HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat

Kajian Mutu dan Palatibilitas Silase dan Hay Ransum Komplit Berbasis Sampah Organik Primer pada Kambing Peranakan Etawah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Fermentasi Silase Beberapa Jenis Rumput

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

I. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah mempunyai banyak dampak pada manusia dan lingkungan antara lain

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. penampilan barang dagangan berbentuk sayur mayur yang akan dipasarkan

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang,

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Lama Fermentasi dan Penambahan Inokulum terhadap Kualitas Fisik Silase Rumput Kalanjana

I. PENDAHULUAN. Pemenuhan kebutuhan pakan hijauan untuk ternak ruminansia, selama ini telah

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Limbah telah menjadi masalah utama di kota-kota besar Indonesia. Pada tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Warna Silase Rumput Gajah purpureum) pengaruh penambahan S. cerevisiae pada berbagai tingkat

Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

Komparasi Antara Silase dan Hay Sebagai Teknik Preservasi Daun Rami Menggunakan Model Respon Produktivitas

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG

TINJAUAN PUSTAKA Daun Rami dan Pemanfaatannya

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Februari 2015 di Jurusan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

TINJAUAN PUSTAKA. areal sekitar luas 1,5 juta hektar (ha) dari luasan tersebut pada tahun 2005 dapat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Musim kemarau di Indonesia menjadi permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Statistik peternakan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa populasi

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al.,

SAMPAH POTENSI PAKAN TERNAK YANG MELIMPAH. Oleh: Dwi Lestari Ningrum, SPt

BAB I PENDAHULUAN. kasar yang tinggi. Ternak ruminansia dalam masa pertumbuhannya, menyusui,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

I. PENDAHULUAN. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta

Okt ,30 75,00 257,00 Nop ,30 80,00 458,00 Des ,10 84,00 345,00 Jumlah 77,70 264, ,00 Rata-rata 25,85 88,30 353,34

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Energi Bruto

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternakan karena keberhasilan usaha peternakan sangat ditentukan oleh

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

TINJAUAN PUSTAKA Mahkota Nanas sebagai Bahan Pakan Ruminansia spesies. Nanas dikenal dengan nama latin yaitu Ananas comosus (Merr.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

BAB I PENDAHULUAN. reproduksi. Setiap ternak ruminansia membutuhkan makanan berupa hijauan karena

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Unsur-unsur Nutrien dalam Singkong (dalam As Fed)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penyediaan Pakan Pemeliharaan Hewan Uji

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

PENDAHULUAN. rendah adalah masalah yang krusial dialami Indonesia saat ini. Catatan Direktorat

BAB I. PENDAHULUAN. pertanian atau sisa hasil pertanian yang bernilai gizi rendah sebagai bahan pakan

MATERI DAN METODE. Metode

MATERI DAN METODE P1U4 P1U1 P1U2 P1U3 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4. Gambar 1. Kambing Peranaka n Etawah yang Diguna ka n dalam Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Tanaman Nenas dan Limbahnya Sebagai Bahan Pakan. Tanaman nenas ( Ananas comosus L. Merr) merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

JENIS PAKAN. 1) Hijauan Segar

TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan dan Pertambahan Bobot Ternak Domba. Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran yang

Petunjuk Praktis Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Pelepah Kelapa Sawit sebagai Pakan Ternak. disebarluaskan ke Sumatera dan Malaysia (Aritonang, 1986).

