BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Pulau-pulaunya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mampu memahami bahwa Indonesia terdiri atas beraneka-ragam budaya. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Gereja Katolik Roma merupakan suatu institusi keagamaan. Institusi ini

BAB I PENDAHULUAN. yang dihasilkan dari kebiasaan dari masing-masing suku-suku tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang perilakunya diperoleh melalui

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. pikiran negative yang dapat memicu lahir konflik(meteray, 2012:1).

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I Pendahuluan. 1.1 Multimedia Interaktif Flash Flip Book Pakaian Adat Betawi

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang tersebar di berbagai pulau. Kondisi negara maritim dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dengan ditetapkannya wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang penting di Indonesia. Semua warga

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang ber-bhineka Tunggal Ika,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Sebagian besar siswa yang telah menyelesaikan pendidikan dari Sekolah

BAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

I. PENDAHULUAN. Sumarsono (2009) mengemukakan bahwa bahasa sebagai alat manusia untuk. apabila manusia menggunakan bahasa. Tanpa bahasa, manusia akan

BAB I PENDAHULUAN. dan tersebar di berbagai pulau. Setiap pulau memiliki ciri khas dan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terdiri atas lebih kurang pulau ini dihuni oleh lebih dari 300

BAB I PENDAHULUAN. sukunya mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud antara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan

BAB I PENDAHULUAN. antarbudaya yang tidak terselesaikan. Dan lanjutnya, Umumnya orang menaruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang, maka pendidikan

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajemukan yang ada di Indonesia merupakan suatu kekayaan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003.

I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pulau sebanyak pulau, masing-masing pulau memiliki pendidikan formal

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dan dialami serta disadari oleh manusia dan masyarakat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. luar yang berkeinginan untuk mengikuti pendidikan di Kota Medan.

BAB I PENDAHULUAN. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal

BAB I PENDAHULUAN. etnis yang diakui secara resmi di Indonesia sejak masa Pemerintahan Reformasi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode kehidupan penuh dengan dinamika, dimana

Sugeng Pramono Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba,

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

Studi Deskriptif Mengenai Strategi Akulturasi Integrasi pada Mahasiswa Perantau Kelompok Etnik Minangkabau dan Kelompok Etnik Batak di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dengan karakter, budaya, dan tradisi yang berbeda beda. Ada suku Jawa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia dikenal dengan keberagaman tradisinya, dari

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan, terutama

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

Kebanggaan Atas Identitas Etnik Pada Mahasiswa Perantau Kelompok Etnik Minang Dan Batak Di Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya di Indonesia saja melainkan di dunia karena kemajuannya yang pesat

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. studi di Perguruan Tinggi. Seorang siswa tidak dapat melanjutkan ke perguruan

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. berbeda-beda. Setiap kebudayaan memiliki kekhasannya masing-masing. tarian, logat bahasa, sikap, norma, dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, bahasa, budaya. Kemajemukan

BAB 5 RINGKASAN. Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beragam etnis

BAB I PENDAHULUAN. asia, tepatnya di bagian asia tenggara. Karena letaknya di antara dua samudra,

I. PENDAHULUAN. yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen atau majemuk, terdiri dari

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mahasiswa diharapkan memiliki prinsip yang kuat. Mahasiwa juga diharapkan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Atas (SMA) untuk melanjutkan studinya. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan dan memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS

BAB IV PENUTUP. remaja etnis Jawa di Pasar Kliwon Solo, sejauh ini telah berjalan baik,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan dirinya salah satunya untuk suatu keahlian tingkat sarjana.

BAB IV SIMPULAN. "Dasar Cina lu." "Eh Cina lu! Cina lu!" "Woi Cina ngapain disini?"

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan mahasiswa harus ikut bermigrasi ke berbagai daerah. Kadang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. melancong atau pindah dari suatu Negara ke Negara yang lain dengan

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. dari hasil pemekaran Kabupaten Pasaman berdasarkan UU No.38 Tahun dasar Bhineka Tunggal Ika, memiliki makna yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Sejak berdiri, wilayah Indonesia dihuni oleh berbagai kelompok etnik,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Pulau-pulaunya terbentang dari Sabang sampai Merauke dan terdiri atas lima pulau besar yaitu pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Setiap daerah dari suatu pulau bisa mempunyai beragam kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Selain kebudayaan, Indonesia juga terdiri atas bermacam-macam suku, bahasa, dan agama sehingga Bangsa Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki warisan budaya yang telah ada selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, China, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu (http://id.wikipedia.org/wiki/indonesia). Di antara berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, terdapat satu etnis minoritas yang cukup penting keberadaannya yaitu etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa di Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu: (1) Golongan Tionghoa totok, yaitu penduduk Indonesia yang terdiri atas para imigran abad ke- 20 dan keturunan langsung, yang sedikit berakulturasi dan lebih kuat berorientasi ke Tiongkok; (2) Tionghoa peranakan, adalah penduduk Tionghoa yang berakar setempat, yaitu orangtua maupun anak-anak mereka lahir di Indonesia sehingga orientasi budaya Tiongkok telah jauh berkurang, bahkan pengaruh budaya Indonesia nyata sekali (Skinner, 1994, dalam Suryadinata, 2002). 1

