BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Proses Penularan Penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

LAMPIRAN I DOKUMENTASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Kayubulan Kecamatan Limboto terbentuk/lahir sejak tahun 1928 yang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina yang telah membawa virus Dengue dari penderita lainnya. Nyamuk ini biasanya aktif

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Filariasis : Prevention Related to Risk Factor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. 1. Konsep Demam Berdarah Dengue (DBD) a. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

1. PENDAHULUAN. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp. betina (Depkes R.I.,

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

B A B 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya ini cenderung menurun bersamaan dengan terus membaiknya

V. PEMBAHASAN UMUM. Pengamatan di daerah pasang surut Delta Upang menunjukkan. bahwa pembukaan hutan rawa untuk areal pertanian

BAB I. dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. serta semakin luas penyebarannya. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami 2 musim, salah

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan di 436 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota sebesar 88%. Angka kesakitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. nyamuk Anopheles sp. betina yang sudah terinfeksi Plasmodium (Depkes RI, 2009)

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1 Gambaran Penyakit Filariasis 1.1.1 Pengertian Penyakit Filariasis Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan karena cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfe) serta menyebabkan gejala akut, kronis dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Secara klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenomalimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali, dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan meninggalkan paru. Dapat terjadi limfedema dan hidrokel yang berlanjut menjadi stadium kronis yang berupa elefantiasis yang menetap yang sukar disembuhkan berupa pembesaran pada kaki (seperti kaki gajah) lengan, payudara, buah zakar (scrotum) dan kelamin wanita (Depkes RI,2006). 1.1.2 Penyebab Filariasis a) Jenis dan Penyebaran Filariasis Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu : 1. Wuchereria bancrofti 2. Brugia malayi 3. Brugia timori

Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru, jantung dan ginjal. Dari tiga spesies tersebut secara epidemiologi dapat dibagi lagi menjadi 6 tipe yaitu : a. Wuchereria bancrofti yang ditemukan di daerah perkotaan (urban) seperti di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan, dan sekitarnya. b. Wuchereria bancrofti yang ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa tersebar luar terutama Irian Jaya yang mempunyai periodisitas nokturna c. Brugia malayi yang ditemukan di daerah persawahan yang bersifat nokturna. d. Brugia malayi yang ditemukan di daerah rawa, bersifat sub periodik nokturna. e. Brugia malayi yang ditemukan di hutan bersifat non periodik, mikrofilaria ditemukan dalam daerah tepi baik malam maupun siang hari. f. Brugia timori yang bersifat periodik nokturna ditemukan di daerah Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara dan mungkin juga di daerah lain (Depkes RI, 2002). 1.1.3 Morfologi Cacing Filaria Secara umum, daur hidup ketiga spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.

Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Filaria Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu: a) Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai vector yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu. b) Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes) kurang lebih 7 bulan. Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis, sehingga mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam tubuh nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan

panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut masuk kedalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran darah dalam tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Didalam pembuluh limfe larva mengalami dua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva stadium V. Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan. Siklus hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terkena Filariasis, sehingga mikrofilaria yang terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Cacing yang diisap nyamuk tidak begitu saja dipindahkan, tetapi sebelumnya tumbuh di dalam tubuh nyamuk. Makhluk mini itu berkembang dalam otot nyamuk. Sekitar 3 minggu, pada stadium 3, larva mulai bergerak aktif dan berpindah ke alat tusuk nyamuk.nyamuk pembawa mikrofilaria itu lalu gentayangan menggigit manusia dan memindahkan larva infektif tersebut. Bersama aliran darah, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe.

