RINGKASAN Kebudayaan Minangkabau tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Dalam konteks hubungannya dengan Islam, di Minangkabau dikenal salah satu lembaga Islam yang penting, yakni surau. Surau menjadi institusi penting dalam proses transmisi berbagai pengetahuan Islam. Di surau itulah para ulama dari masing-masing kubu membangun jaringan guru-murid sehingga tercipta saling-silang hubungan keilmuan yang sangat kompleks. Seiring dengan persebaran paham keagamaan Islam di surau-surau tersebut, tradisi penulisan dan penyalinan naskah pun tumbuh dengan subur. Para syaikh, ulama, buya, dan ungku yang mengajar di suatu surau, menyalin dan menulis naskah. Dari banyak surau yang ada di Minangkabau, beberapa surau di antaranya memiliki koleksi naskah yang cukup banyak, seperti surau yang terdapat di Padang dan Padang Pariaman. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf, dkk. (2004), di beberapa surau yang terletak di kedua daerah itu ditemukan 110-an naskah. Dengan jumlah koleksi naskah sebanyak itu, berarti bahwa surau-surau tersebut merupakan tempat penyimpanan naskah Minangkabau yang terbesar kedua di dunia. Mengingat bahwa tradisi pernaskahan di Minangkabau masih berlangsung hingga sekarang, maka dapat dipastikan jumlah naskah yang disebutkan di atas dapat bertambah. Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa, sebagai sukubangsa yang terkenal dengan tradisi lisannya yang sangat kental, ternyata Minangkabau memiliki tradisi pernaskahan yang cukup maju. Hal ini terjadi, karena melalui keberadaan dan peran suraulah, tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan yang telah berumur ratusan tahun tersebut tetap berlangsung. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan fenomena di wilayah lain, dimana tradisi penulisan naskah tidak lagi berkembang. Dengan demikian, keberadaan naskah-naskah di Minangkabau sebagai hasil dari tradisi pernaskahan, merupakan khasanah budaya yang penting dan menarik untuk dikaji, setidaknya bila dipandang dari dua hal. Pertama, tradisi pernaskahan di Minangkabau merupakan sebuah kegiatan intelektual dalam masyarakat tradisional (local genius). Kedua, sebagai sebuah produk budaya, naskah-naskah Minangkabau merupakan gambaran berbagai bentuk ungkapan masyarakat, dengan bahasanya masing-masing. Pada konteks ini umumnya, artikulasi satu masyarakat bahasa, dan masa tertentu akan ii
berbeda dengan artikulasi masyarakat bahasa, dan masa lainnya, kendati pada mulanya mereka membaca teks yang sama, sehingga dengan demikian muncul dinamika yang sedemikian unik. Lebih jauh, kaitannya dengan Islam, dari naskah-naskah Minangkabau akan memberikan data yang sangat kaya mengenai dinamika Islam di daerah tersebut. Penelitian ini melihat dinamika tradisi pernaskahan di Minangkabau, khususnya di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman.. Akan tetapi, karena untuk mengetahui adanya dinamika tersebut diperlukan data yang menginformasikan latar belakang yang diyakini menjadi permulaan dari tradisi pernaskahan di Minangkabau, maka pembahasan atas sejarah penciptaan naskah-naskah melalui kajian filologi dengan memperhatikan data tekstual dipandang penting. Di samping itu, kajian sejarah sosial intelektual juga diperlukan untuk melihat proses sosial-kultural yang mempengaruhi dinamika tradisi pernaskahan di Minangkabau secara umum dan di Padang dan Padang Pariaman secara khusus. Surau-surau yang terdapat di Padang dan Padang Pariaman sendiri, dipilih sebagai latar studi karena, setidaknya, ada empat alasan. Pertama, di beberapa surau di Padang dan Padang Pariaman memiliki koleksi naskah yang cukup banyak dibandingkan dengan surau-surau lainnya di wilayah Minangkabau. Hal ini mengindikasikan bahwa pada surau-surau di kedua daerah itu pernah berlangsung dinamika tradisi pernaskahan yang signifikan. Kedua, hingga kini, tradisi pernaskahan (penyalinan dan penulisan naskah) dalam bahasa Melayu Minangkabau dengan menggunakan aksara Jawi (Arab Melayu) di kedua daerah itu masih berlangsung di beberapa suraunya, khususnya di Padang. Ketiga, belum dilakukannya penelitian secara lebih menyeluruh tentang surau dengan dinamika tradisi pernaskahannya di Minangkabau, khususnya di daerah Padang dan Padang Pariaman. Dengan demikian penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengisi kekosongan atau kurangnya studi tentang dinamika tradisi pernaskahan di Minangkabau, di mana surau sebagai pusatnya. Penelitian ini bertujuan untuk: Pertama, menjelaskan dinamika tradisi pernaskahan di Minangkabau, khususnya di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman dengan pertama-tama mencari latar belakang yang diyakini menjadi permulaan dari tradisi pernaskahan di Minangkabau. Untuk mengetahui itu dilakukan pembahasan atas sejarah naskah melalui kajian filologi dengan memperhatikan data tekstual naskah- iii
