BAB IV GAMBARAN UMUM KAMPUNG TARUNG DAN RUMAH ADAT SUMBA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. wujud hasil kebudayaan seperti nilai - nilai, norma-norma, tindakan dalam

Arsitektur Dayak Kenyah

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB IV MAKNA LIMBE BAGI MASYARAKAT DENGKA MASA KINI. masyarakat Nusak Dengka telah menganut agama Kristen, namun dalam

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

Workshop Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda Kab. Sumba Barat Daya Prov. Nusa Tenggara Timur

ADAPTASI TEKNOLOGI DI RUMAH ADAT SUMBA

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. setiap etnis menebar diseluruh pelosok Negeri. Masing masing etnis tersebut

BAB I PENDAHULUAN. istiadat. Wujud kedua, adalah sistem sosial atau social sistem yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap lingkungan budaya senantiasa memberlakukan nilai-nilai sosial budaya yang

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA DEWA JARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang

SIMBOL SIMBOL KEBUDAYAAN SUKU ASMAT

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN AJIBATA KABUPATEN TOBA SAMOSIR ( )

No Nama Umur Pekerjaan Alamat. 1 Yohanes 60 tahun Pensiunan Pegawai. 2 Adrianus 45 tahun Guru Agama Desa. 3 April 25 Tahun Pembuat senjata Desa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seni merupakan salah satu bentuk unsur kebudayaan manusia, baik

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

TEKNOLOGI ARSITEKTUR TRADISIONAL RUMAH HONAI SUKU DANI PAPUA

BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

UKDW BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

BAB V PENUTUP. selamatan dan hajatan. Dalam pelaksanaan hajatan dan selamatan tersebut

BAB II GAMBARAN UMUM DESA SIGAOL MARBUN KECAMATAN PALIPI. pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Utara yang merupakan daerah pemekaran

BAB I PENDAHULUAN. hal yang tercakup seperti adat serta upacara tradisional. Negara Indonesia

STRUKTUR KONSTRUKSI RUMAH JOGLO

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. lebih dulu telah merdeka bahkan jauh sebelum indonesia merdeka.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN , Kelurahan Pammase terdiri dari 3 (tiga) lingkungan:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nias merupakan salah satu pulau yang kaya dengan peninggalan megalitik

NILAI-NILAI VERNAKULAR PADA ARSITEKTUR MASYARAKAT WANUKAKA, SUMBA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. 2003: 13). Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

WARISAN BUDAYA TAK BENDA KAB. MERANGIN, JAMBI TARI SAYAK & TARI PISANG

BAB I PENDAHULUAN. tradisional yang berasal dari daerah Kalimantan Barat yang berbentuk selendang.

Dari Bukit Turun Ke Sawah PLPBK di Kawasan Heritage Mentirotiku dan Lakessi

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Besarnya jumlah mahar sangat mempengaruhi faktor hamil di luar nikah. Dalam

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Kabupaten Tapanuli Utara

I. PENDAHULUAN. yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

RUMAH ADAT LAMPUNG. (sumber : foto Tri Hidayat)

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Gorga Sopo Godang merupakan sebuah tempat atau rumah yang hanya memiliki

BAB II. KONDISI WILAYAH DESA ONJE A. Letak Geografi dan Luas Wilayahnya Desa Onje adalah sebuah desa di Kecamatan Mrebet, Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tari sebagai ekspresi jiwa manusia dapat diwujudkan dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Ayu Fauziyyah, 2014

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial

D. Dinamika Kependudukan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB II GAMBARAN UMUM DESA SIMPANG PELITA. A. Geografis dan demografis desa Simpang Pelita

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI MELARANG ISTRI MENJUAL MAHAR DI DESA PARSEH KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN

Tradisi Membangun Arsitektur Tradisional Folajiku Sorabi, Tidore Kepulauan

TARI GANGERENG ATAU TARI GIRING-GIRING

Bab V PROGRAM GERAKAN HIDUP HEMAT

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU BATANG KUIS. merupakan sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam bagian Kabupaten Deli

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

berbentuk persegi panjang yaitu memanjang dari selatan ke utara. Di desa ini

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. Dari yang terendah: Mate di Bortian (meninggal dalam kandungan), Mate Posoposo

BAB I PENDAHULUAN. beragam ketentuan adat yang dimiliki. Kehidupan setiap etnis berbeda-beda. Masyarakat

Transkripsi:

BAB IV GAMBARAN UMUM KAMPUNG TARUNG DAN RUMAH ADAT SUMBA 4.1. Letak dan Batas Kampung Tarung Sumba Barat adalah sebuah kabupaten yang memiliki beragam daya tarik wisata. Salah satu daya tarik wisata dan keunikannya adalah perkampungan adat, yang dapat kita lihat dari rumah adat Sumba yang berada di Kampung Tarung, yang menjadi desa tradisional ditengah kemajuan modernisasi. Kampung Tarung terletak persis diatas sebuah bukit dengan ketinggian 20m 6, membuatnya seakan eksklusif, kampung Tarung bukan hanya sekadar kampung biasa melainkan juga berfungsi sebagai institusi sosial dan keagamaan (Marapu). Gambar 4.1 Peta Kampung Tarung Sumber: google maps 6 Sumber ketinggian kampung Tarung dari google maps 23

