BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit infeksi kronik yang menjadi masalah kesehatan dunia yang utama karena hampir sepertiga penduduk dunia terinfeksi oleh mikroba penyebab TB (Sudoyo dkk, 2010). Penyebab utama penyakit yang menjadi masalah kesehatan global ini adalah Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 2012, diperkirakan 8,6 juta orang positif TB Paru dan 1,3 juta jiwa meninggal akibat penyakit ini, termasuk di dalamnya 320.000 kematian orang-orang dengan HIV positif (WHO, 2013). Indonesia merupakan 5 besar dengan kasus baru terbanyak setelah India, Cina, Nigeria dan Afrika Selatan yaitu 0.4 juta-0.5 juta jiwa (WHO, 2013). Menurut WHO (2014) estimasi kematian akibat kasus tuberkulosis di Indonesia adalah 25 orang per 100.000 penduduk pada tahun 2013 dengan range 14-37 orang. Adapun perkiraan kasus baru penderita TB adalah 125-299 per 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2013). Prevalensi TB Paru di Sulawesi Selatan (Sulsel) mengalami peningkatan kasus pada tahun 2007 dan 2013 dengan persentase 0,3%. Walaupun masih berada di bawah persentase nasional (0,4%), namun masih dianggap perlu adanya penanggulangan terhadap penambahan kasus setiap tahun (Balitbangkes, 2013). Hal ini dapat ditunjukkan dengan jumlah penderita TB Paru BTA Positif di Sulawesi Selatan pada tahun 2014 masih tinggi yaitu 8.859 kasus. Berdasarkan seluruh Kabupaten/Kota se-sulawesi Selatan, Kota Makassar menduduki peringkat pertama dengan jumlah penderita TB Paru BTA Positif sebanyak 1.866 kasus, menyusul Kabupaten Gowa sebanyak 722 kasus dan Kabupaten Bone sebanyak 587 kasus (Dinkes Provinsi Sulsel, 2014). Jumlah penderita TB Paru BTA positif di Kota Makassar juga masih tinggi. Jumlah penderita TB Paru BTA positif tahun 2013 sebanyak 1.811 kasus meningkat menjadi 1.866 kasus pada tahun 2014 (Dinkes Provinsi Sulsel, 2014). Adapun puskesmas dengan penderita baru TB Paru BTA 1
2 positif terbanyak di Kota Makassar adalah Puskesmas Bara-baraya dengan 64 kasus pada tahun 2012 yang meningkat menjadi 68 kasus pada tahun 2013 (Dinkes Kota Makassar, 2013). Menurut data Puskesmas Bara-Baraya bahwa jumlah penderita baru TB paru BTA positif di pada tahun 2014 meningkat menjadi 75 kasus. Tuberkulosis Paru merupakan air born disease yaitu udara sangat berperan penting dalam proses penularan. Penyakit kronik ini dapat menular ketika percikan dahak (droplet) seseorang penderita TB Paru BTA Positif berada di udara dan dihirup oleh orang lain. Ketika kualitas udara dalam ruangan tersebut tidak baik maka kemungkinan Mycobacterium tuberculosis akan bertahan hidup di udara. Hal ini erat kaitannya dengan lingkungan rumah dan pencemaran udara di dalam rumah. Rumah dengan kondisi udara tertutup dan tanpa ventilasi akan menghalangi cahaya masuk ke dalam rumah sehingga berkontribusi positif terhadap peningkatan kejadian penyakit di lingkungan rumah tersebut. Lingkungan rumah yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB (Sudoyo dkk, 2010). Makassar termasuk kota dengan kepadatan penduduk yang meningkat setiap tahun. Salah satu pemukiman padat penduduk di kota ini adalah wilayah kerja Puskesmas Bara-baraya sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai faktor lingkungan dengan kejadian TB paru. Selain itu, kualitas udara berperan dalam penyebaran dan peningkatan penyakit akibat polusi udara. Salah satu sumber polusi udara adalah hasil pembakaran dari pemakaian bahan bakar minyak (BBM). Dominasi pemakaian BBM pada sektor transportasi darat terutama kendaraan roda dua dan roda empat berpengaruh besar terhadap kualitas udara terutama di kota atau ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten (BLHD Provinsi Sulsel, 2013). Kota Makassar sebagai ibu kota Provinsi Sulsel merupakan salah satu kota besar dengan aktivitas kepadatan lalu lintas dan pertumbuhan industri yang semakin pesat. Hal ini berkaitan dengan Kota Makassar sebagai pintu
