BAB II PERJANJIAN PEMBERIAN PINJAMAN BANTUAN MODAL BAGI USAHA KECIL DALAM PROGRAM KEMITRAAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II PERJANJIAN ANTARA PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBERIAN PINJAMAN BANTUAN MODAL BAGI USAHA KECIL DALAM PROGRAM KEMITRAAN PADA PT. AP II. MUHARROIMI SOUVANNY

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II LANDASAN TEORI

LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. pengaturan yang berbeda-beda, Buku I mengenai perorangan (personenrecht),

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II RUANG LINGKUP TENTANG PERJANJIAN. yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG DIBAWAH TANGAN. dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian

II. TINJAUAN PUSTAKA. pegawai yang tidak dapat bekerja lagi, untuk membiayai penghidupan

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

BAB II LANDASAN TEORI Tinjauan Terhadap Perjanjian Pada Umumnya. hukum perdata adalah sama penyebutannya secara berturut-turut seperti

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA

BAB II LANDASAN TEORI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu perjanjian adalah suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu perjanjian adalah suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala

Transkripsi:

21 BAB II PERJANJIAN PEMBERIAN PINJAMAN BANTUAN MODAL BAGI USAHA KECIL DALAM PROGRAM KEMITRAAN A. Pengertian Perjanjian Berbicara mengenai perjanjian tidak dapat terlepas dari perikatan maka sebelum sampai pada pengertian perjanjian, ada baiknya dibahas mengenai pengertian perikatan. KUH Perdata di dalam Buku III memakai istilah perikatan yang berasal dari bahasa Belanda verbintenis. R. Subekti memberi rumusan perikatan sebagai hubungan antara 2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. 33 Istilah perikatan dipergunakan untuk menggambarkan suatu hubungan hukum antara 2 (dua) pihak atau lebih yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu yang disebabkan suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perikatan lahir dari suatu peristiwa di mana 2 (dua) orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini tepatnya dinamakan perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian janji-janji. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. 22. 33 R. Subekti (R. Subekti II), Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1983, hal. 21

22 Dalam Pasal 1233 KUH Perdata dirumuskan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. Sedang dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. R. Subekti berpendapat bahwa istilah perjanjian dinamakan persetujuan karena kedua belah pihak bersetuju untuk melakukan sesuatu. 34 Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa Pasal 1313 kurang begitu memuaskan memberikan perumusan tentang perjanjian disebabkan perumusan pasal tersebut mengandung kelemahan-kelemahan antara lain: 35 1. Hanya menyangkut sepihak saja. 2. Kata perbuatan tidak mencakup konsensus. 3. Kata perjanjian terlalu luas. 4. Tanpa menyebut tujuan. Dengan demikian Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana 2 (dua) orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 36 Perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapat prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Hal ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum 34 R. Subekti I, op.cit, hal. 20. 35 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 8. 36 Ibid, hal. 9.

23 untuk memaksa debitur dapat menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan. Sanksi dalam hal ini berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Untuk melihat pengertian perjanjian dimaksud, dikemukakan beberapa pendapat yang dapat dilihat di bawah ini. M. Yahya Harahap merumuskan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara 2 (dua) orang atau lebih yang memberikan kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi. 37 Wirjono Prodjodikoro merumuskan perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai benda antara 2 (dua) pihak dalam mana salah satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 38 Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal merupakan perjanjian yang mengikat antara PT. AP II dan Mitra Binaan dalam hal pemberian pinjaman bantuan modal. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal adalah sebagai berikut: 1. Lahir dari adanya kesepakatan; 2. Mengikat PT. AP II dan Mitra Binaan; dan 3. Menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. 37 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6 38 Wirjono Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro I), Pokok-pokok Hukum Perdata tentang Perjanjian Tertentu, Sumur, Bandung, 1981, hal. 11.

24 B. Syarat-syarat Sah Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUH Perdata diperlukan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, keempat unsur tersebut digolongkan ke dalam: 39 1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan 2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Syarat yang pertama dan yang kedua disebut dengan syarat subyektif, karena langsung menyangkut orang atau subyek pembuat perjanjian. apabila salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya, artinya salah satu pihak dapat memintakan supaya perjanjian dibatalkan. Syarat yang ketiga dan keempat disebut dengan syarat obyektif, karena apabila salah satu syarat obyektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian itu dengan sendirinya batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. 39 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op cit, hal. 93.

