BAB 1 PENDAHULUAN. dengan tahap berdiri, tumbuh, menjadi dewasa, dan akhirnya merosot. Keempat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas tinggi. Perkembangan masyarakat dengan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan. pembangunan pada berbagai bidang. Dalam melaksanakan pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang

BAB I PENDAHULUAN. Stres merupakan kata yang sering muncul dalam pembicaraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pada pembangunan di sektor ekonomi. Agar dapat bersaing antar bangsa, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Penyakit-penyakit kronis tersebut, di antaranya: kanker,

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, kedaulatan Negara Republik

BAB I. Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang tersebar begitu luas dimana

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya perusahaan yang terancam mengalami kebangkrutan karena tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia yang memiliki luas wilayah

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia saat ini telah memasuki era reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit yang mematikan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal yang umumnya

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB I PENDAHULUAN. maupun eksternal. Secara internal, kedaulatan NKRI dinyatakan dengan keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB III METODE PENELITIAN. dihimpun hanya berdasarkan stres dan strategi penanggulangan stres pada

Lampiran 1 : Data Penunjang dan Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres. Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres

BAB I PENDAHULUAN. PT. Pratama Abadi Industri adalah perusahaan yang bergerak di bidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. mempertaruhkan waktu dan tenaganya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang.

BAB I PENDAHULUAN. mereka dilahirkan. Pendidikan salah satunya dapat berupa pendidikan formal yang

BAB I PENDAHULUAN. alam dan memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Oleh karena itu penduduk Indonesia

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN PENGGUNAAN STRATEGI COPING PADA MAHASISWA YANG SEDANG MENYUSUN SKRIPSI DI JURUSAN BK ANGKATAN 2008 FIP UNJ

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dari variabel-variabel yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kebahagiaan seperti misalnya dalam keluarga tersebut terjadi

BAB II KAJIAN TEORI. Mahasiswa adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan

L1. Aktivis Gereja. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi AS adalah yang terbesar di dunia. Dampak bagi Indonesia, untuk beberapa

INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA (IPD)

BAB III METODE PENELITIAN

STRATEGI KOPING PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress/Coping Stress MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif,

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus dihadapi

BAB I PENDAHULUAN. masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam

BAB V PEMBAHASAN. kelompok berdasarkan atribut khas seperti ras, kesukubangsaan, agama, atau

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Guna memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan kelangsungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Prestasi Akademik dalam Layanan Bimbingan Belajar. Pengertian bimbingan menurut Crow dan Crow (Prayitno, 2004) adalah

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipilih oleh calon mahasiswa dengan berbagai pertimbangan, misalnya dari

Bisma, Vol 1, No. 9, Januari 2017 FAKTOR-FAKTOR STRES KERJA PADA CV SUMBER HIDUP PONTIANAK

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang penting karena merupakan bekal bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

Abstrak. Kata kunci:

BAB 1 PENDAHULUAN. Melakukan pelayanan firman dan penggembalaan dalam lingkungan

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil. Usia anak pada saat didiagnosis memiliki epilepsi berbeda-beda.

BAB III METODE PENELITIAN. Bab ini berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan penelitian. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai tingkah laku

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

ABSTRAK. Kata Kunci:, problem focused coping, emotional focused coping, SECAPA-AD. i Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung

BAB I PENDAHULUAN. kalanya masalah tersebut berbuntut pada stress. Dalam kamus psikologi (Chaplin,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. gunakan dalam menghadapi situasi stressfull (dalam Smet, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. periodontal seperti gingiva, ligament periodontal dan tulang alveolar. 1 Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perubahan lingkungan yang cepat, yang ditandai dengan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bidang kehidupan yang dirasakan penting

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan modern yang makin kompleks, manusia akan cenderung

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kepuasan tersendiri, karena bisa memperoleh uang dan fasilitas-fasilitas yang

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menyebutkan bahwa kondisi

ABSTRAK Lazarus Folkman

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

Sebagaimana yang diutarakan oleh Sarafino dan Smith (2012, h.29) bahwa stres memiliki dua komponen, yaitu fisik, yang berhubungan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. karyawan. Wujud nyata perusahaan yang secara langsung berpengaruh. terhadap keberadaan karyawan yaitu masalah stress karyawan.

BAB V PEMBAHASAN. A. Gambaran Stress Mahasiswa Profesi Keperawatan saat Praktik di Rumah Sakit.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. ujung tombak pelaksana kegiatan produksi. Begitu pula dengan PT X, sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap individu menginginkan sebuah pemenuhan dan kecukupan atas

BAB I PENDAHULUAN. kualitas dan kinerja karyawan dalam suatu organisasi adalah stress kerja karyawan

BAB I PENDAHULUAN. sering diabaikan sebagai asset yang berharga. Tak jarang, perusahaan hanya

