BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

PENDAHULUAN Latar Belakang

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan harga BBM membawa pengaruh besar bagi perekonomian bangsa. digunakan semua orang baik langsung maupun tidak langsung dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Konsumsi Bahan Bakar Diesel Tahunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI. Pardi Satriananda ABSTRACT

Biodiesel Dari Minyak Nabati

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Data

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

BAB I PENDAHULUAN. oksigen. Senyawa ini terkandung dalam berbagai senyawa dan campuran, mulai

LAMPIRAN A DATA BAHAN BAKU

PEMBUATAN BIODIESEL. Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu Tanggal : 27 Oktober 2010

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Pembuatan produk biodiesel dari Minyak Goreng Bekas dengan Cara Esterifikasi dan Transesterifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

4 Pembahasan Degumming

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum mengenal bahan bakar fosil, manusia sudah menggunakan biomassa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

A. Sifat Fisik Kimia Produk

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

PENDAHULUAN BABI. bio-diesel.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bahan bakar minyak adalah sumber energi dengan konsumsi terbesar di

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi bahan bakar sangat

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIODIESEL Biodiesel adalah bahan bakar yang diproduksi dari minyak nabati seperti minyak sawit, minyak bunga matahari, minyak kedelai, minyak jarak, dan lain-lain atau minyak hewani melalui proses transesterifikasi dengan pereaksi metanol atau etanol dan katalisator basa atau asam [14]. Kualitas dari biodiesel beragam-ragam tergantung pada kualitas dari bahan baku, komposisi asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewan, dan proses produksi [15]. Biodiesel memiliki sifat sesuai dengan mesin diesel yaitu biodegradable yang ramah lingkungan, dapat diperbaharui [16]. Proses produksi biodiesel komersial yang ada pada dasarnya merupakan proses metanolisis dengan katalis basa homogen dari minyak yang dapat dikonsumsi [17]. Produksi biodiesel yang dikembangkan saat ini umumnya dibuat dari minyak tumbuhan (minyak kedelai, canolla oil, rapseed oil, crude palm oil), lemak hewani (beef talow, lard, lemak ayam, lemak babi) dan bahkan dari minyak goreng bekas [9]. Sifat fisika dan kimia biodiesel mendekati sifat-sifat bahan bakar diesel. Angka setan biodiesel, nilai energi, dan viskositas serupa dengan yang dimiliki bahan bakar diesel berbasis petroleum. Biodiesel pada umumnya bebas sulfur [18]. Walaupun biodiesel tidak dapat menggantikan minyak petroleum sepenuhnya, terdapat beberapa alasan di mana diperlukan pengembangan biodiesel. 1. Menyediakan pasar bagi produksi minyak nabati dan lemak hewan yang berlebih [3]. 2. Menurunkan namun tidak menghilangkan ketergantungan terhadap minyak petroleum impor [3]. 3. Biodiesel merupakan energi yang terbarukan dan tidak menyebabkan pemanasan global [3]. 5

4. Mengurangi emisi gas buang berupa CO 2, SO x, dan hidrokarbon yang tidak terbakar sempurna [19]. 5. Ketika ditambahkan ke dalam minyak diesel sebanyak 1 2 % dapat mengubah minyak dengan sifat pelumas rendah seperti bahan bakar diesel bersulfur rendah, menjadi bahan bakar yang dapat diterima [3]. 6. Biodiesel dapat digunakan tanpa adanya modifikasi mesin dan memberikan performa mesin yang baik [20]. 7. Biodiesel dapat dibiodegradasi [20]. biodiesel. Tabel 2.1 menunjukkan standar dan mutu biodiesel sesuai dengan SNI Tabel 2.1 Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar (Biofuel) Jenis Biodiesel [21] No. Parameter Uji Persyaratan Satuan, Min/ Max 1 Densitas (40 o C) 850-890 Kg/m 3 2 Viskositas (40 o C) 2,3 6,0 Mm 2 /s (cst) 3 Angka Setan 51 Min 4 Titik nyala 100 o C, min 5 Titik kabut 18 o C, maks 6 Air dan sedimen 0,05 %vol, maks 7 Kandungan sulfur 100 mg/kg, maks 8 Bilangan asam 0,6 Mg KOH/g, maks 9 Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 o C) Nomor 1 10 Residu karbon dalam percontoh asli atau dalam 0,05 % massa, maks 10 % ampas distilasi 0,3 11 Temperatur destilasi 90% 360 o C, maks 12 Abu tersulfatkan 0,02 % massa, maks 13 Fosfor 10 mg/kg, maks 14 Gliserol bebas 0,02 % massa, maks 15 Gliserol total 0,24 % massa, maks 16 Kandungan ester 96,5 % massa, min 17 Angka iodium 115 % massa (g I 2 / 100g), maks Kestabilan oksidasi Periode induksi metode 360 18 rancimat Menit Periode induksi metode petro oksi 27 6

