1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Daging merupakan salah satu bahan pangan yang bermanfaat karena mengandung berbagai nutrisi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Berbagai jenis daging dan produk olahannya menjadi makanan yang digemari konsumen karena kandungan gizinya yang tinggi. Selain mengandung protein hewani, daging juga mengandung vitamin B12 dan zat besi heme. Asupan protein hewani yang sesuai dengan kebutuhan dapat membantu pertumbuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh, sedangkan zat besi heme merupakan zat besi yang lebih mudah diserap tubuh dibandingkan dengan zat besi yang terkandung dalam sayuran dan makanan olahan sehingga lebih melancarkan pengangkutan oksigen dan perkembangan otak. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan konsumen terhadap pentingnya kandungan gizi dalam daging, daging dan produk olahannya yang berkualitas tinggi semakin digemari oleh konsumen. Permintaan daging konsumsi, terutama daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2005, kebutuhan daging sapi masyarakat Indonesia mencapai 597,7 ribu ton, sementara ketersediaan daging sapi hanya sebesar 464,1 ribu ton. Peningkatan konsumsi daging sapi di Indonesia juga terlihat berdasarkan data dari BPS pada tahun 2015, yaitu konsumsi daging sapi segar per kapita pada tahun 2010 sebesar 1,76 kg, tahun 2011 sebesar 1,87 kg, tahun 2012 sebesar 2,09 kg, tahun 2013 sebesar 2,22 kg dan pada tahun 2014 sebesar 2,36 kg. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) dalam harian Kompas (13/12) menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi daging sapi pada tahun 2015 sebanyak 653.980 ton dan pada tahun 2016 naik mencapai 801.360 ton atau setara dengan 4,71 juta ekor sapi siap potong, namun, kenaikan permintaan konsumen terhadap daging sapi tidak diimbangi dengan ketersediaan daging sapi. Potensi stok
2 sapi siap potong pada tahun 2016 yang tersedia hanya sebesar 3,94 juta ekor. Adanya kesenjangan yang tinggi antara kebutuhan konsumen dan ketersediaan menimbulkan potensi pemalsuan daging sapi dengan daging lainnya. Banyaknya praktik pemalsuan daging juga didukung oleh tingginya harga daging produsen. Ketersediaan daging sapi yang jauh lebih rendah dari permintaan menyebabkan harga daging produsen tinggi sehingga harga jual daging sapi di pasaran melambung. Banyaknya praktik pemalsuan daging menimbulkan masalah dalam hal kemanan pangan di Indonesia. Selain praktik pemalsuan daging, isu yang marak beredar di masyarakat adalah adanya penyebaran daging oplosan, yakni praktik pencampuran daging konsumsi dengan daging nonkonsumsi. Dalam praktik pemalsuan dan pengoplosan daging, digunakan bahan bahan kimia dengan tujuan meningkatkan keawetan dan meminimalkan biaya produksi. Bahan yang banyak digunakan adalah formalin, formaldehida, metanol, boraks, dan asam salisilat. Adanya pencampuran dari bahanbahan yang seharusnya tidak dicampurkan ke dalam makanan menyebabkan kekhawatiran pada masyarakat untuk mengonsumsi produk olahan pangan hewani. Kekhawatiran masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi produk olahan pangan hewani muncul tidak hanya dari aspek kesehatan karena adanya cemaran biologis, fisik, dan kimiawi; tetapi juga dari aspek budaya dan agama. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas masyarakatnya yang beragama Islam sehingga aspek halal dan haram menjadi pertimbangan utama bagi masyarakat dalam konsumsi pangan. Berbagai pilihan produk olahan di pasaran dan rasanya yang khas menyebabkan daging sapi merupakan salah satu daging konsumsi yang paling digemari masyarakat. Salah satu daging nonkonsumsi yang banyak digunakan sebagai campuran pada daging konsumsi dan olahannya adalah daging tikus, terutama tikus hitam. Adanya kemiripan rasa antara daging tikus hitam dengan daging sapi serta kemudahan untuk menemukan hewan pengerat tersebut menjadi faktor lain pemicu pencampuran daging tikus hitam ke dalam daging sapi dan olahannya. Pada tahun 2006, Trans TV memberitakan maraknya penggunaan daging tikus hitam pada produk olahan daging sapi di daerah Jawa Barat dengan dalih penekanan biaya
