, 2007). Menurut Harsanti et al. (2003) penggunaan varietas padi unggul merupakan teknologi yang handal dalam meningkatkan produksi pangan. Penggunaan varietas unggul lebih aman dan lebih ramah terhadap lingkungan serta dapat dijangkau oleh petani. Dewi dan Purwoko (2001) menyatakan bahwa pembentukan varietas padi unggul melalui pemuliaan perlu dilakukan secara intensif sesuai dengan teknologi yang ada. Proses pemuliaan tanaman ini dapat menghasilkan varietas unggul tanaman padi yang menjamin pertanian berkelanjutan. Perakitan varietas unggul padi merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan dan memerlukan waktu panjang. Kegiatannya meliputi persilangan untuk membentuk populasi dasar, seleksi untuk memilih populasi dan atau tanaman yang dikehendaki, serta uji daya hasil dan adaptasi galur-galur harapan yang dihasilkan sebelum dilepas sebagai varietas baru (Abdullah et al., 2008). Uji daya hasil merupakan tahap penting dalam perakitan varietas. Galurgalur yang sudah mantap dan mempunyai sifat-sifat yang diharapkan perlu dievaluasi daya hasil dan keragaannya pada berbagai lokasi. Galur-galur yang berdaya hasil tinggi pada berbagai lokasi dapat diusulkan sebagai varietas unggul baru dengan daya adaptasi luas (Sudarna, 2010). Acquaah (2007) menyatakan bahwa uji daya hasil meliputi tiga tahap, yaitu uji daya hasil pendahuluan (UDHP), uji daya hasil lanjutan (UDHL), dan uji multilokasi untuk melihat stabilitas dan adaptabilitas tanaman di berbagai lokasi sebelum dilepas menjadi varietas unggul baru dengan karakter-karakter yang dikehendaki.

6 Kultur Antera Padi Pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan cara konvensional dan dengan cara bioteknologi. Untuk mempercepat perakitan varietas unggul baru harus diterapkan suatu kombinasi prosedur pemuliaan konvensional dengan prosedur bioteknologi (Dewi dan Purwoko, 2001). Bioteknologi dapat dimanfaatkan untuk mendukung program perbaikan genetik tanaman terutama dalam peningkatan efisiensi dan pemecahan masalah yang tidak dapat atau sulit dilakukan secara konvensional (Suwarno et al., 2000). Menurut Sunarlim dan Sutrisno (2003), penggunaan bioteknologi bukan untuk menggantikan metode konvensional tetapi bersama-sama menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Penggunaan metode konvensional dengan teknologi tinggi memaksimumkan keberhasilan program perbaikan pertanian. Abdullah et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu prosedur alternatif yang dianjurkan adalah membuat galur dihaploid (doubled haploid) atau galur murni homozigos hasil dari penggandaan tanaman haploid. Haploid dapat diperoleh secara alami misalnya melalui proses parthenogenesis dan eliminasi kromosom (metode Bulbosum), serta diinduksi in vitro melalui proses androgenesis dengan kultur antera dan kultur mikrospora, dan proses gonogenesis dengan kultur ovul (Dewi dan Purwoko, 2011). De Datta (2005) melaporkan bahwa induksi haploid melalui kultur antera adalah metode yang paling sederhana dan mudah dilaksanakan dibandingkan dengan kultur mikrospora. Dewi (2002) menunjukkan bahwa kultur antera merupakan salah satu metode kultur in vitro yang dapat menghasilkan galur-galur murni dengan cepat. Galur-galur murni tersebut merupakan tanaman dihaploid sehingga proses seleksi menjadi lebih efisien karena populasi dihaploid bersifat homogen dan homozigositas sudah terbentuk pada tanaman regeneran (DH0), sedangkan evaluasi karakter agronomi utama dapat dilakukan pada generasi DH1 dan DH2. Pembentukan galur murni (galur dihaploid) melalui teknik kultur antera memerlukan waktu kurang lebih 30 bulan (Sasmita, 2007). Oleh karena itu, dibandingkan dengan sistem pemuliaan konvensional, keuntungan penggunaan