25 Ad. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat adalah bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang diadakan. Di dalam perjanjian, kesepakatan terbentuk apabila perjanjian tersebut telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, sepakat yang telah diberikan menjadi tidak sah apabila kata sepakat tersebut diberikan karena: a. Salah pengertian atau kekhilafan; b. Paksaan; dan c. Penipuan. Sepakat karena salah pengertian (kekhilafan), paksaan atau penipuan menjadi tidak sah oleh karena persetujuan diberikan dengan cacat kehendak. Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal. Salah pengertian terhadap obyeklah yang dapat menyebabkan perjanjian batal. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1322 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

26 Paksaan terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menyetujui perjanjian tersebut. Sejalan dengan itu, Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang dibolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan. 40 Penipuan adalah segala tipu muslihat ataupun memperdayakan dengan terang dan nyata, sehingga pihak lain tidak akan membuat perikatan seandainya tipu muslihat itu akan dilakukan (Pasal 1328 KUH Perdata). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa penipuan tidak boleh dipersangkakan akan tetapi dapat dibuktikan. Tentang penipuan ini, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa satu macam pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan melainkan harus ada suatu rangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan lain merupakan satu tipu muslihat. 41 Penipuan haruslah merupakan pernyataan yang tidak benar tentang sesuatu kenyataan (bukan pendapat) yang ada pada waktu pernyataan dibuat. Suatu maksud atau kehendak dari seseorang adalah merupakan suatu kenyataan. 42 40 Mariam Darus Badrulzaman (Mariam Darus Badrulzaman I), KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal. 101. 41 Wirjono Prodjodikoro (Wirjono Prodjodikoro II), Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hal. 31. 42 Harjan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 72.

27 Ad. 2. Cakap membuat perjanjian Suatu perjanjian harus dibuat oleh orang yang benar-benar mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian. Dengan kata lain pihak yang bersangkutan yang melakukan perbuatan harus dapat menginsyafi tanggung jawab yang akan dipikul sebagai akibat dari perjanjian yang dibuat. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikiran adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian yaitu: a. Orang-orang yang belum dewasa b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu. Pasal 330 KUH Perdata menyatakan orang dewasa adalah orang yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin. Jadi jika seseorang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun namun telah kawin mengadakan perjanjian, dia dianggap sudah dewasa. Terhadap mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Pasal 433 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, termasuk orang yang kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya juga orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

28 Dalam hal ini undang-undang menganggap bahwa mereka tidak mampu menginsyafi tanggung jawab dan karena itu mereka tidak dapat bertindak melakukan perjanjian, dan untuk mewakilinya ditunjuk orang tua dan wali pengampunya (kurator). Mengenai perempuan yang telah bersuami KUH Perdata memandang mereka tidak cakap untuk melakukan perjanjian (Pasal 108 KUH Perdata). Dalam melakukan perjanjian mereka harus didampingi oleh suaminya. Tetapi sejak tahun 1963 dengan SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, maka kedudukan seorang perempuan yang telah bersuami itu dianggap derajatnya sama dengan laki-laki, sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak memerlukan bantuan dari suaminya lagi, dan Pasal 108 dan 110 KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini semakin dipertegas oleh UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat 1 bahwa kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan di masyarakat serta keduanya sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Ad. 3. Suatu hal tertentu Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu mempunyai arti bahwa obyek yang diperjanjikan harus jelas bedanya, jenisnya dan dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata). Dengan demikian barang-barang di luar ketentuan Pasal

29 1332 KUH Perdata ini tidak dapat menjadi obyek perjanjian, misalnya barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak seperti jalan umum, benda-benda terlarang seperti narkotika dan sejenisnya. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa barang yang dijadikan obyek perjanjian harus dapat ditentukan jenisnya, apakah sebagai benda yang tidak berwujud. Obyek perjanjian dapat pula barang-barang yang baru diharapkan akan ada di kemudian hari. Dengan kata lain, barang tersebut belum ada pada waktu perjanjian dibuat. Perjanjian yang tidak menyatakan secara tegas apa yang menjadi obyeknya adalah batal demi hukum. Ad. 4. Sebab yang halal Dalam Pasal 1335 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Perjanjian dikatakan dibuat tanpa sebab jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada waktu perjanjian dibuat tidak akan tercapai, misalnya suatu perjanjian tentang tempat pelaksanaan perjanjian yang sebenarnya tidak pernah ada. Perjanjian juga dikatakan dibuat dengan sebab yang palsu jika sebab yang dibuat oleh para pihak adalah untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari perjanjian itu, misalnya apabila para pihak membuat perjanjian jual beli morfin dengan alasan untuk kepentingan pengobatan tetapi ternyata dalam praktiknya disebarluaskan untuk keuntungan pribadi.