2.2 BAHAN 2.2.1 Lemak Ayam Ayam broiler (pedaging) merupakan salah satu hewan ternak yang dapat diproduksi dalam waktu singkat (35-45 hari) dan peternakan ayam broiler dapat dijumpai hampir di semua daerah di Indonesia [22]. Ayam broiler memiliki berat sekitar 1,5 kg per ekor [23]. Tabel 2.2 menunjukkan populasi unggas di Indonesia dari tahun 2008 hingga 2012. Tabel 2.2 Populasi Unggas 2008 2012 di Indonesia (dalam ribu ekor) [24] No. Jenis Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 1 Ayam Buras 243.423 249.963 257.544 264.340 285.227 2 Ayam Ras Petelur 107.955 111.418 105.210 124.636 130.539 3 Ayam Ras Pedaging 902.052 1.026.379 986.872 1.177.991 1.266.903 4 Itik 39.840 40.676 44.302 43.488 46.990 5 Puyuh 6.683 7.543 7.054 7.357 7.841 6 Merpati 1.499 1.815 490 1.209 1.334 Lemak merupakan sumber makanan kaya energi kedua bagi manusia. Konsumsi lemak dunia berkisar antara 10-45% dari total energi [25]. Kandungan lemak ayam dari daging ayam relatif tinggi yaitu sebesar 10,9 % basis berat [26]. Bilangan asam dari lemak ayam umumnya di bawah 2 % [27]. Pada lemak ayam segar, kadar FFA umumnya sebesar 0,4 % [28]. Lemak ayam pedaging merupakan lemak buangan yang dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan biodiesel dari lemak hewani, hanya saja pasokan bahan ini terbatas namun dapat menanggulangi pencemaran lingkungan dan lebih bernilai ekonomis [22]. Komposisi lemak ayam dengan analisis GCMS dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Komposisi asam lemak ayam hasil analisis GCMS [4] Jenis asam lemak Jumlah relatif asam lemak (%) Asam Kaproat (C6:0) Tak terdeteksi Asam Kaprrilat (C8:0) Tak terdeteksi Asam Kaprat (C10:0) Tak terdeteksi Asam Laurat (C12:0) Tak terdeteksi Asam Miristat (C14:0) 0,74 Asam Palmitoleat (C16:1) 7,01 7

