3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah pengumpulan data survei lapang, pengumpulan data sekunder (pendukung), serta pengolahan citra dan analisis data. Survei lapang pengukuran kedalaman perairan dilakukan pada tanggal 4, 5, dan 6 Juni 2010, pengumpulan data sekunder (data pasang surut) dilakukan pada bulan Oktober-November 2010, dan tahap akhir dilakukan pengolahan citra dan analisis data akhir pada bulan Desember 2010- Januari 2011. Letak geografis lokasi pengambilan data lapang di perairan Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta terletak pada koordinat 106 33 BT -106 38 BT dan 5 41 LS -5 46 LS (Gambar 5). 3.2. Alat dan Bahan Pembuatan peta batimetri ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan berupa data Satelit IKONOS yang telah digabung menjadi Citra IKONOS Pan-Sharpened dengan resolusi spasial 1 meter yang sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik (Lampiran 1). Citra IKONOS Pan- Sharpened ini diakuisisi pada tanggal 8 Juli 2008 dengan koordinat liputan citra 5 40 39 LS 5 46 15 LS (669998,02 mt 679749,15 mt) dan 106 32 7 BT 106 37 23 BT (9361898,89 mu 9372219,68 mu). Selain data satelit, data kedalaman yang diambil pada saat survei lapang juga digunakan sebagai data primer. 14
Gambar 5. Lokasi Penelitian di Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 15
16 Pada saat survei lapang, data pasang surut diukur untuk digunakan sebagai koreksi kedalaman perairan. Selain itu data sekunder juga digunakan pada penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah data ramalan pasang surut perairan Kepulauan Seribu tahun 2008 dan 2010 yang diperoleh dari Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) dengan titik stasiun terdekat yang digunakan adalah stasiun Tanjung Priok. Alat yang digunakan dalam penelitian terbagi menjadi dua kategori, yaitu perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel, Idrisi Andes, dan ArcGIS 9.3. Perangkatperangkat lunak tersebut digunakan untuk pengolahan citra (Idrisi dan ArcGIS) dan analisis data (M. Excel). Perangkat keras yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Personal Computer (PC) untuk analisis data. 2. Printer untuk mencetak dokumen. 3. Global Positioning System (GPS) Map 420 Si untuk menentukan posisi dan pengukuran kedalaman perairan pada titik-titik pengamatan. 4. Papan Pasang Surut (Pasut) yang digunakan untuk mengukur tinggi rendah muka air pada saat penelitian dilakukan. 3.3. Metode Perolehan Data 3.3.1. Kedalaman Pengambilan data lapang dilakukan dengan pengukuran secara langsung (ground check) pada lokasi penelitian. Parameter yang diambil pada survei lapang ini adalah kedalaman dan pasang surut. Karena lokasi penelitian
17 merupakan perairan dangkal, alat transportasi yang digunakan pada saat pengukuran berupa perahu kecil bertenaga motor. Pada perahu dipasang alat instrumentasi GPS Sounder pada bagian salah satu sisi perahu. Sebelum dilakukan perekaman data GPS Sounder diatur ke pengaturan merekam informasi, seperti kedalaman, secara otomatis selama suvey lapang berlangsung. Data yang tersimpan dalam GPS Sounder dalam format GDB file kemudian ditransfer ke dalam PC untuk disimpan dalam format text (*.txt) dan diolah. Pengambilan data kedalaman pada Karang Congkak dilakukan sekitar pukul 09.00-15.00, dan Karang Lebar dilakukan sekitar pukul 07.40-12.00 dan 12.30-15.30 WIB. Metode pengambilan data dilakukan dengan membuat suatu jalur berbentuk zig-zag pada bagian dalam tubir gobah baik Karang Congkak maupun Karang Lebar, jalur tersebut merupakan jalur yang dapat dilalui oleh perahu kecil yang biasa digunakan oleh nelayan. 3.3.2. Pasang Surut Karena waktu pengambilan data lapang dengan waktu perekaman citra berbeda, maka ada kemungkinan perbedaan kedalaman pada wilayah kajian yang diteliti. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi kedalaman perairan dengan melakukan kalibrasi data kedalaman lapang terhadap pasang surut. Koreksi kedalaman perairan ini didasari oleh kondisi muka air laut yang bersifat dinamis sehingga adanya perbedaan pasang surut dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi perbedaan data kedalaman yang terukur. Koreksi kedalaman perairan dilakukan dengan mengkalibrasi data kedalaman lapang terhadap data kedalaman perairan pada waktu perekaman citra. Pada proses koreksi kedalaman ini menggunakan data pasang surut pada saat