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Organisasi berjalan melalui suatu siklus. Siklus dalam organisasi dimulai dengan tahap berdiri, tumbuh, menjadi dewasa, dan akhirnya merosot. Keempat tahap ini dapat menciptakan masalah dan tekanan yang berbeda pada karyawan. Tahap dimana organisasi berdiri dan mulai mengalami kemerosotan adalah tahap yang penuh stress. Hal ini disebabkan pendirian organisasi dicirikan oleh besarnya kegairahan dan ketidakpastian, sedangkan tahap kemerosotan biasanya terjadi pengurangan, pemberhentian, dan suatu ketidakpastian. (Robbins, Stephen P. 1996) Berhubungan dengan tahap kemerosotan, salah satunya dikarenakan adanya krisis keuangan dunia. Krisis keuangan ini telah melanda Indonesia, sehingga banyak industri yang mengalami kemerosotan. Industri yang pertumbuhan produksinya kontraksi atau turun terbesar adalah industri alat angkutan selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih (-14,89%), industri logam dasar ( -13,04 %), dan industri tekstil (-10,61 %). Dampak krisis keuangan ini, pada tahun 2008-2009 terdapat 426 industri UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang terpaksa gulung tikar dan sebanyak 79.000 atau lebih tenaga kerja, yang terpaksa diberhentikan dari pekerjaannya. http://www.seputar indonesia.com/edisicetak/content/view/307421/ (diakses tanggal 30 September 2010)

2 Berdasarkan data API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), dari 2.700 perusahaan yang terdaftar terdapat 2.400 perusahaan adalah UMKM yang rentan terhadap ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement). Hal ini mengakibatkan industri nasional mati secara perlahan-lahan akibat pengurangan produksi industri di dalam negeri. Adanya ACFTA juga menyebabkan penurunan penjualan, keuntungan, hingga pengurangan tenaga kerja sehingga banyak perusahaan Indonesia merasa dirugikan. Kerugian yang dirasakan oleh perusahaan Indonesia adalah bisnis akan terganggu. Jika perusahaan tidak dapat mengatasi gangguan maka perusahaan akan tergoncang secara keseluruhan dan kemudian merusak nama baik perusahaan di masyarakat. Perusahaan yang bergerak dalam industri tekstil di Indonesia menjadi salah satu usaha yang terkena dampak krisis dan berjuang untuk mengatasi gangguan. Salah satu kawasan tekstil terbesar di Indonesia tepatnya di wilayah Majalaya, juga terkena dampak krisis. Industri tekstil di Majalaya yang semula berjumahlah sekitar 250 pabrik, setelah mengalami krisis berkurang jumlahnya menjadi 130 pabrik pada tahun 2000. Pada saat ini kemungkinan jumlah industri tekstil yang masih bertahan tidak lebih dari 100 pabrik. Krisis juga memberikan dampak pada karyawan. Beberapa karyawan terpaksa diberhentikan karena pabrik tidak mampu lagi bertahan. Sekitar 5.000 orang karyawan di daerah Majalaya harus mencari pekerjaan lain untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup. Perusahaan tekstil yang masih bertahan harus mengalami peningkatan biaya produksi hingga mencapai 25% dari biaya semula. Kenaikan biaya akan

3 mempengaruhi harga jual produksi di pasaran. Daya beli masyarakat terhadap produksi tekstil menjadi berkurang. Bila dihitung penurunan permintaan berkisar antara 30-37 %. Perusahaan tekstil mengalami penurunan pendapatan (omzet) sekitar 50 %. Penurunan pendapatan tidak hanya disebabkan oleh kurangnya permintaan dalam negeri tetapi juga luar negeri http://sport.vivanews.com /news/read/17852hipmi omzet_tekstil_di_bandung_anjlok_50 (diakses tanggal 30 September 2010) Perusahaan tekstil yang masih bertahan dari krisis ekonomi mengalami masalah di mana perusahaan berusaha mengatasi masalah peningkatan biaya produksi dan menurunnya permintaan masyarakat. Masalah peningkatan biaya produksi dan menurunnya permintaan di masyarakat berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan. Bila tidak dikendalikan dengan baik maka pendapatan perusahaan lama kelamaan tidak akan dapat menutupi biaya produksi. Biaya produksi ini meliputi bahan baku, listrik dan tenaga kerja. Saat perusahaan tidak bisa mengendalikan pendapatan perusahaan maka kemungkinan besar akan mengurangi biaya produksi baik itu dari bahan baku, listrik atau tenaga kerja. Banyak perusahaan dalam keadaan seperti ini kemudian memilih untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Berkurangnya biaya tenaga kerja berarti mengeluarkan sejumlah karyawan hingga mencapai batas minimal untuk tetap dapat mengawasi jalannya produksi. Dalam proses produksi karyawan yang dibutuhkan meliputi karyawan bidang operator tenun, operator benang, operator mesin (montir), pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja. Perusahaan tekstil

4 memperkerjakan karyawan terbanyak di bagian operator tenun, kemudian operator benang, operator mesin (montir), pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja. Banyak perusahaan memilih mengurangi jumlah tenaga kerja di bagian operator tenun karena selain jumlahnya dapat ditekan juga perannya dapat digandakan. Perusahaan X merupakan salah satu dari perusahaan yang bergerak di bidang tekstil yang juga merupakan salah satu perusahaan yang terkena dampak krisis dan berada dalam kondisi kemerosotan. Perusahaan mengalami penurunan produksi sekitar 25-50 % dan penurunan keuntungan sebesar 10-25 %. Penurunan jumlah produksi dan keuntungan memberikan ancaman bagi perusahaan. Perusahaan tidak ingin ancaman ini mengakibatkan produksi yang telah berjalan kurang lebih 25 tahun harus berhenti. Pimpinan terpaksa mengurangi jumlah karyawan di bagian operator tenun sebesar 30% untuk mengurangi biaya produksi. Pimpinan memilih untuk menekan biaya dengan mengurangi jumlah karyawan bagian operator tenun karena dengan jumlah karyawan operator tenun yang cukup, produksi masih dapat berjalan. Pada awalnya jumlah karyawan bagian operator tenun berjumlah 112 orang menjadi 81 orang. Karyawan bagian operator mesin (montir), pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja tidak mengalami pengurangan karena jumlahnya sudah terbatas bila mengalami pengurangan maka proses produksi akan mengalami kesulitan. Pengurangan karyawan bagian operator tenun memberikan dampak bagi semua karyawan. Namun dampak yang paling dirasakan adalah adanya perubahan cara kerja pada karyawan operator tenun dibandingkan dengan karyawan bagian