Kampung Tarung secara administrasi berada dibawah Kelurahan Soba Wawi, Kecamatan Loli, namun secara letak geografis Kampung Tarung berada tepat dijantung Kota Waikabubak. Kampung Tarung memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Belaciku, sebalah utara berbatasan dengan Kampung Waitabar, sebelah berbatasan dengan Kampung Prekelembung. 7 barat berbatasan dengan persawahan, sebelah timur 4.2. Kondisi Penduduk, Mata Pencaharian, dan Tingkat pendidikan Kampung Tarung memiliki penduduk sebanyak 209 jiwa, yang terdiri dari perempuan 105 orang dan laki-laki 104 orang. Di dalam kampung Tarung jumlah kartu keluarga (kk) sebanyak 56 kk, dalam satu sebuah rumah, biasanya didiami satu sampai tiga kepala keluarga. Dengan jumlah rumah sebanyak 38 buah, dalam 38 buah rumah yang berada di kampung Tarung, terdapat 12 rumah adat yang menyimpan benda-benda pusaka yang didalamnya memiliki fungsi adat, 12 rumah adat juga ditinggali sama seperti 26 rumah adat lainnya yang membedakan 12 rumah adat tersebut memiliki fungsi adat salah satunya menjalankan ritual adat di kampung Tarung. 8 Di kampung Tarung mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Berdasarkan data kelurahan Soba Wawi sebanyak 109 orang bekerja sebagai petani dan hanya 1 orang yang bekerja sebagai PNS. Bidang pertanian merupakan satu-satunya sumber pendapatan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kampung Tarung, produk yang biasanya dihasilkan adalah padi dan sayur-sayuran. Selain pekerjaan utama sebagai petani, masyarakat kampung Tarung memiliki pekerjaan sampingan yang digeluti oleh perempuan Sumba yaitu menenun kain, hasil tenun biasanya dijual tetapi tidak dipasarkan melainkan dijual di kampung sendiri lalu ditawarkan pada setiap wisatawan yang datang di Kampung Tarung. Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan saat ini selain untuk mendapatkan ilmu pengetahun, pendidikan merupakan sarana yang baik untuk bisa bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang baik diera seperti sekarang ini. 7 Sumber data batas-batas wilayah didapat dengan melakukan wawancara dengan Rato Lado. 8 Sumber data jumlah penduduk penduduk, jumlah kartu keluarga (kk), dan jumlah rumah merupakan data yang didapat dari kelurahan Sobawawi. 24

Begitu juga yang ingin ditunjukan masyarakat kampung Tarung yang mulai menyadari bahwa pendidikan itu sangat penting, dengan mulai menyekolahkan anak-anak mereka. Berikut dibawah ini data anak-anak yang bersekolah : Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan yang Sedang Ditempuh No Tingkat Pendidikan Jumlah 1 SD 41 2 SMP 16 3 SMA 11 Total 58 Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 2014 Secara umum masyarakat kampung Tarung menganut sebuah sistem kepercayaan yang disebut dengan Marapu, secara singkat dapat dijelaskan bahwa Marapu merupakan suatu keperayaan kepada arwah para leluhur yang diyakini mampu memberikan keselamatan dan ketentraman serta kekuatan tertinggi. Namum perlahan masyarakat kampung Tarung mulai memeluk agama-agama yang diakui oleh Negara. Berikut dibawah ini data jumlah pemeluk agama yang berada di kampung Tarung : Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan lainnya No Agama Jumlah 1 Marapu 81 2 Kristen Protestan 48 3 Khatolik 81 Total 209 Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 2014 9 9 Data ini berasal dari tahun 2014 yang dimiliki oleh kelurahan Sobawawi. Untuk tahun 2015 dan 2016 data-data diatas belum ada di kelurahan Sobawawi. Saat peneliti ingin melakukan verifikasi data mengalami keterbatasan waktu dikarenakan pada saat yang bersamaan ada ritual adat wulla poddu di kampung Tarung. 25

4.3. Klasifikasi Sosial dan Perkawinan Antara Kelas Sosial Secara umum masyarakat Sumba terbagi dalam tiga kategori kelas, yaitu maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka) dan ata (budak). Pengklasifikasian semacam ini lebih terasa di bagian Sumba sebelah timur, dan masyarakat Sumba bagian barat pengklasifikasian tidak begitu sama seperti yang terjadi pada Sumba bagian Timur yang menggunakan sistem bangsawan dan budak, di Sumba bagian barat sistem klasifikasi sosial jaman dulu pernah menggunakan sistem yang bangsawan namum sampai saat ini yang bisa ditemui hanya sistem sosial berdasarkan kabissu (klan) saja sistem bangsawan dan budak sudah tidak ada lagi. 10 Sejalan dengan konsep ole dadi atau konsep keyakinan darah daging yang hanya diturunkan dari pihak ibu, orang Sumba mewarisi kelas soial ini dari garis keturunan ibu mereka. Dengan demikian seorang lelaki dari golongan merdeka atau budak bisa meningkatkan status keturunannya dengan menikahi wanita dari kelas yang lebih tinggi. Tapi tentu saja para wanita bangsawan cenderung menikahi lelaki dari keluarga-keluarga terpandang (bangsawan) yang bisa menunjang hidup mereka dengan sepantasnya. Sementara alasan para lelaki bangsawan menghindari pernikahan dengan wanita kelas rendah sudah barang tentu karena tak ingin turunan mereka turun kelas. Di Sumba Timur yang sitem pengklasifikasiannya lebih ketat, bahkan ada label untuk anak-anak semacam ini. Menurut Kapita (1976) anak-anak seorang lelaki maramba yang kawin dengan wanita kabihu disebut ana mandamu dan derajat mereka setara dengan derajat si ibu yaitu kabihu. Sedangkan anak-anak lelaki maramba yang kawin dengan budak disebut ana kalawihi dan derajat mereka bahkan lebih rendah dari ana mandamu. Di Sumba Barat kelas sosial terendah tidak disebut ata tapi lebih dikenal dengan istilah madeingu. Golongan ini merupakan budak turun temurun yang katanya berperilaku jelek (tidak taat atau suka mencuri). Lebih tinggi dari madeingu ada golongan yang di sebut ana ata uma (anak dalam rumah) yaitu orang-orang yang secara sukarela tinggal, 10 Untuk masyarakat Sumba bagian Timur kabihu merupakan pengklasifikasian sosial sedangkan untuk di Sumba bagian barat kabishu atau kabisu diterjemahkan sebagai klan. Dan untuk masyarakat Sumba bagian Barat sistem sosial berdasarkan bagsawan dan budak sudah tidak dijumpai lagi, yang ada hanya kasbisu (klan) sedangkan di Sumba bagian Timur masih ada beberapa tempat yang masih menggunakan pengklasifikasian sosial berdasarkan bangsawan dan budak. 26