Asam Palmitat (C16:0) 27,24 Asam Margarat (C17:0) Tak terdeteksi Asam Linolenat (C18:3) 1,2 Jenis asam lemak Jumlah relatif asam lemak (%) Asam Linoleat (C18:2) 16,36 Asam Oleat (C18:1) 38,35 Asam Stearat (C18:0) 5,56 Asam Arakidonat (C20:4) 0,87 Asam Arakidat (C20:1) 0,41 Asam Arakhat (C20:0) Tak terdeteksi Asam Behenat (C24:0) Tak terdeteksi Jumlah asam lemak jenuh (SPA) 33,54 Jumlah asam lemak tak jenuh tunggal 45,77 (MUFA) Jumlah asam lemak tak jenuh ganda 18,43 (PUFA) Total MUFA + PUFA 64,20 Perbandingan asam lemak tak jenuh / 1,91 jenuh 2.2.2 Metanol Alkohol yang dapat digunakan dalam reaksi transesterifikasi antara lain etanol, propanol, isopropanol, butanol, dan pentanol [3]. Etanol tidak biasa digunakan karena memerlukan biaya tinggi dalam penghilangan 4 % air yang terbentuk pada akhir reaksi [29]. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/ pemasok gugus alkil, metanol yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi [30]. Selain itu, metanol merupakan senyawa polar dan alkohol dengan rantai terpendek. Hal tersebut menyebabkan metanol cepat bereaksi dengan trigliserida dan NaOH mudah larut dalam metanol [31]. Reaksi transesterifikasi dengan menggunakan metanol memerlukan suhu sebesar 60 o C, sedangkan alkohol lain (etanol dan butanol) memerlukan suhu yang lebih tinggi (75 dan 114 o C) untuk memperoleh konversi optimum [32]. Sifat fisika metanol dapat dilihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4 Sifat Fisika Metanol [33] Sifat Fisika Berwujud cair Berat Molekul : 32,04 g/mol Titik didih : 64,5 o C Titik leleh : -97,8 o C 8

Tekanan uap : 12,3 kpa (20 o C) 2.2.3 Katalis Homogen NaOH Katalis merupakan bahan yang ditambahkan untuk mempercepat laju reaksi tanpa mempengaruhi produk dari reaksi, mengarahkan jalannya reaksi sesuai dengan jalur reaksi tertentu dan mengurangi terbentuknya produk samping untuk meningkatkan kemurnian produk yang dihasilkan [34]. Reaksi transesterifikasi dapat dikatalis dengan katalis homogen ataupun heterogen [35]. Katalis homogen cukup sensitif dengan kadar asam lemak bebas (FFA) dan air dalam bahan baku minyak dan alkohol [36]. Ada dua jenis katalis, katalis basa dan katalis asam. Katalis basa lebih efektif [37]. Walaupun asam sulfat dapat mengkatalis reaksi transesterifikasi, transesterifikasi dengan katalis asam sangat lambat bila dibandingkan dengan transesterifikasi katalis basa [38]. Katalis basa homogen memiliki beberapa kelebihan seperti aktivitas katalis yang tinggi (konversi sempurna dalam waktu 1 jam), dan kondisi reaksi ringan (65 o C dan 1 atm) [39]. Transesterifikasi dengan katalis basa biasanya menggunakan logam alkali alkoksida, NaOH, KOH, dan NaHCO 3 sebagai katalis [40]. Laju reaksi transesterifikasi dengan katalis basa lebih cepat jika dibandingkan dengan katalis asam. Karena dalam larutan basa, suatu karbonil dapat diserang langsung oleh nukleofilik tanpa protonasi sebelumnya [41]. Katalis berbasis kalium memberikan yield yang lebih tinggi daripada katalis berbasis natrium, dan katalis metoksida memberikan yield yang lebih tinggi dari katalis hidroksida [29]. Logam alkali metoksida merupakan katalis yang paling aktif, karena memberikan yield tertinggi dan waktu reaksi yang singkat. Namun, katalis metoksida memerlukan reaksi bebas air yang menyebabkannya kurang sesuai digunakan dalam proses industri [42]. Selain itu, harga dari katalis metoksida lima hingga enam kali lebih mahal daripada harga katalis hidroksida [29]. Mekanisme reaksi katalis basa homogen dapat dilihat pada gambar 2.1. 9