3 produksi. Pada tahun 2011, Liputan 6 SCTV berhasil melakukan investigasi mengenai praktik pengoplosan daging sapi dengan daging tikus hitam yang disertai dengan penggunaan bahan kimia seperti benzoat dan boraks yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Harian Republika (12/20/2014) memberitakan mengenai penggunaan daging tikus hitam sebagai campuran daging sapi dalam pembuatan bakso di daerah Maluku Utara. Banyaknya kasus daging oplosan mengharuskan adanya mekanisme pengawasan oleh otoritas yang berwenang. Untuk keperluan kontrol dan pengawasan, diperlukan metode identifikasi dan deteksi kandungan daging nonkonumsi pada daging konsumsi yang memiliki akurasi, spesifitas, dan sensitivitas yang tinggi, namun tidak semua metode yang dibutuhkan untuk keperluan kontrol dan pengawasan telah tersedia. Selain ketersediaan, metode deteksi dan identifikasi yang tersedia memerlukan biaya yang mahal. Oleh karena itu, diperlukan metode deteksi dan identifikasi yang murah, cepat, dan mudah. Metode analisis yang digunakan untuk identifikasi pemalsuan atau keaslian daging dan produk olahan dapat didasarkan pada identifikasi spesies menggunakan protein dan asam deoksiribonukleat. Metode analisis dengan asam deoksiribonukleat atau DNA merupakan metode yang terkini dan banyak digunakan. Identifikasi spesies banyak dilakukan menggunakan DNA karena molekul DNA ditemukan di seluruh tipe sel secara identik, selain itu molekul DNA bersifat stabil dan tidak rusak oleh pemanasan suhu tinggi yang banyak dilakukan pada proses pengolahan produk pangan sehingga dapat digunakan untuk analisis pada produk olahan pangan dan makanan yang telah dimasak. Penelitian yang telah dilakukan oleh Matsunaga dkk. (1999), membuktikan bahwa daging mentah dan daging yang telah mengalami pemanasan pada suhu 100 o C dan 120 o C masih dapat diidentifikasi dengan analisis DNA menggunakan PCR primer spesifik. Mengingat ukuran DNA yang sangat besar, target analisis DNA harus dipilih pada daerah spesifik sehingga dapat membedakan spesies satu dengan lainnya secara spesifik. Gen gen pada DNA mitokondria (mtdna) dapat digunakan sebagai target
4 identifikasi spesies karena laju mutasinya yang tinggi dan memiliki divergenitas pada tingkat spesies. Martin dkk. (2007), telah berhasil mendeteksi cemaran kucing, anjing, dan tikus pada pangan berdasarkan keragaman urutan gen 12S rrna mtdna. Fajardo dkk. (2010), juga telah berhasil mendeteksi adanya identifikasi jenis daging babi dan tikus hitam menggunakan gen sitokrom-b, 12S, dan 16S ribosom RNA. Gen sitokrom-b banyak digunakan dalam analisis identifikasi keberadaan spesies dalam campuran. Seperti pada gen lain dalam mtdna, gen sitokrom-b memiliki urutan yang spesifik dan memiliki keunggulan dalam hal jumlah yang mencapai 1000 kopi lokus sitokrom-b sehingga dapat digunakan untuk amplifikasi DNA target. Analisis menggunakan gen sitokrom-b telah berhasil digunakan untuk mengelompokkan adanya kandungan spesies subfilum vertebrata yang meliputi anjing, kucing, tikus, kuda, kambing, dan sapi (Widayanti, 2006). Metode analisis DNA yang berkembang adalah metode polymerase chain reaction (PCR). Metode ini menawarkan keakuratan tinggi yang dapat digunakan untuk deteksi adanya daging tikus dalam campuran daging maupun produk olahan pangan. Metode PCR konvensional yang dapat digunakan untuk identifikasi tikus adalah metode PCR primer spesifik. Beberapa gen dalam mtdna seperti 12S RNA dan sitokrom-b berhasil digunakan untuk identifikasi tikus hitam dengan metode ini, seperti yang dilakukan oleh Ningtyas dkk. (2014) pada produk olahan pangan bakso sapi dan Nuraini dkk. (2012) yang telah berhasil mendeteksi kontaminasi daging tikus hitam pada daging segar lain (daging kambing, ayam, sapi, domba, babi, dan kuda) dan produk olahan bakso. Metode primer spesifik dapat digunakan untuk identifikasi kandungan suatu spesies dan dapat digunakan untuk analisis dalam campuran dengan konsentrasi spesies yang rendah, tetapi metode ini masih memiliki beberapa kelemahan seperti deteksi dengan primer spesifik yang dilakukan oleh Patria (2010). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa suatu kelompok organisme yang berkerabat dekat masih dapat terdeteksi akibat adanya derajat homologi daerah primer sehingga apabila terdapat perbedaan spesies antara primer hasil desain dengan