5 operator mesin (montir), pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja. Bagi karyawan operator tenun, pengurangan jumlah tenaga kerja membuat tuntutan tugas menjadi lebih berat karena tugas mereka menjadi bertambah. Karyawan operator tenun yang sebelumnya mengawasi hanya pada satu mesin tenun sekarang menjadi dua mesin tenun. Pimpinan memberikan tuntutan kepada karyawan bagian operator tenun yang telah bekerja di atas dua tahun untuk tidak membuat kesalahan, mengawasi mesin tenun dalam suatu kurun waktu bersamaan, beban kerja lebih berat tapi tidak diimbangi dengan kenaikan upah yang memadai. Hal ini lama kelamaan dapat memicu stress pada karyawan bagian operator tenun (Robbins, 1996). Bagi karyawan yang terbiasa santai dengan mengawasi satu mesin akan mengalami kesulitan dengan tugas yang baru. Dalam proses beradaptasi, karyawan operator tenun merasa kesulitan dalam memperhatikan kualitas produksi, seperti diutarakan oleh Pengawas Kualitas Produksi bahwa sebelum terjadi krisis pada tahun 1999 dari seluruh produksi hanya ditemukan 1-2 kesalahan per kodi, setelah pengurangan karyawan tahun 2000 bisa mencapai 4 kesalahan per kodi dan mengurangi jumlah meteran yang dihasilkan. Dampak lain yang dirasakan oleh karyawan bagian operator tenun adalah imbalan yang diterima per minggunya tidak mengalami kenaikan yang sebanding. Perusahaan belum dapat memberikan kenaikan upah yang sesuai dikarenakan masih belum stabilnya pengelolaan dana perusahaan. Krisis yang terjadi yang mengakibatkan pengurangan produksi dan keuntungan, berdampak pada pemasukan perusahaan sehingga pengeluaran biaya produksi harus dikurangi.

6 Biaya produksi yang mengalami peningkatan harga yaitu bahan baku benang dan listrik harus tetap dibayarkan agar tidak mengalami hambatan produksi. Sistem pembayaran yang dilakukan pimpinan terhadap karyawan bagian operator tenun dilakukan secara mingguan dan berdasarkan target meteran yang ditentukan. Bila karyawan bagian operator tenun melebihi target meteran maka akan diberikan bonus. Karyawan bagian operator tenun yang melakukan kesalahan produksi maka meteran yang gagal tidak dihitung dan bila tidak sesuai target maka pembayaran akan dihitung berdasarkan bayaran per meter. Sistem imbalan seperti di atas dirasakan oleh karyawan bagian operator tenun sebagai ancaman karena berhubungan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan yang harus dipenuhi oleh karyawan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan anggota keluarganya. Ancaman seperti ini memengaruhi pikiran karyawan dalam bekerja sehingga menurunkan produktifitas kerja karyawan. Adanya ancaman yang memengaruhi kinerja karyawan adalah salah satu penyebab stress kerja. Dampak lain juga dirasakan oleh karyawan bagian operator tenun yang memiliki relasi dengan sesama karyawan yang meningkatkan semangat dalam bekerja. Pengurangan jumlah karyawan bagian operator tenun memberikan penurunan semangat pada karyawan operator tenun yang masih bekerja. Beberapa karyawan yang harus kehilangan rekannya akan mulai mencari rekan yang lain untuk memenuhi kebutuhan sosialnya dan itu membutuhkan penyesuaian yang baru. Penyesuaian terhadap lingkungan yang baru membawa dampak stress, begitu pula yang akan dirasakan oleh karyawan bagian operator tenun.

7 Dampak - dampak tersebut kemudian menekan dan membawa perubahan dalam diri karyawan bagian operator tenun dalam bekerja. Melalui pengamatan yang dilakukan oleh pengawas kualitas produksi dan pengawas umum tenaga kerja diketahui bahwa karyawan bagian operator tenun mengalami penurunan kualitas kesehatan. Kondisi kesehatan karyawan bagian operator tenun kurang baik ditandai dengan peningkatan jumlah absensi yang sebelumnya 5% ( 6-7 orang per tahun) sekarang mencapai 30% (20 orang pertahun). Hal ini paling besar dikarenakan sakit dan sedikit yang karena alasan keperluan keluarga. Persediaan obat di kantor mengalami peningkatan jumlah dikarenakan keluhan sakit kepala. Karyawan merasakan adanya suatu kondisi yang tidak nyaman sehingga memberikan tekanan pada diri karyawan dan merasakan sakit di kepala. Perasaan tidak nyaman yang memberikan tekanan kepada diri karyawan sehingga mengganggu kesehatan merupakan indikasi dari stress kerja. Menurut Pengawas Umum, karyawan bagian operator tenun sering mengeluh dengan bersuara apa yang dirasakan sebagai kepusingan dengan istilah lieur. Pengawas Umum berusaha mengistilahkan dengan kata stress kepada karyawan, sehingga karyawan sudah ada yang mengatakan keluhannya dengan istilah stress. Dalam hal kualitas produksi, Pengawas Kualitas Produksi mengatakan adanya penurunan kualitas produksi. Tingkat kesalahan dalam produksi (cacat) lebih meningkat jumlahnya sejak tahun 2000. Karyawan operator tenun sering mengeluhkan peningkatan upah yang tidak sebanding namun tidak mengalami tanggapan yang cukup serius dari pimpinan perusahaan. Untuk mengetahui