7 kultur antera dalam program pemuliaan, selain meningkatkan efisiensi proses seleksi, adalah menghemat biaya, waktu dan tenaga (Dewi dan Purwoko, 2001). Karakter yang dikendalikan baik oleh gen dominan maupun resesif dapat diekspresikan pada tanaman dihaploid. Variasi genetik pada tanaman dihaploid akan terjadi akibat efek aditif, terlepas dari efek dominan resesif. Untuk menjamin atau meningkatkan peluang ketersediaan rekombinan yang diinginkan, diperlukan populasi galur dihaploid turunan dari tiap-tiap persilangan (F1) yang cukup sebagai bahan seleksi. Pada populasi demikian, jumlah individu yang dibutuhkan sebagai bahan seleksi untuk mendapatkan rekombinan gen yang diinginkan akan berkurang jika dibandingkan dengan bahan yang diperoleh dari populasi bersegregasi hasil persilangan konvensional (Sasmita, 2007). Prosedur teknik kultur antera pada pemuliaan tanaman padi terbagi ke dalam tahap-tahap sebagai berikut; pemilihan tetua dan persilangan (F1), pemeliharaan tanaman F1 sumber eksplan, penyiapan eksplan, kultur antera in vitro, aklimatisasi, dan penanganan tanaman pasca aklimatisasi, karakterisasi tanaman dihaploid, perbanyakan benih dihaploid, dan seleksi untuk karakter yang diinginkan (Sasmita, 2007). Teknik kultur antera juga mempunyai kelemahan. Selain memerlukan keterampilan khusus dan peralatan yang memadai, ploidi yang dihasilkan beragam, frekuensi haploid tidak dapat diprediksi dalam populasi, dan regenerasi tanaman hijau yang rendah karena dihasilkan tanaman albino. Masalah ini dapat diatasi dengan pemberian senyawa putresin 0.001 M pada media, sehingga meningkatkan induksi kalus dan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera tanaman padi (Dewi et al. 2007). Kultur antera dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan teknik kultur antera antara lain kondisi pertumbuhan tanaman donor, umur tanaman donor, tingkat perkembangan polen, metode sterilisasi, pra perlakuan, media kultur, dan kondisi ruang inkubasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai dengan bulan Maret 2012 bertempat di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian dan University Farm IPB, Babakan, Darmaga, Bogor. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih sepuluh galur dihaploid padi sawah, yaitu KP-3-18-1-3, KP-3-19-1-2, KP-4-42-2-2, KP-4-42-2-3, KP-4-43-1-2, KP-4-43-1-4, KP4-43-2-4, FG1R 36-1-1, I5-10-1-1, IW67, sebagai galur yang dievaluasi serta varietas padi Ciherang dan Inpari 13 digunakan sebagai varietas pembanding. Pupuk yang digunakan meliputi pupuk urea dengan dosis 200 kg/ha, SP- 36 dengan dosis 150 kg/ha, dan pupuk KCl dengan dosis 100 kg/ha. Peralatan yang digunakan meliputi alat tanam dan pemeliharaan, meteran, dan timbangan. Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan galur sebagai perlakuan dan tiga ulangan. Penelitian ini menggunakan sepuluh galur padi dihaploid dan dua varietas pembanding, sehingga keseluruhan terdapat 36 satuan percobaan. Ukuran petak untuk setiap satuan percobaan sebesar 3 m x 3 m. Model rancangan yang akan digunakan yaitu model umum Rancangan Acak Kelompok (RAK) Yij = µ + αi + βj + εij, dimana : Yij = nilai pengamatan populasi ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai rataan umum Αi = pengaruh genotipe ke-i Βj = pengaruh ulangan ke-j Εij = pengaruh galat percobaan dari varietas ke-i dan ulangan ke-j 8

9 Pengujian perbedaan antar galur yang dievaluasi diuji dengan menggunakan uji F. Jika terdapat perbedaan diantara galur, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Uji BNJ dilakukan untuk membandingkan nilai tengah semua perlakuan (Gomez dan Gomez, 1995). Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lahan dengan luas 324 m 2. Penyemaian dilakukan dengan cara penyemaian kering. Penyemaian ini dilaksanakan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor. Tanah yang digunakan dimasukkan ke dalam bak tembok berukuran 3 m x 1 m x 2 m. Bak diisi dengan tanah sampai 2/3 dari volume seluruhnya. Tanah dibersihkan dari semua kotoran dan rumput yang tumbuh. Benih yang digunakan dalam penyemaian yaitu sebanyak 50 g untuk masing-masing galur dan varietas pembanding. Tanah dalam bak dibagi menjadi 12 bagian. Benih 12 genotipe disemai ke dalam tanah dan dilakukan penyiraman setiap hari. Benih yang sudah berumur 21 hari dipindahtanam ke sawah yang berlokasi di University Farm, Babakan, Darmaga, Bogor. Tanah yang digunakan terlebih dahulu diolah dan diratakan, kemudian dibagi menjadi tiga ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 12 satuan percobaan (genotipe). Bibit padi ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Bibit ditanam sedalam 5 cm sebanyak dua bibit per lubang. Pupuk yang digunakan terdiri atas urea, SP-36, dan KCl. Pemupukan urea dilakukan pada saat tanam, 21 hari setelah tanam (HST), dan 42 HST, masing-masing 1/3 dosis. Pemupukan SP-36 dan KCl dilakukan seluruhnya pada saat tanam. Pemeliharaan dilakukan dengan penyiangan, penyulaman bibit yang mati, dan pengendalian dari organisme pengganggu tanaman. Penyiangan pertama dilakukan pada umur 3 minggu setelah tanam (MST), sedangkan penyiangan kedua pada umur 6 MST. Penyiangan dilakukan dengan mencabut dengan tangan, kemudian dipendam dalam tanah. Pengendalian ini dilakukan sesuai dengan tingkat serangan. Pengendalian hama keong dilakukan secara kimia dan kultur teknis. Pengendalian hama belalang dan walang sangit dilakukan dengan cara pemberian pestisida, sedangkan pengendalian burung dilakukan dengan cara 9