30 Dalam Pasal 1336 KUH Perdata ditegaskan bahwa jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sesuatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah. Selain itu, ditambahkan juga dalam Pasal 1337 KUH Perdata bahwa suatu sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. R. Subekti menyatakan Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi perjanjian, dengan menghilangkan suatu sangkaan bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian. Yang diperhatikan adalah tindakan yang menjadi kelanjutan dari perjanjian tersebut. 43 Beberapa hal yang termasuk sebab tak halal menurut Abdul Kadir Muhammad dinyatakan sebagai berikut Perjanjian yang berkausa tidak halal (dilarang oleh undang-undang), misalnya jual beli ganja, perjanjian membunuh orang. Perjanjian tidak halal (yang bertentangan dengan kepentingan umum), misalnya jual beli manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran tertentu. Perjanjian yang berkausa tidak halal (bertentangan dengan kesusilaan), misalnya membocorkan rahasia perusahaan. 44 Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa yang menjadi dasar dari suatu sebab yang halal adalah isi atau maksud dari perjanjian yang dibuat itu, apakah bertentangan atau tidak dengan undang-undang. Akibat hukum yang timbul jika perjanjian itu dilakukan atas dasar sebab yang halal adalah perbuatan itu batal demi 43 R. Subekti II, op.cit, hal. 19. 44 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 15.

31 hukum atau dianggap tidak pernah ada. Jadi sekalipun kepada para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian dalam bentuk apapun, kebebasan itu harus tetap didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Dengan perkatan lain, perjanjian yang dibuat harus memenuhi keempat unsur penentu suatu perjanjian agar dapat dianggap sah menurut hukum. Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal telah sah menurut hukum karena telah memenuhi syarat sah perjanjian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: 1. Perjanjian Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal merupakan hasil dari adanya kesepakatan antara PT. AP II dan Mitra Binaan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian di bawah tangan dan dibuktikan dengan adanya tanda tangan para pihak. 2. Para pihak di dalam perjanjian tersebut merupakan pihak yang cakap yaitu pihak yang berwenang untuk mewakili dan telah dewasa (berumur 21 (dua puluh satu)) tahun atau telah menikah di dalam Pasal 330 KUH Perdata atau berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah di dalam Pasal 39 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2004). PT. AP II yang berbentuk perseroan terbatas dan berkantor cabang di Kualanamu diwakili oleh General Manager, dan Mitra Binaan yang merupakan usaha kecil diwakili oleh pemilik usaha. Sesuai dengan Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU No. 40 Tahun 2007) dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa Direksi berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta

32 mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, namun karena kewenangan pengurusan Direksi PT. AP II Kantor Cabang Bandara Kualanamu Deli Serdang telah diberikan kepada General Manager Kantor Cabang Bandara Kualanamu Deli Serdang sesuai dengan Surat Keputusan Direksi PT. AP II maka General Manager mewakili PT. AP II dalam perjanjian. 3. Obyek perjanjian telah jelas yaitu untuk pemberian pinjaman bantuan modal dari PT. AP II kepada Mitra Binaan dengan tujuan penggunaan dananya adalah untuk membiayai modal kerja. 4. Perjanjian dibuat dengan sebab yang halal atau tidak melanggar peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum mengingat perjanjian dibuat berdasarkan PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015. C. Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal yang terdapat di PT. AP II merupakan perjanjian yang dilakukan antara PT. AP II dengan Mitra Binaan yang dilaksanakan sebagai wujud dari pemberlakukan Pasal 2 ayat (1) PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 yaitu Perum dan Persero wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan ini dan juga sebagai suatu bentuk bantuan untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri.

33 Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal di PT. AP II berjudul Perjanjian Kredit yang dilaksanakan melalui Program Kemitraan dan berbentuk perjanjian di bawah tangan yang sebelumnya telah dikonsepkan oleh PT. AP II. Perjanjian tersebut berjudul Perjanjian Kredit disebabkan karakteristik perjanjian tersebut mirip dengan perjanjian kredit dan adanya pemberian pinjaman kepada Mitra Binaan dengan pengenaan jasa administrasi sesuai dengan limit pinjaman Mitra Binaan. 45 Hal ini diperbolehkan mengingat tidak adanya pengkhususan judul perjanjian tersendiri untuk Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal di dalam ketentuan perundang-undangan yang berkaitan sehingga dimungkinkan untuk PT. AP II memberikan judul tersebut. Pasal 11 PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 menyebutkan bahwa pemberian pinjaman kepada Mitra Binaan dituangkan dalam surat perjanjian/kontrak yang sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama dan alamat BUMN Pembina dan Mitra Binaan; 2. Hak dan kewajiban BUMN Pembina dan Mitra Binaan; 3. Jumlah pinjaman dan peruntukannya; 4. Syarat-syarat pinjaman (sekurang-kurangnya jangka waktu pinjaman, jadwal angsuran pokok dan jasa administrasi pinjaman). Apabila diteliti lebih mendalam, Perjanjian Kredit tersebut terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu bagian yang memuat tentang subyek perjanjian (para pihak) dan bagian 45 Wawancara dengan Bapak Sonni Susanto (Wawancara dengan Bapak Sonni Susanto I), di Deli Serdang, tanggal 19 Juni 2015.