2 Semenjak berabad-abad lalu, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia telah membawa pengaruh yang cukup besar bagi Indonesia dalam bidang perekonomian, budaya serta politik. Adanya persoalan menyangkut etnis yang dianggap peka, sebelum tahun 2000, jumlah suku bangsa/etnis di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam sensus penduduk Republik Indonesia. Sensus penduduk tahun 2000 tidak diperoleh jumlah etnis Tionghoa yang lengkap. Hasil perhitungan menunjukkan angka 1,7 juta, atau kira-kira 0,86%. Jika ditambah dengan etnis Tionghoa asing, jumlahnya kira-kira 1,8 juta, yaitu 0,91%. Tetapi menurut perhitungan berdasarkan sensus 2000, jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan WNA) kira-kira tiga juta orang, yaitu sekitar 1,5% (Suryadinata, Arifin, dan Ananta 2003). Etnis Tionghoa tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Provinsi Sumatera Utara banyak menetap orang-orang Tionghoa, yang umumnya pedagang. Etnis ini dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik dengan sesamanya. Kehadiran etnis Tionghoa di kota Medan dan Sumatera Utara mudah ditandai, yakni dengan melihat kepada tempat tinggal etnis Tionghoa yang hampir di seluruh pusat-pusat perbelanjaan dan sepanjang jalan-jalan di pusat kota yang merupakan rumah-rumah tempat tinggal dan sekaligus tempat membuka usaha. Disamping itu, masyarakat etnis Tionghoa di Medan dan Sumatera Utara umumnya menggunakan bahasa Hokkian sebagai bahasa dalam percakapannya sehari-hari diantara sesama, di tengah-tengah penduduk lainnya. Beberapa diantaranya ada yang menggunakan bahasa Mandarin. Bahasa tersebut juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda.

3 Bagi masyarakat pribumi, orang-orang Tionghoa dianggap memiliki sifat tertutup (eksklusif) dan kurang mau bersosialisasi. Sejalan dengan keadaan di daratan Tiongkok sendiri, maka masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Medan dan Sumatera Utara juga terdiri atas bermacam-macam suku, namun dalam keadaan sehari-hari masalah kesukuan ini tidak menonjol. Selain itu, orang-orang Tionghoa di kota Medan dan Sumatera Utara masih sangat kuat memegang tradisi dan budayanya serta perayaan-perayaan budaya. Berbeda dengan masyarakat Tionghoa yang berada di Medan dan Sumatera Utara yang setiap harinya menggunakan bahasa Hokkian untuk berkomunikasi, maka kekhasan etnis Tionghoa peranakan khususnya yang menetap di Jawa, sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin melainkan menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Banyak cerita tentang peranakan dari Jawa, saat melakukan perjalanan ke Singapura, Hongkong, RRT ataupun di Barat, selalu ditanya: anda orang Chinese, mengapa tidak mampu berbahasa Mandarin? (Didi Kwartanada, 2004). Pulau Jawa adalah tempat pusat pemerintahan dan tempat terkonsentrasinya sumber daya manusia Indonesia. Penduduknya setiap tahun mengalami peningkatan. Di wilayah ini, banyak tersedia fasilitas pendidikannya dengan pilihan beragam. Demikian pula di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pulau Jawa menjadi pusat penelitian dan pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dasar dan terapan. Dewasa ini, 56% perguruan tinggi berada di Pulau Jawa. Mahasiswa yang ditampung di perguruan tinggi di Pulau Jawa adalah 66,6% dari total mahasiswa Indonesia (www.ginandjar.com).