ROH + B RO - + BH + B : katalis basa R 1, R 2, R 3 : rantai karbon dari asam lemak R : gugus alkil dari alkohol Gambar 2.1 Mekanisme Reaksi Katalis Basa Homogen pada Transesterifikasi Trigliserida : (1) Produksi sistem aktif, RO - ; (2) Serangan nukleofilik dari RO - ke gugus karbonil pada trigliserida, membentuk intermediat tetrahedral; (3) Pemecahan intermediat; (4) Regenerasi dari sistem aktif RO -. Proses ini diulangi dua kali. [43] Logam alkali hidroksida (KOH dan NaOH) lebih diminati sebagai katalis basa [44]. Namun, katalis berbasis kalium memungkinkan terbentuknya sabun lebih banyak daripada katalis berbasis natrium [29]. Biaya yang rendah dan kinetika reaksi yang baik menjadikan NaOH sebagai katalis yang paling diminati dalam industri [45]. Jumlah NaOH yang diperlukan lebih sedikit daripada jumlah CH 3 ONa atau KOH untuk konversi asam lemak metil ester yang sama karena NaOH memiliki massa molar yang lebih rendah (40 g/mol), dibandingkan dengan CH 3 Ona (54 g/mol) dan KOH (56 g/mol) [46]. 2.2.4 Co-solvent Dietil Eter Proses transesterifikasi memiliki banyak masalah seperti reaktan (minyak dan alkohol) yang tidak saling larut yang disebabkan struktur kimia mereka. Dispersi minyak dalam medium metanol, sehingga kemungkinan terjadinya benturan antara 10

molekul gliserida dan metoksida (campuran metanol dan katalis alkali KOH atau NaOH) semakin sedikit. Hal ini menurunkan laju benturan antar molekul dan juga laju reaksi sehingga menyebabkan lamanya waktu reaksi [47]. Untuk meningkatkan efisiensi transesterifikasi, sangat penting untuk menemukan cara mencampur reaktan cair dengan baik, terutama minyak dan alkohol, dimana minyak dan alkohol sangat berbeda dalam polaritas dan densitas [7]. Penambahan pelarut lain dalam sistem reaksi dapat membantu pencampuran reaktan yang tidak saling melarut tersebut. Ada tujuh kelompok pelarut hidrofilik dan hidrofobik, yaitu alkana dan sikloalkana, keton, eter, ester, alkohol, nitril dan derivatif [48]. Co solvent, misalnya dari golongan eter, seperti tetrahidrofuran (THF), dietil eter, diisopropil eter, metil tetiari butil eter, dapat digunakan sebagai cara untuk membuat reaksi menjadi satu fasa [7]. Co-solvent yang dipilih sebaiknya memiliki titik didih dekat dengan alkohol yang digunakan, agar setelah reaksi selesai, alkohol dan co-solvent dapat didaurulang untuk digunakan kembali. Hal paling utama yang harus diperhatikan dalam pemilihan co-solvent adalah pemulihan sempurna co-solvent di akhir reaksi dan penggunaan kembali co-solvent, yang dapat dilakukan dengan pemilihan co-solvent bertitik didih dekat dengan alkohol yang digunakan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah mengenai tingkat bahaya co-solvent [47]. Co-solvent yang lebih diutamakan adalah yang berasal dari golongan cyclic ether seperti tetrahidrofuran (THF), dietil eter, metiltertiaributileter, diisopropil eter, dan 1,4-dioxane. Co-solvent yang dipakai hendaknya anhidrat [6]. Eter merupakan nonhidrosiklik dan tidak dapat membentuk ikatan hidrogen dalam keadaan murninya. Eter juga biasanya tidak reaktif terhadap basa kuat. Eter siklik dengan berat molekul rendah saling larut dengan air dalam banyak perbandingan dan menjadikannya sebagai co-solvent dalam sistem metanl/minyak. Metanol seperti air yang memiliki sifat polar dan hidrofilik. Contoh eter siklik adalah tetrahidrofuran (THF) dan 1,4-dioxan. THF lebih dipilih sebab memiliki titik didih dekat dengan titik didih metanol dan dapat di ko-destilasi sehingga dapat diperoleh kembali di akhir reaksi [41]. Dietil eter termasuk dalam jenis co-solvent asiklik. Dietil eter sangat tidak larut dalam air dalam semua perbandingan, tetapi saling larut dengan metanol. Dalam eter siklik pasangan elektron bebas lebih mampu untuk berikatan hidrogen dibanding 11