34 yang memuat tentang aturan-aturan perjanjian yang merupakan materi pokok dari perjanjian tersebut. Subjek perjanjian yaitu PT. AP II dan Mitra Binaan dicantumkan di dalam bagian awal perjanjian, sedangkan materi pokok perjanjan dicantumkan dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal tersebut (lihat Lampiran). Dalam bagian mengenai subyek perjanjian, dirumuskan keterangan mengenai indentitas para pihak antara lain keterangan mengenai PT. AP II mencakup keterangan mengenai bentuk badan usaha, kedudukan perusahaan, penghadap yang mewakili perusahaan tersebut beserta jabatan. Selain itu, keterangan mengenai Mitra Binaan meliputi : 1. Untuk badan usaha perorangan, terdiri dari kedudukan dan keterangan mengenai penghadap. 2. Untuk badan usaha non-perseorangan, terdiri dari bentuk usaha, kegiatan usaha serta kedudukan atau alamat badan usaha yang bersangkutan, dan keterangan mengenai pemilik dan/atau penghadap yang mewakili. Bagian mengenai aturan perjanjian dijabarkan satu persatu dan dituangkan dalam pasal-pasal dalam perjanjian yaitu 1. Pasal 1 mengenai pokok perjanjian. Pasal ini berisi jumlah pemberian pinjaman bantuan modal kepada Mitra Binaan dan jasa administrasi yang dikenakan per tahun dari limit pinjaman Mitra Binaan. Besarnya jumlah pemberian pinjaman bantuan modal ditentukan berdasarkan

35 prospek dan kelayakan usaha yang jumlahnya telah disepakati oleh para pihak, namun jumlah maksimum yang diperbolehkan oleh PERMEN BUMN No. PER- 09/MBU/07/2015 sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah). Jasa administrasi yang diperbolehkan dikenakan terhadap Mitra Binaan yaitu sebesar 6 % (enam persen) sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) PERMEN BUMN No. PER- 09/MBU/07/2015. 2. Pasal 2 mengenai tujuan penggunaan dana dan masa berlakunya pinjaman. Tujuan penggunaan dana biasanya merupakan modal untuk usaha Mitra Binaan mengingat tujuan PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 adalah untuk membantu usaha kecil. Apabila Mitra Binaan tidak menggunakan dana sesuai dengan yang diperjanjikan, PT. AP II dapat membatalkan perjanjian dan menarik kembali sebagian atau seluruh pinjaman yang diberikan. Selain itu, di dalam pasal ini dijabarkan mengenai jumlah angsuran tiap bulannya. 3. Pasal 3 mengenai bukti perikatan. Bukti perikatan merupakan bukti itikad baik dari Mitra Binaan kepada PT. AP II yang dapat berupa Akta Jual Beli tanah, Sertifikat Tanah, dan lain-lain. 4. Pasal 4 mengenai pelaksanaan yang ditunjuk. Pasal ini mengenai pemberian kewenangan untuk melaksanakan pemberian pinjaman bantuan modal. Mitra Binaan melimpahkan kewenangan tersebut kepada PT. AP II melalui Tim Pelaksana Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan sehingga PT. AP II dapat melakukan bimbingan dan pengembangan usaha Mitra Binaan.

36 5. Pasal 5 mengenai hak dan kewajiban. Di dalam pasal ini dijabarkan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang wajib dilaksanakan oleh para pihak tersebut dan apabila tidak dilaksanakan dapat membatalkan perjanjian dan menarik kembali sebagian atau seluruh pinjaman yang diberikan. 6. Pasal 6 mengenai sanksi. Sanksi merupakan hal yang diberikan kepada Mitra Binaan apabila Mitra Binaan tidak menaati kewajiban dan penggunaan dana tidak sesuai dengan tujuan pemberian pinjaman. 7. Pasal 7 mengenai penyelesaian tunggakan. Pasal ini berisi apabila Mitra Binaan lalai memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT. AP II maka penyelesaian tunggakan akan diserahkan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Medan. 8. Pasal 8 mengenai perselisihan. Apabila terjadi perselisihan maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah dan mifakat dan apabila belum selesai akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri. 9. Pasal 9 mengenai penutup. Berdasarkan pemaparan di atas, ditarik kesimpulan bahwa Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal merupakan suatu perjanjian standar (baku) yang dibuat di bawah tangan. Perjanjian ini memiliki klausula-klausula yang telah