4 Bandung menjadi salah satu kota di Pulau Jawa yang menjadi tempat tujuan para pelajar Indonesia untuk melanjutkan studi khususnya ke jenjang perguruan tinggi. Kota Bandung memiliki banyak pilihan perguruan tinggi dari PTN, PTS, Sekolah Tinggi, Akademi dan Institut. Kondisi kota Bandung sebagai ibukota provinsi yang tidak seramai dan sepadat ibukota Jakarta juga menjadi daya tarik tersendiri bagi calon mahasiswa untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Selain itu, Bandung memiliki suhu udara yang sejuk sehingga menjadikannya tempat yang nyaman untuk belajar. Dari sekian banyak perguruan tinggi swasta yang ada di Bandung, Universitas X merupakan perguruan tinggi yang banyak peminatnya. Universitas ini memiliki banyak pilihan fakultas yaitu, Fakultas Kedokteran, Fakultas Psikologi, Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sastra, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Fakultas Teknologi Informasi, dan terakhir Fakultas Hukum (www.xxx.edu). Mahasiswa yang menempuh kuliah di Universitas X tidak sedikit yang datang dari berbagai kota di Indonesia sehingga mahasiswa ini terdiri dari beragam suku dan budaya yaitu suku Sunda yang merupakan suku mayoritas di Bandung, Jawa, Batak, Tionghoa, Dayak, Papua, dan suku-suku lainnya, masing-masing memiliki nilai-nilai budaya sendiri. Mahasiswamahasiswa dengan suku yang berbeda-beda ini saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam menjalani kehidupan di lingkungan kampus. Data dari Biro Administrasi Akademik di Universitas X, mahasiswa yang berasal dari Sumatera Utara tergolong mahasiswa minoritas di Universitas X karena jumlah mereka yang sedikit dari tiap angkatan. Dari 2726 mahasiswa

5 angkatan 2008 yang diterima terdapat sekitar 4,26%; dari 2593 mahasiswa angkatan 2009 terdapat sekitar 3,78%; serta dari 2120 mahasiswa yang diterima pada angkatan 2010 terdapat 3,63% mahasiswa yang berasal dari Sumatera Utara yang diterima di Universitas X Bandung. Mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara tidak lepas berinteraksi dengan mahasiwa lain yang mayoritas bersuku bangsa Sunda. Selain berinteraksi dengan sesama mahasiswa, mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara juga berinteraksi dengan orangorang di sekitar lingkungannya seperti dosen, penjaga kos, pedagang, supir angkot yang mayoritas beretnis Sunda. Mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara selalu berinteraksi secara terus menerus dengan masyarakat etnis Sunda agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Berdasarkan hasil wawancara terhadap Tisna Sanjaya (2010), seorang tokoh pemerhati Sunda, budaya Sunda sekarang ini telah banyak yang terkikis oleh perkembangan industri. Nilai-nilai agama yang dahulu ditarik dalam berbagai peristiwa budaya, kini telah hilang. Budaya gotong royong, saling mengunjungi dan mengirimkan makanan kepada tetangga kini sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Sunda. Walaupun demikian, karakteristik masyarakat Sunda yang ramah, sopan santun, dan terbuka masih dapat terlihat. Mahasiswa yang berasal dari etnis Tionghoa yang kuliah di Universitas X melakukan kontak dengan mahasiswa dengan budaya Sunda. Pada kontak dengan budaya Sunda, akan terjadi pertemuan nilai-nilai, pandangan, dan gaya hidup mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara dengan budaya Sunda. Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan hasil dari kontak langsung dengan

6 budaya lain yang berbeda dari budaya asli yang dimiliki individu yang bersangkutan secara berkesinambungan disebut akulturasi (Herkovitz dalam Ward, 2001). Akulturasi akan menghasilkan suatu strategi akulturasi. Individu yang mengalami akulturasi pasti akan memiliki strategi akulturasi sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi budaya Sunda sebagai budaya setempat yang dominan. Strategi akulturasi menurut Birman dan Tricket dapat terjadi pada kompetensi bahasa, identitas Budaya dan aktivitas budaya. Kompetensi bahasa adalah kemampuan individu untuk mengerti dan menggunakan bahasa asalnya dan bahasa setempat baik secara lisan maupun tulisan. Identitas budaya adalah penghayatan diri individu sebagai bagian dari suatu budaya dan menganggap positif hal tersebut. Perilaku atau aktivitas budaya adalah keterlibatan seseorang dalam melakukan perilaku atau kegiatan yang berhubungan dengan budaya tertentu seperti penggunaan bahasa, hiburan, musik dan makanan. Menurut Berry, terdapat empat jenis strategi akulturasi yaitu asimilasi, separasi, integrasi, dan marjinaliasasi. Mahasiswa etnis Tionghoa dikatakan menerapkan strategi akulturasi asimilasi jika lebih mengidentifikasi dirinya dengan budaya Sunda dan tidak memelihara budaya Tionghoa. Mahasiswa yang menerapkan strategi integrasi tetap memelihara budaya Tionghoa dan beinteraksi dengan budaya Sunda. Mahasiswa dengan strategi separasi lebih memelihara budaya Tionghoa dan menghindari kontak dengan budaya Sunda. Sedangkan mahasiswa yang menerapkan strategi marjinalisasi tidak memelihara budaya Tionghoanya dan tidak mau berinteraksi dengan budaya Sunda.