8 apakah gejala stress yang terlihat pada karyawan bagian operator tenun benar benar dialami oleh karyawan bagian operator tenun maka peneliti melakukan survei dengan menggunakan kuesioner. Peneliti melakukan survei dengan menyebarkan kuesioner kepada 10 orang dari 81 orang karyawan bagian operator tenun. Berdasarkan gejala stress yaitu kondisi fisik, psikologis dan tingkah laku maka diperoleh data bahwa 30% karyawan selama bekerja tidak mengalami gangguan kesehatan dan 70% karyawan mengalami gangguan fisik seperti pegal-pegal, dan sakit kepala. Terdapat 60% karyawan selama bekerja seringkali timbul emosi seperti marah, kesal yang ditunjukan kepada rekan sesama karyawan, pengawas sedangkan 40% karyawan tidak memunculkan emosi yang berlebihan tapi dapat mengontrol dengan baik. Terdapat 70% karyawan yang merasa kurang cukup tidur sehingga sering mengantuk sewaktu bekerja sedangkan 30% karyawan merasa waktu tidur sangat cukup dan dapat bekerja dengan kondisi terjaga. Terdapat 80% karyawan yang sering datang atau pulang tidak tepat waktu dan 20% karyawan yang datang dan pulang kerja tepat waktu. Bila dilihat berdasarkan teori Lazarus (1984), stress yang dihayati oleh karyawan baik pada derajat tinggi, moderat maupun rendah akan memunculkan gejala dalam aspek fisik, psikologis dan tingkah laku. Semakin besar gejala yang muncul maka kecenderungan stress akan semakin terlihat. Stress menurut Lazarus (1984) adalah hubungan yang khas antara individu dengan lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai beban atau melebihi kemampuan dan mengancam kesejahteraan. Karyawan operator tenun yang mengalami stress akan melihat

9 pekerjaannya sebagai sesuatu yang membebani dan mengancam kesejahteraannya sehingga stress sangat berhubungan dengan ancaman (threat) dan tekanan (pressure). Seseorang melihat suatu masalah atau situasi yang ada dipengaruhi oleh penilaiannya (cognitive appraisal). Setelah melalui proses penilaian maka kemudian karyawan operator tenun akan memilih bentuk strategi untuk mengurangi stress yang dialami. Coping stress menurut Lazarus (1984) adalah usaha yang secara terusmenerus untuk mengatasi tuntutan baik secara eksternal maupun internal yang dianggap sebagai beban atau melampaui kemampuan yang dimiliki atau membahayakan kesejahteraannya. Coping stress sendiri terbagi menjadi dua macam strategi yaitu strategi coping stress yang berpusat pada masalah (problemfocused way of coping) dan strategi coping stress yang berpusat pada emosi (emotion-focused way of coping). Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa hubungan antara stress dan coping stress yang efektif akan memberikan dampak yang baik terhadap kondisi fisik, psikologis dan tingkah laku. Peneliti ingin mengetahui coping stress yang dilakukan oleh karyawan bagian operator tenun. Kuesioner dibagikan kepada 10 orang karyawan yang sama dengan sebelumnya untuk mengetahui bagaimana cara mereka menanggulangi masalah (coping stress) mereka. Terdapat 40% melakukan coping stress dengan berfokus pada masalah atau problem-focused coping yaitu mencari informasiinformasi yang dapat membantu mereka seperti menanyakan pada teman mengenai masalah dalam pekerjaannya, berdiskusi dengan pimpinan mengenai masalah mereka dan jalan keluarnya, berusaha menyelesaikan setiap pekerjaan

10 dengan baik. Terdapat 60% yang melakukan coping stress dengan berfokus pada emosi atau emotion-focused coping yaitu mencari teman untuk memberikan dukungan, rekreasi dengan keluarga, berdoa, melakukan kegiatan seperti bersepeda, memancing, berkebun dan membiarkan pikirannya berlalu begitu saja. Melalui gejala dan survei awal yang ada maka peneliti menemukan adanya stress pada karyawan bagian operator tenun yang memengaruhi kesehatan fisik, perilaku dan psikologis karyawan dalam bekerja. Karyawan bagian operator tenun juga melakukan coping stress untuk mengurangi derajat stress yang dirasakan. Hal ini penting untuk karyawan bagian operator tenun maupun perusahaan dalam meningkatkan efektifitas kerja karyawan. Peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana hubungan antara stress dan coping stress pada karyawan bagian operator tenun di Perusahaan X Bandung. 1.2. Identifikasi Masalah Ingin diketahui bagaimana hubungan antara Stress Kerja dengan Coping Stress pada karyawan bagian operator tenun di Perusahaan X di Bandung. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeperoleh gambaran mengenai derajat Stress dan Coping Stress karyawan bagian operator tenun Perusahaan X di Bandung.

