Melengkan Tradisi dan Seni tutur Sapa Gayo Yang Telah Hilang Bener Meriah, Baranewsaceh.co Reje atas kire baur kelieten, lebih atas ilen tenampuk ni reje, kolak kire laut tawar itakingen, lebih kolak ilen kekawar ni reje. Ujen berasal angin berusul, perbueten muasaliyah. Taris nume kirimen, rempele nahma ujud te keta ini le si kami enahen ku ama reje. Sepertinya bait bait syair tersebut, adalah ungkapan melengkan yang diselingi teka teki (ure ure) pantun bersambut
yang di balut peri bahasa seni bertutur sapa yang dalam istilah bahasa Gayo di sebut melengkan Melengkan Melainkan adalah ungkapan peri bahasa Gayo berupa tamsilan, sementara arti dari ungkapan tersebut, bisa bermakna lain. Yang di maksud adalah padi, ujungnya pasti beras, tapi bukan beras Melainkan beras pulut. Karena sumbernya tetap padi, tetapi padi arang (pedarang). Inilah warna tersendiri dari tradisi berbalas pantun dalam prosesi mengantar mempelai baik dalam sesi penerimaan dan penyerahan calon pengantin. Gecik Mongal adalah sosok tokoh Gayo yang terkenal ahli dalam bermelengkan. Tapi sangat disayangkan marwah bahasa Gayo yang terkemas dalam bahasa melengkan dan pepatah dan petitih Gayo telah hilang. Minsal, umpama,tamsil dan ibarat adalah bahagian dari bahasa komunikasi Gayo yang terkadang sulit untuk
dimaknai, terkadang mengharuskan kita untuk kembali memasang insting dan logika untuk membaca arti dari ungkapan kata Melengkan yang sebenarnya. PP nomor 48 tahun 2014 yang di tanda tangani oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono seakan menghentikan langkah dan hilangnya seni bertutur Gayo yang satu ini. Eksistensi bahasa adat melengkan tamat sudah riwayatmu. Melengkan hilang oleh regulasi dan aturan peradaban baru. Melengkan adat betutur sapa Gayo, yang telah terwariskan dari generasi ke generasi, kini hanya menyisakan pelakunya saja, tanpa tahu kapan dan dimana lagi bahasa melengkan tersebut akan di perdengarkan kembali. Sadar atau tidak sadar bahwa 5 Kabupaten khususnya di wilayah tengah Provinsi Aceh. Punya tata cara tersendiri dalam pelaksanaan penyerahan calon pengantin sebelum dan sesudah pelaksanaan ijab kabul. Namun peraturan baru pemerintah melalui kementrian agama telah mengharuskan kedua calon pasutri menikah di kantor Urusan Agama (KUA). Kalaupun kita rindu dengan bait bait tutur kata melengkan, biasanya keluarga dari pihak mempelai harus mengeluarkan biaya senilai Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah) untuk bisa melakukan kembali akad nikah di kampung tempat berlangsungnya acara pesta. Pemerintah pusat lewat kementrian pendidikan dan kebudayaan terus berupaya mempertahankan dan melestarikan kebudayaan dan menghormati kearifan lokal, sebagai mana tertera dalam peraturam menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 10 tahun 2014 tentang pedoman pelestarian tradisi. Disisi lain Pemerintah juga menjadi biang dari lenyapnya sebagian dari warisan tradisi budaya leluhur negeri ini terkait telah diterbitkannya PP nomor 48 tahun 2014, tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Maka sejak itu pula proses akad nikah bagi calon pasutri harus dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) Peraturan tersebut juga berisi tentang Jenis Tarif Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ada di lingkungan Kementerian Agama. Pada intinya Peraturan pemerintah tersebut adalah tentang pengaturan tarif nikah agar tidak ada lagi kasus gratifikasi di kalangan penghulu dan Imam Kampung. Selain itu PP tersebut juga mengatur tentang dua kelompok tarif nikah, yakni nol rupiah bagi pengantin yang melakukan pencatatan pernikahan di dalam Kantor Urusan Agama (KUA) dan tarif Rp 600 ribu bagi pencatatan pernikahan di luar KUA atau di luar jam kerja penghulu. Lalu di mana hak otonomi dan ke khususan dari Provinsi Aceh. Majelis Adat Aceh, dan lembaga wali nanggro yang harus yang harus menjadi sorotan dalam hal ini. Karena kedua lembaga ini punya peran strategis dalam upaya mengembalikan marwah dan khazanah budaya Gayo yang mulai sirna. Karena salah satu tupoksi dari Wali Nanggro adalah mengawasi adat istiadat. Sapri Gumara seorang tokoh seniman dan budayawan tanah Gayo di bantu sejumlah aktivis pemerhati budaya terus melakukan upaya agar, agar proses adat melengkan dan tradisi tepung tawar dan lain sebagainya dapat kembali seperti semula. Selanjutnya proses akad nikah juga bisa di lakukan seperti sedia kala. Langkah langkah gerilyapun harus di tempuh, karena menurut Gumara Majelis adat aceh (MAA) sudah memberikan sinyal positif kearah itu. Tentu semua itu harus melalui mekanisme dan kerja keras semua pihak melalui proses dan waktu yang panjang untuk menyelesaikannya tuturnya kepada sejumlah awak media seniman dan budayawan pada pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) dalam sesi penyerahan Rempele di Anjungan Kabupaten Aceh Tengah beberapa waktu yang lalu. (Hamdani)