7 Berdasarkan hasil wawancara terhadap enam mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara diperoleh data bahwa terdapat beberapa perbedaan ketika melakukan kontak dan berinteraksi dengan budaya serta masyarakat Sunda di kota Bandung. Mahasiswa etnis Tionghoa tersebut mengalami kesulitan dalam komunikasi karena tidak terbiasa berbicara dengan bahasa Indonesia dan pada saat tinggal di Bandung, dirinya harus menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan mahasiswa lain maupun dengan orang-orang di sekitar lingkungannya. Mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara lebih sering melakukan percakapan dengan bahasa Hokkian ketika tinggal di daerah asal mereka merasa malu ketika harus berbahasa Indonesia saat bercakap-cakap dengan orang yang ditemuinya karena logatnya yang khas sehingga dianggap lucu. Selain itu, mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara tersebut juga mengatakan bahwa saat bercakap-cakap dengan mahasiswa lain, terkadang ditafsirkan sedang marah karena nada suara yang cenderung tinggi. Mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara kadang-kadang merasa terkucilkan jika mahasiswa lain berbicara dalam bahasa Sunda. Mereka tidak mengerti pembicaraan yang sedang dipercakapkan oleh teman-temannya sehingga pada awal keberadaannya di Bandung mereka lebih memilih untuk bergaul dengan sesama etnis Tionghoa. Namun, setelah beberapa bulan dirinya mulai dapat berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari budaya lain. Dalam pergaulan, mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara tersebut berbaur dengan mahasiswa lainnya.

8 Mahasiswa-mahasiswa etnis tionghoa dari Sumatera Utara juga mengatakan bahwa beberapa bulan keberadaannya di Bandung mengalami kesulitan dalam hal makanan. Menurutnya makanan di Bandung lebih manis dibandingkan dengan makanan di Sumatera Utara. Makanan di Sumatera Utara lebih sesuai dan lebih banyak makanan chinese food. Setelah beberapa bulan mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara berada di Bandung mengaku mulai dapat menyesuaikan dengan makanan di Bandung, hanya terkadang untuk mendapatkan makanan yang seperti di Sumatera Utara cenderung sulit. Selain itu, mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara mengatakan bahwa setelah pindah ke Bandung, dirinya sudah jarang sekali mengikuti perayaan atau upacara-upacara adat karena tidak mengetahui harus melakukannya dimana dan kapan harus merayakannya. Selain itu, juga dikatakan bahwa di Bandung jarang sekali ada perayaan budaya Tionghoa dan suasananya kurang terasa jika dibandingkan dengan di daerah asalnya. Menurut mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara bahwa orang Sunda lebih lambat dan santun dalam melakukan sesuatu dibandingkan dengan masyarakat Tionghoa yang terbiasa lebih cepat. Dari data wawancara yang dilakukan terhadap enam orang mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara, didapatkan sebanyak 83,3% mahasiswa yang menerapkan strategi integrasi dalam hal makanan yaitu sering makan makanan khas Tionghoa dan juga makanan khas Sunda dan sebanyak 16,7% yang menerapkan strategi separasi, lebih sering makan makanan khas

9 Tionghoa dan jarang makan makanan khas Sunda. Dalam hal bahasa, sebanyak 66,7% mahasiswa menerapkan strategi separasi yaitu tetap menggunakan bahasa Hokkian, serta 33,3% mahasiswa mengatakan bahwa mereka ingin mempelajari bahasa Sunda selain bahasa Hokkian. Selain itu juga terdapat sebanyak 66,7% mahasiswa mengatakan bahwa mereka lebih nyaman melakukan kegiatan yang berhubungan dengan budaya Tionghoa daripada Sunda sehingga mereka dapat dikatakan menerapkan strategi separasi. Sedangkan mahasiswa yang mengatakan bahwa kurang nyaman melakukan aktivitas budaya Sunda maupun Tionghoa da sebanyak 33,3% dan mereka dikatakan menerapkan strategi marjinalisasi. Sebanyak 100% mahasiswa mengatakan bahwa mereka bangga menjadi orang Tionghoa. Dalam hal ini, mereka dikatakan menerapkan strategi separasi. Jadi dengan adanya perbedaan nilai, gaya hidup yang ditemukan oleh mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara dengan budaya Sunda, terdapat penerapan strategi akulturasi yaitu integrasi, separasi, asimilasi dan marjinalisasi oleh mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara, interaksi antarmahasiswa yang terus menerus di Universitas X Bandung, adanya keinginan untuk dapat menyesuaikan diri dengan budaya Sunda menjadi hal yang menarik untuk diteliti. 1.2. Identifikasi Masalah Seperti apakah gambaran mengenai strategi akulturasi yang diterapkan oleh mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara di Universitas X Bandung.