18 survei lapang, data ramalan pasang surut pada waktu pengambilan data kedalaman lapang dan data ramalan pasang surut pada waktu perekaman citra. Pengambilan data pasang surut dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan papan pasut dan GPS Sounder yang merekam data secara otomatis pada saat melakukan survei lapang. Perolehan data dengan menggunakan papan pasang surut biasanya diletakkan pada daerah yang terendam dengan air laut di salah satu dermaga Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Kemudian data diperoleh dengan melakukan pengamatan terhadap tinggi rendahnya muka air laut yang terkena papan pasut setiap 30 menit. Karena data hasil pengamatan lapang dengan menggunakan papan pasang surut tidak dilakukan sesuai dengan waktu survei lapang yang dilakukan, maka data tidak dapat digunakan. Data pasang surut dari pemeruman GPS Sounder digunakan untuk melihat pola pasang surut selama 2 hari pengamatan, namun untuk pengoreksian kedalaman perairan terhadap pasang surut menggunakan data ramalan pasang surut DISHIDROS TNI-AL bulan Juni 2010 dari stasiun terdekat, yaitu Tanjung Priok. Karena data ramalan pasang surut dengan data pengukuran di lapang tidak berbeda jauh dan data ramalan merupakan data 30 hari sehingga pola pasang surut dapat terlihat lebih jelas, maka data ini cukup baik untuk digunakan pada pengoreksian kedalaman perairan pada saat survei lapang. Koreksi pasang surut dilakukan dengan cara melakukan kalibrasi data pasang surut pada waktu pengambilan data lapang terhadap data pasang surut pada saat perekaman citra, yaitu pada pukul 10.30 WIB. Hal ini dilakukan agar informasi dari data kedalaman lapang sama dengan informasi yang diperoleh data hasil perekaman citra.
19 3.4. Metode Pengolahan Citra Pemrosesan citra dilakukan secara bertahap, yaitu pengolahan citra awal dan pengolahan citra lanjutan. Pemrosesan citra awal meliputi Pemulihan citra (image restoration). Pemulihan citra terdiri dari koreksi geometrik dan radiometrik, dalam penelitian ini citra yang digunakan telah mengalami koreksi geometrik dan radiometrik. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada pengolahan citra lanjutan yang meliputi tahap pengekstraksian citra untuk memperoleh nilai reflektansi atau digital number (DN) citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga yang telah dikembangkan. Pemotongan citra IKONOS Pan-Sharpened disesuaikan dengan lokasi penelitian yang diteliti, yaitu perairan dangkal Karang Lebar. Potongan citra ini digunakan untuk mengekstrak nilai DN pada area kajian (training area) yang diteliti. Masking citra dilakukan untuk memisahkan obyek laut dan obyek yang bukan laut, dimana obyek yang bukan laut diberi nilai nol. Masking citra ini perlu dilakukan sebelum citra digunakan untuk pengolahan lebih lanjut, hal ini bertujuan untuk memfokuskan area kajian ke daerah perairan pada saat pengolahan data citra. Data yang diperoleh pada saat ground truth/check disimpan ke dalam bentuk file berekstensi GDB, kemudian dikonversi ke format text (*.txt). Data kedalaman ini direduksi dengan data pasang surut (pasut) dan data koreksi lainnya sehingga diperoleh nilai kedalaman tanpa dinamika gelombang air laut (Selamat dan Nababan, 2009). Pada tahap ekstraksi citra dilakukan analisis data dengan membandingkan nilai kedalaman in situ dan nilai reflektansi gelombang yang dipancarkan dari
