BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan di masyarakat.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemasyarakatan mengalami keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan

RESILIENSI NARAPIDANA DEWASA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA SRAGEN NASKAH PUBLIKASI. Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. elektronik setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2012 terjadi kejahatan setiap 91

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. salah satunya adalah kecelakaan. Ada berbagai jenis kecelakaan yang dialami oleh

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah

BAB II KERANGKA KONSEP KEGIATAN. penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan tinggi. Secara umum pendidikan perguruan tinggi bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. menolong dalam menghadapi kesukaran. c). menentramkan batin. 1 Realitanya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kalangan pakar pakar ilmu pengetahuan, ilmu hukum, dan juga ilmu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang-

menempati posisi paling tinggi dalam kehidupan seorang narapidana (Tanti, 2007). Lapas lebih dikenal sebagai penjara. Istilah tersebut sudah sangat

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tolak ukur segala hal mengenai harapan dan tujuan dari bangsa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan memberikan banyak pembelajaran bagi manusia. Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa dimana manusia mengalami transisi dari masa anakanak

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. menghadapinya. Menurut Reivich dan Shatte (2002), bahwa kapasitas seseorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bebas terlepas dari paksaan fisik, individu yang tidak diambil hak-haknya,

BENTUK-BENTUK DISTORSI KOGNITIF NARAPIDANA WANITA YANG MENGALAMI DEPRESI DI LAPAS SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN. Kriminalitas adalah sebuah permasalahan yang sering disajikan di berbagai

2005). Hasil 62 survei di 12 negara dan mencakup narapidana menemukan tiap 6

1.1 Latar Belakang Masalah

Resiliensi pada Narapidana Laki-laki di Lapas Klas 1 Medaeng

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PADA WANITA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA BUDI PERTIWI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

Bab I Pendahuluan. Berdasarkan laporan Statistik Kriminal 2014, jumlah kejadian kejahatan (total crime) di

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

BAB I PENDAHULUAN. bagi pembangunan. Ini berarti, bahwa pembinaan dan bimbingan yang. diberikan mencakup bidang mental dan keterampilan.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian. : Sense of Purpose dan Dukungan Sosial

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bertentangan dengan hukum dan undang-undang. Tingkat krminalitas di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana di Lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lembaga pembinaan atau sering disebut LAPAS yaitu tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

Resiliensi Seorang Wanita Dalam Menghentikan Perilaku Merokok dan Minum Alkohol HELEN YOHANA SIRAIT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ribu orang di seluruh Indonesia, hingga Oktober 2015 jumlah narapidana

DINAMIKA KONSEP DIRI PADA NARAPIDANA MENJELANG BEBAS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SRAGEN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada. orang tua. Pada saat dilahirkan ke dunia anak membawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

PROFIL NARAPIDANA BERDASARKAN HIERARKI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW. Skripsi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tugas-tugas perkembangannya dengan baik agar dapat tumbuh menjadi individu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

dianggap sebagai trouble maker atau pembuat kerusuhan yang selalu mewaspadainya. Sikap penolakan masyarakat membuat narapidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya pandangan hukum terhadap narapidana anak di Indonesia tidak

BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2009 menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus terpenuhi, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pengertian kejahatan dan kekerasan memiliki banyak definisi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Thomy Sastra Atmaja, 2013

BAB V. Kesimpulan, Diskusi Dan Saran. hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

"#% tahun untuk membuka diri dan melakukan pemulihan bagi kesehatannya, subjek AA sudah 5 tahun hidup sebagai ODHA dan masih berusaha untuk memaafkan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. disabilitas fisik. Individu yang memiliki disabilitas fisik sudah sewajarnya memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Transkripsi:

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Seseorang yang melanggar norma hukum lalu dijatuhi hukuman pidana dan menjalani kesehariannya di sebuah Lembaga Pemasyarakatan mengalami keadaan yang jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan di masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan yang merupakan salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Pemasyarakatan di beberapa wilayah melaksanakan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sesuai dengan peraturan yang berlaku, diantaranya pembinaan kepribadian dan kemandirian dengan tujuan untuk membentuk warga binaan agar menjadi manusia yang lebih baik, menyadari kesalahan, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat kembali pada masyarakat, berperan aktif dalam pembangunan, hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siswati & Aburrohim (2009) stressor tertinggi yang dialami narapidana adalah dari jumlah hukuman yang diterima. Subjek yang memiliki resilensi yang tinggi digambarkan memilki rencana yang akan dilakukan setelah keluar dari penjara. Rencana tersebut tentunya bagaimana narapidana tersebut mampu menjalani segala aktifitasnya tanpa terbebani dengan segala kegiatan. Berbeda dengan narapidana yang memilki tingkat reseliensi rendah, mereka cenderung stress dan depresi dengan segala kegiatan yang berlangsung dalam penjara. Ketika narapidana merasa tidak bertanggung jawab terhadap masa lalu yang menyebabkan narapidana dipenjara, maka narapidana tersebut akan cenderung mengarah ke depresi bahkan sampai 1