10 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai strategi akulturasi yang diterapkan mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara di Universitas X Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah: Untuk memperoleh informasi dan gambaran mengenai strategi akulturasi yang diterapkan oleh mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara di Universitas X Bandung pada setiap aspek kompetensi bahasa, identitas budaya, dan aktivitas budaya. Untuk memperoleh informasi dan gambaran mengenai faktor-faktor yang menggambarkan strategi akulturasi yang diterapkan oleh mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara di Universitas X Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis a. Memberikan informasi bagi ilmu Psikologi Sosial khususnya Psikologi Lintas Budaya dengan menyediakan informasi mengenai strategi akulturasi dan faktor-faktor yang melatarbelakangi strategi akulturasi pada mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara di Universitas X Bandung.

11 b. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang memerlukan bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai strategi akulturasi. 1.4.2. Kegunaan Praktis a. Memberikan masukan kepada Universitas X Bandung mengenai strategi akulturasi yang diterapkan oleh mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengarahan mahasiswa baru pada masa orientasi sehingga para mahasiswa dapat tetap melestarikan budaya mereka, memertahankan jati dirinya sebagai etnis Tionghoa dan lebih terbuka menerima budaya setempat. b. Memberikan informasi kepada para mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara di Universitas X Bandung mengenai akulturasi yang diterapkan oleh dirinya, dengan harapan mereka dapat tetap melestarikan budaya Tionghoa dan membuka diri untuk mengenal budaya setempat. 1.5. Kerangka Pemikiran Mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara di Universitas X berada pada tahap perkembangan remaja. Perkembangan kognitif pada remaja adalah formal operasional (Piaget, dalam Santrock, 2002) dimana dirinya mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain dan membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar-standar ideal ini. Cara berpikir formal operasional ini dapat membantu mahasiswa berpikir akan konsekuensi yang akan diterima jika mengambil suatu tindakan. Dalam hal ini,

12 mahasiswa yang berakulturasi dapat mengantisipasi konsekuensi yang akan diterima dari lingkungan jika menerapkan strategi akulturasi tertentu. Sebagai mahasiswa yang telah memasuki perguruan tinggi dirinya lebih merasa dewasa, lebih banyak pelajaran yang dapat dipilih, lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama kelompok sebaya, lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai, menikmati kemandirian yang lebih luas dari pengawasan orang tua, dan tertantang secara intelektual oleh tugas akademik. Transisi dari sekolah menengah atas menuju perguruan tinggi melibatkan gerakan menuju satu struktur sekolah yang lebih besar, dan tidak bersifat pribadi; interaksi dengan kelompok sebaya dari daerah yang lebih beragam latar belakang etnisnya; dan peningkatan perhatian pada prestasi dan penilaian (Santrock, 2002). Mahasiswa yang pindah tempat tinggal menuju daerah lain untuk menimba ilmu dalam waktu yang sementara dan kemudian akan kembali ke daerah asalnya yang dikenal dengan sebutan sojourners akan mengalami kontak multikultural dengan masyarakat mayoritas. Mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Medan yang tinggal di Bandung merupakan kaum minoritas. Mereka bertemu dengan masyarakat dengan budaya yang berbeda dengan budaya asal mereka dan akan melakukan kontak dan interaksi secara langsung dengan budaya setempat dalam hal ini adalah budaya Sunda. Budaya Sunda yang dimaksud di sini bukanlah budaya Sunda yang masih asli, melainkan budaya Sunda yang sudah dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, atau yang lebih dikenal dengan budaya urban (Subrata, www.balipos.co.id, 24 Februari 2004). Dalam budaya

13 Sunda urban ini, masih terdapat budaya Sunda namun tidak terlalu kental seperti halnya budaya Sunda asli. Ketika kelompok minoritas masuk ke masyarakat mayoritas, maka terjadilah kontak sosial yang kemudian mendorong terjadinya proses akulturasi antarbudaya mereka yang berbeda untuk dapat menyesuaikan diri. Dalam proses akulturasi akan terjadi pada aspek kompetensi bahasa, identitas budaya, dan perilaku atau aktivitas budaya yang merupakan hasil kontak langsung antara budaya yang berbeda secara berkesinambungan (Birman dan Tricket, 2001). Dalam hal ini, mahasiswa etnis Tionghoa sebagai kelompok minoritas melakukan kontak dengan budaya Sunda yang berbeda dan terjadilah proses akulturasi. Mahasiswa yang mengalami kontak dengan budaya Sunda akan mengalami krisis karena adanya perbedaan nilai budaya yang dimiliki oleh para mahasiswa. Mereka kemudian mulai beradaptasi dengan menerapkan cara-cara tertentu untuk dapat berinteraksi dengan baik sesama mahasiswa. Umumnya, seorang imigran yang telah tinggal lama dalam sebuah masyarakat dominan, mungkin lebih banyak mengalami akulturasi daripada imigran yang tinggal dalam jangka waktu lebih pendek (Berry, 1999). Sehingga mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara akan mengalami akulturasi budaya yang lebih sedikit karena para mahasiswa yang merupakan masyarakat migrasi yang menetap untuk waktu yang sementara (sojourners). Cara-cara yang dilakukan oleh mahasiswa ketika melakukan kontak dengan budaya Sunda disebut dengan strategi akulturasi. Menurut Berry, terdapat empat jenis strategi akulturasi yaitu asimilasi, separasi, integrasi, dan