3 gerbang dan pusat perdagangan Kawasan Timur Indonesia (Dinkes Kota Makassar, 2013). Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2012 bahwa kepadatan penduduk tertinggi terjadi di kota Makassar sebanyak 7.792 Jiwa/Km 2 dengan jumlah penduduk terbanyak se-kabupaten/kota di Sulawesi Selatan yaitu 1.369.606 jiwa (BLHD, 2013). Akibat aktivitas tersebut maka potensi terjadinya polusi udara semakin tinggi. Hasil studi yang dilakukan oleh Susilawaty dan La Ane (2009) menyimpulkan dari pengukuran kualitas udara pada beberapa titik dan waktu pengukuran di wilayah Kota Makassar, menunjukkan bahwa dari 5 parameter yang diukur (Karbon monoksida, Ozon, Nitrogen dioksida, Sulfur dioksida, dan debu/partikulat) umumnya udara kota Makassar masih memenuhi standar baku mutu sesuai Peraturan Pemerintah RI No 14 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemar Udara, kecuali debu. Melihat hasil dan analisa sumber pencemar, aktivitas lalu lintas dan industri merupakan sumber pencemar udara di Kota Makassar (Susilawaty dan La Ane, 2009). Hal ini erat kaitannya dengan Kota Makassar sebagai representatif kota besar yang mengalami pertumbuhan industri di berbagai tempat di wilayah ini. Debu terbagi menjadi beberapa jenis salah satunya adalah partikulat matter (PM) yang berukuran 2,5 dan 10 mikron. Secara umum PM 2,5 dan PM 10 timbul dari pengaruh udara luar seperti pembakaran dan aktifitas industri serta transportasi. Selain itu PM dapat bersumber dari kegiatan manusia di dalam rumah seperti perilaku merokok, penggunaan energi masak dari bahan bakar biomassa, dan penggunaan obat nyamuk bakar (Depkes, 1999). Aktivitas penghuni rumah tersebut akan mempengaruhi kualitas udara di dalam ruangan dan kesehatan penghuninya. Adanya hubungan ini PM 2,5 dan PM 10 merupakan pencemar fisik yang bersifat iritan, sehingga bila terhirup ke dalam saluran pernafasan dapat menyebabkan iritasi. Ukuran partikel yang kecil sehingga dapat masuk ke dalam alveoli. Iritasi saluran pernafasan ini akan mengurangi fungsi mukosilier untuk mencegah masuknya
4 kuman (Wahyuni dkk, 2010), karena berkurangnya fungsi mokusilier akan berpengaruh pada masuknya Mycobacterium tuberculosis ke dalam paru. Selain polusi udara di dalam ruangan, paparan PM 2,5 di udara ambien juga memiliki hubungan dengan TB paru. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jassal (2013) menunjukkan kadar PM 2,5 secara signifikan berkorelasi dengan higher odds pada TB BTA positif. Semakin kecil partikel maka semakin berdampak pada timbulnya penyakit saluran napas bawah seperti tuberkulosis paru (Jassal et al, 2013). Hal ini sejalan dengan studi systematic review oleh Lin et al (2007) yang menghubungkan pencemaran udara dalam ruang (asap bahan bakar biomasa) dan kejadian tuberkulosis telah melaporkan bahwa 3 studi menunjukkan hubungan positif dan dua studi lainnya menunjukkan hubungan negatif. Paparan tersebut akan menghasilkan partikel dan zat lainnya yang akan mengganggu pembersihan mukosiliar, menginduksi peradangan, dan mengurangi efek antibakteri makrofag paru, yang akan terlibat dalam menyebabkan kesehatan paru-paru yang buruk (Lin et al, 2007). Selain itu, polusi udara juga bersumber dari asap rokok dimana pemajanan asap rokok berhubungan dengan kejadian tuberkulosis. Hasil penelitian Heriyani (2012) menyatakan bahwa perilaku merokok berhubungan signifikan dengan kejadian TB Paru di kota Banjarmasin yaitu subjek yang mempunyai kebiasaan/pernah merokok berisiko 2,44 kali lebih besar untuk menderita TB Paru (Heriyani, 2012). Masalah pencemaran udara seperti asap rokok, partikel hasil pembakaran yang tersebar di udara ambient dan ruangan dapat menjadi salah satu faktor risiko peningkatan kasus TB Paru. Kejadian TB paru juga akan dipengaruhi oleh lingkungan padat penduduk dan kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat serta adanya sumber penular dan kontak dengan penderita. Berdasarkan pemaparan di atas perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan pemaparan polutan udara PM 2,5 dan asap rokok serta kondisi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit TB paru BTA Positif di wilayah kerja Puskesmas Bara-Baraya Kota Makassar.