2 berujung ke bunuh diri. Selain itu, ketidakmampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan merupakan sebab lainnya. Hasil wawancara dan penelitian dari Utami dan Pratiwi ( 2011 ) terhadap narapidana di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Wanita Semarang yang mendapatkan data bahwa narapidana mengalami kecemasan tentang bagaimana menjalani kehidupan setelah masa hukuman berakhir, terkait dengan adanya persepsi masyarakat terhadap dirinya dan apa yang akan dilakukan setelah keluar dari Lemabaga Permasyarakatan. Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas II A Semarang memiliki tingkat depresi sedang banyak 35,3 % dan 13,9 % narapidana mengalami depresi pada kategori tinggi. Selain itu menurut Bakhri (2009), pemidanaan merupakan suatu proses setelah dijatuhkannya putusan hakim atas sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan dengan ketentuan bertujuan untuk resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah dan perasaan tertekan narapidana dengan tidak memberikan derita berlebih dan tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia. Kondisi dengan tekanan mental mempengaruhi keadaan psikis narapidana saat berada dalam Lembaga Pemasyarakatan dan atau setelah kembali ke masyarakat. Bartollas (Azani, 2012) menyatakan bahwa kehidupan di penjara merusak kondisi psikologis seseorang diantaranya kehilangan kepribadian atau identitas diri, rasa aman, kemerdekaan individual untuk beraspirasi dan berkomunikasi, dll.

3 Tekanan yang dialami narapidana tersebut tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan ia melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain, seperti kabur dari LAPAS, membuat kerusuhan di LAPAS, depresi bahkan bunuh diri. Selain itu, narapidana juga mampu menerima dan beradaptasi dengan keadaan, sehingga memperolah apresiasi positif dari orang lain termasuk petugas seperti halnya remisi umum I maupun II diberikan setiap tahun kepada narapidana yang berkelakuan baik, telah menunjukkan prestasi, disiplin yang tinggi dalam mengikuti program pembinaan dan telah memenuhi syarat administratif. Hal tersebut di atas merupakan sekelumit permasalahan yang muncul pada kehidupan narapidana dalam menjalani masa pidana. Sesuai dengan survei di lapangan dan berbagai media, pada awal masa tahanan, narapidana merasa tertekan dengan keadaan yang harus dijalaninya. Penelitian Azani (2012) menunjukkan bahwa tingkat penerimaan seseorang terhadap keadaan, keinginan untuk beradaptasi, dan bangkit dari keterpurukan setiap orang berbedabeda tergantung bagaimana memaknai keberadaan di LAPAS, kemampuan yang harus dimiliki individu dalam keadaan seperti itu adalah resiliensi. Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Menurut penelitian oleh Riza dan Ike (2013), narapidana yang memiliki resiliensi yang tinggi digambarkan memiliki rencana yang akan dilakukan setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Rencana tersebut meliputi memulai hidup baru dengan keluarga dan masyarakat. Dalam Lembaga Pemasyarakatan, ia mampu menjalani segala aktifitasnya tanpa

