BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh Program Pembangunan PBB atau UNDP sejak tahun 1990 dalam seri laporan tahunan yang diberi judul Human Development Report. Indeks ini disusun sebagai salah satu dari indikator alternatif, selain pendapatan nasional per kapita, untuk menilai keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara. Indeks Pembangunan Manusia ini meranking semua negara dengan skala 0 (nol) sampai 1 (satu). Angka nol menyatakan tingkat pembangunan manusia yang paling rendah dan angka 1 menyatakan tingkat pembangunan manusia yang paling tinggi. Ada tiga indikator yang dijadikan tolok ukur untuk menyusun Indeks Pembangunan Manusia. Pertama, usia panjang yang diukur dengan rata-rata lama hidup penduduk atau angka harapan hidup di suatu negara. Kedua, pengetahuan yang diukur dengan rata-rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang bisa membaca (diberi bobot dua pertiga) dan rata-rata tahun sekolah (diberi bobot sepertiga). Ketiga, penghasilan yang diukur dengan pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan daya belinya untuk tiap-tiap negara. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia yang telah disusun, maka bisa ditetapkan tiga kelompok negara. Pertama, negara dengan tingkat pembangunan manusia yang rendah bila IPM-nya berkisar antara 0 sampai
0,5. Negara yang masuk kategori ini sama sekali atau kurang memperhatikan pembangunan sumber daya manusia. Kedua, negara dengan tingkat pembangunan manusia sedang jika IPM-nya berkisar antara 0,51 sampai 0,79. Negara yang masuk dalam kategori ini mulai memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya. Ketiga, negara dengan tingkat pembangunan manusia tinggi jika IPM-nya berkisar antara 0,80 sampai 1. Negara yang masuk dalam kategori ini sangat memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya. Selain ditampilkan sebagai indikator tunggal, IPM biasanya juga ditampilkan bersama-sama dengan ranking pendapatan per kapita, hasilnya bisa bervariasi. Ada negara yang ranking pendapatan per kapitanya masuk ranking atas, tetapi IPM-nya masuk ranking rendah. Ini artinya hasil pembangunan yang tampak dari pendapatan per kapita tinggi tidak dipakai untuk mengembangkan sumber daya manusia. Ada negara yang pendapatan per kapitanya masuk ranking bawah tetapi IPM-nya masuk ranking yang tinggi. Artinya, meskipun masuk ke dalam negara yang miskin, tetapi dengan pendapatan yang kecil itu negara atau pemerintah memakainya untuk mengembangkan sumber daya manusia. Ada lagi yang konsisten antara ranking atau urutan IPM dengan ranking atau urutan pendapatan per kapitanya. IPM-nya ranking atas dan pendapatan per kapitanya juga ranking atas. Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat adalah pendapatan perkapita. Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan bukti keberhasilan pembangunan yang merupakan salah satu tugas pemerintah. Pendapatan perkapita menunjukkan
rata-rata tingkat pendapatan masyarakat pada suatu daerah. Pemerintah pusat dalam rangka desentralisasi kewenangannya memberikan dana transfer kepada pemerintah daerah (pemda). Salah satu kegunaan dari pendapatan perkapita adalah turut menentukan seberapa besar jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang akan diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Nilai DAU menggunakan pendapatan perkapita sebagai salah satu komponen penghitungannya. Hal ini dapat dilihat pada bagian penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan. Selain DAU, pemerintah juga menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai sarana untuk menyediakan sarana dan prasarana bagi masyarakat. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada bagian penjelasan Pasal 28 ayat (2) menyebutkan bahwa jumlah penduduk merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap daerah. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui lebih lanjut seberapa besar pengaruh keuangan daerah terhadap indeks pembangunan manusia. PADA tahun 2004 ini, Indonesia menempati urutan ke 111 dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dari 177 negara yang diperingkat oleh Program Pembangunan PBB atau United Nations Development Program (UNDP). Di antara negara Asia Tenggara yang maju, posisi Indonesia berada di paling bawah. Urutan paling atas adalah Singapura, disusul berturut-turut:
Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Negara yang berada di bawah peringkat Indonesia masing-masing secara berturut-turut adalah Vietnam, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Timor Timur (Suara Merdeka, 16 Juli 2004). Bila dilihat dari potensi sumber daya alam urutan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia seharusnya jauh lebih baik. Persebaran Sumber Daya Alam Hayati terdiri dari sumber daya alam hewani dan nabati yang tersebar di darat dan laut selain hutan yang luas, Indonesia memiliki perkebunan dan pertanian tersebar hampir di seluruh Indonesia. Jumlah dan kualitas sumber daya alam sangat banyak dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia selain itu kualitasnya pun sangat bagus sehingga dapat diekspor di berbagai negara sehingga dapat memenuhi devisa negara. Pemanfaatan Sumber Daya Alam Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai modal dasar, sumber daya alam harus dimanfaatkan sepenuh-penuhnya tetapi dengan cara yang tidak merusak. Oleh karena itu, cara-cara yang dipergunakan harus dipilih yang dapat memelihara dan mengembangkan agar modal dasar tersebut makin besar manfaatnya untuk pembangunan di masa datang. Jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran di Sumatera Utara yang masih tinggi, dinilai perlu untuk terus ditekan persentasenya pada 2011. Sebab, bila dua hal ini tidak segera ditangani, dampaknya bisa menyebabkan kerawanan sosial dan terjadinya instabilitas di tingkat lokal. Dari akhir Desember 2009 hingga April 2010, sebaran penduduk yang menganggur masih menumpuk di perkotaan, dan
sebaran penduduk miskin masih tetap dominan di pedesaan. Dengan kondisi seperti ini, Sumut perlu melakukan tekanan terhadap kinerja untuk mengentaskan dua hal tersebut. Karena dua hal ini memang jadi prioritas untuk dilakukan Sumut, yakni dengan mengarahkan program pembangunan ke kecamatan dan desa-desa miskin, serta dilakukan dengan pola padat karya. Dengan pola seperti ini, pelaksanaan program pembangunan Sumut yang diselaraskan dengan program nasional bisa mampu meningkatkan ketersediaan dan perbaikan serta pemeliharaan prasarana dan sarana fisik yang ada. Disebutkannya, jumlah pengangguran terbuka tahun 2009 di Sumut masih tercatat sekitar 521 ribu jiwa (8,3 persen) dari total angkatan kerja. Sebaran jumlah pengangguran ini banyak terdapat di perkotaan. Sedangkan di pedesaan sebaran penduduk miskinnya masih besar yang pada 2009 mencapai 1,5 juta jiwa (11,51 persen). Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, menekankan perlu juga dipacu pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,3-6,8 persen per tahun, dengan inflasi yang dapat dikendalikan pada kisaran 4-6 persen per tahun pada 2011. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melalui Dirjen Pembangunan Daerah Kemendagri, Syamsul Arif juga menekankan agar Sumut bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 6,50 persen pada 2011. Karena pertumbuhan itu bisa menekan angka penduduk miskin bisa mencapai 1.379.140 jiwa. Kemudian meningkatkan angka melek huruf hingga mencapai 98,21 persen, dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi 79,50 (Batakpos, http;//tnp2k.wapresri.go.id).