BAB III MATERI DAN METODE. dengan kuantitas berbeda dilaksanakan di kandang Laboratorium Produksi Ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PEMBERIAN SILASE KLOBOT JAGUNG DALAM RANSUM TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI DOMBA LOKAL JANTAN. Oleh: PURWANTO H

HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI KUALITAS SILASE LIMBAH SAYURAN PASAR YANG DIPERKAYA DENGAN BERBAGAI ADITIF DAN BAKTERI ASAM LAKTAT

PEMBUATAN BIOPLUS DARI ISI RUMEN Oleh: Masnun, S.Pt., M.Si

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung dalam bahasa ilmiahnya disebut Zea mays L. adalah salah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan 24 ekor Domba Garut jantan muda umur 8 bulan

Transkripsi:

44 HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I: Kualitas Silase Ransum Komplit Penelitian terhadap kualitas silase ransum komplit dilakukan dengan cara mengukur ph, jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL), bahan kering, bahan organik, kandungan nutrsi (abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar), dan organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa silase ransum komplit dengan waktu fermentasi selama enam minggu dan kandungan air 60% memiliki kualitas yang baik (Tabel 10). Tabel 10 Kualitas fermentasi silase ransum komplit Kualitas Fermentasi Nilai Nilai ph 1 Ulangan I 4.51 Ulangan II 4.48 Ulangan III 4.51 Jumlah Koloni BAL (CFU/g) 2 Ulangan I 1.74x10 6 Ulangan II 1.73x10 6 Ulangan III 1.76x10 6 Total Asam (mg/ml) 9.15 Sumber : 1 Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, 2007 2 Hasil analisis Laboratorium LIPI, Cibinong, 2007 Kualitas silase yang baik dicapai ketika asam laktat sebagai asam yang dominan diproduksi. Hasil fermentasi sangat efisien ketika penurunan ph silase terjadi dengan cepat. Menurut McCullough (1978) ph silase dapat digolongkan menjadi 4 kriteria yaitu : baik sekali (ph 3.2-4.2), baik (4.2-4.5), sedang (ph 4.5-4.8) dan buruk (ph> 4.8). Nilai ph merupakan salah satu faktor penentu dalam tingkat keberhasilan dari produk fermentasi (Kung dan Neylon 2001). Kualitas silase ransum komplit yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kualitas yang baik dan layak untuk menjadi pakan ternak, yaitu memiliki ph yang sedang (4.51-4.48).

45 Jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL) juga merupakan kriteria yang penting diperhatikan untuk mengetahui kualitas terhadap hasil proses fermentasi. Silase ransum komplit yang dihasilkan pada penelitian ini mengandung jumlah bakteri asam laktat sebesar 1.74x10 6 CFU/g (Tabel 10). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bolsen et al. (2000b), yang menyatakan bahwa silase tanpa diinokulasi bakteri asam laktat dapat mencapai populasi sekitar 10 6 CFU/g. Semakin banyak jumlah koloni bakteri asam laktat yang dihasilkan maka produk fermentasi tersebut akan semakin baik, karena bakteri asam laktat juga menghasilkan antimikroba yang dapat mengalahkan bakteri yang tidak diinginkan (Komang et al. 2005). Jumlah koloni bakteri asam laktat menggambarkan baik buruknya hasil dari produk fermentasi. Mekanisme kerja bakteri asam laktat disini adalah menekan kemampuan hidup mikroorganisme patogen karena mampu memproduksi komponen anti bakteria seperti hidroksi peroksida dan asam-asam organik seperti asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan sangat berperan dalam menurunkan ph (Lopez 2000). Hal ini sesuai dengan laporan Jaurena et al. (2005), yaitu jika fase ensilase dapat didominasi oleh bakteri asam laktat dengan ph 3.5-4.5 dapat dinyatakan bahwa poduk fermentasi tersebut memiliki kualitas yang baik. Habitat dari bakteri asam laktat ini sangat beragam dan toleran terhadap ph 4.0-6.8, bahkan Pediococcus (cerevisae) dapat bertahan pada ph 3.5 (Bolsen dan Sapienza 1993). Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif yang memproduksi asam, sehingga semakin tinggi jumlah BAL dalam proses fermentasi maka aktivitas bakteri pembusuk akan semakin terhambat dan mati. Hal ini sangat baik untuk silase yang mengalami proses penyimpanan dalam waktu lama. Namun jika terdapat udara yang masuk dalam silo maka jamur dapat tumbuh dengan baik, sehingga akan merusak kualitas silase (Kunkle et al. 2000). Tabel 11 Keadaan fisik silase ransum komplit Penampakan fisik silase ransum komplit Warna Bau Rasa Hijau kecoklatan Asam Keasaman

