SENSITIVITAS RUPIAH DAN DAMPAKNYA Oleh: Eri Hariyanto, Wisyaiswara Ahli Madya, Pusdiklat Keuangan Umum, BPPK Abstrak Selama tahun 2018 ini, mayoritas negara-negara dunia dihadapkan kembali dengan gejolak nilai tukar. Kondisi ini selain disebakan oleh normalisasi perekonomian AS dan beberapa negara di kawasan Eropa, juga disebabkan adanya perang dagang antara AS dan China. Indonesia sebagai negara emerging countries masih memiliki beberapa kerentanan yang menyebabkan mata uang rupiah ikut mengalami gejolak. Kondisi ini tentu akan mengancam stabilitas perekonomian. Dalam artikel singkat ini akan diuraikan secara penyebab gejolak rupiah dan dampak-dampak yang perlu diwaspadai. Dengan memahami penyebab dan dampaknya, diharapkan akan memunculkan awareness untuk solusi terbaik. Kata kunci: depresiasi rupiah, dampak depresiasi, capital flight, dan default. 1. Kondisi Ekonomi Makro Penyebab Rupiah Bergejolak Mata uang yang dimiliki oleh negara-negara yang sedang berkembang (emerging market), termasuk Rupiah, disebut sebagai soft currency yaitu mata uang yang sensitif terhadap kejadian ekonomi dan politik sehingga berfluktuasi tinggi dan umumnya tidak stabil. Sebagai konsekuensi dari globalisasi, setiap perubahan kondisi perekonomian terutama yang bersumber dari negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar seperti AS dan China dampaknya segera dirasakan oleh emerging countries termasuk Indonesia, terutama dari sisi nilai tukar mata uangnya. Ketika buku ini dalam tahap penyelesaian pada bulan Juli 2018, kondisi perekonomian Indonesia tengah menghadapi berbagai gejolak yang ditimbulkan oleh normalisasi perekonomian AS dan China. Rupiah sedang menghadapi tekanan yang cukup kuat. Beberapa bulan dari awal hingga pertengahan tahun 2018, Rupiah terus mengalami penurunan. Ada beberapa faktor eksternal penyebab penurunan nilai Rupiah, diantaranya: (i) Normalisasi pertumbuhan ekonomi AS Normalisasi ini ditandai dengan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) yang direncanakan akan terjadi beberapa kali selama kurun waktu tahun 2018. Normalisasi ekonomi dapat
mendorong peningkatan suku bunga acuan di AS dan mendorong peningkatan suku bunga internasional. Kondisi ini akan memicu terjadinya gejolak arus modal. Gejolak pasar keuangan sebenarnya dimulai dari masuknya arus modal portofolio secara drastis akibat dari penurunan tingkat bunga The Fed (kebijakan quantitative easing) di Amerika Serikat (AS) kurun waktu 2008-2012 yang mencari imbal lebih tinggi di Emerging Markets (EM). Arus modal yang masuk dalam jangka pendek memang mendorong perekonomian EM, tetapi tidak berkesinambungan. Ketika The Fed melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga, maka terjadi arus modal keluar. Kenaikan FFR ini mendorong para pengelola hedge fund global mengalihkan investasinya dari emerging countries, termasuk Indonesia, ke negeri Paman Sam. Kenaikan FFR dan dibarengi dengan tingkat risiko investasi yang lebih kecil tentu menjadi hal yang sangat menarik bagi para investor untuk memulangkan dananya ke AS. Capital flight yang terjadi dari awal tahun 2018 ini tentu menyebabkan berkurangnya supply US di pasar keuangan. Sesuai dengan hukum ekonomi, penurunan supply akan menyebabkan kenaikan harga USD atau dengan kata lain Rupiah mengalami penurunan (depresiasi) harga terhadap USD. (ii) Penurunan tarif pajak oleh AS Penurunan tarif pajak di AS juga perlu menjadi perhatian karena berpengaruh terhadap kebijakan defisit di negara tersebut. Peningkatan penerbitan obligasi oleh AS untuk membiayai defisit anggarannya tentu akan berdampak meningkatnya arus USD yang masuk ke negara tersebut. Perlu diwaspadai agar penyerapan USD ke AS tidak berdampak negatif terhadap Indonesia, misalnya terjadi capital flight dalam jumlah yang cukup besar. Seperti halnya kenaikan FFR, penurunan tariff pajak oleh AS akan menyebabkan keluarnya investasi jangka pendek dalam USD yang akhirnya berdampak terhadap berkurangnya supply USD di pasar keuangan Indonesia serta menyebabkan Rupiah terdepresiasi. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini di mana pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dibarengi dengan peringkat utang dan investasi yang semakin membaik, seharusnya dapat menahan laju capital outflow. Pemerintah juga akan terus menjaga iklim investasi menjadi lebih baik. Salah satunya