14 marjinaliasasi. Strategi asimilasi terjadi jika mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara menerima dan melakukan identifikasi terhadap budaya Sunda, memelajari dan mampu menggunakan bahasa Sunda dan berperilaku atau terlibat dalam aktivitas Sunda dan di sisi lain tidak memelihara Budaya Tionghoanya, berarti mahasiswa-mahasiswa ini menerapkan strategi asimilasi. Hal ini dapat terjadi jika mahasiswa-mahasiswa tersebut memiliki nilai budaya Tionghoa yang tidak terlalu kuat, sehingga kehilangan budaya Tionghoanya dan mengikuti budaya Sunda. Separasi terjadi jika mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara menghindari interaksi dengan budaya Sunda dan lebih memilih untuk memertahankan identitas budaya Tionghoanya, seperti tetap menggunakan bahasa Hokkian saat bercakap-cakap dengan sesama etnis Tionghoa dari Sumatera Utara dan melaksanakan perayaan budayanya. Strategi separasi ini dapat terjadi apabila budaya Tionghoa sudah tertanam secara kuat pada mahasiswa. Biasanya mahasiswa-mahasiswa ini merasa lebih nyaman jika bergaul akrab dengan teman-teman yang sama-sama berasal dari etnis Tionghoa juga. Strategi integrasi terjadi apabila mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa mampu bersikap toleran dan fleksibel terhadap budaya Sunda serta identitas budaya Etnis Tionghoa yang diwarisinya sudah terinternalisasi dengan kuat. Hal ini dapat ditunjukkan apabila mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara menerima dan melakukan identifikasi terhadap budaya Sunda, memerlihatkan upaya memelajari dan mampu berbahasa Sunda dan berperilaku atau terlibat dalam aktivitas Sunda dan di sisi lain memertahankan identitas

15 budaya Tionghoanya, tetap mampu berbahasa Hokkian dan juga berperilaku atau tetap terlibat dalam aktivitas budaya Tionghoa maka dikatakan bahwa mahasiswa etnis Tionghoa ini menerapkan strategi integrasi. Apabila mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara kurang memiliki identitas budaya Tionghoa yang kuat, kurang mampu berbahasa Hokkian, dan jarang berperilaku atau beraktivitas yang berkaitan dengan budaya Tionghoa lalu masuk ke dalam lingkungan berbudaya Sunda dan tidak ingin berinteraksi dengan budaya Sunda maka mahasiswa tersebut mengalami marjinalisasi. Marjinalisasi dapat dialami mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara yang tidak ingin melestarikan budaya Tionghoa dan ketika masuk lingkungan yang berbudaya Sunda, ia tidak diterima oleh orangorang di lingkungan Sunda. Strategi marjinalisasi ini akan diterapkan oleh mahasiswa etnis Tionghoa yang kehilangan identitas budaya Tionghoanya. Penerapan strategi akulturasi terjadi pada aspek-aspek identitas budaya, kompetensi bahasa dan perilaku atau aktivitas budaya. Penerapan strategi akulturasi untuk setiap aspek tersebut dapat sama, tetapi dapat juga berbeda-beda, misalnya mungkin saja mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara menerapkan integrasi dalam kompetensi berbahasa, separasi dalam identitas budaya dan melakukan marjinalisasi dalam perilaku atau aktivitas budaya. Dalam strategi akulturasi akan ditentukan oleh beberapa faktor. Faktorfaktor tersebut terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu: faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi strategi akulturasi adalah

16 lama kontak budaya, jarak kultural, kualitas interaksi, dan dukungan sosial (Ward, 2001). Lama kontak budaya antara etnis Tionghoa dan Sunda memberikan pengaruh terhadap pemilihan strategi akulturasi. Semakin lama kontak budaya, maka semakin tinggi pengenalan mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara terhadap budaya Sunda. Jika berdasarkan pengalaman atau pengetahuan mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara mengenali budaya Sunda sebagai budaya yang sama baiknya dengan budaya Tionghoa maka besar kemungkinan integrasi diterapkan. Jika Mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara mengenal budaya Sunda sebagai budaya yang kurang baik daripada budaya Tionghoa maka besar kemungkinan mahasiswa tersebut menerapkan separasi. Jika mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara mengenal budaya Sunda sebagai budaya yang lebih baik daripada budaya Tionghoa maka besar kemungkinan mahasiswa tersebut menerapkan asimilasi. Jika mahasiswa etnis Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara mengenal budaya Sunda samasama kurang baiknya dengan budaya Tionghoa maka besar kemungkinan mahasiswa tersebut mengalami marjinalisasi. Pengenalan terhadap budaya Sunda memungkinkan munculnya konflik dalam diri individu. Jika interaksi antara budaya Tionghoa dengan Sunda ini terus berlanjut maka konflik tersebut dapat berubah menjadi krisis. Agar krisis berhenti maka mahasiswa etnis Tionghoa harus beradaptasi dengan budaya Sunda dengan cara menerapkan suatu strategi akulturasi. Jika strategi akulturasi yang diterapkan berhasil mengatasi krisis yang dialami maka proses adaptasi budaya akan