10 penggunaan jaring pada fase reproduktif. Panen dilakukan setelah 80% malai telah menguning atau sekitar 26 sampai 30 hari setelah berbunga. Pemanenan menggunakan sabit. Batang dipotong pada bagian atas, kemudian dirontokkan dengan cara diirig. Produksi yang dihasilkan ditaksir dengan cara menghitung gabah dari petak bersih dan komponen hasil. Petak bersih yaitu petakan yang di dalamnya terdapat rumpun tanaman tanpa rumpun tanaman pinggir. Komponen hasil dihitung untuk mengetahui potensi hasil berdasarkan hitungan dengan menggunakan persamaan (Yoshida, 1981): Hasil (ton/ha) = jumlah anakan produktif/m 2 x jumlah gabah total/malai x persentase gabah isi x bobot 1,000 butir (g) x 10-5 Pengamatan Penelitian Pengamatan dilakukan pada rumpun lima tanaman contoh per petak dengan komponen yang diamati meliputi: 1. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi yang diamati pada 45 HST (vegetatif) yaitu sebelum terjadi inisiasi primordia malai dan tinggi menjelang panen (generatif) yang diukur dari permukaan tanah hingga ujung malai. 2. Jumlah anakan diamati pada 45 HST (vegetatif) dan jumlah anakan produktif pada saat menjelang panen, ditentukan dengan menghitung jumlah anakan (vegetatif) dan jumlah yang menghasilkan malai (produktif). 3. Panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai. 4. Umur berbunga, dihitung dari saat menanam benih sampai 50% malai (bunga) dalam satu rumpun telah keluar. 5. Umur panen, dihitung dari saat menanam benih sampai 80% malai telah menguning. 6. Bobot 1,000 butir gabah isi dengan kadar air ± 14 % (penjemuran dengan matahari selama 4 hari), diukur dari 1,000 gabah isi. 10

11 7. Jumlah gabah total, jumlah gabah isi dan hampa per malai, dihitung dari jumlah gabah isi atau berisi penuh dan gabah hampa (tidak berisi atau berisi sebagian) setiap malai sampel. 8. Hasil gabah per petak bersih (gabah kering panen dan gabah kering giling). Gabah kering panen dihitung dari bobot gabah isi dan hampa (penjemuran dengan matahari selama 4 hari) yang berasal dari satu petak, sedangkan gabah kering giling dihitung dari bobot gabah isi kering dengan kadar air ± 14% (penjemuran dengan matahari selama 4 hari) yang berasal dari satu petak bersih setelah melalui penampian terlebih dahulu.

12 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Pertumbuhan awal semua genotipe yang diuji terhambat oleh hama keong. Hama keong menyerang bibit yang sudah ditanam dari saat tanam sampai 4 minggu setelah tanam (MST). Serangan hama keong paling besar terutama menyerang pertanaman yang berada pada ulangan satu. Hal ini disebabkan karena ulangan satu terletak dekat dengan parit. Serangan hama keong menyebabkan tanaman harus disulam. Kekurangan bibit untuk sulaman terjadi pada galur KP-4-43-1-4, KP-4-42-2-3, dan KP-3-19-1-2. Serangan hama keong ditanggulangi secara kimia dan kultur teknis. Secara kimia hama keong dikendalikan dengan penggunaan moluskisida, sedangkan secara kultur teknis dilakukan pengeringan untuk beberapa minggu. Belalang menyerang tanaman pada fase vegetatif. Serangan ini menyebabkan daun tanaman menjadi sobek pada bagian ujungnya. Serangan yang lebih luas hama ini tidak terjadi dan masih dapat ditanggulangi dengan penggunaan pestisida. Walang sangit (Leptocorisa oratorius) menyerang tanaman pada saat muncul malai sampai bulir padi matang susu. Hama ini menyerang paling besar pada galur KP-3-18-1-3. Serangan walang sangit pada galur ini mencapai 55 %. Hal ini disebabkan karena galur KP-3-18-1-3 merupakan galur yang berumur paling genjah, sehingga serangan walang sangit terkonsenterasi pada galur ini. Cairan bulir padi yang dihisap walang sangit menyebabkan gabah menjadi hampa dan berubah warna menjadi kehitaman. Serangan burung (Ploceus sp.) terjadi pada fase generatif sampai menjelang panen. Serangan burung paling besar menyerang pada galur KP-3-18-1-3 karena galur ini berumur paling genjah. Selain itu, serangan burung juga terjadi pada galur I5-10-1-1 karena galur ini memiliki postur batang paling tinggi dibandingkan genotipe yang lainnya. Serangan burung ini dapat ditanggulangi dengan penggunaan jaring. Tingginya curah hujan menyebabkan adanya serangan hama beluk dan penyakit kresek. Hama beluk disebabkan oleh Scirpophaga innotata, sedangkan penyakit kresek disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv oryzae. Hama 12

