6 PEMBAHASAAN 6.1 Perikanan Sidat Potensi perikanan sidat khususnya di muara Sungai Cimandiri, Kabupaten Sukabumi sangat besar. Potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat nelayan sekitar. Aktivitas penangkapan sidat di muara Sungai Cimandiri sudah terjadi sudah lama. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, aktivitas penangkapan sudah terjadi sejak tahun1980. Produksi sidat pada awal tahun 1980 sangatlah melimpah, namun seiring dengan banyaknya orang yang ikut menangkap lambat tahun produksi sidat mengalami penurunan. Produksi benih sidat dari alam mengalami penurunan dari 39,955 metrik ton (mt) pada tahun 1994 menjadi 22,836 mt pada tahun 1999 (Setiawan, 2003). Penangkapan juvenil sidat yang dilakukan nelayan masih menggunakan alat tangkap yang sederhana (tradisional), alat tangkap tersebut bernama sirib (Sriati, 1998). Sirib yang digunakan nelayan adalah alat tangkap anco (portable liftnet), jaring empat persegi dilengkapi dua buah belahan bambu tipis menyilang dan dioeprasikan hanya dengan menggunakan tenaga manusia yaitu kekuatan tangan umumnya berukuran 1,1 1,5m x 1,1 1,5m. Bahan jaring dibuat dari waring (PE) halus dengan mesh size 0,5 0,8 mm. Selain anco nelayan menggunakan alat tangkap bernama sodok. Sodok berbentunk jaring dengan mulut segi tiga sama kaki yang memiliki bingkai dari kayu. Alat tangkap sodok memiliki panjang berkisar antara 1 1,5 m dan lebar mulut 1,8 2 m. bahan jaring terbuat dari waring (PE) halus dan dengan mesh size 0, 5 mm. Alat bantu penangkapan juvenil sidat yang digunakan adalah petromak, senter batrai, obor, piring, dan wadah kantong plastik. Alat bantu penangkapan memudahkan dalam proses penangkapan juvenil sidat. Nelayan sidat mengoperasikan alat tangkap menggunakan tangan. Nelayan sidat harus memiliki ketahanan fisik yang kuat, karena selain mengopersaikan alat tangkap nelayan harus terjun ke perairan. Pengoperasian alat tangkap dengan cara jaring diturunkan ke arah dasar perairan pantai, muara sungai dan teluk-teluk yang relatif dangkal dengan muka jaring menghadap ke dalam perairan. Setelah ikan terkumpul, lalu secara perlahan jaring diputar atau dibalik dan diangkat ke arah
45 permukaan hingga kumpulan ikan berada di dalam jaring (Subani dan Barus, 1989). Kemudian hasil tangkapan diangkat dari jaring menggunakan alat bantu berupa piring. Penangkapan sidat di muara Sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Penangkapan di mulai ketika air laut mengalami awal pasang yaitu sekitar pukul 19:00-20:00 WIB. Selama 4-5 jam nelayan melakukan kegiatan penangkapan di pinggir muara sungai dan istirahat sambil menimbang hasil tangkapan yang di peroleh sekitar 1 2 jam kemudian dilanjutkan menangkap lagi sampai selesai sekitar pukul 05:00 WIB dimana air laut telah surut. Setiap malam rata-rata satu nelayan sidat mendapatkan juvenil sidat sekitar 100 gram. Penangkapan sidat juga ditentukan dengan faktor kekeruhan air, arus pasang surut dan fase bulan. Juvenil sidat menyukai kondisi perairan yang keruh. Air keruh membuat juvenil sidat terhindar dari predator pemangsa. Hasil tangkapan juvenil sidat di muara Sungai Cimandiri dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan volume air sungai (Sriati 1998). Hasil wawancara dengan nelayan musim penangkapan juvenil sidat terjadi sepanjang tahun dimana pada bulan Juni-Oktober merupakan musim puncak penaangkapan. Ikan sidat berpijah diprediksikan di perairan Samudera Hindia sekitar pulau Mentawai (Setiawan dan Amarullah 2003). Ikan sidat memijah pada bulan Desember-Maret. Perjalanan larva sidat mencapai Teluk Palabuhanratu sekitar 6 bulan, hal ini sesuai dengan umur juvenil sidat yang tertangkap di muara Sungai Cimandiri (Herunadi 2003). Dari data pada Gambar 12 menyatakan bahwa perusahaan budidaya dan pengolahan sidat di Kabupaten Sukabumi menerima pasokan juvenil sidat dari nelayan di tahun 2011 sebesar 58,094 kg, 162,378 kg pada bulan Juni, 171,775 kg pada bulan juli dan 44,862 pada bulan Oktober. Menunjukkan bahwa musim puncak penangkapan sidat terjadi pada bulan Mei- Oktober. Pemasaran sidat di dalam negri sangat terbatas. Harga ikan yang mahal menjadi alasan masyarakat enggan mengkonsumsi ikan sidat khususnya masyarakat menengah kebawah, ikan sidat belum familiar umtuk dikonsumsi (Affandi dan Suhenda 2003). Peluang terbesar pemasaran ikan sidat adalah pasar internasional. Untuk pemasaran ke luar negeri diperlukan jumlah yang sangat banyak, akan tetapi produksi di dalam negeri masih terbatas. Ikan sidat juga