46 Sumber : Hasil organoleptik, 2007 Uji penampakan fisik dilakukan untuk menilai kualitas fisik produk hasil fermentasi dengan bantuan organ indrawi. Sifat fisik yang diuji meliputi warna, bau dan rasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa silase ransum komplit memiliki warna, bau dan rasa yang baik (Tabel 11). Uji penampakan fisik silase ransum komplit menunjukkan bahwa silase bersifat asam baik rasa dan bau, dan berwarna hijau kecoklatan. Sifat asam terkait dengan banyaknya populasi bakteri asam laktat. Hasil uji Comparison of Mean Rank Test menunjukkan bahwa tekstur silase ransum komplit berkisar antara agak halus dan agak kasar. Hal ini sejalan dengan penelitian Ridla et al. (2007), bahwa kualitas silase yang baik berwarna hijau kecoklatan, teksturnya lembut, tidak berlendir, tidak berjamur, memiliki ph yang rendah dan berbau wangi (asam). Abdelhadi et al. (2005) menyatakan silase yang baik memiliki warna yang tidak jauh berbeda dengan warna bahan dasar itu sendiri, memiliki ph rendah dan baunya asam. Tekstur hijauan masih seperti semula, tidak berjamur, tidak berlendir, tidak menggumpal, dan banyak mengandung asam laktat (Adesogan 2006). Hasil akhir utama yang mempengaruhi kualitas fermentasi yaitu tingkat kehilangan bahan kering dan kadar nutrisi dari bahan tersebut. Silase ransum komplit pada percobaan ini memiliki bahan kering 40%, sehingga proses fermentasi berjalan sedikit lambat. Fermentasi normal yaitu kadar bahan kering 30-35% dan jika kehilangan bahan kering sebesar 20% maka kadar nutrisinya akan hilang sebesar 15% (Bolsen dan Sapienza 1993). Tahap IIa: Kecernaan In Vitro Nilai kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) merupakan salah satu petunjuk besarnya sumbangan serat pakan bagi ternak yang mengkonsumsinya. Hasil percobaan kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro silase dan hay ransum komplit disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan ransum (silase ransum komplit dan hay ransum komplit) berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kecernaan

47 bahan kering. Silase ransum komplit menghasilkan kecernaan bahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan hay ransum komplit, namun tidak berpengaruh terhadap kecernaan bahan organik. Tabel 12 Kercernaan in vitro silase dan hay ransum komplit Peubah Perlakuan KCBK KCBO Silase Ransum Komplit 54.22 A ± 0.03 52.58±3.15 Hay Ransum Komplit 48.43 B ± 0.13 48.28±0.18 Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). KCBK = Kecernaan Bahan Kering, KCBO = Kecernaan Bahan Organik Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan silase ransum komplit dapat memperbaiki kecernaan bahan kering, tetapi tidak untuk bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan organik pada percobaan ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Yatno dan Parakkasi (2005), yaitu kecernaan bahan kering 54.15% dan kecernaan bahan organik 53.76% (in vitro) terhadap kecernaan sabut sawit yang diproses menggunakan effective microorganism (EM4) dan hasil penelitian Aryogi dan Umiyasih (2001), dimana rataan kecernaan bahan kering dan bahan organik (in vitro) adalah sebesar 65.3% dan 93,7% pada penggunaan cassapro dengan lama fermentasi yang berbeda. Tahap IIb: Uji Palatabilitas Percobaan ini menggunakan tiga jenis ransum yang terdiri dari ransum kontrol, silase ransum komplit, dan hay ransum komplit dengan kandungan nutrisi masingmasing ransum seperti yang disajikan pada Tabel 8. Pemberian ketiga jenis ransum sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi palatabilitas ternak yang terlihat dari konsumsi bahan kering ransum yang berbeda. Nilai rataan konsumsi bahan kering (BK) ketiga jenis ransum disajikan pada Tabel 13. Kelompok Tabel 13 Konsumsi bahan kering ransum percobaan (g) Perlakuan Rataan Kontrol SRK HRK