20 kanal satelit yang berupa nilai digital (digital number) yang disajikan dalam bentuk grafik Cartesian. Ketiga kanal citra dianalisis untuk melihat perbandingan antara ketiga kanal dan menentukan kanal citra yang paling baik untuk digunakan pada proses pemetaan batimetri (Gambar 6). Digital Number (DN) ketiga kanal citra IKONOS Pan-Sharpened hasil ekstraksi dari citra yang merupakan nilai pantulan radiansi (reflektansi) dengan kisaran panjang gelombang sinar tampak (kanal biru, hijau dan merah) dianalisis relasinya terhadap nilai kedalaman aktual. Agar dapat mengetahui kekuatan relasi dari kedua variabel tersebut, maka dilakukan uji statistik terhadap persamaan regresi linier yang diperoleh dari data hasil olahan ketiga kanal citra. Nilai koefisien korelasi linier (r) dan determinansi (R 2 ) akan diperoleh dari hasil uji regresi linier masing-masing persamaan regresi. 3.5. Pemetaan Batimetri Informasi yang diperoleh dari hasil pemeruman adalah data kedalaman dan data pasang surut. Data kedalaman ini akan digunakan untuk menentukan model dugaan terbaik dari ketiga kanal Citra IKONOS Pan-Sharpened dalam mengestimasi kedalaman perairan di Karang Congkak dan Karang Lebar. Data pasang surut digunakan untuk pengkoreksian data kedalaman itu sendiri seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
21 Citra IKONOS yang sudah terkoreksi Survei lapang Data sekunder Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL Cropping citra 1. Kedalaman (Z lapang) 2. Pasang surut 1. Pasang surut 2008 (waktu perekaman citra) 2. Pasang surut 2010 (waktu survei) Masking citra awal Tracking area Koreksi kedalaman lapang terhadap pasang surut (koreksi pasang surut) Nilai reflektansi gelombang berupa digital number (DN) Kedalaman terkoreksi Pengolahan citra (Perhitungan nilai X) dimana, X = ln (Vi-VS). Penentuan kanal dengan model regresi terbaik Kanal terpilih (model regresi terbaik) Uji Akurasi (RMS Error) Masking citra akhir Peta batimetri perairan dangkal dengan model nilai digital asli Gambar 6. Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit IKONOS Pan-Sharpened
22 Pada penelitian ini, kedalaman suatu perairan diestimasi dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1985). Transformasi algoritma Lyzenga (1985) ini mampu memberikan informasi kedalaman pada suatu citra satelit, namun untuk mentransformasikannya algoritma ini hanya membutuhkan 1 kanal terbaik dari citra tersebut agar mampu membedakan antar obyek dalam citra secara nyata. Persamaan algoritma Lyzenga (1985) secara umum dinyatakan sebagai berikut (Wouthuyzen, 2001): Z 1 1 = k * ln( V-VS ) + k * ( lnv O )... (3) 2 2 dimana, Z V V S k V O = Kedalaman (m), = Sinyal radians yang diamati pada citra (DN), = Bagian sinyal hasil pembaruan radiasi di atmosfir, kolom air, dan permukaan laut, = Koefisien attenuasi, dan = Faktor sensitifitas yang meliputi kontribusi irradians matahari di permukaan air, pantulan dasar perairan, transmisi atmosfir dan pengaruh dari sensor itu sendiri. Fungsi linier kedalaman (Z) dapat diperoleh dengan mengasumsikan nilai radians (V) pada Persamaan 3 bervariasi terhadap kedalaman perairan. Nilai V S diduga dengan mengasumsikan bahwa perairan dalam (>40 m) nilai radians pada panjang gelombang biru telah terserap habis oleh kolom air dalam tersebut, sehingga memiliki DN = 0 dan jika DN bernilai lebih dari 0, maka nilai tersebut merupakan pengaruh dari faktor lain seperti pembauran dari atmosfir (Wouthuyzen, 2001). Z = Sudut (Slope)* X + Konstanta... (4) dimana, X = ln (V-V S ), Sudut (Slope) 1 = k, 2 1 k * 2 Konstanta = ( lnv O )
23 Setelah kedua data dari olahan citra IKONOS dan survei lapang diperoleh, dilakukan estimasi akurasi citra satelit untuk mengetahui bahwa data yang diperoleh dari citra satelit baik untuk digunakan dalam pemetaan batimetri. Estimasi akurasi dilakukan dengan membandingkan data citra dengan data survei lapang sebagai validasi data kedalaman. Analisis regresi yang dilakukan pada setiap model regresi linier menunjukkan seberapa baik model tersebut dapat digunakan untuk memetakan kedalaman perairan dengan melihat nilai koefisien korealasi dan determinasi dari hasil analisis tersebut. Koefisien korelasi linier ini digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan linier antara kedua variabel dalam persamaan regresi linier yang dianalisis (Walpole, 1997). Rentang nilai koefisien korelasi linier ini adalah -1 hingga 1(-1 r 1). Koefisien korelasi dapat dikatakan memiliki hubungan linier yang baik bila mendekati -1 atau 1. Berikut adalah formula dari koefisien korelasi (Walpole, 1997): rr = nn nn nn nn ii=1 xx ii yy ii ii=1 xx ii ii=1 yy ii nn nn xx 2 nn ii ii=1 xx ii 2 ii=1 nn nn yy 2 nn ii ii=1 yy ii 2 ii=1... (5) dimana, r x y n = koefisien korelasi = nilai peubah bebas ke-i (nilai digital masing-masing kanal) = nilai peubah tak bebas ke-i (nilai kedalaman aktual) = jumlah pasangan data Koefisien determinasi menyatakan proporsi variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen (Walpole, 1997). Nilai besaran koefisien determinasi merupakan hasil kuadrat dari koefisien korelasi, sehingga nilai koefisien ini selalu bernilai positif antara nol dan satu (0 R 2 1). Nilai koefisien determinasi akan lebih baik apabila nilai tersebut semakin mendekati 1, yang menyatakan bahwa sekitar 100% nilai variabel dependen dapat
24 dijelaskan oleh variasi variabel dependen. Dari hasil uji koefisien determinasi ini dapat diketahui persamaan regresi yang baik untuk mengestimasi kedalaman perairan dangkal pada daerah kajian. Residual merupakan perbedaan antara nilai in situ dan nilai hasil prediksi dari suatu pendugaan. Residual ini merepresentasikan porsi dari validasi data yang tidak dapat dijelaskan dari model (Mathworks, 2011). Uji analisis residual digunakan untuk mengetahui seberapa besar ketepatan data hasil estimasi terhadap data in situ yang dibatasi oleh suatu selang kepercayaan antara kedua parameter tersebut. Kalkulasi nilai akurasi untuk estimasi data satelit menggunakan formula Root Mean Square error (RMSE) yang dinyatakan oleh Walpole (1997) untuk menunjukkan besarnya galat antara nilai kedalaman aktual dan nilai kedalaman estimasi. Persamaan untuk menentukan nilai RMSE dapat dinyatakan sebagai berikut. RMSE = n i= 1 ( a b ) i N 2 i 2... (6) dimana, a i = nilai lapangan; b i = nilai interpolator data; N = total number dari nilai validasi. Selain itu, untuk mengindentifikasi kesalahan dan ketelitian dalam suatu klasifikasi citra yang telah dikelaskan ke dalam beberapa kelas kedalaman juga dilakukan uji akurasi dengan menggunakan matriks kesalahan atau matriks konfusi (confusion matrix). Evaluasi akurasi ini menentukan seberapa besar persentase ketelitian antara nilai kedalaman lapang dan nilai kedalaman duga yang telah dibentuk menjadi kelas-kelas kedalaman baru dengan selang kelas tertentu.
25 Nilai-nilai yang dihasilkan dari matriks kesalahan adalah producer s accuracy, user s accuracy, dan overall accuracy. Berikut adalah formula yang digunakan untuk ke empat nilai di atas. Producer' s accuracy = Xii Xi+ x100%... (7) X ii User' s accuracy = x100%... (8) X + i r X ii i= 1 Overall accuracy = x100%... (9) N dimana, N = jumlah piksel setiap kelas pada training area r = jumlah kelas X i+ = X ij (jumlah kolom pada baris ke-i) X +j = X ij (jumlah kolom pada baris ke-j) Evaluasi akurasi dilakukan pada seluruh data dengan mengkelaskan data ke dalam beberapa kelas. Penentuan selang kelas kedalaman dilakukan berdasarkan histogram hasil estimasi dari citra (Lampiran 2). Pengkelasan ini dilakukan dengan mengukur nilai-nilai pada tiap puncak di histogram dan menggunakan nilai-nilai tersebut sebagai acuan untuk memetakan kedalaman estimasi dan kedalaman aktual ke rentang kelas baru. Kemudian data kedalaman hasil estimasi dari algroritma dievaluasi terhadap data kedalaman aktual. Hasil akurasi dari perbandingan kedua data kedalaman tersebut disajikan seperti pada Tabel 2.
26 Tabel 2. Matriks kesalahan (confusion matrix) Data Acuan Training Area Diklasifikasikan Ke Kelas A B... D Total Baris X k+ User Accuracy (X kk /X k+) A X ii............... B....................................... D............ Total Kolom X +k N Producer X kk /X Accuracy k Sumber : Hildanus (2002).