11 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan antara derajat Stress dengan Coping Stress karyawan bagian operator tenun Perusahaan X Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Ilmiah Untuk memberikan informasi kepada peneliti lain yang memerlukan bahan acuan untuk mengembangkan dan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara stress dan coping stress. 1.4.2. Kegunaan Praktis Menjadi informasi tambahan Perusahaan X di kota Bandung agar dapat mengurangi derajat stress bagi karyawan bagian operator tenun dan karyawan dapat bekerja dengan produktif. 1.5. Kerangka Pemikiran Ketika karyawan bagian operator tenun bekerja di Perusahaan X maka karyawan dihadapkan pada tuntutan tugas yang berhubungan dengan bidang operator tenun. Karyawan akan menilai apakah pekerjaan atau situasi pekerjaan sebagai operator tenun ini memberikan tekanan atau tidak kepada dirinya. Ketika pakerjaan atau situasi pekerjaan memberikan tekanan seperti tuntutan pekerjaan, hubungan relasi dengan rekan kerja, gaji atau imbalan yang kurang memadai,

12 pemecatan kerja, maka hal ini dapat memicu terjadinya stress. Stress menurut Lazarus (1984) adalah hubungan yang khas antara individu dengan lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai beban atau melebihi kemampuan dan mengancam kesejahteraan. Saat terjadi stress terdapat tiga hal yang saling berkaitan yaitu sumber stress (stressor), individu yang mengalami stress (the stressed), dan hubungan antara individu yang mengalami stress dengan hal yang menjadi sumber stress (transaction). Potensi sumber stress kerja terbagi ke dalam 3 kategori yaitu lingkungan, organisasi dan individu. Faktor lingkungan mempengaruhi struktur organisasi. Perubahan siklus bisnis menciptakan ketidakpastian ekonomi. Faktor organisasi dapat menimbulkan stress kerja yang dikelompokan ke dalam tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi. Tuntutan tugas merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan karyawan. Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada karyawan sebagai tenaga kerja bagian operator tenun yang dikerjakan dalam organisasi. Tuntutan antar pribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Struktur organisasi merupakan perbedaan kedudukan dan peran dalam organisasi. Kepemimpinan organisasi ada yang menciptakan suatu budaya seperti ketegangan, rasa takut, dan kecemasan yaitu ketika pemimpin memberikan tekanan yang tidak realistis. Faktor individu biasanya berkaitan dengan persoalan keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik kepribadian bawaan. Masalah ekonomi menciptakan stress bagi karyawan dan mengalihkan perhatian

13 karyawan dari kerja. Menurut Lazarus (1984) sumber stress baik dari dalam maupun luar diri akan dinilai seperti adanya frustasi (frustration), konflik (conflict), ancaman (threat) dan tekanan (pressure). Sumber stress (stressor) yang dinilai sebagai ancaman dan tekanan akan memunculkan gejala stress. Dari gejala stress yang muncul dapat diketahui seberapa besar karyawan bagian operator tenun menghayati stress. Gejala stress muncul dari kondisi fisik, psikologis dan tingkah laku. Gejala stress muncul melalui kondisi fisik akan tampak pada diri karyawan bagian operator tenun yaitu karyawan operator tenun mengeluh sakit dan tidak masuk kerja. Gejala stress muncul melalui kondisi psikologis akan tampak pada diri karyawan bagian operator tenun seperti berkurangnya konsentrasi karyawan operator tenun ketika bekerja sehingga hasil produksi tidak terkontrol dengan baik (cacat produksi). Gejala stress muncul melalui tingkah laku akan tampak pada diri karyawan bagian operator tenun yaitu dalam perilaku mengkonsumsi rokok yang jumlahnya bertambah banyak. Dari gejala stress yang ditampilkan oleh karyawan bagian operator tenun karena kondisi dalam lingkungan pekerjaan yang dinilai sebagai ancaman dan tekanan inilah kemudian disebut dengan stress kerja. Stress tidak berarti buruk, namun stress kerja lazimnya dibahas dalam konteks yang negatif. Stress dalam konteks yang baik dapat memberikan semangat kerja dan meningkatkan kesejahteraan. Karyawan operator tenun yang memiliki stress yang positif akan bekerja dengan semangat dan meningkatkan produktifitas kerja. Stress merupakan

