PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun kenyataannya mampu hadir dan berkiprah di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan baik dan produk olahannya (minyak sawit) menjadi salah satu komoditi perkebunan yang handal di Indonesia. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi perkebunan yang pangsa pasarnya di dalam negeri besar dan pasaran ekspornya senantiasa terbuka. Konsumsi minyak sawit dunia yang amat besar ini tidak mungkin terpenuhi oleh Malaysia, Nigeria, dan Pantai Gading sebagai produsen utama. Beberapa pengamat sosial ekonomi komoditas perkebunan menyatakan optimismenya bahwa keragaman kegunaan minyak sawit sebagai bahan baku industri pangan dan nonpangan memungkinkan prospeknya lebih cerah dibandingkan dengan kopi dan karet olahan (Tim Penulis PS, 1999). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah salah satu dari beberapa famili palmae yang menghasilkan minyak nabati, yang disebut minyak sawit (palm oil). Banyak tanaman lain yang dapat dijadikan sumber minyak nabati, seperti kelapa, kacang tanah, kacang kedelai, jagung dan biji bunga matahari. Dari sekian banyak tanaman yang menghasilkan minyak atau lemak, kelapa sawit adalah penyumbang minyak nabati terbesar di dunia yaitu sebesar (2000-3000 kg/ha) sedangkan kelapa hanya menyumbang sepertiga yaitu sebesar (700 1000 kg/ha) (Setyohadi, 2005). Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh di daerah antara 120 Lintang Utara 120 Lintang Selatan. Curah hujan
optimal yang dikehendaki antara 2000-2500 mm/tahun dengan pembagian yang merata sepanjang tahun. Lama penyinaran matahari yang optimum antara 5-7 jam /hari dan suhu optimum berkisar 24 38 0C. Ketinggian di atas permukaan laut yang optimum untuk kelapa sawit berkisar 0 500 meter. Keadaan iklim yang paling banyak diamati adalah curah hujan, karena curah hujan yang kelebihan atau kekurangan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit (Risza, 1994). Potensi areal perkebunan Indonesia masih terbuka luas untuk tanaman kelapa sawit. Pengembangan perkebunan tidak hanya diarahkan pada sentra sentra produksi seperti Sumatera dan Kalimantan, tetapi daerah potensi pengembangan pengembangan seperti Sulawesi dan Irian Jaya (Papua) terus dilakukan. Data di lapangan menunjukkan kecendrungan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit khususnya perkebunan rakyat pada periode tiga puluh tahun mencapai 45,1 % per tahun, sementara areal perkebunan negara tumbuh 6,8 % per tahun, dan areal perkebunan swasta tumbuh 12,8 % per tahun (Fauzi dkk, 2005). Dewasa ini, penelitian intensif yang dilakukan di Indonesia dan Malaysia menyimpulkan bahwa Minyak Kelapa Sawit (MKS) sangat potensial untuk dijadikan sebagai alternatif bahan bakar diesel. Minyak nabati memiliki potensi yang sangat besar sebagai bahan bakar pengganti (fuel substitute) maupun sebagai perluasan bahan bakar (fuel extender) untuk motor diesel. Begitu pentingnya masa depan minyak nabati sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM), pada bulan Januari 1995 PORIM (Palm Oil Research Institute of Malaysia) mengadakan
suatu konfrensi yang dihadiri oleh berbagai negara, seperti Jerman, Italia, dan Indonesia (Pahan, 2006). Salah satu cara peningkatan hasil pertanian khususnya dibidang perkebunan kelapa sawit adalah dengan melakukan ekstensifikasi yaitu dengan memperluas areal perkebunan. Hal ini tidak menutup kemungkinan pembukaan lahan gambut sebagai alternatif perluasan areal perkebunan kelapa sawit, mengingat bahwa Indonesia memiliki lahan gambut terluas nomor empat didunia. Menurut perkiraan para pakar luas lahan gambut di Indonesia sekitar 16 sampai 27 juta hektar dan 6 juta hektar diperkirakan sesuai untuk usaha pertanian. Data yang akurat mengenai luas lahan gambut ini belum diperoleh berdasarkan bahan asal, cara terbentuknya, jenis pelapukan dan ketebalan bahan organiknya (Hasibuan, 2006) Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu ekosistem baru. Pengembangan pertanian lahan gambut dapat diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi antara fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan menurun maka fungsi produksi dapat terganggu. Dengan kata lain, pembukaan lahan gambut harus memperhatikan atau memperhitungkan juga perubahan yang terjadi baik secara aras dinamika lahan maupun aras keuntungan berupa layanan jasanya terhadap lingkungan, hasil produksi dan nilai nilai sosial lainnya (Noor, 2001). Pengembangan pertanian di lahan gambut tropik dihadapkan pada beberapa masalah, antara lain :