bekerja dan bergantung hidup kepada kaum bangsawan 11 Ana ta uma ada yang turunan budak tapi banyak juga yang berasal dari kelas kabihu, karena miskin mereka tinggal bersama para bangsawan sehingga di sebut anak dalam rumah. Lebih rendah dari ana madeingu adalah mamarung (penyihir) yaitu orang-orang yang dipercaya memiliki kekuatan sihir jahat (black magic). Berdasarkan asal usulnya para budak dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: mereka yang sudah menjadi hamba sejak kedatangan para leluhur ke Sumba, mereka yang aslinya bukan hamba tetapi karena kalah perang lalu menjadi tawanan dan akhirnya dijual sebagai budak, serta mereka yang menjadi hamba karena perkawinan. Dalam sebuah keluarga Sumba, terutama keluarga golongan maramba, lazim terjadi ada lebih dari satu kelas sosial yang bernaung di bawahnya. Kelas budak jelas merupakan pelayan mereka, namun ada juga kelas-kelas kabihu (orang merdeka) yang turut serta. Mungkin karena tertarik pada kharisma dan kebesaran bangsawan tempatnya bergabung, tapi yang paling sering karena ketergantungan ekonomi. Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia melarang perbudakan dan sejak itu pula terminologi kelas mulai jarang diperbincangkan. (Anizah 2013;43-45) Sistem perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Sumba Barat dapat dikategorikan sebagai perkawinan eksogami yaitu perkawinan di luar kabisu (klan), dimana lelaki anggota kabisu A menikah dengan perempuan anggota kabisu B tapi tidak boleh sebaliknya. Di Sumba Barat kasbisu penerima gadis (A) disebut doma sedangkan kabisu pemberi gadis (B) disebut loka. Loka adalah panggilan yang ditujukan kepada saudara laki-laki ibu atau secara umum seluruh kaum laki-laki di kabisu ibu. Karena secara tradisional mereka adalah pemberi gadis untuk dinikahi oleh laki-laki dari suku si ayah, maka loka juga diartikan sebagai kabisu pemberi gadis. Sementara suku si ayah yang adalah penerima gadis disebut doma. Singkatnya, dalam konteks pernikahan, Jadi yang terjadi sesungguhnya adalah apa yang disebut Webb Keane (1997) sebagai matrilateral crosscausin marriages. Konsep perkawinan semacam ini (dengan adanya suku penerima dan pemberi gadis) mengharuskan paling sedikit keterlibatan tiga kabisu. 11 Kaum bangsawan dulu memang ada namun untuk sekarang sudah tidak ditemui lagi didalam kehidupan sosial masyarakat Sumba bagian barat. 27

Misalnya kabisu A, B dan C. kabisu A sebagai pemberi gadis untuk kabisu B, Kabisu B sebagai pemberi gadis untuk kabisu C dan kabisu C sebagai pemberi gadis untuk kabisu A. Karena kabisu A adalah pemberi gadis untuk kabisu B maka kaum lelaki kabisu A tidak diperbolehkan menikahi wanita dari kabisu B, dengan kata lain tidak boleh terjadi salin bertukar peran diantara kabisu pemberi dan penerima gadis. Pernikahan dengan sesama anggota kabisu juga dilarang keras, bahkan dianggap sebagai perilaku incent yang bisa mendatangkan malapetaka, yang hanya bisa dipulihkan melalui upacara pemujaan. Pelanggaran-pelanggaran yang lain misalnya perselingkuhan atau hubungan luar nikah (dengan anggota kabisu yang masuk kategori boleh menikah) biasanya diselesaikan melalui pembayaran denda yang disebut kanyala. Karena dianggap sebagai penerus garis darah yang hanya mengalir lewat perempuan, kedudukan klan pemberi gadis (loka) selalu lebih tinggi dari pihak penerima gadis (doma). Kedudukan ini membawa banyak keuntungan antara lain bisa menentukan besarnya mas kawin (belis) yang harus dibayar pihak laki-laki. Dalam adat Sumba, belis bukan melulu urusan pihak laki-laki, karena pihak perempuan juga harus menyediakan balasannya. Belis yang diberikan pihak lakilaki sering diasosiasikan dengan benda-benda maskulin seperti kerbau dan kuda (hewan yang pemeliharaannya menjadi urusan kaum lelaki), parang dan tombak (senjata perang), serta mamoli (perhiasan yang sering dipakai sebagai anting-anting). Sekilas mamoli tidak bersifat maskulin, tetapi perhiasan ini adalah gambaran rahim atau simbol kemampuan reproduksi kaum wanita, dan dalam perkawinan diberikan sebagai simbol pengganti wanita yang akan dibawa pergi. Sementara itu, balasan yang diberikan pihak perempuan diasosiasikan dengan benda-benda feminin seperti babi (dipelihara kaum wanita) dan kain tenun (dibuat kaum wanita). Jumlah belis tergantung kesepakatan dan status sosial seseorang, terutama pengantin wanitanya. Untuk kalangan bangsawan biasanya sekitar 30 puluhan ekor hewan, kuda,kerbau dan babi, rakyat biasa antara 5 15 ekor, sedangkan belis golongan budak dibayar oleh tuan mereka. Dari persepsi orang luar, pernikahan semacam ini terkesan semacam transaksi bisnis dengan perempuan sebagai obyek. Tetapi sangat berkebalikan dengan anggapan itu, orang Sumba sendiri melihat belis sebagai penghargaan terhadap wanita. Wanita selalu dianggap aset beraharga sebuah rumah tangga, mereka sebagai ibu dari anak-anak dan menjadi istri 28