Cacing terdeteksi dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari dia berada didalam kapiler alat-alat dalam seperti pada paru-paru, jantung dan hati, selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh. Pemeriksaan darah ada-tidaknya cacing biasa dilakukan malam hari. Setelah dewasa (Makrofilaria) cacing menyumbat pembuluh limfe dan menghalangi cairan limfe sehingga terjadi pembengkakan. Selain di kaki, pembengkakan bisa terjadi di tangan, payudara, atau buah zakar. Ketika menyumbat pembuluh limfe di selangkangan, misalnya, cairan limfe dari bawah tubuh tidak bisa mengalir sehingga kaki membesar. Dapat terjadi penyumbatan di ketiak, mengakibatkan pembesaran tangan. Pada saat dewasa (Makrofilaria) inilah, cacing ini menghasilkan telur kemudian akan menetas menjadi anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria. Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam darah. Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk yang menggigit, maka larva tersebut dapat menembus dinding usus nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk, kemudian setelah mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat penusuk. Jika nyamuk itu menggigit orang, maka orang itu akan tertular penyakit ini. 1.1.4 Vektor Filariasis dan Hospes Vektor penyakit kaki gajah (Filariasis) adalah nyamuk yang mengandung mikrofilaria di dalam tubuhnya. Di indonesia hingga saat ini telah di ketahui terdapat 23 species nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia dan Armigeres yang dapat berperan seabagi vektor dan merupakan vektor yang potensial untuk

menyebabkan penyakit kaki gajah (Filariasis). Terdapat 10 spesies nyamuk Anopheles telah di identifikasi sebagai vektor penular Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Sedangkan untuk vektor penular Wuchereria bancrofti tipe perkotaan adalah nyamuk Culex quinguefasciatus. Vektor penular Brugia malayi tercatat ada 6 species Mansonia dan untuk wilayah Indonesia bagian timur selain Mansonia. Pada daerah bagian timur yaitu Nusa tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan sebagai vektor penular Brugia timori adalah nyamuk Anopheles babirostris (Depkes RI,2002). Setiap daerah endemis Filariasis umumnya mempunyai spesies nyamuk yang berbeda-beda dan setiap spesies dapat menjadi vektor utama penyebab Filariasis. Hospes (induk semang) dari Filariasis adalah manusia. Pada dasarnya semua manusia dapat terjangkit Filariasis apabila digigit oleh nyamuk vektor yang infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari orangorang setempat yang mengidap mikrofilaria dalam darahnya. Namun demikian, dalam kenyataannya tidak semua orang yang hidup disuatu daerah endemis filariasis terinfeksi dan semua orang yang terinfeksi tidak semua menunjukkan gejala. Meskipun tanpa gejala tetapi sudah terjadi perubahan-perubahan patologis. Makin lama pendatang menempati daerah endemis filariasis makin besar kemungkinannya terkena infeksi. Pendatang baru dari daerah non endemis ke daerah endemis (misalnya transmigran) lebih banyak menunjukkan gejala, tetapi pada pemeriksaan darah jari lebih sedikit yang mengandung mikrofilaria.

Hospes reservoir berperan sebagai sumber penyakit. Diantara cacing filaria yang mengidetifikasi manusia di Indonesia, hanya bugria malayi yang sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan juga pada hewan hutung (Presbytis cristatus, kera (Macaca fasicular) dan kucing (felis catus) yang dapat merupakan sumber infeksi pada manusia. Brugia malayi tipe sub periodik nokturna umumnya ditemukan di daerah rawa-rawa. Brugia malayi tipe non periodik ditemukan di hutan dan mikrofilarianya ditemukan dalam darah tepi baiksiang maupun malam hari. Adanya hospes reservoir akan menyulitkan program pemberantasan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan untuk mengatasi keberadaan hospes reservoir sebagai sumber penyakit (Depkes RI, 2002). 1.1.5 Gejala Dan Tanda Filariasis Ada dua gejala klinis dan tanda Filariasis yaitu gejala klinis akut dan gejala klinis kronis. a) Gejala dan tanda klinis akut : a. Demam berulang ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat b. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit c. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan d. Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan dapat mengeluarkan darah serta nanah

e. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan alat kelamin perempuan dan lakilaki yang tampak kemerahan dan terasa panas b) Gejala dan tanda klinis kronis : a. Pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, alat kelamin perempuan dan laki-laki Pembagian gejala kronis secara umum dapat menjadi tiga kelompok, yaitu : a. Limfedema/elephantiasis yakni Gejala kronis yang dialami penderita mengenai seluruh kaki atau lengan, skrotum, vagina dan payudara. Gajala ini biasanya terdapat pada penderita yang terinfeksi cacing filaria dengan spesies Wuchereria bancofti. Sedangkan untuk penderita yang terinfeksi oleh jenis spesies Brugia malayi dan Brugia timori, bentuk gejala klinisnya dapat mengenai kaki atau lengan di bawah lutut atau siku. b. Hidrokel yakni Gejala klinis pada penderita ini terjadi adanya pelebaran kantung buah skrotum yang berisi cairan limfe. Penderita yang mengalami gejala klinis tersebut dapat dikatakan sebagai penentuan atau menjadi indikator penilaian terhadap endemisitas penularan penyakit filariasis yang disebabkan oleh cacing filaria dengan spesies Wuchereria bancrofti. c. Kiluria yakni Gejala klinis yang dialami oleh penderita ini adalah cairan air seni atau air kencing seperti susu. Cairan seperti susu ini disebabkan oleh karena adanya kebocoran saluran limfe di daerah pelvic ginjal, sehingga cairan limfe tersebut masuk ke dalam saluran kencing. Kasus kiluria ini ditemukan pada daerah

penyebaran atau penularan penyakit kaki gajah oleh cacing filaria spesies Wuchereria bancrofti, namun kasus kiluria ini jarang ditemukan (Depkes RI, 2006). 1.1.6 Pencegahan Indonesia menetapkan eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular dengan menerapkan dua strategi utama yaitu memutuskan rantai penularan dengan pengobatan masssal di daerah endemis dan upaya pencegahan dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Pencegahan Filariasis dapat dilakukan dengan memutuskan mata rantai antara sumber penular dengan media tramsmisi. Contohnya dapat dilakukan dengan membersihkan tempat-tempat perindukan nyamuk, menutup barang-barang bekas, menguras tempat-tempat penampungan air, penyemprotan massal agar dapat mencegah penyebarluasan penyakit, menggunakan pelindung diri disaat bekerja dikebun misalnya menggunakan baju lengan panjang, menggunakan obat anti nyamuk, menggunakan kelambu di saat tidur, tidak keluar di saat malam hari dan lain-lain (Depkes RI, 2006). Tentu saja mencegah lebih baik daripada mengobati. Caranya dengan menghindari dari gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu, menutup ventilasi dengan kasa nyamuk, menggunakan obat anti nyamuk, atau mengoles kulit dengan lotion pencegah gigitan nyamuk. Melakukan pemberantasan terhadap sarang nyamuk dengan melakukan 3M (menutup, menguras dan mengubur) benda-benda yang dapat menampung air (Hermana,2007).

1.1.7 Pengobatan Pengobatan Filariasis dilakukan dengan cara pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6 mg/kgbb, Albendazol 400 mg dan Parasetamol 500 mg. Pengobatan massal bertujuan untuk mematikan semua mikrofilaria yang ada di dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan, sehingga memutuskan rantai penularannya. Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap semua penduduk yang tinggal di daerah endemis Filariasis, tetapi pengobatan untuk sementara di tunda bagi anak berusia kurang dari 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit berat, penderita kasus kronis Filariasis sedang dalam serangan akut, anak berusia kurang dari 5 tahun dengan marasmus dan kwashiorkor. Pemberian obat menggunakan obat Diethylcarbamazine Citrate (DEC), Albendazol dan Paracetamol diberikan sekali setahun selama lima 5 tahun. Sebaiknya obat diberikan sesudah makan dan di depan petugas kesehatan (Depkes RI, 2006). 1.2 Faktor Lingkungan Yang mempengaruhi Penyakit Filariasis Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus Filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B. malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkonnhtaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx. quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis W. bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis B. malayi.

Lingkungan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, dimana di Kecamatan Dumbo yang sebagian daerahnya merupakan daerah padat penduduk serta saat musim hujan seringdi landa banjir dan digenangi oleh air. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. a. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan Filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes reservoir (kera, lutung dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B. malayi sub periodik nokturna dan non periodik. 1. Suhu udara Suhu udara berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Menurut Chwatt (1980), suhu udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25-30o C. 2. Kelembaban udara Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembangbiak, kebiasaan menggigit, istirahat, dan lain-lain dari nyamuk. Tingkat kelembaban 60%

merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan. 3. Angin Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau keluar rumah, adalah salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak terbang nyamuk Anopheles adalah terbatas biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat perindukannya. Bila ada angin yang kuat nyamuk Anopheles bisa terbawa sampai 30 km. 4. Hujan Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan jenis vektor dan jenis tempat perkembangbiakan (breeding place). 5. Sinar matahari Sinar matahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada spesies nyamuk. Nyamuk An. aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembang biak dalam air yang ada sinar matahari dan adanya peneduh. Spesies lain tidak menyukai air dengan sinar matahari yang cukup tetapi lebih menyukai tempat

yang rindang, Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. 6. Arus air An. barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis / mengalir lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras dan An. letifer menyukai air tergenang. An. Maculatus berkembang biak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti. 7. Tempat perkembangbiakan nyamuk Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah tempat-tempat penampungan air di dalam maupun di luar sekitar rumah seperti genangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar harus selalu berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi genangan air dibedakan atas genangan air besar dan genangan air kecil. Empat jenis nyamuk yang membawa penyakit kepada manusia (medically important mosquitos) mempunyai tempat perindukan (breeding places) pula, yaitu nyamuk Culex pada air yang kotor (polluted water), Aedes pada air yang jernih (clear water), Anopheles pada air yang banyak zat asam (oxygenated water), dan Mansonia pada air yang banyak tumbuhan air (planted water). Misalnya tempat penamungan air yang terbuka seperti drum, ember, bak mandi, tangki air, pelepah pohon dan lain-lain.

8. Tempat peristirahatan (Resting Place) Nyamuk Aedes, Anopheles, Culex dan Mansonia hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya, biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. di tempat-tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telur. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah telur terendam air. Tempat yang di gemari nyamuk anopheles untuk beristirahat selama menunggu bertelur adalah tempat yang lembab seperti gua, lubang lembab, tempat yang berwarna gelap dan lain lain. 9. Pemasangan kawat kasa Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah. Menurut Davey (1965) penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia. b. Lingkungan Biologik Lingkungan biologik dapat menjadi faktor pendukung terljadinya penularan Filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air, genangan air,

rawa-rawa, dan semak-semak sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah, hal ini tergantung pada kesukaan menggigit nyamuknya. Telur Mansonia ditemukan melekat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 10-16 butir. Telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing. Lalu, larva dan pupanya melekat pada akar atau batang tumbuhan air dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut, kalau pada larva terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan pada terompet. Sehingga, dengan alat kait itu, baik siphon maupun terompet dapat berhubungan langsung dengan udara (Oksigen) yang ada di jaringan udara tumbuhan air. Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk Mansonia, dan kita tahu bersama kalau spesies nyamuk ini merupakan salah satu vektor penularan dari penyakit kaki gajah. Adapun tumbuhan air yang dijadikan sebagai inang Mansonia sp., antara lain eceng gondok, kayambang, dan lainnya. Akhirnya, untuk memberantas dan memutuskan penularan Penyakit Filariasis ini,

selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakitnya. Caranya, bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya. Atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk Mansonia sp. c. Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Lingkungan sosial, ekonomi dan kultur adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak vektor (bila vektornya menggigit pada malam hari). Insiden Filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insidens Filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya a. Pekerjaan Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat berisiko untuk terkena Filariasis, diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. Menurut Astri (2006) diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian Filariasis (p=0,003). b. Pendidikan Tingkat pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian Filariasis tetapi umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan perilaku kesehatan seseorang.

1.3 Definisi Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Jadi yang dimaksud perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain; berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya (Notoatmodjo,2007;1). Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersagkutan (Notoatmodjo, 2007; 138). Sedangkan menurut Sunaryo (2006; 4), perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Menurut skinner bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon (Notoatmodjo, 2003; 3). Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari (Notoatmodjo, 2007;138). 1.3.1 Klasifikasi Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makan dan minuman serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003; 25). Menurut Becker (1979) perilaku kesehatan dapat diklasifikasi menjadi 3 kelompok yaitu;