13 beluk menyerang titik tumbuh tanaman padi yang sedang berada pada fase booting, sehingga gabah menjadi hampa. Penyakit kresek membuat warna daun yang kering menjadi kuning jerami sampai coklat muda dan akhirnya daun tanaman kering. Pertumbuhan galur FG1R 36-1-1 dan KP-3-19-1-2 di lapangan menunjukkan penampilan yang kurang seragam. Tinggi tanaman galur FG1R 36-1-1 pada semua ulangan sekitar antara 87-123 cm. Selain itu, terdapat warna gabah yang berbeda pada FG1R 36-1-1, yaitu warna kuning dengan bulu dan warna kuning kehitaman tanpa bulu. Ketidakseragaman KP-3-19-1-2 ditunjukkan oleh variasi dalam kematangan tanaman. Ketidakseragaman yang terjadi pada kedua genotipe tersebut diduga diakibatkan oleh adanya campuran dari genotipe lain. Penanggulangan campuran ini dilakukan dengan cara roguing. Keragaan Umum Keragaan Karakter Agronomi Fenotipe yang muncul pada tanaman merupakan interaksi antara genotipe dan lingkungan. Ini berarti bahwa besaran fenotipe sebagian ditentukan oleh genotipe dan sebagian lainnya ditentukan oleh lingkungan. Masing-masing pengaruh ini sulit diketahui secara langsung peranannya. Hasil analisis ragam pada karakter agronomi menunjukkan bahwa genotipe pada umumnya berpengaruh sangat nyata terhadap semua karakter yang diamati. Hal ini menunjukkan adanya respon genotipe-genotipe tersebut. Tabel 1 menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap sembilan karakter agronomi yang diamati. Karakter agronomi tersebut yaitu tinggi tanaman pada fase vegetatif dan reproduktif, umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, produktivitas GKG, dan produktivitas GKP. Genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, jumlah gabah total, dan bobot 1,000 butir. Keragaman paling besar diantara genotipe yang diuji ditunjukkan oleh karakter jumlah gabah hampa (20.79 %), sedangkan keragaman paling kecil ditunjukkan oleh karakter umur berbunga (2.58 %).

Tabel 1. Analisis ragam pengaruh genotipe pada karakter agronomi galur dihaploid hasil kultur anter Karakter F Hitung Koef. Keragaman Tinggi tanaman fase vegetatif 5.55 ** 4.12 Jumlah anakan total 2.60 * 14.04 Tinggi tanaman fase generatif 12.44 ** 3.96 Jumlah anakan produktif 2.40 * 12.93 Umur berbunga 11.04 ** 2.58 Umur panen 14.09 ** 2.59 Panjang malai 6.11 ** 2.76 Jumlah gabah isi 3.20 ** 10.55 Jumlah gabah hampa 4.00 ** 20.79 Jumlah gabah total 2.50 * 9.26 Bobot 1,000 butir 2.34 * 7.22 Produktivitas GKG 7.02 ** 12.80 Produktivitas GKP 3.98 ** 17.78 Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf kesalahan 5%. ** berpengaruh sangat nyata pada taraf kesalahan 1%. GKG = gabah kering giling, GKP = gabah kering panen 14 Tinggi Tanaman Hasil pengukuran tinggi tanaman pada fase vegetatif antara 74.4-90.7 cm. Galur I5-10-1-1 merupakan galur dengan rata-rata tinggi tanaman paling tinggi. Galur-galur yang diuji pada umumnya menunjukkan tinggi tanaman yang setara dengan kedua pembandingnya (Ciherang dan Inpari 13), kecuali galur I5-10-1-1. Galur ini setara dengan Inpari 13 tetapi berbeda nyata dengan Ciherang. Tinggi tanaman merupakan karakter yang penting yang mempengaruhi tingkat penerimaan petani terhadap varietas baru. Tingkat kerebahan dan efisiensi dalam pemanenan sangat dipengaruhi oleh tinggi tanaman. Umumnya petani kurang menyukai varietas dengan postur tinggi karena rentan rebah. Tingkat kerebahan mempengaruhi hasil padi baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Tanaman yang rebah akan mengurangi hasil dan menurunkan kualitas beras yang dihasilkan. Keragaan tinggi tanaman rata-rata dari genotipe yang diuji disajikan dalam Tabel 2.

15 Tabel 2. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata tinggi tanaman pada fase vegetatif dan fase generatif Galur/ Varietas Tinggi Fase Vegetatif (cm) Tinggi Fase Generatif (cm) KP-3-18-1-3 75.9 b 85.2 d KP-3-19-1-2 83.7 ab 99.0 bc KP-4-42-2-2 74.4 b 100.3 bc KP-4-42-2-3 79.3 b 102.0 bc KP-4-43-1-2 77.1 b 96.5 cd KP-4-43-1-4 77.8 b 102.8 bc KP-4-43-2-4 75.7 b 110.7 ab FG1R 36-1-1 78.5 b 101.9 bc I5-10-1-1 90.7 a 118.5 a IW67 77.7 b 99.2 bc Ciherang 77.0 b 106.3 bc Inpari 13 81.4 ab 109.8 ab Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%. Rata-rata tinggi tanaman pada fase generatif tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena translokasi fotosintat lebih banyak digunakan untuk perkembangan reproduktif (pengisian biji). Semua genotipe yang diuji memiliki rata-rata tinggi tanaman pada fase ini antara 85.2-118.5 cm. Tinggi tanaman paling rendah ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan tinggi tanaman paling tinggi ditunjukkan oleh galur I5-10-1-1. Galur I5-10-1-1 merupakan satu-satunya galur yang mengalami rebah pada fase pematangan. Hal ini menyebabkan produktivitas galur ini menjadi rendah. Pada umumnya galur yang diuji memiliki tinggi generatif yang setara dengan salah satu atau kedua pembandingnya (Ciherang dan Inpari 13) kecuali galur KP-3-18-13. Tinggi rendahnya batang tanaman adalah sifat atau ciri yang mempengaruhi hasil varietas. Tinggi tanaman padi yang memberikan hasil tinggi yaitu kurang dari 125 cm (Siregar, 1981). Sepuluh galur yang diuji pada penelitian ini memiliki tinggi tanaman rata-rata kurang dari 125 cm, sehingga memenuhi sebagai ideotipe varietas yang berdaya hasil tinggi.