4 terbebani. Sedangkan narapidana dengan resiliensi rendah, cenderung stress dan depresi dengan segala kegiatan di Lapas karena ketidakmampuannya beradaptasi dengan lingkungan. Resiliensi merupakan hal penting yang harus ada dalam diri seorang narapidana dewasa, karena dengan sikap resilien, ia akan berjuang untuk beradaptasi, bertahan, dan bangkit dari kemalangan. Narapidana yang resilien akan mendapat bekal ilmu pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan yang dimanfaatkan menjalani kehidupan kembali ke masyarakat. Berdasarkan pemaparan di atas, betapa perjuangan narapidana dewasa dalam menjalani kehidupan yang jauh dari keluarga dan masyarakat, mengalami tekanan psikis dan pentingnya menumbuhkembangkan sikap resilien kepada narapidana dewasa agar mampu beradaptasi, bertahan, dan bangkit kembali. Menurut penelitian peneliti, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di Lembaga Permasyarakatan Kelas II di Yogyakarta kepada para wali warga binaan, rata-rata banyak warga binaan terutama laki-laki yang mengalami stress saat berada di dalam lingkungan penjara. Hal tersebut baru terlihat setelah lingkungan yang ada lapas tidak tercampur lagi oleh warga binaan perempuan. Pada tahun 2015 lapas tersebut baru memisahkan lingkungan antara warga binaan wanita dan laki-laki. Pada saat sebelum tahun 2015, para Wali yang berjumlah 10 orang tersebut menangani warga binaan wanita dan laki-laki, karena warga binaan laki-laki malu bertemu dengan warga binaan wanita saat bimbingan bersama wali berlangsung, hal tersebut membuat warga binaan laki-laki lebih memilih untuk berdiam diri tanpa ingin mengeluarkan apa yang ada didalam hati dan pikirannya selama ini. Saat ini, dimulai dari tahun 2015 sampai sekarang, baru terlihat

5 banyak warga binaan laki-laki yang stress karena dipenjara setelah bimbingan oleh para wali sudah mulai kondusif. Hasil penelitian yang dilakukan University of South Wales menyatakan bahwa sebanyak 36% masalah kesehetan mental yang dirasakan oleh penghuni LAPAS adalah anxietas (kecemasan), di mana tingkat kecemasan yang lebih tinggi terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki dengan perbandingan sebesar 61%:39% (Butter dkk, 2005). Lebih lanjut dijelaskan oleh Hawari (2001) yang mengatakan bahwa individu akan mengalami kecemasan apabila seseorang yang bersangkutan tersebut tidak mampu menghadapi stressor psikologinya. Penelitian yang dilakukan oleh Tanti (2007) juga menjelaskan bahwa sebanyak 51,1% dari 345 warga binaan LAPAS Jember mengalami sulit tidur. Resiliensi merupakan suatu proses adaptasi seseorang setelah mengalami peristiwa traumatis, seperti bencana, tragedi atau peristiwa yang secara signifikan menyebabkan stress, misalnya perceraian, kematian, masalah keluarga, penyakit kronis, PHK, ataupun masalah finansial (Grotberg, 1995). Orang yang bersikap resilien akan mendayagunakan seluruh kemampuannya bertahan dalam masamasa sulit. Terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, tetap optimis dengan masa depan dan mampu mengintropeksi diri. Individu yang memiliki resiliensi juga mempunyai daya fisik yang baik untuk mendapatkan pertahanan di dalam dirinya sehingga bisa mendayagunakan seluruh kemampuan di dalam dirinya (Wells, 2010). Individu yang menunjukkan sikap seperti itu dapat dikatakan memiliki ciri-ciri orang yang resilien, yaitu memiliki efikasi diri. Efikasi diri berkenaan dengan harapan terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan

6 yang dihadapi. Individu percaya bahwa mereka mampu menjadi pribadi yang lebih baik hingga kelak ketika bebas dari masa hukuman tetap bisa mewujudkan mimpi-mimpi yang ingin dicapai. Menurut Everall, Allrows dan Paulson (2006) Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi antara lain : individu, keluarga, komunitas atau eksternal, resiko. Herman, dkk (2011) juga menyebutkan faktor-faktor lain yang menyebabkan resiliensi, antara lain : regulasi emosi, emosi positif, spiritualitas, harapan, optimisme, kemampuan beradaptasi, faktor demografis. Pada penelitian ini difokuskan pada faktor spiritualitas yang lebih khususnya kebersyukuran. Hal ini didukung oleh pendapat McCullogh, Emmons dan Tsang (2002) yang menyatakan bahawa spiritualitas berpengaruh terhadap kebersyukuran individu, karena spiritualitas menyadarkan individu bahwa yang terjadi dalam hidup merupakan suatu hal yang dikaruniakan kepadanya. Bidang psikologi khususnya kajian psikologi positif saat ini mulai menjadi perhatian para ahli psikologi dalam mengungkapkan masalah-masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat dan membantu manusia mencapai kebahagiaan melalui emosi-emosi positif. Syukur merupakan salah satu dari kajian psikologi positif tersebut, yang berarti mengucapkan terima kasih atas anugerah. Penelitian Sheldon dan Sonja (2011) menunjukkan bahwa kebersyukuran dapat mengurangi emosi negatif pada diri seseorang. Orang yang bersyukur akan mudah mencapai kebahagiaan dan kehidupan yang penuh ketentraman serta lebih mudah dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup atau keadaan yang menekan (stressfull). Syukur