bagi sang suami, mereka akan mengurusi segala macam hal yang berhubungan dengan rumah tangga. Karena itu niat baik seorang ayah melepas anak perempuannya harus diapresiasi keluarga laki-laki dengan memberikan sejumlah hadiah (belis). Si Ayah sendiri perlu menunjukan betapa berharga nilai anaknya dengan sejumlah hadiah balasan yang akan mengirirngi kepindahan si anak kelak. Tanpa itu anak perempuannya akan dianggap remeh oleh keluarga suaminya. Pembayaran belis pun jarang dilakukan sekaligus. Sebagian diberikan saat pindah rumah, sebagian lagi diberikan sedikit-sedikit setiap kali pihak keluarga istri mengadakan pesta dan lain sebagainya. Mengingat mahalnya harga hewan, jarang pula ada satu keluarga yang bisa memenuhi belis berjumlah besar dengan kemampuannya sendiri. Lebih sering hewan-hewan ini diperoleh sebagai sumbangan dari keluarga-keluarga lain yang merupakan anggota kabisu keluarga bersangkutan. Tetapi tidak secara gratis, karena pihak penerima harus membayar kembali saat keluarga penyumbang membutuhkan di lain waktu. (Anizah 2013: 45-46) 4.4. Sistem kekerabatan Tatanan masyarakat Sumba termasuk masyarakat di Kampung Tarung dibentuk dari unit-unit kecil rumah tangga yang terdiri suami, istri dan anak-anak mereka. Namun sesuai tradisi rumah tangga orang Sumba tidak pernah dihuni oleh keluarga inti semata, tetapi mencakup pula saudara-saura kandung suami yang belum menikah, janda yang tidak memiliki anak dan anak saudara mereka yang telah yatim piatu. Mereka tinggal dalam sebuah rumah dan makan dari dapur yang sama serta mengurus ekonomi secara bersama-sama. Kelompok kekerabatan masyarakat Sumba dikenal dengan nama kabisu (klan), yaitu kelompok kekerabatan patrilineal yang didasarkan pada kesamaan asal usul nenek moyang beserta seluruh warisannya. Pada prinsipnya warisan-warisan inilah yang mendasari identitas suatu kelompok kabisu, yaitu : rumah dan atau kampung adat, lahan dan atau kawasan adat, harta benda pusaka yang tak boleh diperjualbelikan, serta ritualritual pemujaan terhadap marapu tertentu yang dilakukan secara bersama-sama oleh anggota kabisu bersangkutan. 29

Sebuah rumah adat selalu memiliki nama yang biasanya didasarkan atas peran ritual yang dijalankannya. Tiap-tiap rumah adat, dengan demikian tiap-tiap kabisu, menjalankan tanggung jawab ritual yang berbeda-beda. Banyak diantaranya merupakan ritual adat besar yang membutuhkan banyak persediaan seperti makanan,persembahan dan lain sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut sebagian terpenuhi dari hasil lahan milik kabisu yang berada dibawah penguasaan rumah adat. Dari sini bisa disimpulkan bahwa siapa yang menduduki rumah adat dengan sendirinya memiliki hak untuk mengontrol lahan milik kabisu. Rumah adat utama biasanya diwariskan kepada anak lelaki tertua. Bersama rumah adat ikut pula harta pusaka,lahan pertanian dan tentu saja tanggung jawab ritual. Karena kaitanya dengan seremoni adat, maka warisan-warisan ini (rumah adat sebagai tempat upacara,lahan pertanian sebagai penunjang kebutuhan upacara, harta pusaka sebagai obyek/asesoris pemujaan) tidak menjadi barang pribadi, yang artinya tidak boleh diperjualbelikan oleh pewaris. Hak guna jatuh pada anak lelaki tertua,tetapi hak milik tetap berada pada kabisu. Dikalangan masyarakat Sumba ada keyakinan mengenai darah dan daging yang hanya diturunkan dari pihak ibu. Hubungan kekerabatan ini sering disebut ole dadi dan dihitung berdasarkan pertalian darah dari pihak ibu (matrillineal). Tidak seperti kekerabatan dalam kabisu yang perlu dilegalkan lewat Belis, kekerabatan berbasis hubungan darah didapat secara otomatis begitu seseorang dilahirkan, dengan demikian lebih kekal dan bersifat emosional. Sebungan dengan konsep ole dadi terdapat dua istilah relasi yaitu Loka dan ana kabine. Loka adalah panggilan yang diberikan seorang anak kepada saudara laki-laki ibunya (khusus) atau kepada anggota laki-laki kabisu ibunya (umum). Sebaliknya, ana kabine adalah panggilan loka kepada anak-anak saudara perempuan mereka. Hubungan antara loka dan ana kabine adalah hunungan seumur hidup yang juga meliputi serangkain hak dan kewajiban diantara keduanya. (Anizah 2013:40-41) 30

4.5 Tarung sebagai Kampung Adat Ada sebuah julukan yang rasanya pantas diberikan kepada Sumba Barat yaitu The Land A Thausand Villages atau tanah seribu kampung. Sumba Barat memang memiliki banyak kampung-kampung tradisional yang tersebar mulai dari pelosok terpencil hingga ke pusat kota salah satunya adalah kampung Tarung. Penduduk Sumba Barat umumnya membangun perkampungan di pucak-puncak bukit, kecenderungan ini berdasarkan atas dua alasan yaitu alasan praktis dan religious. Dimasa lalu sering terjadi perang atar suku untuk memperebutkan daerah kekuasaan sehingga tempat tinggi dianggap lebih praktis untuk dijadikan benteng pertahanan. Sedangkan dari sisi religious mengacu pada konsep pra sejarah yang mengaanggap semakin tinggi tempat tinggal, semakin dekat pula penghuninya dengan arwah leluhur dan dewa-dewa. Gambar 4.2 Gambar Kampung Tarung Sumber foto : foto peneliti Dalam setiap kampung adat, selalu ada batu kubur, rumah adat dan batu kubur tidak bisa dipisahkan, keduanya mempunyai keterkaitan satu sama lain. Seperti yang dingkapkan oleh nenek Rato Yusuf Lele Wadda tentang hubungan antara rumah adat dan bartu kubur dibawah ini : 31

Di dalam kampung Tambera dan semua Rumah adat, harus mempunyai punya keterkaitan dengan batu kubur. Tidak bisa orang tarik batu kubur (tengi watu) jika tidak punya rumah. 12 Ada dua jenis kampung tradisional yang dikenal penduduk asli Sumba, yaitu kampung besar (wanno kalada) dan cabang dari kampung besar tersebut (wanno gollu). Kampung besar adalah kampung yang dibangun oleh nenek moyang pertama dan merupakan pusat penyenggaraan berbagai ritual adat penting karena peran ritual yang disandangnya wanno kalada sering pula dirujuk dengan istilah kampung adat. Smentara kampung cabang adalah kampung-kampung yang dibangun oleh generasi yang lebih muda. Kampung seperti ini bukan tempat kediaman marapu sehingga tidak memiliki peran ritual. Warganya selalu harus kembali ke kampung besar sewaktu hendak menggelarkan upacara-upacara penting, termasuk perkawinan dan penguburan. Demikian dengan kampung adat atau wanno kalada bisa pula dilihat sebagai sebuah indentitas kelompok. Orang-orangnya baik yang masih tinggal di sana atau pun yang tersebar diberbagai tempat lain, terikat satu sama lain oleh hak dan kewajiban yang sama atas kampung mereka dan berbagai kegiatan sosio-religius. (Anizah 2013: 57) Gambar 4.3 View Kampung Tarung Sumber foto : Liputan6.com 12 Wawancara bersama nenek Rato Yusuf Lele Wadda di desa Dokakaka 16-12-2016 32