16 Jumlah Anakan Total dan Jumlah Anakan Produktif Jumlah anakan total per rumpun varietas padi dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok (Las et al., 2004) yaitu jumlah anakan sedikit (<10), sedang (11-15), banyak (16-20), dan sangat banyak (>20). Berdasarkan pengelompokan tersebut, pada umumnya genotipe yang diuji termasuk genotipe dengan jumlah anakan sangat banyak. Kemampuan membentuk anakan yang banyak pada genotipe yang diuji dapat berpengaruh terhadap hasil. Jika ada kerusakan pada anakan akibat serangan hama tidak akan terlalu berpengaruh terhadap hasil. Tabel 3 menyajikan rata-rata jumlah anakan total dan anakan produktif per rumpun tiap genotipe yang diuji. Rata-rata jumlah anakan total dan anakan produktif yang dihasilkan tidak berbeda nyata untuk semua genotipe yang diuji. Jumlah anakan akan menjadi faktor utama dalam meningkatkan total luas daun dengan demikian juga akan meningkatkan indeks luas daun (Sheehy, 2000). Pertambahan jumlah total luas daun merupakan faktor penting yang berhubungan dengan produksi padi karena total luas daun pada saat pembungaan berpengaruh sangat besar pada jumlah fotosintat yang tersedia untuk malai (De Datta, 1981). Tabel 3. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata jumlah anakan total dan anakan produktif Galur/ Jumlah Anakan Jumlah Anakan Jumlah Anakan Total Varietas Produktif Produktif / m 2 KP-3-18-1-3 18.7 11.3 181.3 KP-3-19-1-2 17.6 11.4 182.4 KP-4-42-2-2 20.2 15.3 244.3 KP-4-42-2-3 19.5 13.3 212.3 KP-4-43-1-2 18.9 14.3 228.3 KP-4-43-1-4 24.9 14.7 235.7 KP-4-43-2-4 24.7 15.7 251.7 FG1R 36-1-1 21.6 15.1 241.1 I5-10-1-1 21.2 16.1 258.1 IW67 25.2 15.7 251.7 Ciherang 24.5 15.9 254.9 Inpari 13 23.1 15.1 242.1 Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%. Abdullah et al. (2008) meyatakan bahwa jumlah anakan per rumpun yang terlalu banyak akan mengakibatkan masa masak malai tidak serempak, sehingga

17 menurunkan produktivitas dan mutu beras. Jumlah anakan sedikit diharapkan malai masak serempak. Jumlah gabah per malai yang banyak menyebabkan malai masak dalam waktu yang lebih lama, sehingga mutu beras menurun atau tingkat kehampaan tinggi. Rata-rata persentase jumlah anakan produktif genotipe yang diuji antara 59.2 %-76.1 %. Menurut IRRI persentase anakan yang produktif padi jenis lokal sekitar 50 %, sedangkan untuk varietas unggul sekitar 75 %. Galur KP-4-42-2-2, KP-4-43-1-2, dan galur I5-10-1-1 memiliki persentase jumlah anakan produktif di atas 75 %. sehingga memenuhi sebagai ideotipe varietas unggul. Persentase jumlah anakan produktif dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Persentase jumlah anakan produktif per rumpun beberapa genotipe Jumlah anakan produktif/m 2 genotipe yang diuji berkisar antara 181.3-258.1. Jumlah anakan produktif/m 2 paling sedikit ditunjukkan oleh galur KP-3-18- 1-3, sedangkan jumlah anakan produktif/m 2 paling banyak ditunjukkan oleh galur I5-10-1-1 (Tabel 3). Peningkatan jumlah anakan produktif/m 2 meningkat dengan meningkatnya kerapatan tanaman. Menurut Yoshida (1981), meningkatnya jumlah anakan produktif/m 2 menyebabkan penurunan terhadap jumlah gabah total per malai.

18 Umur Berbunga dan Umur Panen Rata-rata umur berbunga dan umur panen genotipe yang diuji disajikan dalam Tabel 4. Kisaran rata-rata umur berbunga yaitu antara 79.3-94.7 hari setelah semai dan umur panen antara 105.0-124.0 hari. Galur KP-3-18-1-3 memiliki umur berbunga paling cepat dan umur panen yang paling genjah. Galurgalur yang diuji pada umumnya berbunga lebih cepat atau sama dibandingkan dengan varietas Inpari 13 kecuali KP-4-43-1-4. Tabel 4. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata umur berbunga dan umur panen Galur/ Varietas Umur Berbunga (Hari) Umur Panen (Hari) KP-3-18-1-3 79.3 e 105.0 e KP-3-19-1-2 84.7 cde 106.3 e KP-4-42-2-2 93.3 ab 121.7 ab KP-4-42-2-3 90.7 abc 119.3 abc KP-4-43-1-2 91.0 abc 120.3 abc KP-4-43-1-4 94.7 a 124.0 a KP-4-43-2-4 89.3 abcd 117.0 abcd FG1R 36-1-1 90.0 abcd 111.7 cde I5-10-1-1 83.7 de 109.0 de IW67 89.0 abcd 117.0 abcd Ciherang 92.3 ab 123.0 a Inpari 13 87.7 bcd 113.7 bcde Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%. Umur varietas yang optimum untuk dapat berpotensi hasil tinggi di daerah tropis adalah 120 hari. Umur yang lebih pendek pada umumnya memiliki potensi hasil yang rendah. Hal ini disebabkan karena tanaman tidak mempunyai cukup waktu untuk menggunakan sinar matahari dan hara di dalam tanah, sehingga tidak cukup waktu pertumbuhan vegetatifnya untuk mendukung hasil yang maksimum (Yoshida, 1981). Galur yang memiliki umur panen 120 hari pada penelitian ini yaitu galur KP-4-43-1-2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2010) mengelompokkan umur panen varietas padi menjadi enam kelompok, yaitu ultra genjah (<85 hari), super genjah (85-94 hari), sangat genjah (95-104 hari), genjah (105-124 hari), sedang (125-164 hari), dan berumur dalam (>165 hari). Berdasarkan pengelompokan tersebut