asiklik. Hal ini menjadi alasan bahwa ruangan gugus alkil dalam eter siklik menghalangi pembentukan ikatan hidrogen dengan molekul air yang memiliki sifat saling larut yang rendah [41]. Lin dan Hsiao menambahkan pengaruh penggunaan microwave dengan daya 300 W pada produksi biodiesel dari minyak jelantah dengan proses transesterifikasi dua tahap dengan penambahan co-solvent memberikan hasil yang baik. Co-solvent yang digunakan adalah tetrahidrofuran (THF). Penambahan THF meningkatkan efisiensi reaksi. Reaksi pertama bertujuan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas, sedangkan reaksi kedua bertujuan untuk mengubah minyak menjadi metil ester. Percobaan Lin dan Hsiao menghasilkan biodiesel dengan yield 97,4 % pada perbandingan alkohol : minyak pada reaksi pertama 9 : 1, perbandingan alkohol : minyak pada reaksi kedua 12 : 1, jumlah katalis basa 1 % berat, dan temperatur 333 K [7]. Setyopratomo, dkk. menggunakan dietil eter sebagai co-solvent dan memvariasikan suhu reaksi serta perbandingan CPO : Metanol dalam menguji karakteristik biodiesel turunan CPO. Dari berbagai alternatif metode pembuatan biodiesel dari CPO, transesterifikasi satu fasa adalah salah satu alternatif yang dapat dipilih. Beberapa keberhasilan dari metode ini telah ditunjukkan dari keunggulan produk biodiesel yang dihasilkan pada perbandingan dietil eter : metanol (2 : 1), waktu reaksi 1 jam, dan penggunaan katalis sebanyak 0,5 % berat [5]. Rachmaniah, dkk. menambahkan THF sebagai co-solvent pada produksi biodiesel dari CPO dengan proses satu fasa. Dengan penambahan co-solvent THF memberi perolehan kadar metil ester lebih tinggi daripada metode konvensional dengan persentase kenaikan sebesar 5 %. Kadar metil ester tertinggi yang diperoleh adala 98,42 %, dicapai pada perbandingan THF : Metanol (2 : 1), perbandingan molar minyak : metanol (1 : 6), dan penggunaan katalis NaOH sebanyak 0,5 % berat [9]. Encinar, dkk. menguji kinerja berbagai co-solvent dalam pembuatan biodiesel dari rapeseed oil. Co-solvent yang digunakan antara lain tetrahidrofuran (THF), dietil eter (DEE), dibutil eter (dibe), tersier butil metil eter (tbme), diisopropil eter (diipe), dan aseton. Pada kondisi reaksi yang sama yaitu pada perbandingan metanol : minyak (9 : 1), perbandingan metanol : co-solvent (1 : 1), temperatur reaksi 303 K, jumlah katalis 0,7 % berat, dan laju pengadukan 700 rpm, dietil eter dan THF 12

memberikan yield tertinggi yaitu 97,6 % dan 98,3 %. Namun, di antara berbagai cosolvent yang digunakan, dietil eter adalah yang paling efektif. THF memberikan hasil yield yang serupa, namun pemulihannya lebih sulit [10]. Tabel 2.5 menunjukkan sifat fisika dietil eter. Tabel 2.5 Sifat Fisika Dietil Eter [49] Sifat Fisika Berwujud cair Tak berwarna Titik didih : 34 o C Titik leleh : -116 o C Tekanan uap : 400 mmhg Titik nyala : -45 o C 2.3 TRANSESTERIFIKASI Ada beberapa proses yang dapat digunakan untuk memproduksi biodiesel [20]. 1. Transesterifikasi dengan katalis basa. 2. Transesterifikasi dengan katalis asam. 3. Pre-esterifikasi terhadap FFA dengan katalis asam terintegrasi dan transesterifikasi dengan katalis basa. 4. Transesterifikasi dengan katalis enzim. 5. Hidrolisis dan esterifikasi dengan katalis asam. 6. Pirolisis. 7. Transesterifikasi dengan alkohol superkritik. Biodiesel pada umumnya disentesis melalui transesterifikasi dengan alkohol ringan menggunakan katalis basa konvensional [50]. Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping berupa gliserol [30]. Reaksi transesterifikasi ditunjukkan oleh gambar 2.2. 13