46 semakin sulit untuk ditangkap dan sulit dalam membudidayakan. Banyak perusahaan budidaya sidat di indonesia mengalami kebangkrutan, hal ini disebabkan teknologi budidaya sidat yang terbatas dan belum berkembang. Akhirnya banyak investor asing terutama dari negara Jepang, Korea Selatan dan China yang telah mengetahui cara dan teknologi budidaya sidat yang baik. Campur tangan pihak asing membuat semakin sedikit pelung masyarakat dalam negeri untuk menikmati ikan sidat. Kebanyakan sidat di ekspor ke negara lain, karena nilai jual di luar negeri lebih tinggi dibandingkan dalam negeri. Harga tinggi ikan sidat sebanding dengan tingginya kandungan gizi yang terkandung pada daging sidat. Ikan sidat mengandung berbagai asam lemak tak jenuh yang tidak ada pada hewan lainnya. Sidat memiliki kandungan nutrisi protein, karbohidrat, serta omega 3 yang tinggi, sehingga menguatkan fungsi otak dan memperlambat terjadinya kepikunan. Dibanding ikan salmon, sidat mengandung DHA (Decosahexaenoic acid, zat wajib untuk pertumbuhan anak) sebanyak 1.337 mg/100 gram sementara ikan salmon hanya 748 mg/100 gram. Kandungan EPA (Eicosapentaenoic acid) yang terdapat dalam ikan sidat sebesar 742 mg/100 gram sementara salmon hanya 492 mg/100 gram. Ikan sidat mempunyai kandungan asam lemak Omega 3 tinggi, yakni sekitar 10,9 gram per 100 gram (Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan 2011). 6.2 Keberlanjutan Perikanan Juvenil Sidat Informasi tentang status potensi sumberdaya ikan yang tersedia sangat perlu diketahui untuk pengelolaan sumberdaya secara optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya yang ada. Pemanfaatan sumberdaya ikan perlu kehatihatian agar tidak sampai pada kondisi kelebihan penangkapan (over fishing) (Nikijuluw 2002). Pemanfaatan sumberdaya sidat harus diperhatikan dengan benar pengelolaan agar keberlanjutan penangkapan sidat tetap berlanjut. Perlu adanya kajian mengenai penangkapan sidat khususnya di muara Sungai Cimandiri. Berdasarkan analisis aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi terhadap masing-masing kriteria di muara Sungai Cimandiri, aspek ekonomi menempati urutan prioritas pertama dalam penentuan status keberlanjutan perikanan juvenil
47 sidat. Urutan kedua ditempati aspek biologi, ketiga aspek sosial dan terakhir aspek teknis. Aspek ekonomi memiliki peran penting dalam keberlanjutan usaha dan peningkatan ekonomi keluarga nelayan. Usaha penangkapan juvenil sidat sangat menguntungkan, dengan sedikit modal menghasilkan keuntungan lebih. Meski ketersediaan benih sidat mengalami penurunan akan tetapi harga jual juvenil sidat mengalami peningkatan. Harga juvenil sidat (glass eel) terus mengalami peningkatan dimana pada awal tahun 2000 harga 1 kg glass ell kurang lebih Rp 80.000,- dan sekarang tahun 2012 harga mencapai Rp 300.000,- sampai dengan Rp 400.000,-. Harga tersebut masih di tingkat nelayan menjual ke pengumpul. Harga akan semakin naik sampai ke tingkat konsumen selanjutnya. Sehingga secara ekonomi penangkapan juvenil sidat dalam status Baik dan bisa dilanjutkan. Aspek biologi menempati urutan kedua dalam penentuan status keberlanjutan perikanan juvenil sidat. Secara biologi terdapat bebrapa kriteria pendukung yaitu produksi tangkapan nelayan, selektivitas, ukuran ikan tertangkap, sumberdya ikan di alam, lama musim ikan dan lama musim penangkapan. Dari keseluruhan kriteria aspek biologi, kriteria slektivitas alat dalam menangkap hasil tangkapan utama yaitu juvenil sidat memiliki nilai hampir sempurna. Hasil tangkapan sampingan sangat sedikit yang didapat nelayan dalam pengoperasian. Musim ikan yang terjadi sangat lama membuat penangkapan sidat terus berlanjut meski