37 ditetapkan atau telah dibakukan sebelumnya oleh PT. AP II, sehingga PT. AP II berperan sebagai pihak yang lebih kuat. Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syaratsyarat tertentu yang dibuat oleh pihak PT. AP II sebagai kreditor, yang umumnya disebut perjanjian adhesie. Pihak lain yaitu Mitra Binaan sebagai debitor, umumnya disebut Adherent, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli. Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya. Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu standard contract. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran. 46 Model, rumusan, dan ukuran tersebut sudah dibakukan dan tidak dapat diganti, diubah atau dibuat lagi dengan cara lain karena pihak pengusaha sudah mencetaknya dalam bentuk formulir yang berupa blanko naskah perjanjian lengkap di dalamnya sudah dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau yang disebut dengan dokumen bukti perjanjian yang memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib dipenuhi oleh pihak debitor. 46 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal 87.

38 Pihak kreditor dalam merumuskan atau menuangkan syarat-syarat perjanjian tersebut biasanya menggunakan bentuk nomor-nomor atau pasal-pasal atau klausulaklausula tertentu yang mengandung arti tertentu pula, yang pada dasarnya hanya dipahami oleh pihak kreditor dan ini merupakan kerugian bagi debitor karena sulit atau tidak bisa memahaminya dalam waktu yang singkat. Disini terlihat sifat adanya perjanjian baku, yaitu perjanjian yang diperuntukkan bagi setiap debitor yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis ini. Tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitor yang satu dengan yang lain. Jika debitor menyetujui salah satu dari syarat-syaratnya, maka debitor hanya mungkin bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan isi sama sekali tidak ada. Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu : 47 a. Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur. b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah. d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk 47 Mariam Darus Badrulzaman (Mariam Darus Badrulzaman II), Kumpulan Pidato Pengukuhan. Bandung, Alumni, 1991, hal 99.

39 memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Bentuk perjanjian baku yang dipakai oleh PT. AP II kepada Mitra Binaan adalah Perjanjian Baku Sepihak atau Adhesi disebabkan perjanjian ini memiliki klausula-klausula yang telah ditetapkan atau telah dibakukan sebelumnya oleh PT. AP II sehingga PT. AP II berperan sebagai pihak yang lebih kuat. Senada dengan pendapat di atas berdasarkan wawancara dengan responden, ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya pembakuan klausula-klausula di dalam Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal, PT. AP II telah memaksakan Mitra Binaan untuk menyetujui dan menaati isi perjanjian tersebut. Apabila Mitra Binaan tidak setuju dengan isi perjanjian maka perjanjian tidak akan terjadi. Hal inilah yang merupakan karakteristik perjanjian standar (baku) dengan adanya sifat take it or leave it. 48 Di dalam perjanjian juga terdapat pengenaan jasa administrasi sebesar 6 % (enam persen) per tahun dari limit pinjaman yang juga sesuai yang tercantum dalam perjanjian kredit tersebut merupakan pelaksanaan PERMEN BUMN No. PER- 09/MBU/07/2015. Hal ini bertentangan dengan tujuan pemberian bantuan modal yaitu untuk membentuk Mitra Binaan yang mandiri dan tangguh. Namun di dalam PERMEN BUMN No. PER-09/MBU/07/2015 Pasal 8 ayat (1) disebutkan sumber dana untuk Program Kemitraan salah satunya berasal dari jasa administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil dari Program Kemitraan sehingga pengenaan jasa 48 Wawancara dengan Mitra Binaan, di Medan, tanggal 4 Maret 2015.

40 administrasi tersebut dibenarkan dengan tujuan agar PT. AP II dapat membantu Mitra Binaan lainnya melalui Program Kemitraan. Ditinjau dari sudut pandang perjanjian dan asas kebebasan berkontrak, pengenaan jasa administrasi tersebut dibenarkan karena telah melewati persetujuan para pihak dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut secara sadar oleh para pihak, sehingga perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang yang harus dipatuhi oleh para pihak (Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata). Mitra Binaan pun menyadari hal tersebut, dengan menandatangani perjanjian maka Mitra Binaan berkewajiban untuk melaksanakan segala kewajiban yang tercantum di dalam perjanjian agar Mitra Binaan tersebut dapat menuntut haknya kepada PT. AP II. 49 49 Ibid.