48 1 650.08 A ±8.34 557.61 B ±13.13 486.99 C ±1.21 564.89 A ±81.79 2 602.84 A ± 12.18 468.62 B ±8.48 371.88 C ± 35.29 481.11 A ±115.99 645.87 A ± 3 524.24 B ±28.47 455.67 C ±17.13 541.93A ±96.33 34.87 Rataan 632.93 A ±21.35 516.82 B ±36.71 438.18 C ±18.08 Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) SRK = silase ransum komplit, HRK = hay ransum komplit Kelompok 1 = kambing Peranakan Etawah laktasi I Kelompok 2 = kambing Peranakan Etawah laktasi II Kelompok 3 = kambing Jawa Randu laktasi II Tabel 13 menunjukkan bahwa kambing yang diberi ransum kontrol memperlihatkan jumlah konsumsi bahan kering (BK) ransum sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi (632.93 g/hari) dibandingkan dengan konsumsi BK silase ransum komplit (516.82 g/hari) dan hay ransum komplit (438.18 g/hari). Namun tidak berpengaruh nyata pada masing-masing kelompok kambing. Hal ini memperlihatkan bahwa ransum jenis silase ransum komplit dan hay ransum komplit kurang disukai kambing. Konsumsi silase ransum komplit sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi dibandingkan hay ransum komplit. Kondisi ini membuktikan bahwa silase ransum komplit memiliki tingkat palatabilitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan hay ransum komplit. Banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak dapat menggambarkan nilai palatabilitas dari ransum tersebut (Lawrence 1990). Jumlah bahan kering yang dikonsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu palatabilitas, kecernaan serat, laju aliran pakan, status protein (Wallace dan Newbold 1992), sifat fisik dan kimia pakan, produksi, bobot hidup dan perkembangan saluran pencernaan (Parakkasi 1983). Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan (fisik dan kimiawi) yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsinya (Davendra dan Burns 1994). Silase ransum komplit memiliki bau asam yang menyengat akibat proses fermentasi. Bau asam yang menyengat untuk rasa silase ini diduga penyebab

49 ketidaksukaan kambing dalam mengkonsumsi ransum tersebut. Kambing merupakan jenis ternak yang mempunyai kebiasaan memilih pakan yang akan dikonsumsinya (Davendra dan Burns 1994). Pada ternak ruminansia rangsangan penciuman (bau/aroma) sangat penting bagi ternak untuk mencari dan memilih makanan (Dukes 1955). Demikian pula rangsangan selera (rasa) akan menentukan apakah pakan tersebut akan dikonsumsi oleh ternak atau tidak. Kambing umumnya menolak pakan yang telah disentuh oleh ternak lain dan tidak dapat mengkonsumsi satu jenis pakan saja dalam waktu yang lama. Kambing dapat membedakan rasa pahit, manis, asin dan asam dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap rasa pahit (Davendra dan Burns 1994). Hay ransum komplit merupakan ransum jenis kering dengan kadar air <14%. Proses pengeringan ini menyebabkan beberapa komponen penyusun ransum sampah sayuran pasar seperti kulit jagung, kol, kulit kembang kol dan ampas tahu menggumpal dan keras sehingga sulit untuk dikonsumsi oleh kambing. Kebanyakan kambing hanya mengkonsumsi ransum berbentuk serbuk saja yang mengakibatkan rendahnya tingkat konsumsi. Adapun tujuan pembuatan ransum kering adalah mengurangi kadar air sehingga aman untuk disimpan tanpa mengalami kerusakan atau hilangnya nilai nutrisi secara serius. Namun demikian fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk komponenkomponen tertentu seperti kulit jagung, kulit kembang kol dan ampas tahu mengalami penggumpalan, sehingga menjadi sulit untuk dikonsumsi oleh kambing. Apabila ditinjau dari kualitas ransum yang diberikan dalam penelitian ini, ransum kontrol yang mengandung protein kasar sebesar 19.09% dan TDN sebesar 65.66%. Hay ransum komplit mengandung protein kasar sebesar 16.77% dan TDN sebesar 58.41%, sedangkan silase ransum komplit mengandung protein kasar sebesar 17.54% dengan nilai TDN sebesar 60.45%. Data tersebut menggambarkan bahwa kualitas nutrisi masing-masing pakan yang diberikan telah memenuhi kebutuhan minimal kambing perah laktasi yaitu : protein sebesar 16% dan TDN 60%. Menurut Wallace dan Newbold (1992) bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh kualitas protein. Ransum kontrol memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan silase ransum komplit dan hay ransum komplit, sehingga perbedaan kandungan nilai protein ini juga diduga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi ransum. Menurut Davendra dan Burns