1. Perilaku sehat Perilaku yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Hal ini mencakup makan dengan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum minuman keras dan narkoba, istirahat cukup, mengendalikan stres. 2. Perilaku sakit Perilaku ini merupakan respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan usaha-usaha untuk mencegah penyakit. 3. Perilaku peran orang sakit Segala aktivitas individu yang menderita sakit untuk memperoleh kesembuhan. Dari segi sosiologi, orang sakit mempunyai peran yang meliputi hak dan kewajiban orang sakit. Peran orang sakit meliputi hal-hal berikut; a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan b. Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan atau penyembuhan penyakit yang layak. c. Mengetahui hak (misalnya, memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan) dan kewajiban orang sakit (memberi tahu penyakitnya pada orang lain terutama petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya pada orang lain). 1.3.2 Domain Perilaku Menurut Benyamin Bloom (1908) seperti dikutip Notoatmodjo (2003), membagi perilaku manusia dalam tiga domain (ranah/kawasan). Yaitu kognitif,

afektif, dan psikomotor. Sementara itu, menurut Ki Hajar Dewantara, perilaku manusia terdiri atas Cipta (kognisi). Rasa (emosi), dan Karsa (konasi). Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini (dalam Notoatmodjo, 2010) untuk kepentingan pendidikan praktis, ketiga domain tersebut dapat diukur dari; a) Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, dan lain sebagainya) (Taufik, 2007; 1) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu: 1. Faktor Internal Faktor internal merupakan karakteristik dari orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan (given) seperti ras, sifat fisik, sifat kepribadian, bakat bawaan, tingkat kecerdasan dan jenis kelamin. a. Pengalaman, yakni suatu sumber pengetahuan dan pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sehingga semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang untuk informasi yang didapatkan akan semakin baik. b. Umur, adalah yakni lama waktu hidup atau ada sejak dilahirkan atau diadakan pada batas umur tertentu, seseorang mengalami suatu perkembangan dalam proses kematangan. Batas umur tersebut adalah 17-22 tahun dimana terjadi proses fisiologis yang menyebabkan beberapa perubahan tertentu, baik kualitatif,

maupun kuantitatis bersifat fisiologis maupun psikologis. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya (Departemen Pendidikan Nasional, 2008; 20). c. Pendidikan yakni bimbingan yang diberikan terhadap orang lain menuju cita-cita tertentu, makin tinggi tingkat pendidikan makin mudah untuk menerima informasi, sehingga banyak pengetahuan yang dimiliki(nursalam, 2001; 132). 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal meliputi lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Faktor lingkungan sering merupakan faktor yang dominan terhadap perilaku seseorang. a. Lingkungan yang merupakan segala sesuatu proses bantuan yang ditempuh oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan. b. Informasi yang merupakan penerangan, keterangan, pemberitahuan, kabar atau berita tentang keseluruhan makna yang menunjang amanat, semakin banyak informasi yang diterima oleh seseorang baik melalui media massa, media cetak dan lain-lain maka semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, (Nursalam, 2001 ; 124) c. Sosial budaya yang merupakan kepercayaan yang diterima berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu akan semakin menambah pengetahuan seseorang, (Nursalam, 2001 ; 54) d. Pekerjaan yaitu dimana manusia memerlukan pekerjaan untuk dapat berkembang dan berubah. Seseorang bekerja bertujuan untuk mencapai suatu keadaan yang

lebih dari keadaan sebelumnya. Dengan bekerja seseorang dapat berbuat sesuatu yang bernilai, bermanfaat dan memperoleh berbagai pengetahuan, (Nursalam, 2002 ; 112). b) Sikap (Attitude) Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baikdan sebainya) (Notoatmodjo, 2010 ; 29). Menurut Allport (1954 dalam Notoatmodjo, 2010) sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yakni : a. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. sikap orang terhadap penyakit filariasis misalnya, berarti bagaimana pendapat atau keyakinan orang tersebut terhadap Penyakit Filariasis. b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. seperti contoh yang berarti bagaimana orang menilai terhadap Penyakit Filariasis, apakah penyakit yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan. c. Kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah merupakan ancangancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Misalnya tentang contoh sikap terhadap Penyakit Filariasis di atas adalah apa yang dilakukan seseorang bila ia menderita Penyakit Filariasis.