14 peluang bila stress itu menawarkan potensi perolehan. Karyawan bagian operator tenun akan semakin bersemangat dalam bekerja bila upah yang mereka peroleh sesuai dengan keinginan karyawan bagian operator tenun. Ketika karyawan bagian operator tenun tidak ingin mempertahankan pekerjaannya maka karyawan tidak mempunyai alasan untuk merasa stress dalam pekerjaannya. Sumber stress menjadi ancaman atau tidaknya sangat dipengaruhi oleh penilaian yang disebut penilaian kognitif (cognitive appraisal). Penilaian kognitif akan menentukan apakah adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan bagian operator tenun, sehingga memberikan tekanan atau stress. Penilaian ini juga akan membedakan karyawan bagian operator tenun terhadap kondisi stress yang dialami (tinggi atau rendah) walaupun situasi atau stressor yang dihadapi adalah sama. Perbedaan itu adalah ada karyawan bagian operator tenun yang merasa terganggu dan yang lain tidak merasa terganggu. Karyawan bagian operator tenun mengalami stress apabila suatu kondisi yang dinilainya memberikan gangguan dan mengancamnya. Karyawan operator tenun mengalami tingkat stress yang berbeda-beda tergantung pada penilaiannya. Derajat stress terbagi menjadi tinggi, moderat dan rendah. Selanjutnya penilaian ini juga akan mempengaruhi karyawan untuk menanggulangi stressnya, sehingga tindakan yang dilakukan untuk menganggulangi stressnya juga akan berbeda-beda antara satu karyawan dengan karyawan yang lainnya. Penilaian ini memiliki beberapa tahap, yaitu proses penilaian primer (primary appraisal), proses penilaian sekunder (secondary appraisal), dan penilaian kembali ( preappraisal).

15 Pada penilaian primer, karyawan bagian operator tenun mengevaluasi apakah pekerjaan di bidang produksi tenun (operator tenun) ini dirasakan sebagai hal yang mengancam dirinya atau tidak. Karyawan bagian operator tenun akan mengalami tekanan emosi apabila situasi yang dirasakan mengancam dirinya atau apabila tuntutan yang dirasakan melebihi kemampuan yang dimilikinya (Lazarus, 1984). Apabila pada penilaian primer karyawan bagian operator tenun menganggap situasi yang dihadapinya mengancam dan melebihi kemampuan yang dimilikinya maka karyawan bagian operator tenun akan mengalami stress yang ditunjukan dengan gejala-gejala seperti pusing, susah konsentrasi, mudah jenuh, penurunan prestasi atau produktivitas dan mudah lelah secara fisik. Karyawan akan mengganggap bahwa pekerjaan bagian produksi tenun ini memberikan tekanan dan karyawan kesulitan untuk menghilangkan tekanan sehingga menurunkan kualitas kerja karyawan. Kualitas kerja yang menurun karena stress dapat menimbulkan sakit, emosi yang tidak stabil seperti marah-marah. Gejala stress ini dapat tinggi maupun rendah tergantung pada derajat stress yang dialami oleh karyawan operator tenun. Derajat stress pada karyawan dapat digolongkan ke dalam tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah. Selanjutnya karyawan akan melakukan penilaian sekunder. Pada penilaian sekunder karyawan bagian operator tenun akan mengevaluasi seberapa besar sumber daya dirinya apakah cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi pekerjaannya dalam bidang produksi tenun. Pada tahap ini karyawan bagian operator tenun mencoba lebih memahami potensi-potensi yang ada dalam dirinya

16 baik fisik, psikis, sosial dan material. Karyawan bagian operator tenun akan mencoba untuk bekerja lembur untuk meningkatkan pendapatannya. Penilaian primer dan penilaian sekunder lebih didasarkan pada penilaian subjektif karyawan bagian operator tenun terhadap dirinya dan terhadap situasi yang dihadapinya. Hasil dari penilaian ini menyebabkan karyawan bagian operator tenun akan mengalami stress dengan derajat yang berbeda-beda, walaupun situasi dan stressor yang dihadapi sama. Setelah melakukan penilaian primer dan sekunder, karyawan bagian operator tenun akan menentukan coping stress yang digunakan, karena pada dasarnya karyawan bagian operator tenun akan berusaha menyesuaikan coping stress yang digunakan dengan situasi yang dihadapinya. Memilih strategi coping stress menjadi akhir dalam tahap penilaian sekunder (secondary appraisal). Apabila penggunaan coping mengalami kegagalan, maka karyawan bagian operator tenun akan melakukan penilaian kembali (reappraisal) terhadap situasi dan kembali mencari coping yang lebih tepat. Stategi penanggulangan stress oleh Lazarus (1984) diistilahkan sebagai coping stress. Coping stress merujuk pada perubahan cara pikir dan tingkah laku yang terus menerus sebagai usaha karyawan bagian operator tenun untuk mengatasi tuntutan eksternal yang dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya dirinya. Coping stress merupakan faktor penyeimbang yang membantu karyawan bagian operator tenun untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan yang dialami. Pada dasarnya coping stress ditunjukkan untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dialami, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kali

17 karyawan bagian operator tenun mengalami stress maka mereka akan berusaha untuk menghadapi dan mengurangi stress tersebut. Coping stress sendiri terbagi menjadi dua macam strategi, yaitu strategi coping stress yang berpusat pada masalah (problem focused way of coping) dan strategi coping stress yang berpusat pada emosi (emotional focused way of coping). Problem focus coping adalah istilah Lazarus untuk strategi kognitif untuk penanggulangan stress dan coping yang digunakan oleh karyawan bagian operator tenun untuk mencari penyelesaian dari masalahnya dan menghilangkan kondisi yang menimbulkan stress. Sedangkan emotional focus coping adalah istilah Lazarus untuk strategi penanggulangan stress yang diarahkan untuk mengurangi tekanan emosi yang diakibatkan oleh stress dengan cara menghindari, meminimalkan, membuat jarak, penilaian yang selektif dan penilaian yang positif. Menurut Lazarus dan Folkman (1986) terdapat dua bentuk coping stress yang berpusat pada masalah (problem focused coping) strategi kognitif dalam penanganan stress yang digunakan oleh karyawan bagian operator tenun untuk mencari penyelesaian dari masalahnya dan menghilangkan kondisi yang menimbulkan stress yaitu confrontative coping dan planful problem solving. Confrontative coping menggambarkan reaksi agresi untuk mengubah keadaan dimana karyawan bagian operator tenun akan berusaha mengubah keadaan atau masalah secara agresif atau secara aktif mencari cara untuk mengatasi keadaan yang menekan dirinya. Karyawan akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan setiap tugas dan tanggung jawabnya sebagai karyawan bagian operator tenun.