Gambar diatas merupakan gambar yang diambil oleh Liputan6.com yang menujukan betapa indahnya kampung Tarung. Posisi kampung Tarung berada diatas bukit ini membuat kampung Tarung seakan ekslusif, walaupun letak dari Kampung Tarung ditengah-tengah kota namun kampung Tarung berhasil mempertahankan keindahan dan keasrian kampungnya dari pengaruh modernisasi. 4.6. Pembagian Fungsi Adat Dalam syair adat kampung Tarung di kenal sebagai istilah Tarungu Majaga Sodi Wua Manyoba yang artinya tempat berjaga yang tinggi tempat berdirinya Sodi Wua Manyoba (sejenis batu kubur tampa penutup yang terdapat di pelataran kemah suci). Penghuni pertama Kampung Tarung adalah Kabisu Anakalang yang terdiri dari Klan Sebu, Tara/TokuYangu, Koga Kadi/Wee Lowo, PulluBatana/Anawara. Saat tini Kampung Tarung dihuni oleh Koga Kadi/Wee Lowo,Pullu Batana/Anawara Wanu Kalada, Tanabi, Wee Nawi, WatakaWatu, serta Wee Bole. Di Kampung Tarung terdapat 12 rumah adat utama dengan fungisnya masingmasing sebagai berikut: (1). Uma Rato, fungsinya sebagai Ina Ama dan sebagai penuggu kedatangan Uma Tuba, rumah adat ini melambangkan laki-laki dalam kampung Tarung, rumah adat ini juga dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (2). Uma Mawinne, fungsinya sebagai penentu tibanya bulan suci, rumah adat ini melambangkan perempuan dalam kampung Tarung, rumah adat ini juga dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo.. (3). Uma Wara, fungsinya sebagai tempat tombak adat/nobuwara, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (4). Uma Dara, fungsinya sebagai tempat kuda adat, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (5). Roba Delo, fungsinya yaitu sebagai tempat parang adat, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo.. (6). Uma Marapu Manu, berfungsi pada saat pelaksanaan upacara Poddu yang melakukan persembahan ayam, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (7). Uma Madiata, fungsinya sebagai pembawa lagu adat (Dodo, Walo), rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo.. (8). Wee Kadaa/LedoNaba, fungsinya sebagai tempat kuda adat penarikan batu kubur dan sebagai pembawa air suci yang terkena kilat, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (9). Ana Uma 33

Madiata, fungsinya yaitu sebagai sebagai Utta Poppu Winno rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (10). Jaga Wogu/PulluBatana, fungsinya sebagai rumah induk tempat pelaksanaan dan Toko Uma Duada-Kadu, Yipa Pera, Dede Lira-Adde Bedo pada saat Rato Rumatawara, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku PulluBatana/Anawara. (11). Ana Wara Ana Uma, fungsinya yaitu sebagai tempat parang adat rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku PulluBatana/Anawara. (12). Uma Ana Wara Ana Uma, fungsinya sebagai KaitoUtta-Poppu Winno dan sebagai penerima tamu pertama pembawa babi hutan (Wulli Pare), rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku PulluBatana/Anawara. 13 Banyak ritual adat yang masih dilaksanakan di kampung Tarung termasuk Wulla Poddu. Dalam menjalankannya ritual-ritual tersebut masing-masing rumah adat menyimpan beberapa benda pusaka yang sebagiannya ditetapkan sebagai benda cagar budaya. (1). Beddu / Ubbu adalah Tambur suci yang hanya boleh dibunyikan sepanjang penyelenggaraan Wulla Poddu. Tambur ini serupa dengan yang ada di kampung Tambera. Badannya teruat dari kayu pilihan, permukaan dari kulit kebau persembahan (dahulu dari kulit manusia). (2). Katuba adalah Tambur berukuran kecil. Bahan yang digunakan untuk membuat Katuba sama dengan Beddu. Digunakan dengan cara disampampirkan pada bahu dan dipukul dengan tangan. Dibunyikan dengan tangan. (3). Talla adalah Gong suci yang hanya dibunyikan untuk mengiringi ritual-ritual pemujaan sertatari-tarian yang dipentaskan selama berlangsungnya bulan suci (WullaPoddu). Jumlahnya ada 12 buah, terbuat dari pelat besi atau kuningan. Talla terdiri dari beberapa jenis, yaitu: Talla Ana Kouka: ukurannya paling kecil dan biasanya dibunyikan terlebih dahulu sebagai music pembuka; Talla Kawukek: dibunyikan setelah Talla Ana Kouka (urutankedua); Talla Gaza Deta: dibunyikan pada urutan ketiga; Talla Gaza DetaBawa: dibunyikan pada urutan keempat. (4). Kasaba adalah Alat musik serupa sambal yang dibunyikan untuk mengiringi bunyi gong dan tambur saat Wulla Poddu. (5). Teko adalah Parang Kuno yang merupakan pasangan tombak suci. Teko dikenakan dengan cara disampirkan di bahu dan hanya digunakan pada ritual-ritual tertentu selama Wulla Poddu. (6). Nobbu adalah Tombak suci atau keramat yang digunakan sebagai pelengkap busana 13 Sumber dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat dan wawancara bersama Rato Lado 34

para Rato saat belangsung ritual tertentu, juga sebagai media untuk berhubungan dengan roh leluhur atau untuk meramal nasib. Nobu hanya digunakan pada saat wulla Poddu, yaitu kala Rato melakukan wara atau pendarasan syair-syair suci berisi perjalanan nenek moyang serta saat melakukan ritual turun kesawah membawa persembahan kepada roh pelindung. (7). Toda adalah Tameng kuno dari kulit kerbau. Pada zaman dahulu dipakai sebagai peralatan perang dan kini digunakan sebagai kelengkapan upacara-upacara adat. (8). Pamuli, Tebelo, Maraga, Lele, Lagoro adalah Aksesoris pusaka yang digunakan para Rato saat belangsung upacara adat dan sebagai peengkap busana para penari. Pamuli/Mamoli: perhiasan telinga berbentuk belah ketupat dengan lubang di tengahnya sebagai symbol rahim wanita. Tabelo: perhiasan kepala berbentuk tanduk kerbau yang dikenakan dengan cara disematkan di dahi. Maraga: perhiasan dada perlambang hati. Lele: gelang terbuat dari gading gajah yang selalu dikenakan berpasangan. Logoro: perhiasan/gelang kaki berupa giring-giring yang dikenakan pada betis. (9). Pega, Koba, Gori adalah Piring (pega), Mangkuk (Koba), dancawan (Gori) kuno terbuat dari kayu dan tempurung kelapa yang digunakan untuk menyajikan makanan persembahan. (10). Adung adalah Tonggak kayu yang dulu nya dipakai untuk menggantung kepala musuh dan sebagai pusat penyelenggaraan upacara perang. (11).Umma Kabubu adalah Kuil suci yang dipercayai sebagai tempat persemayaman para dewa. Umma Marapu terletak disudut Natara Poddu. Semua atap dan dindingnya tertutup jerami dan tidak memiliki pintu atau jendela. Kuil ini tidak boleh dimasukis sembarang orang atau sembarang waktu. (12). Umma dan Odi adalah Sejumlah rumah adat tradisional yang menjalankan fungsi-fungsi ritual dan tempat tersimpannya berbagai benda cagar budaya tak bergerak serta kuburan megalitik dengan berbagai bentuk dan ukuran. 14 Beberapa benda-benda pusaka diatas disimpan dalam rumah adat, ada yang digantung pada tiang-tiang yang sakral bagi perempuan da ada yang disimpan di loteng rumah. Salah satu yang digantung adalah Beddu / Ubbu yaitu Tambur suci yang hanya boleh dibunyikan sepanjang penyelenggaraan Wulla Poddu. Tambur ini tidak sembarang dipegang atau dimainkan, tambur ini digatung pada tiang yang dilarang untuk disentuh perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu. 14 Sumber dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat 35

4.7. Makna dan Konsepi Rumah Adat Seperti kampung adat, rumah orang Sumba terbagi dalam pengertian rumah besar (uma kalada) dan lainnya. Seperti wanno kalada, uma kalada juga merupakan rumah yang dibangun oleh nenek moyang pertama dan dihuni turun temurun oleh generasi selanjutnya. Dalam rumah adat Sumba berdiam arwah leluhur yang telah menjadi serupa dewa (marapu), dan di rumah ini pula tersimpan harta benda pusaka milik keluarga yang bersangkutan. Semua turunan pendiri rumah baik yang masih berdiam disitu maupun yang telah membangun hunian baru terikat dalam suatu hubungan kekerabatan yang disebut kabisu. Dalam kampung umumnya terdapat lebih dari satu kabisu, masing-masing memiliki uma kalada tersendiri yang berfungsi sebagai pusat kehidupan sosio-religius kelompok kabisu bersangkutan. Rumah rumah tradisional yang tidak termasuk rumah adat disebut ana uma ( jika dibangun di kampung yang sama) atau uma ouma (jika dibangun di luar kampung adat). Ana uma artinya anak rumah, yaitu cabang sebuah rumah adat yang didirikan oleh nenek moyang yang lebih muda. Sedangkan uma ouma berarti rumah kebun, karena walnya memang dibangun disekitaran sawah dan ladang untuk keperluan pengawasan. Rumah rumah semacam ini tidak dianggap kediaman leluhur sehingga tidak dijadikan pusat seremonial. Seremoni-seremoni penting dalam siklus hidup penghuninya seperti perkawinan dan penguburan tetap dilaknakan di rumah adat utama, demikian pula dengan pemujaan-pemujaan tertentu. Seperti disinggung sebelumnya, sebuah rumah adat utama selalu menjadi milik sebuah kabisu. Dan dalam sebuah kampung yang homogeny dihuni lebih dari satu kabisu, rumah adat kabisu yang satu dibedakan dengan rumah adat kabisu yang lain berdasarkan nama yang disandangnya. Nama sebuah rumah bisa berdasarkan nama pendirinya, tapi lebih sering berdasarkan peran ritual yang dijalankannya. Sebagai contoh, di kampung Tambera kecamatan Loli ada rumah antara Uma Kalda Wogo milik klain Wee Lowo yang bertugas sebagi penjaga mata air suci dan pemanggil hujan. Rumah adat sumba berbentuk panggung, dilengkapi menara yang membumbung tinggi seolah hendak menggapai langit. Hal ini, sebagai mana diyakini sebagian orang, 36

merupakan perlambang hubungan harmonis antara manusia dan sang pencipta. Rumah adat sumba aslinya dibangun tanpa paku, bagian-bagian ditautkan satu sama lain menggunkan pasak serta tali kayu (kalere) atau rotan (uwe). Seluruh berat rumah ditopang oleh empat tiang utama (Parii kalada) yang terbuat dari kayu kayu khusus seperti masela,kawisu,lapale atau ulu kataka, serta tiang-tiang penyangga yang lebih kecil. Keempat tiang utama, terutama tiang pertama didekat pintu masuk, merupakan elemen arsitektur rumah adat Sumba yang paling penting,setidaknya dari sisi religious, masing-masing tiang dilingkari cicin besar dari kayu (labe). Dari sisi religious labe berfungsi tempat meletakkan persembahan, sedangkan kegunaan praktisnya adalah sebagai gelang anti tikus agar hewan pengerat tersebut tidak bisa memanjat ke loteng tempat menyimpan hasil panen. Gambar 4.4 Empat Tiang Utama Sumber foto CNN Gambar diatas menunjukan empat tiang utama dari rumah adat Sumba. Di tengahnya ada tungu api, dan diasta tungku api tergantung leki atau (para-para) yang berwarna hitam seperti yang terlihat diatas. Leki terbagi dua : leki kii (para-para kecil), tempat menyimpan makan matang, dan leki kalada (para-para besar) tempat penyimpan peralatan dapur. Masing-masing tiang utama memiliki nama dan fungsi tersendiri. Beda kampung beda lagi namanya, tapi dari segi fungsi pada prisnsipnya sama saja. Tiang yang terletak disebalah kanan depan (parii urat) biasanya merupakan tiang yang paling 37