50 (1994), kambing perah yang hidup di daerah tropis mempunyai konsumsi bahan kering 2.8-4.9% dari bobot badan. Penggunaan silase dan hay ransum komplit setiap harinya cenderung memperlihatkan angka yang semakin menurun (Gambar 5. 6. 7). Kecenderungan penurunan pada silase dan hay ransum komplit tersebut kemungkinan disebabkan oleh tingginya komponen sampah sayuran sebagai penyusun utama ransum dibandingkan dengan komponen lain, yaitu 41%. Sementara komponen lainnya seperti ampas tahu memiliki sebesar 27%, dedak padi sebesar 16.7%, onggok sebesar 9%, bungkil inti sawit sebesar 6.2% dan premix sebesar 0.1%. Kelompok 11 Konsumsi g/ 750 650 550 450 350 250 150 50 1 2 3 4 5 6 7 Hari Penelitia Hari Penelitian Kontrol SRK HRK Gambar 5 Grafik konsumsi bahan kering ransum (g/hari) kambing kelompok 1

51 Kelompok 2 Kelompok 2 750 Konsumsi g/ 650 550 450 350 250 150 50 1 2 3 4 5 6 7 Hari Penelitian Kontrol SRK HRK mbar 6 Grafik konsumsi bahan kering ransum (g/hari) kambing kelompok 2 Ga Adanya kandungan pestisida pada ransum sampah sayuran pasar baik pada silase ransum komplit dan hay ransum komplit diduga juga menjadi penyebab rendahnya palatabilitas ransum. Hal ini tercermin dari tingkah laku kambing yang cukup selektif dalam memilih pakan yang akan dikonsumsinya. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ridla et al. (2007) pada ternak sapi perah. Pemberian silase dan hay dengan bahan dasar sampah sayuran pasar menunjukkan masih adanya residu pestisida. Ransum silase mengandung pestisida berupa fenitrotion sebesar 0.0019 ppm, sedangkan hay mengandung pestisida berupa diazinon sebesar 0.0003 ppm dan fenitrotion sebesar 0.0010 ppm. Hal ini mengindikasikan bahwa pengolahan pakan baik berupa fermentasi dan pengeringan belum mampu menghilangkan kandungan residu pestisida pada pakan, terutama dari golongan organofosfat yaitu diazinon dan fenitrotion. Diazinon adalah salah satu insektisida golongan organofosfat yang banyak dipakai dalam usaha pertanian, untuk mengendalikan hama pada tanaman padi dan sayuran. Walaupun

