BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fitri Dahlia, 2013

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUA N A.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. (BSNP, 2006). Pendidikan sains ini diharapkan dapat memberikan penguasaan

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah seperti tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. siswa Indonesia mampu hidup menapak di buminya sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. sering dimunculkan dengan istilah literasi sains (scientific literacy). Literasi

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prima Mutia Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

2015 KONSTRUKSI DESAIN PEMBELAJARAN IKATAN KIMIA MENGGUNAKAN KONTEKS KERAMIK UNTUK MENCAPAI LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan keterampilan sepanjang hayat (Rustaman, 2006: 1). Sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan,

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

Mengingat pentingnya LS, ternyata Indonesia juga telah memasukan LS ke dalam kurikulum maupun pembelajaran. Salah satunya menerapkan Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. secara maksimal. Keberadaan buku ajar memberikan kemudahan bagi guru dan. siswa untuk dapat memahami konsep secara menyeluruh.

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukmadinata (2004: 29-30) bahwa

2015 PENERAPAN MOD EL INKUIRI ABD UKTIF UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP D AN LITERASI SAINS SISWA SMA PAD A MATERI HUKUM NEWTON

BAB I PENDAHULUAN. 1 Evy Yosita, Zulkardi, Darmawijoyo, Pengembangan Soal Matematika Model PISA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inelda Yulita, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Julia Artati, 2013

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui. pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk

2014 IDENTIFIKASI KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN SIKAP ILMIAH YANG MUNCUL MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM PADA MATERI NUTRISI KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP) merumuskan 16

BAB I PENDAHULUAN. sarana dalam membangun watak bangsa. Tujuan pendidikan diarahkan pada

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Ismail, 2016

BAB I PENDAHULUAN. kunci penting dalam menghadapi tantangan di masa depan. Menurut Hayat dan

I. PENDAHULUAN. proses aktualisasi siswa melalui berbagai pengalaman belajar yang mereka dapatkan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menunjukkan bahwa ilmu

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. .id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dengan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu cara

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menggunakan prinsip-prinsip matematika. Oleh karena itu,

ANALISIS BUKU AJAR IPA YANG DIGUNAKAN DI SEMARANG BERDASARKAN MUATAN LITERASI SAINS

I. PENDAHULUAN. cerdas, terbuka dan demokratis. Pendidikan memegang peran dalam. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

I. PENDAHULUAN. mudah dihadirkan di ruang kelas. Dalam konteks pendidikan di sekolah,

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari peranan dunia

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di Indonesia dewasa ini kurang berhasil meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Strategi Literasi Pada Pembelajran Bertema Alat Ukur Pada Kendaraaan Bermotor Untuk Meningkatkan Literasi Fisika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. agar teori dapat diterapkan pada permasalahan yang nyata (kognitif), melatih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development

2016 PEMBELAJARAN STEM PAD A MATERI SUHU D AN PERUBAHANNYA D ENGAN MOD EL 6E LEARNING BY D ESIGNTM UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pendekatan Pembelajaran Multiple Representations. umum berdasarkan cakupan teoritik tertentu. Pendekatan pembelajaran

BABI PENDAHULUAN. sendiri dan alam sekitar. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu mengenai cara mencari tahu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

Sosialisasi Implementasi Gerakan Literasi Sekolah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sangat banyak. Tuntutan tersebut diantaranya adalah anak membutuhkan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

TINJAUAN PUSTAKA. pemahaman dapat dimaksudkan sebagai proses, cara, atau perbuatan memahami.

I. PENDAHULUAN. Dunia pendidikan Indonesia masih menunjukan kualitas sistem dan mutu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. teknologi (Depdiknas, 2006). Pendidikan IPA memiliki potensi yang besar