diutamakan karena dipercaya sebagai tempat lalu lalang marapu pendiri rumah. Melalui tiang ini manusia dapat berhubungan dengan leluhurnya untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan. Tiang kanan belakang merupakan kediaman roh-roh leluhur. Rohroh ini dipercaya selalu mengawasi pintu utama, sehingga ada pula yang menyebutkan tiang tempat mereka berdiam sebagai tiang penjaga kabisu. Tiang ketiga yang terletak disebelah kiri depan dan tiang ke empat dibelakang memiliki makna yang kurang lebih sama dengan pasangan mereka disebalah kanan, tetapi ditujuhkan untuk leluhur dari pihak perempuan (loka), karena terletak dai dekat area dapur, tiang keempat kerap pula dijuluki tiang penjaga api. Makana lain keempat tiang utama adalah manifesatasi empat arah mata angin: utara,selatan, barat, dan timur, dengan tungku api yang berada tepat di tengahnya sebagai simbol matahari. Bagian dalam rumah, baik secara simbolis maupun fungsional, terbagi menjadi dua bagian : bagian untuk laki-laki yang lebih formal dan religious (mbalekatounga) serta bagian untuk wanita yang lebih ke urusan rumah tangga (kere pandalu). Mbalekatounga berwujud bale-bale panjang yang terentang mulai pintu masuk laki-laki hingga keujung belakang rumah. Fungsinya beragam, sebagai pertemuan formal, tempat pemujaan serta area tidur. Gambar 4.5 Pintu Laki-laki (Mbalekatounga) dan Pintu untuk perempuan (Kere pandalu) Sumber foto : Peneliti 38

Sementara kere pandalu, yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan dan tempat menimpan berbagai alat rumah tangga, terentang mulai dari pintu pintu masuk perempuan hingga sepertiga panjang rumah seperempat sisanya merupakan ruang tempat tidur pemilik rumah (koro ndouka). Mbalekatounga dan kere pandalu dipisahkan oleh area dapur (robu kadana) yang terletak persis ditengah rungan, diapit oleh keempat tiang utama. Untuk mengetahui lebih jelas rumah adat Sumba secara keruangan mari kita lihat denah gambar rumah adat dilihat secara horizontal dibawah ini : Sumber foto : Haryanto Dkk 2012 Gambar 4.6 Denah Rumah Adat Sumba Secara Horizontal Keterangan Gambar : A : Perapian dengan 3 batu B : Area laki-laki C : Area perempuan D : Mbale Katounga pintu untuk laki-laki E: Kere Pandalu pintu untuk perempuan F: Bagian depan rumah formal. G: Ruang tidur (suami-istri) H : Bale-bale tempat menerima tamu I: Bale-bale dalam rumah J : Kendi atau gerabah tempat air bersih K : Bagian belakang rumah informal L : Teras untuk kaum wanita M : Teras untuk kaum pria formal. N : Bale- bale Ponnu karo tillu O: Tempat untuk menyimpan peralatan memasak. 39

Dalam rumah adat Sumba, ada empat tiang besar yang berdiri kokoh dan menopang rumah, tiang-tiang tersebut ada yang diperuntukan untuk perempuan dan ada yang diperuntukan untuk laki-laki. Kita bisa melihat pada denah diatas empat tiang besar tersebut terletak pada nomer 1,2,3, dan 4. Dalam pembagiannya, tiang nomer 1 dan 2 berada pada area laki-laki, dan tiang nomer 3 dan 4 berada pada area perempuan. Pembagian tersebut bukan tanpa sebab, untuk pembagian tiang nomer 1 dan 2 tersebut memiliki fungsi yang berkaitan dengan spriritual sedangkan pembagian untuk tiang nomer 3 dan 4 memiliki fungsi yang berkaitan dengan aktifitas rumah tangga dan kemakmuran. Dari kempat tiang ada dua tiang yang tidak boleh disentuh atau pegang oleh perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu yaitu tiang nomer (1) yang letaknya di sebalah kanan bagian depan atau sering dikatakan sebagai tiang utama bernama parii utta atau dengan nama lain tiang uratta merupakan tiang yang tidak boleh disentuh perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu dengan alasan tiang tersebut merupakan tiang yang pamali atau sakral. Dan ada juga tiang nomer (2) yang letaknya di sebalah kanan bagian belakang bernama Parii woleta atau dengan nama lain Parii tutungaba balikatonga juga merupakan tiang yang tidak boleh disentuh oleh istri dan anak mantu, sama dengan tiang uratta diatas, tiang parii woleta tidak boleh dipegang karena pamali atau sakral. Untuk dua tiang lainnya boleh dipegang atau disentuh oleh perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu yaitu tiang nomer 3 yang terletak di sebelah kiri bagian depan yang bernama Tiang kiakamanu, tiang ini diperuntukan untuk perempuan. Dan tiang nomer (4) yang letaknya disebalah kiri bagian belakang Tiang liwura sama dengan tiang kiakamanu yang diperuntukan untuk perempuan, tiang Tiang liwura melambangkan kemakmuran, dan tempat di gantungnya makanan ayah dan ibu jika tak berada dirumah. Tiang ini juga digunakan untuk menyimpan beras yang sudah bersih lalu di masak. Berikut dibawah ini salah satu tiang dan tempat yang tidak boleh ditempati perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu: 40