H 2 C O CO R 1 R 1 COOR H 2 C - OH katalis HC O CO R 2 + 3ROH R 2 COOR + HC OH H 2 C O CO R 3 R 3 COOR H 2 C OH (Trigliserida) (Alkohol) (Alkil Ester) (Gliserol) Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi [32] Reaksi transesterifikasi terdiri dari tiga tahap. Trigliserida bereaksi dengan alkohol membentuk digliserida, dan kemudian digliserida bereaksi membentuk monogliserida. Monogliserida bereaksi dengan alkohol menghasilkan gliserol sebagai produk samping [51]. Monogliserida (MG) dan Digliserida (DG) merupakan zat intermediat yang terbentuk dalam reaksi transesterifikasi [52]. Tahapan-tahapan reaksinya adalah sebagai berikut [51]. 1. TG + ROH DG (digliserida) + RCO 2 R 2. DG + ROH MG (monogliserida) + RCO 2 R 3. MG + ROH RCO 2 R + Gliserol Faktor kritik untuk menunjang produksi biodiesel dengan reaksi transesterifikasi yang baik sebagai berikut : 1. Kualitas Bahan Baku Kualitas bahan baku termasuk dalam faktor internal reaksi transesterifikasi. Sedangkan kondisi reaksi dan tipe katalis termasuk faktor eksternal reaksi transesterifikasi [53]. Minyak nabati ataupun lemak hewani dapat digunakan untuk produksi biodiesel. Bahan baku minyak yang digunakan harus memenuhi dua hal : harga (biaya bahan baku dan produksi rendah) dan ketersediaan (volume produksi besar dan konstan) (Sivasamy, dkk., 2009). Lemak hewan bersifat lebih kompleks daripada minyak nabati murni. Kadar asam lemak bebas (FFA) terkandung dalam minyak buangan dapat bereaksi dengan katalis alkali yang menyebabkan terjadinya reaksi penyabunan. Oleh karena itu, teknologi transesterifikasi konvensional menggunakan reagen yang bebas air dan kadar FFA bahan baku tidak melebihi 0,1 0,5 % berat [29]. 14

2. Kondisi Reaksi - Suhu optimum yang digunakan pada reaksi didasarkan pada suhu yang paling mendekati titik didih alkohol yang digunakan untuk reaksi transesterifikasi tanpa co-solvent [54]. Reaksi transesterifikasi dengan penambahan co-solvent dilakukan di bawah titik didih dari pelarut (metanol) dan co-solvent (dietil eter) [6]. Encinar, dkk. pada tahun 2010 membuktikan bahwa suhu optimum transesterifikasi minyak dengan menggunakan co-solvent dietil eter adalah sebesar 300 303 K (23 30 o C) [10]. - Secara teoritis, (dari stokiometri reaksi transesterifikasi), diperlukan perbandingan metanol-minyak sebesar 3 : 1 untuk reaksi transesterifikasi [47]. Digunakan alkohol yang berlebih untuk memperoleh konversi reaksi yang baik [54]. Penggunaan perbandingan metanol-minyak yang terlalu besar tidak akan meningkatkan yield, tetapi menambah biaya pemulihan metanol dan menyebabkan kesulitan pemisahan gliserol yang menyebabkan penurunan yield [47]. Tanpa adanya co-solvent, reaksi transesterifikasi dapat dilakukan dengan kisaran perbandingan molar metanol : minyak antara 6 : 1 hingga 12 : 1 [55]. Menurut Todorovic, dkk. pada tahun 2012, metanolisis minyak berkatalis basa homogen dan heterogen dengan kehadiran co-solvent menggunakan perbandingan molar metanol : minyak sebesar 6 : 1 [17]. - Kecepatan pengadukan setinggi mungkin untuk membantu pencampuran reaktan. Hal ini disebabkan sistem dua fasa yaitu antara minyak dengan alkohol (di mana katalis terlarut dalam alkohol) [54]. Pengadukan yang kuat memperbesar perpindahan massa dengan mendispersikan alkohol sebagai butir-butir dalam fasa trigliserida, dengan demikian akan menambah luas kontak antara dua zat yang tidak melarut satu dengan lainnya. Produksi metil ester bertambah ketika kecepatan impeller ditingkatkan dari 300 hingga 600 rpm [56]. Pengadukan sebenarnya hanya diperlukan untuk menghasilkan reaksi satu fasa, ketika hal ini telah dapat diwujudkan, pengadukan tidak lagi diperlukan. Dalam transesterifikasi menggunakan co-solvent, co-solvent digunakan untuk mengatasi laju reaksi yang lambat dan karena itu, pengadukan menjadi tidak penting. Kecepatan pengadukan sebesar 100 200 rpm untuk beberapa menit pertama telah cukup [47]. 15