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

I. PENDAHULUAN. Secara umum, asesmen dapat diartikan sebagai proses untuk mendapatkan informasi

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah memberikan suasana baru dalam dunia pendidikan terutama untuk mata pelajaran IPA, yang memungkinkan baik guru maupun siswa dapat memberdayakan potensi dan kemampuan yang ada. Tujuan KTSP ini sejalan dengan tujuan pendidikan IPA saat ini, yaitu untuk mencapai manusia yang melek sains (scientific literacy). IPA pada hakikatnya yaitu (1) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (2) proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; (3) aplikasi: penerapan metode atau kerja ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari; (4) sikap: rasa ingin tahu tentang objek, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar (Depdiknas, 2007). Oleh karena itu seseorang yang literat IPA menurut Hayat dan Yusuf (2006) harus memiliki pengetahuan dan pemahaman konsep fundamental IPA, keterampilan melakukan proses penyelidikan IPA, serta menerapkan pengetahuan, pemahaman serta keterampilan tersebut dalam berbagai konteks secara luas. Adapun pengertian literasi sains menurut Toharudin, et al., (2011) yaitu kemampuan seseorang untuk memahami sains, mengomunikasikan sains (lisan dan tulisan), serta merupakan pengetahuan sains untuk memecahkan masalah sehingga memiliki sikap dan kepekaan yang tinggi terhadap diri dan lingkungannya dalam mengambil keputusan berdasarkan pertimbanganpertimbangan sains. Literasi sains ini penting untuk dikuasai oleh siswa dalam kaitannya dengan cara siswa itu dapat memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat modern yang sangat bergantung pada teknologi dan kemajuan, serta perkembangan ilmu

2 pengetahuan. Hal ini pun selaras dengan tujuan pendidikan sains yaitu meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan siswa untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai kompetensi. Pentingnya literasi sains ini telah dilakukan beberapa penelitian. Dalam studi literasi internasional PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilaksanakan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation & Development) selama tiga periode, yaitu pada 2000, 2003, dan 2006. Pada tahun 2000, penelitian PISA difokuskan pada kemampuan membaca; sementara dua aspek lainnya menjadi pendamping. Pada 2003, aspek matematika menjadi fokus utama yang kemudian diteruskan aspek sains pada tahun 2006. Hasilnya menunjukkan kemampuan literasi sains siswa indonesia yang dilakukan sejak 2000 pun tidak menunjukkan hasil yang gemilang karena skor rata-rata siswa masih jauh di bawah rata-rata internasional yang mencapai skor 500. Dalam hal ini, nilai rata-rata sains yang diperoleh siswa Indonesia 371 pada tahun 2000, 382 pada tahun 2003, dan 393 pada tahun 2006. Firman (2007) menegaskan pula dalam hasil penelitiannya bahwa tingkat capaian literasi sains siswa Indonesia yang diukur dengan tes PISA Nasional 2006 masih rendah, belum berubah dari kondisi pada saat PISA Internasional sebelumnya. Demikian pula dengan hasil penilaian PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) pada tahun 2006 yang dirancang untuk mengetahui kemampuan siswa Sekolah Dasar dalam memahami bermacam ragam bacaan, siswa Indonesia hanya dapat mencapai ratarata 405. Hasil ini tentu saja memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan rata-rata internasional yang mencapai skor 500. Hasil capaian tersebut dapat diketahui bahwa literasi bahasa, matematika, dan IPA siswa Indonesia masih sangat rendah, siswa Indonesia baru sampai pada kemampuan mengenali sejumlah fakta dasar, tetapi mereka belum mampu untuk mengomunikasikan dan mengkaitkan kemampuan itu dengan berbagai topik sains, apalagi menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak (Hayat dan Yusuf, 2006). Rendahnya pencapain literasi siswa indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Hayat dan Yusuf (2006) lingkungan dan iklim belajar di sekolah mempengaruhi variasi skor literasi. Demikian juga keadaan infrastruktur fisik