7 juga mampu membuat individu tidak mudah merasa kesepian dan terhindar dari gejala depresi. Syukur juga menjadi bagian dari ajaran Islam, yang tidak asing dan bahkan sudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengucapan Alhamdulillah sebagai simbol dari rasa kebersyukuran. Akan tetapi, syukur sesungguhnya tidak hanya cukup pada pengucapan tersebut, karena syukur berkaitan dengan lisan, hati dan anggota badan. Pemahaman mengenai syukur, khususnya pada masyarakat Indonesia yang beragama Islam tentunya diperoleh melalui ajaranajaran dalam Islam, yang juga dipengaruhi oleh budaya yang ada dalam Indonesia. Pribadi individu, tingkah laku dan lingkungan saling mempengaruhi satu sama lain dalam membentuk suatu perilaku atau kepribadian. Subandi (2014) menegaskan bahwa psikologi dan agama memiliki hubungan erat, agama dapat menjadi referensi dalam menafsirkan dan solusi permasalahan jiwa. Ajaran-ajaran agama yang dipelajari akan membentuk keyakinan yang menjadi bagian dari proses kognitif yang sesuai menurut teori Shihab ( Chairani dan Kurniawan, 2008 ) menjelaskan bahwa syukur berati menggunakan seluruh kekuatan untuk memfungsikan semua nikmat Allah yang dilimpahkan-nya sesuai dengan tujuan penganugerahan-nya. Model resiliensi terhadap seseorang yang sedang frustasi dalam tahap menuju resilien, tahap menuju resilien tersebut memiliki faktor risiko yang dapat dijadikan gaya hidup orang lain, pendekatan seperti ini bersifat menyeluruh dalam proses terjadinya resiliensi (Rutter, 1993). Telah terjadi pergeseran paradigma dalam seseorang yang frustasi memiliki faktor risiko dalam resiliensi. Pergeseran

8 paradigma dalam faktor risiko tersebut terlihat dalam meningkatnya optimisme saat melewati keputusasaan dari kejadian yang membuat frustrasi. Zimmerman dan Arunkumar (1994) mengamati bahwa reseiliensi bukan merupakan konsep yang dapat diterapkan ke semua kehidupan manusia, seorang anak sekalipun mungkin sudah memiliki faktor risiko resiliensi tetapi sangat rentan juga berlaku ke orang lain. Resiliensi termasuk suatu fenomena multidimensional yang memiliki hubungan dalam setiap perkembangan. Pencapaian resiliensi termasuk hal yang tidak mudah karena ada beban berat yang dihadapi. Permasalahan narapidana memiliki penderitaan yang bersifat sosial, psikologis, dan fisiologis. Peneliti memilih resiliensi sebagai fokus yang diteliti karena narapidana yang resilien dapat dibina sesuai tujuan didirikannya LAPAS. Hal ini menyebabkan peneliti ingin mengetahui dinamika hubungan kebersyukuran dengan resiliensi pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Yogyakarta, yang selanjutnya dapat memberikan gambaran dinamika resilensi pada narapidana tersebut. Uraian di atas sejalan dengan pernyataan Vanesa ( 2008 ) dalam penelitiannya bahwa orang yang bersyukur menganggap kemudahan dan kesulitan yang dialaminya sebagai anugerah, sehingga tidak menyesali apa yang terjadi di kehidupannya. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui apakah bersyukur dapat berkolerasi dengan reseliensi pada narapidana. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kebersyukuran dengen reseliensi pada narapidana.