Ketiga komponen tersebut di atas secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. c) Praktik atau Tindakan (Practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antar lain adalah Fasilitas dan faktor dukungan praktik ini mempunyai beberapa tingkatan: 1) Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. 2) Respon terpimpin (guide response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua. 3) Mekanisme (mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. 4) Adopsi (adoption) Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

1.3.3 Determinan Perilaku Manusia Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan respons (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku ini, masing-masing mendasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun. Dalam bidang perilaku kesehatan, ada 3 teori yang sering menjadi acuan dalam penelitianpenelitian kesehatan masyarakat. Salah satu teori dari ketiga teori tersebut yaitu (Notoatmodjo, 2005). 1. Teori Lawrence Green Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non behavioral factors atau faktor non perilaku. Green juga menganalisis bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu: a. Faktor-faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya. b. Faktor-faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang menfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas puskesmas, posyandu, rumah sakit, tempat

pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempt olahraga, makanan bergizi, uang, dan sebagainya. c. Faktor-faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong ayau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. 1.4 Perilaku Kepala Keluarga Yang Mempengaruhi Terjadinya Penyakit Filariasis Perilaku dan kebiasaan kepala keluarga merupakan hal yang bisa mempengaruhi terjadinya Penyakit Filariasis pada kepala keluarga yang berada di daerah yang endemis dengan Penyakit Filariasis. Perilaku kepala keluarga tersebut seperti: a. Pengetahuan yaitu pengetahuan kepala keluarga yang mempengaruhi penyakit Filariasis yaitu pengetahuan kepala keluarga terhadap cara penularan Filariasis, gejala Filariasis, pencegahan Filariasis, siapa saja yang dapat menderita Penyakit Filariasis dan pengobatan Filariasis tersebut. b. Sikap yaitu sikap kepala keluarga yang berhubungan dengan Penyakit Filariasis adalah sikap kepala keluarga dalam mencegah Penyakit Filariasis dan cara pemberantasan sarang nyamuk yang menjadi vektor penyebab Penyakit Filariasis tersebut apabila daerah yang di tempati sudah menjadi daerah yang endemis dengan Penyakit Filariasis. c. Tindakan yaitu tindakan kepala keluarga yang berhubungan dengan Penyakit Filariasis adalah bagaimana cara kepala keluarga dalam melakukan dan

berpartisipasi memberantas sarang nyamuk seperti menguras tempat penampungan air, mendukung program PSN dan juga melakukan pemeriksaan rutin jika terjadi demam dan pembengkakan pada kaki lengan.

1.5 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep Penelitian 1.5.1 Kerangka Teori Lingkungan Fisik - Suhu - Tingkat kelembaban - Angin - Hujan - Intensitas cahaya - Tempat perindukan nyamuk - Tempat peristirahatan nyamuk - Pemakaian kawat kasa Agent Mikrofilaria Jenis Vektor/ species nyamuk Lingkungan Biologi - Keberadaan tanaman air (Enceng gondok) Lingkungan Sosial, Ekonomi - Tingkat pendidikan - Jenis pekerjaan - Tingkat penghasilan Perilaku - Pengetahuan - Sikap - Tindakan Vektor Filariasis Gigitan nyamuk yang mengandung larva cacing filaria (L3) Kejadian Filariasis Penderita - Sakit - Carier - cacat Gambar 2.2 Kerangka Teori

2.5.2 Kerangka Konsep Penelitian Faktor Lingkungan Fisik Suhu Kelembaban Tempat Perindukan Nyamuk Kejadian Penyakit Filariasis Tempat Peristirahatan Nyamuk Pengetahuan Sikap Faktor Perilaku Masarakat Gambar 2.3 Kerangka Konsep Keterangan : : Variabel Independen : Variabel Dependen : Yang diteliti Dari kerangka konsep bisa di lihat yang menjadi faktor-faktor terjadinya penyakit Filariasis pada masyarakat yaitu: Faktor lingkungan fisik dan faktor perilaku. Dimana faktor lingkungan fisik meliputi suhu, kelembaban, tempat perindukan (berkembang biak) nyamuk dan tempat peristirahatan nyamuk. Sedangkan untuk faktor perilaku terdiri dari Pengetahuan dan sikap.