- Waktu reaksi transesterifikasi selama ini cukup lama, yaitu sekitar 1 jam untuk reaksi tanpa co-solvent [5]. Sedangkan dengan adanya penambahan co-solvent waktu reaksi yang diperlukan sangat singkat, sekitar 10 menit untuk mendapatkan konversi reaksi yang hampir sempurna [47]. - Semakin meningkatnya perbandingan metanol : minyak, maka penggunaan cosolvent akan semakin sedikit. Perbandingan volume co-solvent : metanol yang diperlukan untuk beberapa variasi perbandingan netabol : minyak seperti berikut ini 0,8 pada 6 : 1, 0,91 pada 9 : 1, 0,94 pada 12 : 1, 0,98 pada 13 : 1, 1,02 pada 14 : 1, 1,03 pada 15 : 1, dan 1,06 pada 18 : 1 [57]. Dari hasil penelitian Encinar, dkk. (2010) banyaknya co-solvent yang diperlukan dengan adanya penambahan 0,7 % berat katalis adalah 1 : 1 perbandingan molar metanol : co-solvent untuk mendapatkan konversi reaksi yang hampir sempurna [10]. 3. Konsentrasi Katalis Biasanya produksi biodiesel konvensional melalui reaksi transesterifikasi dari minyak dengan katalis basa kuat yang homogen [58]. Katalis asam seperti asam sulfat juga dapat digunakan untuk reaksi transesterifikasi namun berlangsung lambat [44]. Reaksi dengan menggunakan katalis basa homogen relatif cepat dan memberikan konversi reaksi yang tinggi [59]. Banyaknya jumlah katalis yang digunakan dalam reaksi transesterifikasi tanpa adanya co-solvent berkisar antara 0,2 hingga 2 % berat [54]. Dengan adanya penambahan co-solvent, jumlah katalis yang diperlukan menjadi lebih sedikit. Dari penelitian Dabo, dkk. (2012) yang memvariasikan konsentrasi katalis (0,5 sampai 2 %), diperoleh yield tertinggi pada penggunaan konsentrasi katalis 0,5 % [47]. 2.4 POTENSI EKONOMI BIODIESEL DARI LEMAK AYAM Indonesia memiliki populasi ayam pedaging (broiler) yang cukup besar yaitu sekitar 1,3 milyar ekor pada tahun 2012 yang terus meningkat setiap tahunnya [24]. Ayam pedaging memiliki berat sekitar 1,5 kg per ekornya dengan kandungan lemak 10,9 % basis berat ([23] dan [26]). Dengan demikian, jumlah lemak ayam yang dapat diperoleh adalah sekitar 212.550 ton yang akan terus meningkat setiap tahunnya. Lemak ayam dapat diperoleh dengan mudah dari tempat pemotongan ayam maupun 16