19 semua genotipe termasuk ke dalam tanaman dengan umur genjah. Galur-galur yang diuji memiliki umur panen yang setara dengan Inpari 13 kecuali galur KP-4-43-1-4. Galur ini memiliki umur panen yang lebih lama dibandingkan dengan Inpari 13. Galur KP-3-18-1-3, KP-3-19-1-2, FG1R 36-1-1, dan I5-10-1-1 dapat lebih cepat dipanen dibandingkan dengan varietas Ciherang. Umur tanaman dapat menunjukkan tingkat efisiensi pembentukan hasil. Varietas atau galur yang memiliki potensi hasil rendah dan berumur sangat genjah, akan memiliki tingkat efisiensi laju pembentukan hasil yang rendah. Sebaliknya, varietas atau galur yang memiliki potensi hasil yang tinggi dan berumur dalam tingkat efisiensi pembentukan hasilnya belum tentu optimal (Sulaeman, 2012). Translokasi karbohidrat dan protein dari daun dan batang ke malai dimulai dari 2 minggu sebelum berbunga sampai gabah menjadi masak. Translokasi ini menyebabkan tanaman mengalami senesens (Matsuo et al., 1995). Semakin cepat translokasi karbohidrat dan protein terhenti maka semakin cepat senesens yang terjadi (Yoshida, 1981). Oleh karena itu, pemanenan genotipe yang diuji dilakukan pada saat daun sudah menguning dan sudah mengalami senesens agar karbohidrat dan protein ditranslokasikan ke dalam gabah secara optimum. Panjang Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, dan Jumlah Gabah Total Panjang malai merupakan karakter yang dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah biji per malai. Semakin panjang malai diharapkan dapat meningkatkan jumlah biji per malai. Rata-rata panjang malai genotipe yang diuji disajikan dalam Tabel 5. Kisaran rata-rata panjang malai yaitu 21.4-25.5 cm. Malai terpendek ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan malai terpanjang ditunjukkan oleh galur IW67. Rusdiansyah dalam Sulaeman (2012) mengelompokkan panjang malai dalam tiga kelompok, yaitu pendek ( 20 cm), sedang (20 30 cm), panjang (> 30 cm). Berdasarkan kriteria tersebut, semua genotipe yang diuji termasuk ke dalam tanaman dengan malai sedang. Galur-galur yang diuji pada umumnya memiliki panjang malai yang lebih panjang dibandingkan dengan varietas Inpari 13 kecuali galur KP3-18-1-3 dan KP4-42-2-2. Galur-galur yang diuji memiliki panjang malai

yang tidak berbeda dengan Ciherang kecuali galur KP3-18-1-3. Galur ini memiliki panjang malai yang lebih pendek dibandingkan dengan Ciherang. Rata-rata kerapatan malai galur yang diuji disajikan dalam Tabel 5. Kerapatan malai berkisar antara 4.7-7.3 butir gabah/cm. Kerapatan malai paling tinggi ditunjukkan oleh galur KP-3-18-1-3, sedangkan kerapatan malai paling rendah ditunjukkan oleh galur IW67. Kerapatan malai galur-galur yang diuji pada umumnya setara dengan Ciherang kecuali galur KP-3-18-1-3 dan setara dengan Inpari 13 kecuali galur IW67. Tabel 5. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata panjang malai dan kerapatan malai Galur/ Varietas Panjang Malai (cm) Kerapatan Malai (butir Gabah/cm) KP-3-18-1-3 21.4 c 7.3 a KP-3-19-1-2 24.2 ab 6.1 ab KP-4-42-2-2 23.3 bc 6.7 ab KP-4-42-2-3 23.5 b 6.5 ab KP-4-43-1-2 23.4 b 6.2 ab KP-4-43-1-4 23.8 ab 5.9 bc KP-4-43-2-4 23.7 ab 6.0 b FG1R 36-1-1 23.6 b 6.4 ab 1 5-10-1-1 24.4 ab 6.0 b IW67 25.5 a 4.7 c Ciherang 23.7 ab 5.7 bc Inpari 13 21.4 c 6.5 ab Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%. Kerapatan malai juga dapat digunakan sebagai kriteria visual untuk menentukan tingkat produksi. Kerapatan malai dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran gabah. Galur-galur dengan ukuran gabah yang besar memiliki kerapatan yang lebih kecil dibandingkan galur-galur dengan ukuran gabah yang kecil. Nilai kerapatan malai berhubungan dengan bentuk gabah. Bentuk gabah lebih dominan disebabkan oleh faktor genetik (Sulaeman, 2012). Bentuk gabah merupakan karakter dengan heritabilitas tinggi. Bentuk gabah panjang cenderung mudah patah. Gabah yang pendek sampai sedang lebih sulit patah dibandingkan gabah yang panjang selama penggilingan. Bentuk dan ukuran gabah berpengaruh pada produksi beras kepala dan beras utuh. Gabah dengan 20

