I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian Indonesia, sektor perkebunan memegang peran yang cukup penting terutama sebagai penyumbang devisa negara Indonesia dan bagi pendapatan nasional. Kontribusi subsektor perkebunan pada tahun 2013 mencapai US$ 5,54 milyar atau setara dengan Rp.546,42 trilliun (asumsi 1 US$ = Rp. 12.000,-) yang meliputi ekspor komoditas perkebunan sebesar US$ 35,64 milyar, cukai hasil tembakau US$ 8,63 millyar dan bea keluar (BK) CPO dan biji kakao sebesar US$ 1,26 milyar (Ditjenbun, 2016). Dari berbagai macam tanaman yang termasuk kedalam tanaman perkebunan, terdapat sembilan tanaman perkebunan dengan produksi tertinggi di Indonesia, diantaranya : Minyak sawit, gula tebu, biji sawit, karet kering, teh, coklat, kopi, tembakau, dan kulit kina. Dari kesembilan tanaman tersebut produksi tanaman teh yang berasal dari perkebunan besar menempati posisi kelima dengan rerata produksi mencapai 114,97 ton setelah minyak sawit (9.517,63 ton); gula tebu (2.212,35 ton); biji sawit (2.052,85 ton); dan karet kering (460,86 ton) (BPS, 2015). Sebagai salah satu tanaman perkebunan, teh merupakan tanaman yang diorientasikan untuk ekspor. Teh yang berasal dari Indonesia umum dikenal sebagai teh hitam dan pemasarannya sudah tersebar ke berbagai negara. Dalam perkembangan budidaya teh Indonesia, pengolahan teh hitam mendapat perhatian cukup besar sehingga teh kering yang dihasilkan disukai oleh konsumen dalam dan luar negeri. Teh hitam sudah lama menjadi komoditi ekspor Indonesia yang sangat penting selain minyak bumi dan hasil-hasil lainnya. Agribisnis teh di Indonesia setiap tahunnya mampu menghasilkan devisa ekspor sebesar US$ 110 juta dan menyumbangkan Rp. 1,2 triliun terhadap produk domestik bruto (Asosiasi Teh Indonesia, 2000). Sebagai salah satu negara produsen teh, Indonesia berada di posisi ke-8 dalam hal produksi teh dunia, sedangkan dua negara yang memimpin dalam produksi teh dunia adalah India dan China. Berdasarkan data FAO (2015) dalam Ditjenbun (2016), selama tahun 2009 2013 China berada di posisi pertama sebagai negara penghasil teh terbesar di dunia dengan rata-rata kontribusi produksi sebesar 33,88% dari total produksi teh dunia, sedangkan India berada di peringkat kedua dengan kontribusi mencapai 1
22,47%. Negara-negara produsen teh terbesar lainnya adalah Kenya (7,87%), diikuti oleh Sri Lanka (6,73%), dan Turki (4,54%), sedangkan negara produsen teh lainnya secara bersama-sama berkontribusi sebesar 24,50%. Selain sebagai produsen, Indonesia juga merupakan negara eksportir teh curah pada urutan keenam di dunia setelah Kenya, Cina, Sri Lanka, India, dan Vietnam. Setiap tahunnya, tak kurang dari 84.227 ton teh diekspor oleh Indonesia dengan pangsa pasar kumulatif mencapai 63,70% (Ditjenbun, 2015). Produksi teh di Indonesia sebagian besar berasal dari Provinsi Jawa Barat dengan rata-rata kontribusi produksi selama lima tahun terakhir (2012 2016) sebesar 66,67%, sedangkan provinsi lainnya hanya berkontribusi kurang dari 10%. Sentra produksi teh di Indonesia berada di 5 provinsi, antara lain: Jabar (66,67%), Sumut (8,40%), Jateng (6,89%), Sumbar (5,06%), dan Jambi (3,37%), sedangkan provinsi lainnya secara bersama-sama berkontribusi sebesar 9,61% terhadap total produksi teh di Indonesia. Produksi teh di Provinsi Jawa Barat sendiri berasal dari berbagai kabupaten dengan penghasil teh terbesar berturutturut, yaitu: Kabupaten Bandung (34,04%), Kabupaten Cianjur (19,46%), Kabupaten Tasikmalaya (13,54%), Kabupaten Garut (9,48%), dan Kabupaten Sukabumi (6,27%). Sisanya sebesar 17,20% merupakan kontribusi dari kabupaten lainnya (Ditjenbun, 2016). Oleh sebab mayoritas teh Indonesia yang diproduksi berasal dari Provinsi Jawa Barat, baik berasal dari perkebunan rakyat maupun perkebunan swasta dan negara penting diteliti bagaimana pengaruh harga teh, khususnya teh pucuk basah di Provinsi Jawa Barat terhadap harga teh kering yang dipasarkan untuk ekspor maupun lokal. 2