kebijakan untuk mempermudah izin usaha ekspor impor dan membantu UMKM melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). (iii) Perang dagang antara AS dan China Defisit perdagangan antara AS terhadap China sebenarnya telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, beberapa sumber menyebutkan angka 30 tahun lebih. Namun yang menjadi kekhawatiran AS adalah jumlah defisit bukannya berkurang tetapi justru semakin besar dari tahun ke tahun. Puncaknya pada tahun 2018 mencapai 56,6 milyar USD (sekitar Rp764,1 triliun). Kemudian, dengan dalih ingin menjaga kinerja neraca perdangan luar negerinya, AS menerapkan kebijakan pengenaan tarif impor atas sejumlah produk dari China dan negara lainnya yang masuk ke AS. Tidak ingin kalah bersaing, China juga berencana menerapkan kebijakan yang sama untuk barang-barang AS yang akan masuk ke China. Inilah yang dimaksud dengan perang dagang tersebut. Bahkan China berencana memperlemah nilai tukar terhadap mata uangnya yang bertujuan agar produk ekspornya lebih kompetitif meskipun telah dikenakan kenaikan tarif bea masuk oleh AS. Perang dagang antara China dan AS, yang diikuti dengan perang mata uang, dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas nilai tukar mata uang secara global, termasuk Rupiah. Indonesia yang telah lama mengalami defisit neraca perdagangan akan merasakan dampak perang dagang ini berupa penurunan nilai tukar rupiah. Penurunan nilai tukar ini disebabkan karena berkurangnya penerimaan devisa dari ekspor dan kebutuhan mata uang USD untuk keperluan korporasi maupun pemerintah yang tidak seimbang dengan supply USD di pasar keuangan domestik. 2. Dampak Depresiasi Rupiah yang Perlu Diwaspadai Ada beberapa dampak negatif penurunan nilai tukar Rupiah yang perlu diwaspadai, yaitu: (1) Kenaikan tingkat bunga Kebijakan moneter yang ditempuh oleh bank sentral dalam menghadapi peningkatan jumlah investasi jangka pendek yang keluar dari pasar keuangan domestik, diantaranya dengan melakukan peningkatan suku bunga. Kenaikan suku bunga acuan diharapkan meningkatkan daya tarik investasi, sehingga dapat menahan arus investasi negatif (capital flight). Respon yang ditempuh oleh Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter terhadap capital flight yang terjadi di tahun 2018 ini adalah dengan meningkatkan suku
bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR). Seiring dengan meningkatnya suku bunga acuan AS yang akan meningkat beberapa kali dalam tahun 2018, BI 7 DRRR juga mengimbanginya dengan beberapa kali kenaikan. Dalam jangka pendek, kenaikan bunga acuan memang memberikan dampak positif terhadap arus dana keluar. Hal ini terbukti sejak dinaikkannya tingkat bunga acuan, Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia mengalami penguatan. Namun, perlu diingat bahwa kenaikan tingkat bunga akan mendorong peningkatan tingkat bunga deposito. Dampaknya, kenaikan tingkat bunga deposito akan mendorong kenaikan biaya dana (cost of fund) bagi bank karena harus memberikan bunga yang lebih tinggi kepada nasabah. Ujung-ujungnya bunga kredit akan mengalami peningkatan. Jika suku bunga kredit meningkat, biasanya berpengaruh terhadap pertumbuhan kredit ke masyarakat. Sedangkan pertumbuhan kredit sendiri merupakan cermin bagi pertumbuhan ekonomi pada periode tertentu. Oleh karena itu, sangat dikhawatirkan kenaikan suku bunga akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Padahal, seperti diketahui saat ini pemerintah sedang mengupayakan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dipertahankan atau diusahakan untuk ditingkatkan. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan yang ditempuh pemerintah memperoleh ujian: apakah akan mepertahankan nilai rupiah dengan kenaikan suku bunga atau menjaga pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan nilai tukar rupiah? Pemerintah tentu diharapkan lebih bijak dalam menentukan solusi, jangan sampai kebijakan yang ditempuh justru menyeret perekonomian ke jurang resesi. (2) Ancaman default dari beban utang meningkat Tidak dipungkiri bahwa stimulus fiskal yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berada dalam target yang diharapkan, memerlukan pembiayaan untuk mengisi gap pendapatan dan pengeluaran. Demikian halnya sektor swasta, dalam rangka ekspansi usaha pasti memerlukan tambahan pembiayaan. Sektor pemerintah maupun swasta dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan biasanya melakukan diversifikasi sumber pembiayaan, salah satunya adalah utang yang berasal dari luar negeri. Di satu sisi, utang luar negeri biasanya lebih murah bila dibandingkan utang domestik. Namun ada risiko yang harus ditanggung ketika melakukan pinjaman
ke luar negeri, yaitu risiko nilai tukar. Risiko ini muncul ketika terjadi jatuh tempo pembayaran cicilan atau pokok utang dalam kondisi rupiah sedang mengalami depresiasi. Konsekuensinya, untuk membayar utang diperlukan uang rupiah dalam jumlah yang lebih banyak. Dalam kondisi depresiasi yang cukup dalam, dapat menyebabkan jumlah utang meningkat secara drastis. Pemerintah maupun swasta yang melakukan utang ke luar negeri harus menjaga kredibilitas mereka dengan tetap memenuhi kewajiban pembayaran utang. Ketidakmampuan debitur dalam membayar utang akan menyebakan debitur jatuh dalam kondisi gagal bayar (default). Kondisi ini benar-benar harus dihindari oleh debitur. Jika jatuh dalam kondisi default, kepercayaan investor akan hilang dan dapat menimbulkan kekacauan perekonomian yang berujung pada krisis ekonomi. Menurut data Bank Indonesia (BI) per bulan April 2018, utang luar negeri Indonesia sebesar US$ 358,7 miliar atau sekitar Rp 5.043 triliun pada akhir Maret 2018. Secara rinci, utang luar negeri publik atau yang dimiliki pemerintah dan bank sentral tercatat US$ 184,7 miliar. Adapun utang luar negeri yang dimiliki pemerintah terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki non-residen sebesar US$ 124,8 miliar dan pinjaman kreditur asing US$ 56,3 miliar. Di sisi lain, utang luar negeri swasta tercatat sebesar US$ 174 miliar. Dengan perkembangan tersebut, rasio utang luar negeri Indonesia tercatat di level 34,77%, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya 34,79%, tapi lebih tinggi dibandingkan kuartal I tahun lalu 34,42%. Menurut BI, rasio tersebut lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara dengan kekeuatan ekonomi hampir sama (peers). Menurut ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, dengan kurs rupiah yang menembus level 14.000 rupiah per dollar AS, terjadi pembengkakan kewajiban membayar utang luar negeri Indonesia hingga 5,5 triliun rupiah. Selisih membengkakan ini akibat currency missmatch. Jika gunakan kurs 13.400 rupiah sesuai APBN, maka pemerintah wajib membayar 121,9 triliun rupiah. Sementara itu, dengan kurs sekarang di kisaran 14.000 rupiah, beban pembayaran menjadi 127,4 triliun rupiah. Berdasarkan data BI, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo pada tahun 2018 mencapai 9,1 miliar dollar AS, terdiri atas 5,2 miliar dollar AS utang pokok dan bunga 3,8 miliar dollar AS.