bentuk bulat menghasilkan lebih banyak beras kepala dan beras utuh dibandingkan bentuk gabah panjang (Jennings et al., 1979). Jumlah gabah total dalam satu malai tergantung pada potensi varietas, lingkungan, dan unsur hara (Yoshida, 1983). Jumlah gabah total disajikan dalam Tabel 6. Inpari 13 memberikan jumlah gabah total yang paling banyak yaitu 161.8, sedangkan jumlah gabah total paling sedikit ditunjukkan oleh galur IW67 yaitu 120.2. Jumlah gabah total galur-galur yang diuji pada umumnya tidak berbeda nyata dengan Ciherang dan Inpari 13 kecuali galur IW67. Galur ini memiliki jumlah gabah total yang setara dengan Ciherang tetapi lebih sedikit dibandingkan Inpari 13. Tabel 6. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata jumlah gabah total dan jumlah gabah isi Galur/ Varietas Jumlah Gabah Total Jumlah Gabah Isi KP-3-18-1-3 155.2 ab 114.8 a KP-3-19-1-2 147.9 ab 107.2 ab KP-4-42-2-2 157.2 ab 107.1 ab KP-4-42-2-3 153.1 ab 105.8 ab KP-4-43-1-2 144.9 ab 91.1 ab KP-4-43-1-4 139.7 ab 78.2 b KP-4-43-2-4 142.9 ab 109.8 a FG1R 36-1-1 152.1 ab 100.2 ab I 5-10-1-1 146.4 ab 113.4 a IW67 120.2 b 92.5 ab Ciherang 135.0 ab 88.2 ab Inpari 13 161.8 a 100.1 ab Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%. 21 Suhu yang rendah pada fase reproduktif dapat meningkatkan produksi jumlah gabah. Radiasi sinar matahari pada fase reproduktif juga memberikan pengaruh yang jelas terhadap jumlah gabah (Yoshida and Parao, 1976). Tingginya radiasi matahari yang dikombinasikan dengan suhu yang rendah selama fase reproduktif cenderung dapat meningkatkan produksi gabah (Yoshida, 1983). Radiasi sinar matahari yang rendah (< 350 cal/cm 2 atau sebesar 853.8 µmol/m 2 /s ) dan suhu yang rendah (25 0 C) pada saat pembungaan pada penelitian membuat bunga tidak membuka. Hal ini menyebabkan jumlah gabah yang dihasilkan meningkat disertai dengan peningkatan jumlah gabah hampa.

22 Persentase gabah isi dipengaruhi oleh iklim, tanah, varietas, dan pupuk nitrogen (Yoshida and Parao, 1976). Abdullah et al. (2004) menyatakan bahwa persentasi gabah isi per malai sangat menentukan potensi hasil maksimum suatu varietas padi. Hasil fotosintat (karbohidrat), translokasi, serta akumulasinya dalam gabah sangat menentukan tingkat pengisian gabah. Gambar 2. Persentase gabah isi dan presentase gabah hampa beberapa genotipe Persentase gabah isi pada umumnya sekitar 85 %. Rendahnya persentase gabah isi biasanya mengindikasikan cuaca yang kurang menguntungkan pada saat pembungaan, periode pemasakan, dan kekurangan hara (Yoshida, 1983). Persentase gabah isi semua genotipe yang diuji menunjukkan angka 56.0-77.5 % (< 85 %), sedangkan persentase gabah hampa genotipe yang diuji menunjukkan angka diantara 22.5-44.0 %. Persentase gabah hampa normal menurut Jennings et al. (1979) yaitu sekitar 10.0-15.0 %. Tingginya persentase gabah hampa pada semua genotipe yang diuji disebabkan karena kondisi cuaca yang tidak menguntungkan untuk pengisian biji. Suhu (25 0 C) disertai intensitas sinar matahari yang rendah (<853.8 µmol/m 2 /s) menyebabkan peningkatan persentase jumlah gabah hampa.