dari restoran-restoran yang memiliki menu berbahan dasar ayam. Lemak ayam memiliki potensi yang cukup besar dalam pembuatan biodiesel. Lemak ayam diharapkan dapat menjadi bahan baku utama pembuatan biodiesel. Hal ini dapat meningkatkan nilai ekonomi lemak ayam dan menangani masalah limbah yang ditimbulkan lemak ayam. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian potensi ekonomi biodiesel dari lemak ayam. Namun, dalam tulisan ini hanya akan dikaji potensi ekonomi secara sederhana. Sebelum dilakukan kajian tersebut, perlu diketahui harga bahan baku yang digunakan dalam produksi dan harga jual biodiesel. Dalam hal ini, harga biodiesel mengacu pada harga komersial lemak ayam, biodiesel, dan co-solvent dietil eter. Harga Lemak Ayam = Rp 5.000/ kg Harga Penjualan Biodiesel = Rp 7.895/ liter [60] Untuk menghasilkan 1 liter biodiesel dengan yield 95%, diperlukan 1 liter lemak ayam, 8 gram NaOH, 0,284 liter metanol, dan 0,142 liter dietil eter. Dietil eter sebagai co-solvent yang digunakan dalam penelitian ini dapat digunakan kembali setelah melalui proses distilasi sehingga menghemat biaya produksi. Sehingga diperkirakan biaya memproduksi 1 liter biodiesel adalah : Lemak ayam padat yang dikonversi menjadi lemak cair sekitar 90% sehingga untuk memperoleh 1 liter lemak cair diperkirakan seharga Rp 5.500 Metanol = 0,284L/ 1L x Rp 15.000 [61] = Rp 4.260 NaOH = 8 gr x Rp 1.000/ gr [61] Dietil Eter = Rp 8.000 = 0,142 L x Rp 350.000/L = Rp 49.700 [62] Biaya Listrik [63] Transesterifikasi = 0,5 kwh x Rp 1.352 kwh x 20menit x 1 jam/60 menit = Rp 230 Maka total biaya pembuatan 1 liter biodiesel adalah Rp 67.190. Dapat dilihat bahwa harga lemak ayam sebagai bahan baku masih di bawah harga baha baku pembuatan biodiesel lain, seperti CPO (Rp. 7.500), canola oil (Rp. 17

90.000), dan minyak jarak (Rp. 180.000) [64]. Hal ini membawa nilai ekonomis dalam pembuatan biodiesel dari lemak ayam. Adanya kebijakan dari pemerintah mengenai penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar yaitu pemberlakuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25/2013 sejak Agustus 2013 di mana memberikan dampak yang signifikan terhadap konsumsi biodiesel dalam negeri. Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa konsumsi biodiesel dalam negeri meningkat hingga 101%. Pada Agustus 2013 lalu, konsumsi nabati (fatty acid methyl ester/ FAME) yang dicampurkan ke dalam solar sehingga menjadi biodiesel, masih 57.871 kiloliter sedangkan pada bulan Oktober 2013, konsumsi telah mencapai 116.261 kiloliter. Mulai September 2013, perusahaan di sekitar sektor transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik diwajibkan memakai FAME minimal 10% dalam campuran solar. Hal ini sesuai yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 25/2013 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Biodiesel yang digunakan dalam campuran solar juga diwajibkan merupakan produk lokal, bukan produk impor. Dengan adanya kebijakan pemerintah yang ditetapkan oleh peraturan menteri ESDM, penetapan harga jual biodiesel sendiri bisa fleksibel mengikuti harga bahan baku serta biaya produksi saat ini yang ditutupi dengan subsidi, sehingga produksi biodiesel menggunakan bahan baku lemak ayam dapat menguntungkan dan berpotensi menjadi industri yang berkembang dan menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar biodiesel dan pelaku ekspor biodiesel di dunia. 18