17 berhenti, namun ada juga kemungkinan dengan berjalannya waktu, strategi akulturasi yang diterapkan oleh mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa menjadi tidak adekuat lagi atau menimbulkan suatu konflik baru. Ketika hal ini terjadi, maka mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa akan memasuki fase konflik lalu krisis lagi dan setelah itu baru memasuki fase adaptasi dengan memilih strategi akulturasi lain yang sesuai. Faktor eksternal lainnya adalah jarak kultural. Semakin budaya Tionghoa memiliki banyak kemiripan dengan budaya Sunda atau jarak kultural yang semakin kecil, maka semakin besar kemungkinan mahasiswa etnis Tionghoa menerima budaya Sunda dan menerapkan integrasi atau asimilasi. Semakin budaya yang terlibat yaitu budaya Tionghoa dan Sunda memiliki sedikit kemiripan atau jarak kultural yang semakin besar, maka semakin kecil kemungkinan individu menerima budaya Sunda dan menerapkan separasi atau mengalami marjinalisasi. Faktor eksternal berikutnya yaitu kualitas interaksi intra dan inter-group. Interaksi antara mahasiswa etnis tionghoa dengan budaya Tionghoa disebut interaksi intra-group. Sedangkan kualitas interaksi antara mahasiswa etnis Tionghoa dengan budaya Sunda disebut interaksi inter-group. Kualitas interaksi inter-group inilah yang akan menjadi faktor utama yang mempengaruhi penerapan strategi akulturasi. Semakin kualitas interaksi intra dan inter-group mendalam, semakin besar kemungkinan diterapkannya integrasi. Jika kualitas interaksi intra-group mendalam dan kualitas interaksi inter-group kurang mendalam maka semakin besar kemungkinan diterapkannya separasi. Jika

18 kualitas intra-group kurang mendalam dan kualitas inter-group mendalam maka semakin besar kemungkinan diterapkannya asimilasi. Jika kualitas interaksi intragroup dan interaksi inter-group kurang mendalam maka semakin besar kemungkinan terjadinya marjinalisasi. Dukungan sosial yang diberikan juga mempengaruhi penerapan strategi akulturasi seseorang. Jika dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan budaya Tionghoa dan lingkungan budaya Sunda sama-sama baik, semakin besar kemungkinan diterapkannya integrasi. Jika dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan budaya Tionghoa baik tetapi lingkungan budaya Sunda kurang memberikan dukungan maka semakin besar kemungkinan diterapkannya separasi. Jika dukungan sosial yang diberikan oleh budaya Tionghoa kurang baik tetapi lingkungan budaya Sunda memberikan dukungan maka semakin besar kemungkinan diterapkannya asimilasi. Jika lingkungan budaya Tionghoa yang dimiliki mahasiswa dan lingkungan budaya Sunda kurang memberikan dukungan sosial maka semakin besar kemungkinan terjadinya marjinalisasi. Selain faktor eksternal, terdapat pula faktor internal. Faktor internal terdiri atas persepsi, identitas budaya dan nilai-nilai tradisional, serta latihan dan pengalaman (Ward, 2001). Jika mahasiswa etnis Tionghoa mempersepsi bahwa budaya yang ada dalam dirinya dan budaya Sunda sesuai dengan dirinya maka kemungkinan besar mahasiswa etnis Tionghoa akan melakukan integrasi. Jika mahasiswa etnis Tionghoa mempersepsi bahwa budaya yang ada dalam dirinya lebih sesuai dengan dirinya daripada budaya Sunda maka kemungkinan besar mahasiswa etnis Tionghoa akan menerapkan separasi. Jika mahasiswa etnis