3 sekolah, sumber daya manusia sekolah, dan tipe organisasi serta manajemen sekolah, sangat signifikan pengaruhnya terhadap prestasi literasi siswa. Firman (2007) juga mengungkapkan rendahnya literasi sains siswa Indonesia dalam PISA bertalian erat dengan adanya kesenjangan yang besar antara kurikulum dan pembelajaran IPA yang diterapkan di sekolah dan tuntutan PISA. Berdasarkan hal tersebut ternyata terdapat kaitan antara kemampuan literasi sains dengan proses pembelajaran yang diterapkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pembelajaran yang dapat mengatasi hal tersebut. Salah satunya adalah pembelajaran yang sesuai dengan hakikat IPA dan tuntutan KTSP yaitu proses pembelajaran IPA secara inquiry ilmiah (scientific inquiry) dapat menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengomunikasikannya merupakan aspek penting dalam kecakapan hidup (Depdiknas, 2007). Hal ini juga di dukung oleh penelitian Brickman, et al (2006) yang mengukur literasi sains dengan menerapkan model pembelajaran inquiry berbasis laboratorium diperoleh peningkatan sains dengan nilai (g) sebesar 0,4. Dijelaskan juga oleh Rustaman (2005) bahwa metode praktikum paling tepat apabila digunakan dan dilaksanakan untuk merealisasikan pembelajaran inquiry dan pendekatan penemuan (discovery). Tepatnya guru harus lebih banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruk sendiri pengetahuannya dengan berbuat dan mengemukakan pendapatnya. Hendry (1996) dalam Toharudin, et al., (2011) juga mengungkapkan pendekatan pembelajaran yang paling tepat adalah problem solving, inquiry, dan discovery karena konsep literasi sains terdiri dari dimensi proses inquiry, yaitu dimensi yang menunjukkan pemahaman dan kompetensi untuk memahami dan mengikuti argumen tentang sains dan hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan teknologi media. Wenning (2005), mengklasifikasikan level inquiry berdasarkan sejauh mana fokus kontrol antara guru dengan siswa dan kompleksitas pengalaman intelektual yang didapat siswa dalam pembelajaran. Level yang paling rendah sekaligus yang paling fundamental adalah level discovery learning, diikuti oleh interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry Lab (guided inquiry. bounded inquiry dan free inquiry) dan yang tertinggi adalah hypothetical inquiry. Dengan demikian,

4 setiap kali siswa melewati level inquiry yang baru maka siswa juga telah menguasai science process skill yang lebih kompleks. Salah satu level inquiry yang paling mendasar adalah Discovery learning. Wenning (2005) mengungkapkan bahwa Discovery learning tidaklah berfokus pada menemukan aplikasi untuk pengetahuan tetapi berfokus pada membangun pengetahuan dari sebuah pengalaman. Humaira (2012) mengaplikasikan guided inquiry pada siswa SMA hasilnya ternyata kemampuan scientific inquiry siswa melalui discovery learning memiliki rata-rata pencapaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan guided inquiry yang tanpa melalui discovery learning. Mengingat hakikat sains selain sebagai proses, produk, dan aplikasi. Sains juga pada hakikatnya sebagai sikap. Sikap ilmiah menentukan pandangan siswa terhadap sains, motivasi karir di bidang sains dan penggunaan metode ilmiah dalam kehidupan sehari-hari (OECD, 2007). Menurut Ekohariadi (2009) literasi sains siswa juga berkorelasi positif dengan sikap siswa terhadap sains. Moore & Sutman (1970) dalam Moore & Foy (1997) telah menyusun rangkaian tes yang dinamakan Scientific Attitude Inventory (SAI) untuk mengukur sikap ilmiah siswa. Sampai saat ini SAI masih terus direvisi, terakhir adalah SAI II yang disusun oleh Moore & Foy (1997). Selain mengevaluasi literasi sains PISA juga ikut mengevaluasi sikap, yakni sikap siswa terhadap sains. Hoff (2003) mendefinisikan sikap terhadap sains beririsan dengan sikap ilmiah, karena itu terdapat persamaan antara muatan indikator sikap terhadap sains PISA dan sikap ilmiah pada SAI. Usia SMP adalah usia persiapan untuk melakukan tes literasi sains yakni 15 tahun (OECD, 2007). PISA mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun karena mendekati akhir wajib belajar dan telah dipersiapkan untuk menghadapi tantangan masyarakat modern yang berbasis pengetahuan (Firman, 2007). Saat ini penelitian literasi sains pada siswa SMP masih jarang dilakukan. Pada jenjang SMP terdapat salah satu kompetensi dasar yaitu menentukan ekosistem dan saling hubungan antara komponen ekosistem (BSNP, 2006). Materi ini masih dianggap sebagai konsep hapalan saja dan siswa jarang dilibatkan dalam proses berpikirnya. Oleh karena itu, dibutuhkan pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman

5 terhadap materi tersebut. Zarkasi (2009) menyatakan bahwa penerapan metode discovery-inquiry berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi ekosistem kelas VII SMPN I Purwojati Kabupaten Banyumas tahun pelajaran 2008/2009. Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Pembelajaran Discovery Learning terhadap Peningkatan Kemampuan Literasi Sains dan Sikap Ilmiah Siswa SMP pada Materi Ekosistem. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP melalui pembelajaran discovery learning pada materi ekosistem?. Untuk mempermudah penelitian ini, permasalahan di atas dapat dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Bagimanakah keterlaksanaan tahapan model pembelajaran Discovery Learning kelas eksperimen pada materi ekosistem? 2) Bagaimanakah peningkatan kemampuan literasi sains siswa sebelum dan setelah diterapkan pembelajaran Discovery Learning pada materi ekosistem? 3) Bagaimanakah perbedaan peningkatan literasi sains kelas kontrol dan eksperimen melalui pembelajaran Discovey Learning pada materi ekosistem? 4) Bagaimanakah peningkatan kemampuan sikap ilmiah siswa sebelum dan setelah diterapkan pembelajaran Discovery Learning pada materi ekosistem? C. Batasan Masalah Mengingat keterbatasan dalam berbagai hal dan untuk menghindari meluasnya masalah maka penelitian ini dibatasi pada hal-hal berikut: 1. Penelitian dilakukan di salah satu sekolah swasta yaitu SMP Kartika XIX-2 kelas VII semester 2 tahun ajaran 2012/2013. 2. Discovery Learning yang dimaksud adalah satu dari tahapan pembelajaran inquiry (Wenning, 2005)

6 3. Konsep Ekosistem yang digunakan lebih spesifik pada sub bab materi ekosistem seperti dalam standar kompetensi yaitu memahami saling ketergantungan antar komponen ekosistem kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam kompetensi dasar yaitu menentukan ekosistem dan saling hubungan antara komponen ekosisitem (BSNP, 2006). D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah mengidentifikasi perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains dan sikap ilmiah siswa SMP melalui pembelajaran discovery learning pada materi ekosistem. E. Asumsi Berikut adalah asumsi-asumsi yang menjadi landasan penelitian ini: 1. American Association for the Advancement of Science (AAAAS) mengemukakan bahwa metode pembelajaran inquiry merupakan jalan untuk meningkatkan literasi sains karena siswa mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dan membahas ide-ide ilmiah (scientific ideas) (Brickman et al, 2009) 2. Penerapan pembelajaran inquiry secara sistematis menurut tingkatan inquiry yaitu pembelajaran discovery, demonstrasi interaktif, guided inquiry, dan hypothetical inquiry, dapat mengembangkan kemampuan intelektual dan membimbing literasi sains siswa (Wenning, 2010a). 3. Kemampuan scientific inquiry literacy siswa SMP meningkat melalui pembelajaran berbasis guided inquiry yang melewati tahap discovery learning sebelumnya (Humaira, 2012). F. Hipotesis Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah, 1. (H 0 ) : Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains pada kelas dengan pembelajaran discovery learning dibandingkan kelas dengan pembelajaran konvensional.

7 2. (H 1 ) : Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan literasi sains pada kelas dengan pembelajaran discovery learning dibandingkan kelas dengan pembelajaran konvensional. G. Manfaat Penelitian 1. Bagi siswa, sebagai sarana untuk mengeksplor kemampuan inquiry dalam memahami fenomena alam dan meningkatkan pemahaman mengenai hubungan keseimbangan antara komponen-komponen ekosistem di alam. 2. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi dalam memilih metode dan model pembelajaran yang dapat menggali kemampuan inquiry siswa memahami fenomena alam sekitarnya dan penerapan suatu metode pembelajaran secara berproses. 3. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan ilmiah dalam: a. Pengembangan asesmen yang mengukur literasi sains dan sikap ilmiah siswa. b. Memberikan referensi tambahan mengenai analisis capaian litersi sains siswa Indonesia c. Memberikan referensi tambahan mengenai efektivitas pembelajaran inquiry yang dimulai tahapan dasar.