mengalami penurunan produksi tangkapan dari tahun ke tahun. Status keberlanjutan juvenil sidat dilihat dari aspek biologi dalam status Cukup dan masih bisa dilanjutkan. Aspek sosial menempati urutan ketiga dalam penentuan status keberlanjutan perikanan juvenil sidat. Kriteria yang masuk didalam aspek sosial yaitu tenaga kerja, pengalaman kerja nelayan, tingkat pendidikan nelayan, konflik sosial, peran keluarga nelayan dan pendapatan nelayan. Penyerapan tenaga kerja sebagai nelayan sidat dirasa masih kurang. Minat orang menjadi nelayan sidat kurang adanya dukungan pengetahuan tentang sidat. Pengalaman kerja nelayan sidat sangat berpengalaman, meski pengoperasian dibilang mudah, akan tetapi butuh keahlian khusus untuk bisa menjadi nelayan sidat. Keahlian tersebut adalah kuat secara fisik, mampu membedakan juvenil sidat dengan juvenil ikan lain yang
48 tertangkap, mata harus jeli melihat ikan yang berbentuk transparan. Peran keluarga membantu dalam mendukung aktivitas yang dilakukan oleh nelayan sebagai mata pencaharian dengan mempersiapkan segala kebutuhan nelayan. Kurang adanya peran dinas perikanan setempat untuk melakukan penyuluhan mengenai penangkapan sidat membuat secara sosial nelayan kurang pengetahuan mengenai penanngkapan ikan yang benar agar tidak terjadi over fishing. Meski demikian status keberlanjutan juvenil sidat dilihat dari aspek sosial dalam status Cukup dan masih bisa dilanjutkan. Aspek teknis menempati urutan terakhir karena secara keseluruhan penangkapan juvenil sidat dilihat dari aspek teknis kurang didukung peralatan yang memadai. Penangkapan juvenil masih menggunakan alat tangkap secara tradisional. Aktivitas penangkapan juvenil seharusnya tidak boleh dilakukan, karena ikan yang tertangkap belum mencapai matang gonad. Penangkapan tradisional memiliki nilai positif yaitu menjaga menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga ketersediaan ikan di alam. Meski demikian status keberlanjutan juvenil sidat dilihat dari aspek teknis dalam status Cukup dan masih bisa dilanjutkan. Ditinjau dari aspek lingkungan di muara Sungai Cimandiri yang merupakan area fishing ground juvenil sidat, adanya pembangunan PLTU didekat area penangkapan dan kondisi kualitas air di perairan yang tercemar limbah rumah tangga adalah penyebab penurunan volume hasil tangkapan. PLTU yang belum beroperasi sudah menimbulkan dampak perubahan fisik lingkungan muara Sungai Cimandiri. Adanya breakwater PLTU membuat muara sungai menjadi dangkal dan kotor akan sampah. Pendangkalan membuat muara sungai mengalami penyempitan, sehinggamempengaruhi aktivitas ruaya sidat menjadi terbatas. PLTU yang belum beroperasi sudah menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan dan keberlanjutan sidat. Apabila PLTU sudah beroperasi limbahnya harus dikelola dengan baik, jika tidak akan berdampak ke lingkungan perairan. Kualitas air menjadi rendah akibat tercampur limbah industri. Tercemarnya air mempengaruhi habitat dan pola ruaya sidat. Juvenil sidat menyukai air yang memiliki kualitas air yang baik. Pencemaran limbah dari PLTU ke perairan muara Sungai Cimandiri menutup kemungkinan membuat aktivitas penangkapan sidat akan berhenti total.
49 Status keberlanjutan penangkapan sidat diperkirakan akan berhenti apabila PLTU mulai beroperasi dan limbah buang PLTU dibuang di muara sungai. Kegiatan penangkapan sidat di muara Sungai Cimandiri secara keseluruhan apabila ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial,ekonomi dan lingkungan dalam kategori bisa dilanjutkan sampai batas waktu PLTU belum mulai beroperasi. Ketersediaan sumberdaya juvenil sidat di alam yang masih melimpah, serta nilai jual yang tinggi membuat usaha penangkapan sidat khususnya di muara Sungai Cimandiri, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi masih bisa dilanjutkan dan dikembangkan. Keberlanjutan harus diiringi dengan dilakukannya upaya pengontrolan SDI dagan cara pembatasan waktu penangkapan. Kelestarian lingkungan sekitar perairan yang menjadi arah ruaya ikan sidat tetap dijaga dengan baik agar proses restocking secara alami tetap terjaga.