Sedangkan Josua Pardede (ekonom Bank Permata) dan Ahmad Mikail (ekonom Samuel Sekuritas) sepakat bahwa besarnya kepemilikan asing di pasar keuangan Indonesia juga turut mempengaruhi lemahnya rupiah. Kepemilikan investor asing terhadap surat berharga negara Indonesia saat ini masih sekitar 40%, sedangkan di Malaysia kepemilikan asingnya cuma kisaran 20%. Besarnya porsi dana asing di Indonesia membuat mata uang rupiah lebih rentan terhadap sentimen eksternal. Sentimen kenaikan suku bunga acuan AS, misalnya. Investasi asing di sektor keuangan terutama di obligasi dan saham dikategorikan sebagai hot money, karena sangat sensitive terhadap kondisi perekonomian dan mudah untuk keluar (capital flight) dari pasar keuangan Indonesia (Investasi Kontan, 2018). (3) Berkurangnya cadangan devisa Dalam kondisi rupiah yang tengah menghadapi tekanan, otoritas moneter biasanya melakukan stabilisasi. Dalam teori makro ekonomi setidaknya ada tiga pilihan yang dapat dilakukan yaitu: stabilitas nilai tukar, keterbukaan arus modal, dan kebijakan moneter yang mandiri. Bank sentral selaku otoritas moneter tidak dapat menjalankan ketiga kebijakan tersebut secara bersamaan, maksimal hanya dua kebijakan yang dapat dilaksanakan. Ini dikenal dengan the imposible trinity. Saat ini Bank Indonesia memilih kebijakan devisa bebas. Dengan begitu pilihan yang tersedia ketika terjadi gejolak terhadap nilai tukar rupiah adalah membiarkan rupiah terdepresiasi atau menaikkan bunga acuan untuk menahan depresiasi rupiah. Tentu saja masih ada ruang untuk melakukan kombinasi kebijakan untuk mengatasi depresiasi rupiah agar tidak terjun bebas dan cadangan devisa tidak terkuras habis. Pada praktiknya, ketika menghadapi gejolak rupiah dipertengahan tahun 2018 ini BI memilih untuk melakukan kombinasi kebijakan, yaitu menaikkan suku bunga dan juga mencoba menahan laju rupiah dengan melepas cadangan devisa. Sasmita (2018) menyebutkan bahwa idealnya BI tetap menahan suku bunga apabila depresiasi rupiah masih dalam rentang normal. Namun jika BI 7 DRRR terus ditahan pada level 4,25%, cadangan devisa dapat terkuras karena BI harus melakukan operasi pasar, baik di pasar valas maupun pasar obligasi. Terbukti, selama tahun berjalan devisa sudah menyusut 7,12 miliar USD menjadi 124,86 miliar USD. Bila rupiah dibiarkan melambung tinggi, masyarakat dan dunia usaha akan terpukul. Impor Indonesia yang cukup besar barang
mendorong terjadinya inflasi sehingga daya beli masyarakat menjadi tertekan. Demikian halnya suku bunga, BI melakukan pelebaran dalam level aman bagi sektor riil dan tidak berisiko bagi pertumbuhan ekonomi. Kenaikan suku bunga yang terlampau tinggi akan membuat korporasi gulung tikar dan PHK secara besar-besaran. Kondisi ini tentu harus dihindari karena memicu krisis ekonomi. Sumber Bacaan: https://katadata.co.id/berita/2018/05/15/utang-luar-negeri-tembus-rp-5000-triliunrasio-atas-pdb-stabil-34 https://www.cnbcindonesia.com/market/20180512115208-17-14655/defisit-transaksiberjalan-kuartal-i-2018-terburuk-sejak-2013 https://investasi.kontan.co.id/news/defisit-transaksi-berjalan-akan-jadi-faktor-penekanutama-rupiah https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/22/172430926/hat-trick-defisit-neracaperdagangan