Pembangunan di Indonesia pada daerah kabupaten dan kota sampai saat ini masih bergantung pada dana transfer dan pemerintah pusat. Kabupaten/kota baru berdiri yang berasal dari pemekaran pada awal pemerintahan bergantung kepada dana perimbangan dari pemerintah pusat. Menurut Simanjuntak (2001) dalam Ndadari dan Adi (2008) walaupun otonomi sudah berjalan di tiap kabupaten dan kota namun pemerintah daerah belum sepenuhnya lepas dari pemerintah pusat salah satunya dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), DAU, dan Dana Alokasi Khusus. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketiga bagian tersebut mempunyai peranan dalam meningkatkan pembangunan di kabupaten/kota. Menurut Adi dan Ndadari (2008) permasalahan yang terjadi saat ini adalah pemerintah daerah terlalu menggantungkan alokasi DAU untuk membiayai belanja modal dan pembangunan tanpa mengoptimalkan potensi yang dimiliki daerah. Saat alokasi DAU yang diperoleh besar, maka pemerintah daerah akan berusaha agar pada
periode berikutnya DAU yang diperoleh tetap. Hal ini menunjukkan bahwa DAU merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung dalam peningkatan kemakmuran masyarakat di daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari DAU, DAK, dan bagian daerah dari Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam (Maimunah, 2006). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa DAK merupakan bantuan pemerintah pusat kepada pemda dalam rangka pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar untuk membantu percepatan pembangunan daerah. Jenis pelayanan yang termasuk dalam pelayanan dasar tersebut diantaranya adalah pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, dan air minum sebagai prasarana dasar (http://balitbang.depkominfo.go.id). Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Mardiasmo menyatakan bahwa DAK merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, terutama untuk membantu membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Daerah yang akan mendapatkan alokasi DAK adalah daerah-daerah yang memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kebijakan alokasi DAK antara lain diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan
di bawah rata-rata nasional dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar yang sudah merupakan urusan daerah; menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di wilayah pesisir dan kepulauan, perbatasan darat dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, serta termasuk daerah ketahanan pangan; mendorong penyediaan lapangan kerja, mengurangi jumlah penduduk miskin, serta mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan sel-sel pertumbuhan di daerah; menghindari tumpang tindih kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran kementerian/lembaga; serta mengalihkan kegiatan-kegiatan yang didanai dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang telah menjadi urusan daerah secara bertahap ke DAK (http://www.perbendaharaan.go.id). Abdullah dan Halim (2004) dalam Maimunah (2006) menggunakan lag dalam meneliti pengaruh DAU dan PAD terhadap belanja pemerintah. Belanja pemerintah adalah salah satu sarana untuk meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat. Abdullah dan Halim (2004) pada penelitian yang lain juga menggunakan data change perubahan belanja modal dan belanja pemeliharaan dari tahun 2003 ke tahun 2004. Berdasar pada hal tersebut peneliti juga menggunakan time lag dalam penelitian ini sebab DAK, DAU, dan PAD tidak langsung memberikan efek pertumbuhan ekonomi kepada masyarakat pada tahun anggaran yang sama. Penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda-beda mengenai pengaruh DAK, DAU terhadap belanja pemerintah, oleh sebab itu peneliti ingin meneliti lebih lanjut untuk mengetahui apakah akan didapat hasil yang sama atau
berbeda. Penelitian sebelumnya lebih banyak menggunakan variabel belanja pemerintah sedangkan penelitian ini menggunakan variabel dependen Indeks Pembangunan Manusia pada kabupaten/kota di Sumatera Utara. 1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini apakah DAK, DAU, dan DBH berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap indeks pembangunan manusia pada kabupaten/kota di Sumatera Utara? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh DAK, DAU, dan DBH baik secara simultan dan parsial terhadap indeks pembangunan manusia. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan, yaitu: 1. Peneliti, sebagai pengetahuan atas pemahaman terhadap akuntansi sektor publik. 2. Pemerintah daerah kabupaten/kota, sebagai informasi untuk mengetahui faktorfaktor apa saja dalam keuangan daerah yang dapat mempengaruhi indeks pembangunan manusia.
3. Akademis, sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya dan memberi masukan pada perkembangan akuntansi sektor publik. 1.5. Originalitas Penelitian ini mereplikasi Budi D. Sinullingga (2009) yang berjudul Analisis Pengaruh Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus Kota Medan) Kesimpulan penelitian ini bahwa sektor-sektor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap peningkatan IPM ialah sektor yang mengurangi kesenjangan yaitu sektor perdagangan, tenaga kerja dan industri. Selama tahun penelitian 1995-2005 sektor-sektor pengurangan kesenjangan ini anggarannya sangat kecil sekali dibandingkan dengan sektor-sektor infrastruktur. Sektor-sektor infrastruktur pemukiman memiliki pengaruh langsung relatif kecil terhadap peningkatan IPM. Sektor transportasi dan pembangunan daerah juga mempunyai pengaruh terhadap IPM melalui pertumbuhan ekonomi dan besarnya belum termasuk dalam penelitian ini. Sektor yang secara langsung menangani komponen peningkatan IPM, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan kurang efektif meningkatkan IPM.