naskah yang terdapat di beberapa surau di Padang dan Padang Pariaman. Dalam upaya mencapai tujuan penelitian ini juga diungkapkan dinamika internal masyarakat Minangkabau dalam hubungannya dengan perkembangan tradisi pernaskahannya. Kedua, menjelaskan gambaran keberlanjutan tradisi pernaskahan di Minangkabau, khususnya tradisi pernaskahan yang terdapat di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman. Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa dinamika tradisi pernaskahan yang ada di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman berkaitan dengan adanya perbedaan paham keagamaan yang ada di Minangkabau secara umum. Di antara persoalan yang sering menjadi arena perdebatan antara tarekat Naqsybandiyyah dengan Syattariyah adalah menyangkut penetapan awal dan akhir bulan puasa Ramadan. Schrieke misalnya melaporkan bahwa, selama bertahun-tahun di sekitar Padang Panjang selalu terjadi pertentangan sengit antara Syattariyah dan Naqsyabandiyyah menyangkut persoalan tersebut. Demikian halnya di Pariaman, hingga sekarang masih terjadi perbedaan pendapat antara penganut tarekat Syattariyahdi Ulakan dengan penganut Naqsyabandiyyah di Cangking mengenai awal dan akhir bulan puasa. Biasanya, para penganut Syattariyah merayakan puasa Ramadan pada dua hari kemudian setelah para penganut tarekat Naqsybandiyyah merayakannya, sehingga karenanya mereka mendapatkan julukan orang puasa kemudian, sementara tarekat Naqsybandiyyah disebut orang sebagai orang puasa dahulu. Hal ini persis seperti apa yang digambarkan dalam kutipan: bilangan bulannya bernama bilangan lima yang dua hari dahulunya dari bilangan takwim yang dibawa Syaikh Burhanuddin. Di samping itu, faktor sosial-budaya juga berandil besar terhadap adanya dinamika tradisi pernaskahan yang ada di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman. Keberadaan naskah-naskah di atas menjadi penting untuk melihat bagaimana tradisi intelektual keislaman di Minangkabau. Naskah-naskah itu ditulis di surau yang para ulamanya terlatih berdiskusi dan berdebat. Sehingga, naskah-naskah itu merupakan saksi dari proses perdebatan dan polemik keagamaan yang terjadi di Minangkabau. Perdebatan dan polemik paham keagamaan Islam yang terjadi di Minangkabau berdampak positif terhadap lahirnya naskah. Hal ini merupakan bentuk tradisi intelektual keislaman di Minangkabau; menulis naskah merupakan sebuah alternatif untuk mengkritik dan mendebat paham yang dianggap tidak benar. Tradisi seperti ini tidak lepas dari latar iv
belakang budaya Minangkabau, di mana konflik diberi ruang dalam masyarakatnya. Dalam budaya Minangkabau terdapat pepatah yang berbunyi basilang kayu di tungku mangko api ka iduik, yang terjemahannya bersilang kayu dalam tungku, maka api akan hidup. Hal ini berarti bahwa, di Minangkabau konflik diberi ruang dalam masyarakatnya, sehingga wajar dalam sejarah Minangkabau sering terjadi konflik, tidak saja antar individu, tetapi juga antar kelompok (Hasanuddin, 2000: 7-9). Akibat dari konflik juga mempengaruhi cara berpikir masyarakatnya. Faktor yang juga penting adalah faktor sosial-politik semasa terhadap adanya dinamika tradisi pernaskahan di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman. Naskahnaskah yang ada ditulis dalam empat masa: masa penjajahan, masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Dari teks-teks yang dikandung dalam naskah-naskah itu tampak bahwa kondisi sosial-politik semasa ikut mempengaruhi pandangan ideologis baik ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang maupun penulisnya. Khusus mengenai kaum Syattariyah, Ronkel menyebutkan bahwa, para pemimpin tarekat Syattariyah itu biasanya adalah orang-orang yang tangguh pengetahuannya, menjadi lawan bagi setiap aliran lainnya, suka mengejar-ngejar kekuasaan. Dengan demikian, tidak jarang merupakan sesuatu yang amat berbahaya bagi pemetintahan Belanda. Apabila terdapat kejadiankejadian tertentu yang mereka cetuskan, dapat