52 demikian, Ridla et al. (2007) menyatakan bahwa tingkat residu pakan tergantung dari komposisi sayur-sayuran dan kulit jagung yang digunakan. 750 Kelompok 33 Konsumsi g/ 650 550 450 350 250 150 Kontrol SRK HRK 50 1 2 3 4 5 6 7 Hari Hari Penelitian Ga mbar 7 Grafik konsumsi bahan kering ransum (g/hari) kambing kelompok 3 Tahap III. Daya Simpan Pakan Organoleptik Silase dan Hay Ransum Komplit setelah Penyimpanan Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa silase ransum komplit tidak terjadi perubahan secara fisik, dimana tidak ada perubahan baik dari segi warna, rasa, bau dan juga tekstur selama delapan minggu masa penyimpanan. Silase ransum komplit dalam penelitian ini berwarna hijau kecoklatan (Gambar 8), teksturnya lembut tidak berlendir, tidak berjamur, bau asam, rasa keasaman dan memiliki ph yang rendah. Sedangkan pada hay ransum komplit terjadi perubahan terhadap warna (Gambar 9) dan bau pada minggu ke delapan (Tabel 14). Warna hay ransum komplit berubah dari hijau kecoklatan menjadi coklat kehitaman dan baunya mulai apek. Hal ini sejalan dengan penelitian Dung et al. (2005), yang menyatakan bahwa hay yang disimpan dalam waktu 3 bulan

53 terjadi perubahan terhadap warna dan bau. Sementara silase yang disimpan dalam jangka waktu yang lama bentuknya masih segar (Kunkle et al. 2000). Tabel 14 Sifat fisik silase dan hay ransum komplit selama penyimpanan Peubah Ransum Baik Kurang baik Warna Bau Cendawan/lendir SRK HRK SRK HRK SRK HRK Hijau kecoklatan - Asam - Bersih/tidak berlindir - Coklat kehitam - Apek/ketengikan Sedikit berjamur Sumber : Hasil analisis organoleptik, 2007 Keterangan : SRK = silase ransum komplit, HRK = hay ransum komplit Hasil analisis statistik secara deskriptif menunjukkan bahwa penyimpanan silase ransum komplit dan hay ransum komplit tidak berpengaruh terhadap tingkat keasaman (ph) maupun populasi bakteri asam laktat (Gambar 10. 11). Hal ini menunjukkan bahwa proses ensilase sudah memasuki fase stabil. Jika proses ensilase terjadi secara sempurna maka komposisi kimia silase ransum komplit baik ph, populasi BAL maupun kandungan nutrisi lainnya relatif tidak mengalami perubahan walaupun disimpan dalam waktu lama. Minggu 2 Minggu 4

54 Minggu 6 Minggu 8 Gambar 8 Warna silase ransum komplit selama penyimpanan Minggu 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Gambar 9 Warna hay ransum komplit selama penyimpanan

55 Nilai ph 4.45 4.4 4.35 4.3 4.25 4.2 4.15 4.1 4.05 4 4.4 4.39 4.41 4.36 4.324.33 4.28 4.15 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Waktu penyimpanan SRK HRK Gambar 10 Laju perubahan ph selama penyimpanan Mekanisme laju penurunan ph adalah bahwa selama proses penyimpanan berlangsung dalam kondisi an aerob, maka BAL masih berkembang dengan baik sehingga keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia. Semakin banyak asam laktat yang diproduksi maka semakin cepat laju penurunan ph. Bolsen et al. (2000b) melaporkan bahwa silase dengan ph rendah dapat disimpan dalam waktu beberapa tahun. Hasil analisis statistik secara deskriptif menunjukkan bahwa perkembangan bakteri asam laktat pada minggu kedua dan minggu kedelapan tidak menunjukkan adanya perubahan. Hal ini diduga karena SRK sudah memasuki fase stabil. Jumlah koloni BAL sebesar 1.74x10 6 CFU/g merupakan kriteria silase yang baik. Jumlah ini sesuai dengan penelitian Bolsen et al. (2000b), bahwa silase tanpa diinokulasi BAL dapat mengandung sekitar 1.74x10 6 CFU/g. Asam laktat yang di hasilkan sangat berperan untuk menurunkan ph (Lopez 2000). Bakteri asam laktat bisa menghambat mikroorganisme lain terutama yang merugikan sehingga dapat dikatakan bakteri ini mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kualitas dan keamanan produk pangan. Jaurena et al. (2005) menyatakan bahwa adanya bakteri asam laktat akan mengakibatkan silase lebih efektif untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama.