1. Lahan gambut sebagian besar terhampar di atas lapisan yang mempunyai potensi keasaman yang tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Fe, Al, dan asam asam organik lainnya. Sebagian lahan gambut terhampar di atas lapisan pasir kuarsa yang miskin hara. 2. Lahan gambut cepat mengalami perubahan lingkungan fisik setelah direklamasi antara lain menjadi kering tak balik, berubah sifat menjadi hidrofob dan terjadi amblesan. 3. Lahan gambut mudah dan cepat mengalami degradasi kesuburan karena Pengurasan melalui pelindian atau penggelontoran. Walaupun diyakini abu hasil bakaran mengandung hara bagi tanaman, tetapi mudah tererosi dan hilang melalui aliran air. 4. Kawasan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi jangkitan penyakit (virulensi) tinggi. Perkembangan organisme penggangu tanaman (gulma, hama dan penyakit) dan gangguan kesehatan manusia (malaria, cacing) yang cukup tinggi. (Noor, 2001) Lahan gambut apabila sudah rusak akan sulit untuk pulih kembali seperti semula. Seperti halnya program lahan gambut sejuta hektar, program yang dicanangkan oleh pemerintah di masa Orde Baru di kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah itu kini terbengkalai, hal ini disebabkan oleh kesalahan perencanaan. Ketika akan dijadikan sawah, para pelaksana program lahan gambut sejuta hektar sempat membuat kanal kanal. Dengan adanya kanal ini maka air yang tadinya menggenangi lahan gambut secara alamiah akan mencari tempat yang lebih rendah, yaitu kanal yang digali. Pada saat air sudah tertampung dalam
kanal, lahan gambut akan menjadi kering. Kondisi tersebut tidak akan dapat mendukung terlaksananya pertanian di lahan gambut tersebut. Selama ini kerusakan lahan gambut telah banyak merugikan masyarakat. Termasuk Negara tetangga. Sebab, ketika dalam keadaan kering lahan gambut sangat mudah terbakar dan menurut perkiraan Wetlands International, asap yang ditimbulkan dari kebakaran gambut di Indonesia setara dengan emisi kendaraan bermotor dan pabrik di seluruh dataran eropa. Pemanfaatan lahan gambut harus disertai dengan pemahaman yang mendalam tentang karakteristik lahan gambut. Kegagalan pemerintah Malaysia dalam perluasan areal perkebunan kelapa sawit di kawasan gambut merupakan kejadian yang bisa dipelajari Indonesia. Itu berarti, lahan gambut sangat sulit untuk diubah fungsinya, harus dipikirkan model pengelolaan yang memberikan manfaat ekologis maupun ekonomis bagi masyarakat (Daryono, 2004). Menurut Noor (2001) bahwa kawasan gambut mempunyai potensi jangkitan penyakit yang tinggi dan dari beberapa laporan yang ada juga menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit di areal gambut mengalami serangan penyakit dengan intensitas serangan yang cukup tinggi. Salah satu penyakit yang cukup banyak menyerang tanaman kelapa sawit di lahan gambut adalah penyakit Busuk Pangkal Bawah (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma sp. Tetapi menurut laporan yang ada bahwa ada perbedaan gejala serangan antara penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut dengan gejala serangan pada kelapa sawit di tanah mineral. Untuk mengetahui hal tersebut penulis ingin melakukan penelitian mengenai Ganoderma sp yang menjadi
penyebab penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit khususnya di lahan gambut. Untuk memastikan laporan tersebut, dalam penelitian ini penulis ingin melakukan pengujian DNA jamur penyebab penyakit tersebut. Dalam pengujan ini, penulis menggunakan metode PCR (Polimerase Chain Reaction) yaitu suatu teknik dan amplifikasi fragmen DNA secara in vitro. PCR merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi penyakit infeksi yang dewasa ini banyak dikembangkan, Metoda ini digunakan untuk mengatasi kelemahan metoda diagnosa konvensional seperti imunologi dan mikrobiologi. Teknik PCR didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA spesifik dimana terjadi penggandaan jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam waktu yang relatif singkat dan hasil yang akurat (Abdullah, 2003). Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan, terutama untuk perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Tujuan penelitian Untuk mengetahui karakteristik Ganoderma boninense pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Hipotesa Penelitian Terdapat perbedaan karakteristik antara Ganoderma boninense yang menyerang tanaman kelapa sawit di tanah mineral dengan Ganoderma boninense yang menyerang kelapa sawit di lahan gambut.
Kegunaan Penelitian Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan. Sebagai salah satu syarat untuk dapat menempuh ujian sarjana di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,, Medan.