mengganggu kelancaran pemerintahan Belanda nantinya. Dari kajian kontekstual, diketahui bahwa masih terdapat keberlanjutan dari dinamika tradisi pernaskahan yang tampak hingga hari ini. Dalam hal ini kajian tidak hanya yang bersifat tekstual, tetapi juga diarahkan pada kajian kontekstual atau konteks sosial dari naskah-naskah yang ada. Dalam konteks ini, yakni dalam rangka memaknai naskah-naskah itu maka akan dikaitkan dengan praktik ideologi. Hal ini berkaitan dengan kebertahanan tradisi naskah yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya, masih ada hingga saat sekarang. Beberapa faktor mempengaruhi kondisi tersebut, seperti adanya penghormatan terhadap guru. Menghormati guru juga diyakini berimplikasi terhadap cepatnya pemahaman ilmu yang diajarkan oleh sang guru. Jika patuh dan hormat terhadap guru, maka pemahaman ilmu akan datang dengan tidak disangka-sangka. Kepatuhan kepada guru akan membawa berkah, sehingga pelajaran diperoleh dengan mudah dan sempurna. Banyak naskah yang v
ditemukan memperlihatkan pandangan tentang hubungan guru-murid yang secara eksplisit mengarahkan agar para murid dan pengikut tarekat Syattariyah merasa (ataupun diwajibkan) mengenal riwayat syaikh yang menjadi gurunya atau guru dari gurunya. Bagi para penganut tarekat Syattariyah, mengetahui riwayat guru adalah sebuah keharusan karena itu bermakna penghormatan kepada guru, adab kepada guru, untuk kemudian menjadi suri teladan bagi kehidupannya. Oleh karena itu orang berusaha untuk memiliki, membaca ataupun mendengar orang membacakan riwayat gurunya, memuliakan guru agar mendapat syafaatnya (limpahan rahmat), agar ilmu yang didapat beroleh berkah. Selain itu, adanya anggapan di kalangan pengikut tarekat Syattariyah bahwa aksara Jawi merupakan aksara yang suci juga menyebabkan tradisi pernaskahan masih bertahan. Untuk aksara Jawi sendiri, dari beberapa catatan sarjana, seperti Suryadi (2004: 4) menyebutkan bahwa aksara Jawi dikenal luas di Minangkabau pada abad ke-18, dan kemudian disusul dengan pengenalan aksara Latin. Dengan dikenalnya kedua aksara tersebut, maka khasanah sastra lisan Minangkabau banyak dituliskan. Penulisan dengan aksara Jawi di Minangkabau semakin berkurang pada akhir abad ke-20. Hal ini dimungkinkan karena tulisan tersebut tidak lagi dikenali oleh banyak orang. Khalayak luas lebih mengerti dan paham dengan aksara Latin. Peneliti pernah mengajukan pertanyaan itu kepada Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-khatib. Menurutnya, adapun digunakannya aksara Jawi dalam penulisan sejarah syaikh dan ajaran-ajaran yang terkait dengan tarekat Syattariyah itu adalah untuk mensejajarkan atau menyandingkan naskah-naskah itu dengan Kitab Kuning. Dengan disejajarkan dengan Kitab Kuning, maka naskah-naskah itu akan dianggap sama dengan kitab itu. Sama dalam hal ini berarti sama-sama penting, sama-sama dijadikan rujukan, atau yang lebih penting adalah samasama asli dan benar-benar benar. Usaha mendekonstruksi pusat tarekat Syattariyah juga faktor penting terhadap keberlanjutan tradisi pernaskahan di surau-surau di Padang dan Padang Pariaman. Pusat dimaksudkan sebagai sentral dari ajaran tarekat Syattariyah yang dikenal berada di Ulakan Pariaman, yang juga dikenal dengan sebutan Agama Ulakan. Di daerah Ulakan inilah pertama kali dikembangkan sistem pendidikan surau dengan paham tarekat Syattariyah oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan. vi
Dalam perkembangannya, yakni setelah Syaikh Burhanuddin meninggal, paham Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat diwarnai tiga corak. Pertama, corak Ulakan Pariaman yang diwakili oleh ulama yang tinggal di sekitar Ulakan dan mengaku sebagai pelanjut dari Syaikh Burhanuddin. Kelompok ini terdiri dari ulama-ulama seperti: 1) Tuanku Bermawi yang berkedudukan di Surau Pondok. Kelompok yang dipimpinnya dikenal agak kaku dan rigid terutama dalam mensyaratkan pengajian tarekat yang hanya dilakukan secara berhalaqah di suraunya; 2) Tuanku Kuning Syahril Luthan yang mengikuti pola moderen dalam memimpin jamaah melalui pengajian terbuka dan sering mengunjungi muridnya ke pusat-pusat tarekat di Lubuk Jambi, Taluk Kuantan, Sijunjung dan daerah lain. Kelompok ini juga mengadakan acara khusus Syafar, sehari sebelum Syafar; dan 3) Tuanku Tibarau, yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai ulama yang keramat, tetapi tidak begitu luas pengaruhnya. vii