18 Planful problem solving menggambarkan usaha pemecahan masalah dengan tenang dan berhati-hati disertai dengan pendekatan analitis untuk pemecahan masalah dimana karyawan bagian operator tenun berusaha untuk mengubah keadaan secara berhati-hati, dengan menganalisis masalah, membuat rencana pemecahan masalah kemudian memilih alternatif pemecahan masalah. Karyawan bagian operator tenun mencari tahu penyebab terjadinya gagal produksi dan mencari solusinya secara hati-hati dan terencana. Coping stress yang berpusat pada emosi diarahkan untuk mengurangi tekanan emosi yang diakibatkan oleh stress, dengan cara menghindar, meminimalkan, membuat jarak, penilaian yang selektif dan penilaian yang positif. Dapat dikatakan bentuk kognitif tertentu dari coping stress yang berpusat pada emosi mengarah pada perubahan cara pemaknaan suatu kejadian tanpa mengubah situasi objektif. Selanjutnya menurut Lazarus dan Folkman (1984) coping stress yang berpusat pada emosi digunakan untuk memelihara harapan dan optimis, menyangkal fakta dan akibat yang mungkin dihadapi, menolak untuk mengakui hal terburuk dan bereaksi seolah-olah apa yang terjadi tidak menimbulkan masalah dan sebagainya. Terdapat enam bentuk coping stress yang berpusat pada emosi (emotion focused coping) yaitu distancing, self control, seeking social support, accepting responsibility, escape avoidance, positive reappraisal. Distancing, menggambarkan usaha melepaskan diri atau berusaha tidak melibatkan diri dalam permasalahan dan di saat yang lain menciptakan pandangan-pandangan yang positif. Karyawan bagian operator tenun memilih untuk melakukan pekerjaan

19 sebagai operator tenun dan berpikir bahwa dengan seringnya melakukan pekerjaan ini akan membuatnya dapat menyelesaikan masalah. Self control, menggambarkan usaha untuk meregulasi perasaan maupun tindakan yang diambil. Karyawan bagian operator tenun sering berkata kasar pada orang di sekitarnya bila sedang menghadapi masalah. Seeking social support, menggambarkan usaha mencari dukungan dari pihak luar berupa dukungan atau kenyaman emosional. Karyawan bagian operator tenun mendapatkan dukungan dari sesama karyawan yang menguatkan secara emosional terhadap masalah yang dihadapi. Accepting responsibility, menggambarkan usaha untuk mengakui peran dirinya dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba memperjelas masalahnya secara objektif. Karyawan bagian operator tenun menyadari tanggung jawabnya terhadap pekerjaan sehingga menerima masalah yang sedang dihadapi dalam pekerjaan. Escape Avoidance, menggambarkan reaksi berkhayal dan usaha menghindar atau melarikan diri dari masalah yang sedang dihadapi. Karyawan bagian operator tenun mengalihkan pikiran pada sesuatu yang menyenangkan sehingga dapat melupakan masalah yang sedang dialami dalam pekerjaan. Positive reappraisal, menggambarkan usaha untuk menciptakan makna positif yang lebih ditunjukan untuk pengembangan pribadi juga melibatkan halhal yang bersifat religius. Karyawan bagian operator tenun rajin melakukan kegiatan keagamaan seperti beribadah dan berdoa. Dari strategi coping stress yang dipilih oleh karyawan operator tenun ini kemudian akan dirasakan efektif atau tidaknya terhadap derajat stress yang dialaminya. Coping stress dapat dikatakan

20 efektif bila dapat mengurangi tingkat stress yang dialami karyawan operator tenun Keberhasilan coping stress ini ditentukan oleh faktor-faktor sumber daya dalam diri karyawan bagian operator tenun seperti kesehatan, keterampilan untuk menyelesaikan masalah, keyakinan yang positif, keterampilan sosial, dukungan sosial dan sumber-sumber material. Faktor kondisi kesehatan dalam diri karyawan kemungkinan besar memungkinkan karyawan akan dapat berpikir dengan lebih baik daripada yang memiliki kondisi kesehatan yang buruk. Faktor kondisi kesehatan yang baik cenderung akan memilih menggunakan strategi coping stress yang berpusat pada masalah (problem focused coping). karyawan bagian operator tenun dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehingga derajat stress yang dialaminya menjadi rendah. Adanya keterampilan dalam memecahkan masalah akan mendorong karyawan untuk memilih menggunakan problem focused coping. Faktor dukungan sosial dan keyakinan positif akan mendukung karyawan menggunakan emotional focused coping. Sumber material bisa berupa uang ataupun fasilitas yang dimiliki karyawan operator tenun untuk mendukung coping stress. Adanya pendapatan di luar pekerjaan akan membantu mengurangi tingkat stress yang dirasakan oleh karyawan operator tenun. Faktor-faktor pendukung keberhasilan coping stress ini ada dalam diri karyawan secara berbeda-beda. Ketika karyawan bagian operator tenun menilai bahwa coping yang digunakan telah mampu mengatasi masalah yang menyebabkan stress, maka dapat dikatakan bahwa karyawan bagian operator tenun telah berhasil dalam mengatasi stressnya dan berada dalam kondisi adaptasi, dimana karyawan bagian operator tenun telah mampu menyelaraskan antara