5 spesies yang dianalisis, amplifikasi tetap berjalan akibat adanya derajat homologi basa nukleotida antara satu fragmen dengan fragmen lain. Metode PCR lain yang dapat digunakan untuk deteksi suatu spesies adalah metode PCR restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP). Metode PCR- RFLP untuk analisis uji kehalalan telah dilakukan oleh Murugaiah (2009) dengan target fragmen 359 pb gen sitokrom-b mitokondria, namun hasil yang diperoleh masih bersifat kualitatif sehingga tidak dapat mencerminkan komposisi yang sebenarnya. Perkembangan dari metode PCR adalah metode real-time PCR (RT-PCR). Pada RT-PCR, amplifikasi DNA dapat diamati secara langsung dengan lebih cepat. Metode RT-PCR juga memiliki keunggulan dalam hal keakuratan, spesifitas, dan sensitifitas yang tinggi dan dapat dilakukan analisis secara kuantitatif. Salah satu metode analisis RT-PCR adalah metode yang menggunakan nonspecific binding-dyes yang merupakan pengembangan dari PCR primer spesifik. (Pratama, 2017) telah melaporkan penggunaan nonspecific binding dyes SybrGreen untuk analisis deteksi kandungan spesies mencit dalam produk olahan pangan hingga tingkat cemaran 1%. Secara umum, RT-PCR nonspecific binding dyes memiliki beberapa kelemahan, seperti mahalnya pewarna yang digunakan dan sifatnya yang tidak spesifik dan berikatan dengan seluruh sekuens DNA untai ganda sehingga menghasilkan sinyal positif yang salah dan diperlukan analisis berupa melting curve analysis (MCA) untuk menganalisis amplikon yang terbentuk. Penelitian ini diarahkan untuk mengembangkan metode terkini dari PCR, yaitu real-time PCR menggunakan probe TaqMan dengan desain probe spesifik tikus hitam (Rattus rattus) yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Penggunaan probe TaqMan dalam metode RT-PCR probe TaqMan spesifik bertujuan untuk mendeteksi atau mengenali DNA target dalam suatu campuran DNA secara spesifik sehingga mampu menghasilkan amplifikasi yang hanya berdasar dari DNA target. Penggunaan DNA target berasal dari gen sitokrom-b karena luasnya penggunaan gen sitokrom-b yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya.
6 Untuk ke depannya, metode ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk identifikasi dan deteksi adanya kandungan daging tikus hitam dalam produk olahan pangan dengan tingkat keakuratan, sensitivitas, dan spesifitas yang tinggi, sehingga apabila dalam suatu produk olahan pangan maupun daging konsumsi mentah terdapat kontaminasi daging tikus hitam di dalamnya, analisis dengan metode ini dapat digunakan. 1.2. Tujuan Penelitian 1. Membuat desain primer dan probe TaqMan spesifik tikus hitam (Rattus rattus) dari gen sitokrom-b yang digunakan dalam metode real-time PCR untuk deteksi spesies tikus hitam secara in silico. 2. Mengetahui spesifitas probe TaqMan spesifik tikus hitam pada DNA yang berasal dari spesies lain, seperti babi, anjing, kuda, kambing, dan sapi. 3. Mengetahui kinerja dari metode RT-PCR probe TaqMan spesifik tikus hitam yang meliputi uji presisi dan uji cut-off deteksi. 1.3. Manfaat Penelitian 1. Memberikan kontribusi baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bioteknologi molekuler. 2. Metode analisis RT-PCR probe TaqMan spesifik tikus hitam dapat menjadi metode alternatif analisis pangan yang mendukung kebijakan pangan dalam konteks kehalalan dan keamanan pangan. 3. Metode analisis RT-PCR probe TaqMan yang sudah spesifik terhadap tikus hitam dapat digunakan untuk identifikasi dan deteksi adanya kontaminasi tikus hitam terhadap produk olahan pangan yang dijual di pasaran.