19 Tionghoa mempersepsi bahwa budaya Sunda lebih sesuai dengan dirinya daripada budaya Tionghoa yang ada dalam dirinya maka kemungkinan besar mahasiswa etnis Tionghoa tersebut akan menerapkan asimilasi dan jika mahasiswa etnis Tionghoa mempersepsi baik budaya Tionghoa yang ada dalam dirinya dan budaya Sunda tidak sesuai dengan dirinya maka kemungkinan besar akan terjadi marjinalisasi. Selain faktor diatas, terdapat faktor identitas budaya dan nilai-nilai tradisional. Semakin seorang mahasiswa etnis Tionghoa menganggap bahwa nilainilai Tionghoa lebih sesuai dengan dirinya, maka semakin besar kemungkinan mahasiswa etnis Tionghoa itu melakukan separasi. Semakin mahasiswa etnis Tionghoa menganggap bahwa nilai-nilai Sunda lebih banyak memiliki kesesuaian dengan dirinya maka semakin besar kemungkinan mahasiswa tersebut melakukan asimilasi. Jika mahasiswa etnis Tionghoa menganggap bahwa ada nilai-nilai dari Sunda dan Tionghoa memiliki kesesuaian dengan dirinya maka semakin besar kemungkinan mahasiswa tersebut melakukan integrasi. Jika mahasiswa etnis Tionghoa menganggap bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada nilai-nilai Tionghoa maupun Sunda yang memiliki kesesuaian dengan dirinya maka semakin besar kemungkinan mahasiswa tersebut mengalami marjinalisasi. Faktor internal lainnya yaitu latihan dan pengalaman. Apabila mahasiswa etnis Tionghoa sudah terlatih dengan budaya yang berbeda sebelumnya maka akan mempermudah dalam berinteraksi dengan budaya Sunda. Semakin banyak pengalaman positif yang diperoleh seorang mahasiswa etnis Tionghoa dalam menghadapi budaya Sunda, semakin mempermudah terjadinya penerimaan

20 budaya Sunda. Pengalaman positif dan latihan ini akan membuat mahasiswa etnis Tionghoa dapat mentolerir perbedaan yang ada. Perkembangan kognitif pada mahasiswa di masa remaja akhir juga mempengaruhi penerapan strategi akulturasi, karena perkembangan kognitif akan mempengaruhi kemampuan persepsi mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara terhadap budaya Sunda. Mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara sedang berada pada tahap perkembangan kognitif formal operasional (Piaget dalam Santrock, 2002). Mahasiswa mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain dan membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar-standar ideal ini. Selain itu, pada masa remaja akhir, para mahasiswa mampu berpikir secara reflektif dan relativistik (Perry dalam Santrock, 2003). Mahasiswa yang mencapai tahap perkembangan ini tidak akan berpikir secara bipolar benar atau salah, baik atau buruk tetapi mereka akan berada pada gradasi antara kedua kutub dan mampu melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Dengan gaya berpikir seperti ini, etnosentrisme di kalangan para mahasiswa dapat dikurangi karena para mahasiswa sudah dapat melihat kebudayaan bukan sebagai sesuatu yang benar atau salah, baik atau buruk tetapi lebih ke arah kebiasaan dan kepercayaan. Dengan gaya berpikir seperti ini, maka stereotipe-stereotipe (komponen kognitif mengenai keyakinan terhadap suatu kelompok) dan prasangka terhadap budaya Sunda yang dapat dikurangi. Akibatnya akan memperbesar kemungkinan untuk melakukan penerimaan terhadap budaya Sunda terutama penerimaan dalam bentuk strategi akulturasi integrasi.

Perkembangan Kognitif Remaja Faktor Eksternal - Lama kontak budaya - Kualitas interaksi - Jarak kultural - Dukungan sosial Kompetensi Bahasa Asimilasi Separasi Integrasi Marjinalisasi Mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara di Universitas X Bandung Kontak dengan budaya Sunda Strategi Akulturasi Budaya Faktor Internal - Persepsi - Identitas dan nilai-nilai budaya - Pengalaman dan latihan Identitas Budaya Aktivitas/Perilaku Budaya Asimilasi Separasi Integrasi Marjinalisasi Asimilasi Separasi Integrasi Marjinalisasi Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran 21

22 1.6. Asumsi Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa : a. Mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara di Universitas X ketika pindah ke Bandung akan mengalami kontak dengan budaya Sunda secara langsung. b. Adanya kontak antara kedua budaya yang berbeda tersebut menyebabkan mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara harus menyesuaikan diri dengan budaya Sunda dengan cara melakukan strategi akulturasi. c. Terdapat empat tipe strategi akulturasi yang dapat diterapkan oleh mahasiswa etnis Tionghoa dari Sumatera Utara di Universitas X Bandung yaitu asimilasi, separasi, integrasi, dan marjinalisasi. d. Faktor eksternal yang memengaruhi penerapan strategi akulturasi yaitu kualitas interaksi, jarak kultural, dan dukungan sosial sedangkan faktor internal yang memengaruhi penerapan strategi akulturasi terdiri atas: persepsi, latihan dan pengalaman, nilai-nilai dan identitas budaya. e. Penerapan strategi akulturasi dapat terjadi pada aspek kompetensi bahasa, identitas budaya dan aktivitas budaya. Penerapan strategi akulturasi mahasiswa untuk setiap aspek tersebut dapat sama, tetapi dapat juga berbeda-beda.