Gambar 4.7 Tiang Pari i Woleta dan Ponno Karotilu Sumber gambar : peneliti Bukan saja tiang dalam rumah adat yang tidak boleh disentuh oleh perempuan yang dalam hal ini istri dan anak mantu, pintu utama (mbalekatounga) yang dilambangkan sebagai pintu laki-laki seperti yang tergambar pada huruf D juga tidak boleh dilewati oleh istri dan anak mantu bahkan sampai seumur hidup ketika mereka tinggal dalam rumah adat tidak boleh melewati pintu tersebut mereka hanya melewati pintu Kerepandalu yang berada di bagian samping rumah seperti yang tergambar pada huruf E dalam denah diatas, pintu tersebut merupakan satu-satunya pintu yang boleh dilewati istri dan anak mantu. Dalam rumah adat Sumba ada tiga bagian utama rumah adat sumba, yaitu: pertama: bagian atap rumah (Toko Uma) secara harafiah toko uma berarti tongkat rumah, dan dalam konteks ini berwujud menara tinggi dengan atap alang-alang. Jauh dipuncak menara, tepatnya dipojok kiri dan kanannya,tersemat dua tongkat kayu berukiran manusia yang disebut kadu uma (tanduk). Kadu uma adalah symbol ina-ama (ibu-bapak), yaitu pasangan leluhur pendiri rumah yang hidup berdampingan dan mengawasi segalanya. Toko uma menjalankan fungsi praktis dan religiusnya snediri yaitu sebagai tempat persemayaman marapu dan sebagai tempat penghasil panen, harta pusaka dan bendabenda berharga lainnya. Kedua, ruang hunian (Bei Uma) yang dinding dan lantainya terbuat dari bambu. Bei Uma teerbagi menjadi area luar yang cenderung berfungsi 41

sebagai area publik dan area dalam tempat langsungnya aktivitas domestik, Pada ruang dalam dibedakan atas ruang akses untuk pria dan wanita. Ada dua pintu masuk, satu untuk laki-laki dan satunya untuk perempuan. Tanduk kerbau juga kerap digunakan sebagai hiasan dinding. Semakin banyak hiasannya berarti telah banyak pesta yang digelar si empunya rumah, dengan demikian menjadi lambing prestise. Ketiga, adalah bagian bawah rumah (Kali Kabunga) menjadi kandang ternak, seperti kambing, babi, atau bahkan kuda dan kerbau. (Anizah 2013:60-63) Untuk mengetahui tiga bagian rumah adat Sumba secara vertikal mari kita lihat gambar dibawah ini: Gambar 4.8 Pembagian rumah Rumah adat Sumba secara vertikal Dalam pemisahan ruang secara vertikal memperjelas hirarki dan derajat kesakralan ruang. Ruang atas di bawah atap menara merupakan bagian yang paling penting dan bermakna sakral. Rumah Sumba memiliki ruang atas yang dikhususkan untuk Marapu. Pemaknaan dalam ruang tersebut, selain sebagai penggambaran dunia atas juga sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Bagian tengah rumah menjadi dunia tengah atau tempat hidup manusia beraktivitas sehari-hari. Sedangkan bagian bawah melambangkan dunia bawah tempat untuk hewan-hewan ternak. Konsep tersebut menggambarkan dalam rumah yaitu yang terendah diletakkan di bawah, semakin ke atas semakin penting dan sakral. Di Kampung Tarung, di bagian belakang rumah terdapat bilik-bilik untuk tempat penyimpanan barang dan ruang tidur kepala keluarga. Di 42

sebelah kanan belakang, terdapat ruang Mata Marapu atau ruang yang sakral. Jika area depan dan belakang menunjukkan pemisahan area publik dan privat, maka pemisahan area kiri dan kanan pada rumah Sumba merupakan pemisahan area berdasarkan gender. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pemisahan ruang depan dan belakang pada rumah Sumba lebih kearah pemisahan area publik dan privat. Ruang depan lebih berfungsi untuk kegiatan yang bersifat publik dan dapat digunakan oleh orang lain selain pemilik rumah. Ruang belakang yang lebih privat, digunakan untuk aktivitas domestik dan ruang tidur. (Hariyanto dkk. 2012) 4.8. Rumah adat Sebagai Simbol Pembagian Fungsi Perempuan dan Laki-Laki Banyak orang Sumba memandang rumah adat mereka sebagai simbolisasi tubuh manusia yang terdiri dari kepala, badan dan anggota tubuh, serta terbagi menjadi laki-laki dan perempuan. Seperti yang diuangkapakan oleh Rato Lado Rumah adat sumba secara filosofi seperti manusia, lahir dengan lahir tidak mungkin langsung bisa jalan, begitu pula dengan rumah adat ada proses-proses panjang untuk membuat dia kokoh dan layak di katakan sebagai rumah adat. Ada juga istilah yang sama seperti manusia yaitu rumah adat juga memiliki kaki, mulut, jantung,urat, dan bambu-bambu yang menyerupai rusuk laki-laki. 15 Bagian kepala dilambangkan dengan atap atau menara (Toko uma). Dan sebagai mana kepala yang merupakan tempat beradanya otak (pusat kehidupan atau jiwa manusia) menara rumah orang Sumba juga dianggap sebagai tempat beradanya jiwa keluarga.disinilah hasil ladang sebagai sumber kelangsungan hidup badanniah, disimpan, juga harta benda pusaka yang merupakan sumber kehidupan rohaniah (spiritual). Bagian badan dilambangkan dengan bagian rumah tempat hunian (bei uma). Badan manusia memiliki organ-organ penting serta hati dan jantung, begitu juga bei uma. Hati diidentikan dengan leki atau paru-paru yang menggantung diantara tempat yang utama karena berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan masak dan makanan yang sudah matang, leki dianggap sebagai penunjang kelangsungan hidup yang penting. Sementara 15 Wawancara bersama Rato Lado di Kampung Tarung tanggal 5-11-2016 43

jantung identik dengan robu kadana yaitu tungku api serta dapur yang terletak tepat ditengah-tengah rumah, dan dianggap sebagai pusat penggerak kehidupan. Bagian kaki dilambangkan dengan tiang-tiang penopang, terutama empat tiang utama dan enam belas tiang penyangga, serta tiang- tiang penunjang lainnya. Dalam rumah adat Sumba ada juga konsep gender yaitu Kadu uma yang berada dipuncak menara rumah yang menjulang keatas, yang biasa dikenal sebagai tanduk rumah merupakan simbol suami dan istri yang berdiri berdampingan. Menurut A.A. Rai Geria dan I Gusti Ayu Armini (2010) dalam (Anizah 2013 : 63-64) Konsep Gender dalam Rumah adat Sumba bisa juga dilihat sebagai simbol hubungan spriritual dua kutub berlawanan yang bersifat oposisi biner. Misalnya langit dan bumi atau lelaki dan perempuan. Masing-masing terpisah dalam status dan peran namun bekerja saling melengkapi sehingga pada gilirannya mampu menghasilkan kesuburan, kelangsungan hidup dan kekayaan. 44