21 kemampuan diri dengan tuntutan pekerjaannya. Penggunaan coping stress dalam diri karyawan bagian operator tenun sebenarnya tergantung pada masalah yang dihadapi yang disesuaikan dengan kemampuan karyawan bagian operator tenun. Semakin tinggi coping stress yang dilakukan akan semakin rendah stress yang dialami. Semakin rendah coping stress yang dilakukan akan semakin tinggi stress yang dialami. Bila karyawan bagian operator tenun merasa tidak mampu mengatasi masalah, maka ia cenderung menggunakan emotion-focused coping, yaitu mengatur respon emosi terhadap stress. Pengaturan ini melalui perilaku karyawan bagian operator tenun untuk menghilangkan fakta-fakta yang tidak menyenangkan. Lazarus (dalam Widahastuti dan Tjahjono, 1999) mengatakan emotion-focused coping yaitu upaya untuk mencari dan memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang dirasakan. Pada tahap ini masalah yang menjadi sumber stress masih belum hilang. Karyawan bagian operator tenun yang cenderung berfokus pada masalah (problem focused) atau strategi kognitif dalam penanganan stress yang digunakan oleh karyawan untuk mencari penyelesaian dari masalahnya dan menghilangkan kondisi yang menimbulkan stress. Karyawan bagian operator tenun akan cenderung menggunakan strategi yang berorientasi pada masalah (problemfocused coping) apabila ia menilai masalah tersebut dapat dikendalikannya dengan mengubah atau memodifikasi stressor untuk meringankan efek dari stressor. Karyawan bagian operator tenun menggunakan kedua bentuk coping (problem focused coping dan emotional focused coping) untuk menanggulangi

22 stress. Adapun yang membedakan adalah perbandingan penggunaan kedua jenis coping. Dengan menyusun strategi untuk menghadapi pekerjaannya seperti bekerja dengan optimal. Ada yang berfokus pada emosi (emotion focused) yaitu dengan menenangkan perasaan takutnya terhadap tuntutan pekerjaan dengan melakukan aktivitas lain seperti melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hobi dan berekreasi dengan keluarga. Pada karyawan bagian operator tenun yang menghayati stress pada derajat stress yang tinggi, didominasi oleh frekuensi coping stress yang berpusat pada emosi yakni berusaha bertahan dan yang terpenting adalah mengatur tekanan emosional. Karyawan yang menghayati stress pada derajat stress yang moderat, didominasi oleh frekuensi coping stress yang berpusat pada masalah, dan karyawan yang menghayati stress pada derajat stress yang rendah, menggunakan coping stress yang berpusat pada emosi dan masalah. Bila karyawan bagian produksi tenun dalam menyelesaikan sumber masalah dengan mengorbankan perasaan yang besar maka dikatakan tidak efektif, demikian juga dengan seseorang yang berhasil meredakan ketegangan emosinya namun tidak menyelesaikan sumber permasalahannya. Hubungan antara stress dan coping stress yang efektif akan memberikan dampak yang baik terhadap kondisi fisik, psikologis dan tingkah laku. Penjelasan mengenai bagaimana stress memiliki hubungan dengan coping stress pada karyawan bagian produksi tenun Perusahaan X Bandung digambarkan sebagai berikut:

Sumber stress: 1.Faktor lingkungan 2.Faktor organisasi 3.Faktor individu Gejala Stress: 1. Gejala Fisik 2. Gejala Psikologis 3. Gejala Tingkah Laku 23 Irrelevant Karyawan bagian Operator tenun Perusahaan X Bandung Primary Appraisal Benign - positive Stress Appraisal Stress Tinggi Sedang Faktor faktor yang mempengaruhi coping stress: - kesehatan Secondary Appraisal Rendah Coping Stress problem focused way of - keterampilan untuk menyelesaikan masalah - keyakinan yang positif emotional focused way of coping - keterampilan sosial - dukungan sosial - sumber-sumber material. Skema 1.1 Skema Kerangka Pemikiran

24 1.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut: Terdapat hubungan yang signifikan antara stress kerja dengan bentuk coping stress pada karyawan bagian operator tenun Perusahaan X di Bandung. 1.6.1 Hipotesis Turunan Terdapat hubungan antara stress kerja dengan coping stress pada karyawan bagian produksi tenun di Perusahaan X Bandung, dengan hubungan sebagai berikut: H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara stress kerja dengan coping stress berbasis emosi pada para karyawan bagian operator tenun Perusahaan X di Bandung. H2: Terdapat hubungan yang signifikan antara stress kerja dengan coping stress berbasis masalah pada karyawan bagian operator tenun Perusahaan X di Bandung.