5 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan antara Particulate Matter 2.5 (PM 2.5) dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif? 2. Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif? 3. Apakah terdapat hubungan antara lingkungan di dalam rumah (intensitas cahaya, luas ventilasi, dan kepadatan penghuni) dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif? 4. Apakah terdapat hubungan antara sumber penular dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif? 5. Apakah terdapat hubungan antara riwayat kontak penderita dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan antara pencemaran udara, lingkungan dalam rumah, sumber penular dan riwayat kontak penderita dengan kejadian tubekulosis paru BTA Positif. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui dan menjelaskan hubungan antara PM 2.5 dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif. b. Mengetahui dan menjelaskan hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif. c. Mengetahui dan menjelaskan hubungan antara faktor lingkungan di dalam rumah (intensitas cahaya, luas ventilasi rumah dan kepadatan hunian) terhadap kejadian tuberkulosis paru BTA positif. d. Mengetahui dan menjelaskan hubungan antara sumber penular dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif.
6 e. Mengetahui dan menjelaskan hubungan antara riwayat kontak serumah dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan, sebagai bahan acuan dan tambahan informasi untuk mengambil langkah-langkah dalam upaya pencegahan penyakit TB Paru di kota Makassar khususnya dan Sulawesi Selatan secara umum. 2. Bagi peneliti lain, menambah khasanah pengetahuan dan pengalaman khusus dalam melakukan penelitian ilmiah terhadap beberapa faktor yang berhubungan terjadinya TB Paru. 3. Peneliti dapat mengaplikasikan ilmu dan proses pembelajaran dan berfikir ilmiah dalam memahami dan menganalisis serta meningkatkan upaya pencegahan pada masalah kesehatan yang ada. 4. Mengembangkan teori mengenai hubungan pencemaran udara dengan kejadian TB Paru.
E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian No Peneliti/tahun Judul Hasil Persamaan Perbedaan 1. Desmon/2006 Hubungan Antara Yang berhubungan adalah Tujuan dan Variabel (PM 2.5) Merokok, Kayu Bakar merokok, penggunaan variabel (kayu instrument, lokasi Dan Kondisi Rumah bahan kayu bakar, dan bakar dan kondisi penelitian, cara Dengan Kejadian Penyakit kondisi rumah rumah) pengambilan sampel Tuberkulosis Paru 2. Santoso/2011 Analisis Spasial Kejadian Variabel yang Metode, tujuan dan Variabel (PM 2.5 dan Penyakit Tuberkulosis berhubungan dengan variabel (kondisi Asap rokok), lokasi Paru Berhubungan tuberkuolis paru BTA rumah) penelitian, tidak Dengan Faktor Risiko Positif adalah kepadatan menggunakan analisis Kondisi Rumah dan hunian, suhu ruang, spasial Lingkungan Di Kota pencahayaan, kelembaban Palembang. dan PM 10 3. Jassal et al /2013 Correlation of Ambient Pollution Levels and Heavily-Trafficked Roadway Proximity on The Prevalence of Smear-Positive Tuberculosis 4. Lin et al/2007 Tobacco Smoke, Indoor Air Pollution and Tuberculosis: A Systematic Review and Meta-Analysis Terdapat korelasi signifikan terhadap status TB positif dan paparan PM 2.5 pada perumahan Ada bukti yang konsisten bahwa merokok tembakau dikaitkan dengan peningkatan risiko TB. Temuan bahwa pasif merokok dan bahan bakar pembakaran biomassa juga meningkatkan risiko TB Variabel (PM 2.5) Variabel (faktor lingkungan rumah), metode pengambilan sampel dan lokasi penelitian Variabel (polusi dalam rumah) Metode (penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol sedangkan Lin menggunakan a systematic review and meta-analysis) 7
8