56 Sedangkan jumlah koloni bakteri asam laktat yang terkandung pada hay ransum komplit mengalami penurunan sebesar 3.4x10 5 CFU/g selama delapan minggu penyimpanan (Gambar 11). Hal ini disebabkan karena hay ransum komplit disimpan dalam kondisi stabil setelah melalui proses pengeringan sehingga tidak terjadi peningkatan terhadap bakteri asam laktat. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kekuatan silo dalam mempertahankan suasana an aerob (Bolsen et al. 2000a). Pada fase stabil proses pertumbuhan dan kematian BAL seimbang, sehingga tidak terjadi lagi peningkatan asam laktat yang diproduksinya. Disamping itu sejumlah bakteri Clostridia dimungkinkan tumbuh, hal ini akan kembali menaikkan ph (Schroeder 2004). 3000000 2500000 2.4x10 6 cfu/gram 2000000 1500000 1000000 1.74x10 6 1.74x10 6 silase hay 500000 0 1 2 Minggu 2 Minggu 8 3.4x10 5 Waktu penyimpanan Gambar 11 Perkembangan BAL selama penyimpanan Keadaan Nutrien Pakan selama Penyimpanan Keadaan kadar nutrisi silase ransum komplit dan hay ransum komplit selama delapan minggu penyimpanan disajikan pada Tabel 15. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak adanya perubahan kandungan nutrisi selama delapan minggu penyimpanan, baik pada silase ransum komplit, maupun hay ransum komplit (Tabel 15). Meskipun demikian, silase ransum komplit memiliki kualitas protein yang lebih baik

57 (P<0.05) dibandingkan dengan hay ransum komplit selama delapan minggu penyimpanan. Hal ini diduga karena silase disimpan dalam kondisi an aerob sehingga dapat memproduksi asam laktat dalam jumlah yang banyak. Asam laktat ini berfungsi untuk mengurangi dan menghambat pertumbuhan serangga, mikroorganisme maupun faktor biokimia lainnya yang dapat menurunkan kualitas nutrisi pakan. Ridla et al. (2007) melaporkan bahwa fermentasi merupakan teknologi pengawetan yang sangat cocok. Parame ter Tabel 15 Keadaan nutrien pakan perlakuan selama penyimpanan (100% BK) Jenis Lama Penyimpanan (Minggu) Ransum 2 4 6 8 Rataan Abu PK SK LK SRK 8.39± 0.10 7.67. ±0.67 8.09±0.46 8.79. ±055 8.22 A ± 0.10 HRK 7.49±1.06 6.69±0.06 6.99±0.10 6.66±0.10 6.92 B ± 1.06 SRK 15. 80±0.11 16.31±1.39 16.96±0.81 13.60±0.36 15.66 A ± 0.11 HRK 13.83±1.57 13.36±0.42 13.00±0.50 12.32±0.34 13.13 B ± 1.57 SRK 21.68±0.50 29.76±2.85 26.03±1.80 27.75±2.37 26.30± 0.50 HRK 25.01±0.87 18.54±0.21 21.10±1.62 17.75±0.39 20.60±0.87 SRK 2.00±0.08 2.74±0.46 3.57±0.68 2.73±0.38 2.76± 0.08 HRK 2.59±0.09 2.30±0.24 2.75±0.19 3.01±0.88 2.66±0.09 Beta-N SRK 52.12±1.29 42.98±3.02 45.36±2.21 47.20±2.30 46.90± 1.29 HRK 33.50±1.28 42.68±2.01 36.59±1.94 41.38±0.55 38.50±1.28 Sumber : Hasil analisis laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, IPB 2007 Keterangan : SRK = silase ransum komplit, HRK = hay ransum komplit Sedangkan kandungan serat kasar, lemak kasar dan Beta-N selama penyimpanan delapan minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara silase ransum komplit dan hay ransum komplit. Secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa silase ransum komplit memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan hay ransum komplit, mengingat kualitas fisik, kimia, dan daya simpan silase ransum komplit yang cenderung lebih baik selama proses penyimpanan.