23 Bobot 1,000 Butir Bobot 1,000 butir gabah dapat digunakan sebagai penanda ukuran gabah. Semakin tinggi bobot 1,000 butir maka ukuran gabah semakin besar. Bobot 1,000 butir galur-galur yang diuji disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh genotipe terhadap rata-rata bobot 1,000 butir gabah isi Galur/ Varietas KP-3-18-1-3 KP-3-19-1-2 KP-4-42-2-2 KP-4-42-2-3 KP-4-43-1-2 KP-4-43-1-4 KP-4-43-2-4 FG1R 36-1-1 I5-10-1-1 IW67 Ciherang Inpari 13 Bobot 1,000 butir (g) 28.26 ab 27.30 ab 29.72 a 29.36 ab 30.50 a 27.32 ab 27.24 ab 28.46 ab 23.55 b 29.58 ab 28.13 ab 28.95 ab Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%. Rata-rata bobot 1,000 butir beberapa genotipe yang diuji sekitar antara 23.55-30.50 gram. Bobot 1,000 butir paling rendah ditunjukkan oleh galur I5-10- 1-1, sedangkan bobot 1,000 butir paling tinggi ditunjukkan oleh galur KP-4-43-1-2 (Tabel 7). Variasi bobot 1,000 butir pada genotipe yang diuji dipengaruhi oleh ukuran gabah dan temperatur (Yoshida, 1983). Butir gabah yang besar mempunyai bobot gabah yang lebih tinggi dibanding butir gabah kecil (Abdullah et al., 2004). Bobot 1,000 butir galur yang diuji pada umumnya setara dengan bobot 1,000 butir kedua pembandingnya (Ciherang dan Inpari 13). Produktivitas Bobot gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) dalam ton/ha diperoleh setelah mengkonversikan nilai bobot panen kering per jumlah rumpun di setiap petak ke luasan satu hektar. Nilai GKG ini dapat dijadikan

sebagai ukuran tingkat produktivitas suatu genotipe. Semakin tinggi nilai GKG maka semakin tinggi pula tingkat produksi atau daya hasil. Nilai rata-rata bobot gabah kering giling disajikan dalam Tabel 8. Nilai rata- rata bobot gabah kering panen antara 2.98-6.68 ton/ha, sedangkan rata-rata bobot gabah kering giling antara 2.54-4.98 ton/ha. Varietas Ciherang memiliki rataan bobot gabah kering panen paling tinggi, sedangkan varietas Inpari 13 memiliki rataan bobot gabah kering giling paling tinggi. Bobot gabah kering panen dan bobot gabah kering giling paling rendah ditunjukkan oleh galur FG1R 36-1-1. Berdasarkan uji Beda Nyata Jujur, semua galur yang diuji memiliki bobot gabah kering panen yang setara dengan Inpari 13, sedangkan galur KP-3-19-1-2 dan FG1R 36-1-1 menunjukkan bobot gabah kering panen yang lebih rendah dibandingkan dengan Ciherang. Galur KP-4-42-2-2, KP-4-42-2-3, KP-4-43-1-2, KP-4-43-2-4, dan galur IW67 menunjukkan produktivitas gabah kering giling yang setara dengan kedua pembandingnya (Ciherang dan Inpari 13). Kelima galur tersebut dapat diuji lebih lanjut pada uji daya hasil lanjutan pada lokasi yang berbeda. Tabel 8. Pengaruh genotipe terhadap terhadap produktivitas gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) Galur/ Varietas Produktivitas GKP (ton/ha) Produktivitas GKG (ton/ha) KP-3-18-1-3 4.90 abc 4.14 ab KP-3-19-1-2 3.85 bc 3.48 abc KP-4-42-2-2 5.93 ab 4.65 a KP-4-42-2-3 5.75 ab 4.94 a KP-4-43-1-2 5.33 abc 4.47 a KP-4-43-1-4 4.87 abc 2.86 bc KP-4-43-2-4 5.90 ab 4.74 a FG1R 36-1-1 2.98 c 2.54 c I5-10-1-1 4.00 abc 3.72 abc IW67 5.48 abc 4.64 a Ciherang 6.68 a 4.66 a Inpari 13 5.60 abc 4.98 a Keterangan : Angka yang diiuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%, GKP= gabah kering panen, GKG = gabah kering giling 24

25 Produktivitas gabah kering panen yang dihasilkan berbeda dengan produktivitas gabah kering giling. Hal ini disebabkan karena persentase gabah hampa setiap galur berbeda. Penelitian ini juga menunjukkan hasil gabah kering giling galur-galur mengalami penurunan dibandingkan penelitian sebelumnya. Sjafii et al. (2011) melaporkan bahwa galur KP-4-42-2-3 memiliki produktivitas GKG yang paling tinggi dibandingkan dengan semua galur dan varietas pembanding yang diuji (5.13 ton/ha). Penurunan gabah kering giling tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor. Lahan yang digunakan pada penelitian berbeda dengan lahan penelitian sebelumnya, sehingga tingkat kesuburan yang berbeda kemungkinan mempengaruhi produksi gabah kering giling. Cuaca yang tidak optimum pada saat penelitian mempengaruhi produksi gabah kering. Radiasi matahari yang rendah dapat menginduksi peningkatan jumlah gabah hampa. Radiasi matahari 400 cal/cm 2 per jam (975.8 µmol/m 2 /s) merupakan radiasi optimum di daerah tropis (Murata dan Matsushima, 1975). Radiasi matahari pada penelitian ini kurang dari 350 cal/cm 2 (853.8 µmol/m 2 /s), sehingga hasil yang didapatkan tidak optimum. Selain itu, serangan hama beluk dan penyakit keresek juga mempengaruhi hasil. Penyakit tersebut muncul karena curah hujan yang cukup tinggi, sehingga kelembaban udara juga meningkat. Gambar 3. Potensi hasil berdasarkan hitungan beberapa genotipe