3,37% 9,61% 5,06% 6,89% 8,40% 66,67% Jabar Sumut Jateng Sumbar Jambi Lainnya Gambar 1.1. Sentra Produksi Teh di Indonesia 2012 2016 Sumber : Ditjenbun, 2016 Seperti halnya di negara-negara produsen teh lainnya di Dunia, teh hitam di Indonesia pun umumnya dijual melalui lelang teh/auction. Hal ini disebabkan industri teh membutuhkan biaya pengolahan dan pemasaran produk yang tinggi. Dalam pemasaran teh, harga teh akan semakin baik jika memiliki mutu tinggi, jadi pabrik pengolahan teh harus terletak dekat dengan perkebunan teh dan hal itu hanya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dengan modal besar, sehingga petani-petani teh di Indonesia lebih berperan sebagai penerima harga pucuk (price taker) daripada sebagai price leader. Penjualan teh melalui auction dimulai sejak dibentuknya Jakarta Tea Auction tahun 1973 yang diadakan di PT. KPBN Jakarta Pusat. Jakarta Tea Auction (JTA) merupakan tempat pemasaran teh dengan menggunakan sistem lelang. Teh yang dilelang di pasar lelang Jakarta diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar khususnya pasar ekspor. Dalam Jakarta Tea Auction, para calon pembeli akan mengajukan bid (penawaran) kepada penjual (auctioner) untuk jenis teh hitam yang diinginkan. Calon pembeli yang menawar dengan harga tertinggilah yang ditetapkan sebagai pembeli. Harga teh yang terbentuk saat lelang menjadi acuan harga teh bagi seluruh perusahaan pemasar teh juga para petani teh karena harga yang terbentuk saat lelang/auction teh merupakan harga penawaran teh tertinggi. Oleh sebab itu, informasi mengenai perkembangan harga lelang teh di Jakarta Tea Auction menjadi penting untuk diketahui secara merata oleh perusahaan pemasar teh dan 3
para petani. Naik turunnya harga lelang teh di JTA secara langsung akan berdampak pada biaya produksi teh di pabrik-pabrik pengolahan teh dan secara tidak langsung ikut menentukan tinggi rendahnya harga jual teh pucuk basah di tingkat petani teh. Harga yang terbentuk pada lelang akan selalu berubah tergantung dari tinggi rendahnya penawaran teh dari para calon pembeli teh yang ada. Teh hitam yang ditawarkan saat lelang teh berlangsung memiliki kualitas yang berbeda-beda dan menjadi salah satu faktor penting yang dilihat calon pembeli untuk menawar harga teh yang bersangkutan saat auction dilaksanakan. 2. Rumusan Masalah Peran Indonesia sebagai produsen dan eksportir di dunia nyatanya tidak menjadikan komoditas teh menjadi komoditas unggulan di sektor perkebunan. Tidak seperti kelapa sawit yang produksinya terus mengalami peningkatan signifikan dari 341 ton pada tahun 1998 menjadi 597,80 ton di tahun 2014, produksi teh justru mengalami penurunan produksi yang cukup signifikan dari 111,80 ton di tahun 1998 menjadi hanya 91,80 ton di tahun 2014 (BPS, 2015). Produksi yang menurun agaknya menjadi dampak dari luas areal perkebunan teh yang terus menurun selama kurun waktu 2010 2014. Tabel 1.1. Luas Areal, Produksi, dan Ekspor Teh Nasional Tahun 2010 2014 Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Ekspor (Ton) 2010 123.506 156.604 87.101 2011 123.938 150.776 75.450 2012 122.206 145.575 70.092 2013 122.035 145.460 70.840 2014 *) 121.034 143.751 66.399 Rata-rata Pertumbuhan (%/Tahun) -0,4-1,72-6,26 Keterangan: *) = Tahun 2014 angka sementara Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015 Dalam kurun waktu 5 tahun, rata-rata pertumbuhan luas areal menurun 0,4% yang berakibat pada penurunan produksi dan nilai ekspor teh nasional. Penurunan luas areal teh disebabkan oleh tingginya biaya produksi teh, sehingga sebagian petani teh lebih memilih mengkonversi lahan tehnya menjadi lahan pertanian lain yang lebih menguntungkan dan memiliki daya saing baik 4
komparatif maupun kompetitif, seperti tanaman hortikultura atau sawit (Ditjenbun, 2016). Luas areal yang terus menurun berdampak pula pada penurunan nilai ekspor. Nilai ekspor yang menurun disebabkan oleh tingginya harga jual komoditi teh di pasar internasional karena biaya produksi yang tinggi. Akan tetapi, tingginya harga jual teh nasional di pasar global tidak diimbangi dengan mutu yang tinggi. Sampai saat ini, kualitas teh Indonesia masih jauh dibawah negara produsen teh lainnya seperti India dan Kenya. Padahal dengan mutu yang sama, harga jual teh dari negara produsen teh lainnya jauh lebih rendah dibandingkan harga teh Indonesia, karenanya dapat dikatakan bahwa komoditas teh Indonesia masih belum dapat bersaing di pasar global. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata pertumbuhan nilai ekspor teh nasional yang menurun mencapai 6,26% per tahun. Pada tahun 2016, hanya 39% volume teh yang diekspor ke luar negeri dari total 36.000 ton teh yang ada. Penurunan nilai ekspor ini menurut Iriana Ekasari, Direktur Utama PT.KPBN disebabkan oleh lemahnya kontrol pasar Indonesia terhadap harga teh di pasar global. Lembaga lelang sebagai sarana pemasaran teh utama memegang andil yang besar terhadap kondisi memprihatinkan teh saat ini (Azzahra, 2017). Dalam proses pembentukan harga di pasar lelang dibutuhkan informasi pasar. Informasi pasar merupakan sinyal pasar yang menjadi sarana penunjang dan dasar bagi penentuan kombinasi jenis produk yang akan dihasilkan oleh produsen. Terjadinya sistem informasi pasar akan menjembatani supply di sentra produksi dan demand di sentra pasar atau konsumen. Oleh karena itu, pengembangan sistem informasi pasar secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan pendapatan produsen yang pada gilirannya akan memberikan sinyal positif untuk pengembangan agribisnis teh (Adinugroho dan Harmini, 2011). Informasi pasar yang dibutuhkan produsen teh dalam hal ini pabrik teh diantaranya prediksi harga teh di JTA. Harga teh yang dbentuk di JTA memiliki peranan penting bagi pabrik teh, karena digunakan sebagai dasar perencanaan komposisi produksi jenis teh yang akan dihasilkan. Jika harga teh grade tertentu sedang rendah, maka pabrik teh akan memfokuskan produksinya pada grade lain yang harganya sedang tinggi (Adinugroho dan Harmini, 2011). Selain itu, harga 5
pada JTA juga menjadi dasar harga teh acuan bagi perusahaan-perusahaan besar dan produsen teh lainnya karena harga yang terbentuk di pasar lelang merupakan harga penawaran teh tertinggi. Naik turunnya harga teh di pasar lelang akan memberikan dampak pada harga teh domestik yang mengikuti pergerakan harga lelang. Dari sisi petani, selama ini dengan segala keterbatasan, tidak dapat menjual teh hitam melalui proses lelang. Pasalnya, produk teh para petani masih berupa pucuk teh yang basah (perishable), sementara produk teh yang bisa dijual dalam pelelangan adalah produk yang sudah jadi atau teh kering. Hal ini mengakibatkan petani harus menjual produknya kepada PTPN atau produsen lain yang memiliki pabrik pengeringan teh. Dengan demikian, harga yang didapat oleh petani menjadi rendah karena petani hanya sebagai penerima harga pucuk bukan sebagai penentu harga. Lemahnya bargaining power dari lembaga lelang mengindikasikan lemahnya daya tawar teh oleh produsen yang secara langsung berakibat pada rendahnya harga jual produsen, dalam hal ini adalah petani-petani teh. Jika dilihat dari sisi lain, PTPN selaku perantara antara petani dan pasar lelang sudah mulai bermitra dengan petani perkebunan rakyat melalui kebun plasma antara PTPN selaku perusahaan inti dan petani-petani teh sebagai anak perusahaan untuk memenuhi stok produksi pucuk teh karena teh pucuk basah hasil kebun PTPN terkadang tidak mencukupi untuk produksi teh hitam yang dipasarkan melalui lelang. Berangkat dari pemikiran mengenai kondisi yang terjadi, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu: a. Bagaimana hubungan antara harga lelang teh hitam di PT.KPBN pada Jakarta Tea Auction dengan harga teh pucuk basah di Provinsi Jawa Barat? b. Bagaimana pengaruh harga harga teh pucuk basah di Provinsi Jawa Barat terhadap lelang teh hitam di PT. KPBN pada Jakarta Tea Auction? 6
3. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui hubungan antara harga teh hitam di PT.KPBN pada Jakarta Tea Auction dengan harga teh pucuk basah di Provinsi Jawa Barat. b. Untuk mengetahui pengaruh harga teh pucuk basah di Provinsi Jawa Barat terhadap harga teh hitam di PT. KPBN pada Jakarta Tea Auction. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut: a. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan mengenai pemasaran teh pucuk basah di Provinsi Jawa Barat, khususnya terkait transmisi harga teh yang terjadi, menambah pengetahuan di bidang sosial ekonomi pertanian, dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. b. Bagi petani teh, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi mengenai perkembangan harga teh pucuk basah, khususnya di Provinsi Jawa Barat, sehingga diharapkan petani dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas pucuk teh kedepannya. c. Bagi perusahaan terkait, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pemasaran teh hitam melalui lelang kedepannya. d. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi mengenai kondisi pemasaran teh hitam di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Barat. e. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai komoditi teh, khususnya teh hitam. 7