9 C. Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber referensi dan menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam psikologi sosial serta dapat dijadikan pedoman bagi peneliti lainnya terutama yang ingin meneliti tentang hubungan antara kebersyukuran dengan reseliensi 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan pemahaman bagi siapa saja, terutama warga binaan LAPAS mengenai cara mengelola rasa syukur sehingga dapat memberikan kesejahteraan psikologi yang baik. D. Keaslian penelitian Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang hubungan antara kebersyukuran dengen resiliensi pernah dilakuan oleh peneliti lain dan ada pula penelitianpenelitian serupa antara lain adalah yang dilakukan Gustriani ( 2015 ), dengan penelitian yang berjudul Hubungan Kebersyukuran dengan Resiliensi pada Penyandang Difabel Fisik Non Bawaan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengen menggunakan variabel kebersyukuran sebagai variabel bebas

10 dan resiliensi sebagai variabel tergantung. Subjek penelitiannya adalah penyandang difabel fisik non bawaan. Firaressy ( 2015 ), dengan penelitian yang berjudul Hubungan antara Rasa Syukur dengan Resiliensi pada Penduduk Miskin Kelurahan Pulau Karam Kecamatan Sukajadi. Penelitian tersebut memiliki menggunakan metode kuantitatif dan menggunakan dua variabel yaitu kebersyukuran dengan resiliensi. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui gambaran proses resiliensi pada waraga penduduk miskin serta faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi. Persamaan antara penelitian Gustriani ( 2015 ) dan Firaressy ( 2015 ) adalah sama-sama meneliti tentang resiliensi, dana adapun perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Gustriani ( 2015 ) dan Firaressy ( 2015 ) adalah perbedaan pada subjek penelitian. Penelitian lain yang memilki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adaloah yang berjudul Hubungan antara Kebersyukuran dengan Kebahagiaan pada Korban Bencana Merapi disusun oleh Kusumaningtyas (2012). Penelitian tersebut juga menjadi kebersyukuran sebagai variable bebas, namun dikorelasikan dengan kebahagiaan sebagai variabel tergantung dan subjek penelitian yang dikenakan merupakan korban bencana merapi, serta bertujuan untuk mengetahui hubungan kebersyukuran dengan kebahagiaan pada korban bencana merapi. Teori yang digunakan untuk kebersyukuran adalah teori dari

11 McCullogh (2004) dan Al Munajjid (2006) dan alat ukurnya disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan Al Munajjid (2006). Berdasarkan uraian penelitian terdahulu serta penjelasan diatas, maka peneliti menyimpulkan sebagai berikut : 1. Keaslian Topik Sejauh penegetahuan penulis topik tentang hubungan antara kebesyukuran dengan reseliensi pada narapidana belum pernah diangkat dalam penelitian, akan tetapi judul tersebut pernah diangkat oleh Firaressy ( 2015 ), dengan penelitian yang berjudul Hubungan antara Rasa Syukur dengan Resiliensi pada Penduduk Miskin Kelurahan Pulau Karam Kecamatan Sukajadi. Penelitian tersebut memiliki menggunakan metode kuantitatif dan menggunakan dua variable yaitu kebersyukuran dengan reseliensi. 2. Keaslian Teori Penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Yu dan Zhang ( 2007 ) mengenai reseliensi yang dimodifikasi dari teori reseliensi yang disusun oleh Connor-Davidson, Sedangkan teori yang digunakan mengenai kebersyukuran adalah yang dikemukakan oleh Kurniawan, dkk (2012). Penelitian sebelumnya juga pernah menggunakan alat ukur tersebut seperti Gustriani ( 2015 ), dengan penelitian yang berjudul Hubungan Kebersyukuran dengan Reseliensi pada Penyandang Difabel Fisik Non Bawaan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengen

12 menggunakan variabel kebersyukuran sebagai variable bebas dan reseliensi sebagai variabel tergantung. Subjek penelitiannya adalah penyandang difabel fisik non bawaan. 3. Keaslian alat ukur Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Connor- Davidson Reselience Scale (CD-RISC) Chinesse Version oleh Yu dan Zhang ( 2007 ), sedangkan pada variable kebersyukuran digunakan alat ukur yang disusun oleh Kurniawan, dkk ( 2012 ) yang bernama Psychological Measure Of Islamic Gratitude (PMIG) dikarenakan konteks kebersyukuran yang dimaksud oleh peneliti adalah konteks bersyukur yang dijelaskan oleh agama Islam. 4. Keaslian subjek penelitian Penelitian ini menggunakan subjek narapidana laki-laki di Lembaga Permasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta dengan kriteria masa tahanan kurang lebih 6-4 bulan akan keluar dari penjara. Subjek penelitian ini berjumlah 60 orang narapidana laki-laki yang ada Lembaga Permasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta.