KEDUDUKAN UTANG UPAH PEKERJA DALAM KEPAILITAN *

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

HAK-HAK NORMATIF PEKERJA PADA PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA TENAGA KERJA YANG DI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) AKIBAT DARI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. Kontribusi wajib ini bersifat memaksa dan diatur dengan undang-undang.

PENGARUH UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN UNDANG- UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITUR PAILIT

AKIBAT HUKUM BERAKHIRNYA HUBUNGAN KERJA PADA PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

Revillia Wulandari S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya

Oleh: Dicki Nelson ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

KETENTUAN PENANGGUHAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH KREDITUR SEPARATIS AKIBAT ADANYA PUTUSAN PAILIT. Oleh :

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

KEPAILITAN PERUSAHAAN INDUK TERHADAP PERUSAHAAN ANAK DALAM GRUP

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera demi mewujudkan suatu keadilan sosial, dengan cara pemenuhan. layak bagi seluruh rakyat Indonesia. 1

PEMBERLAKUAN UMK (UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA) TERHADAP KESEJAHTERAAN PEKERJA/BURUH

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR SEPARATIS ATAS TAGIHAN UPAH BURUH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XI/2013

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

Implementasi UU 13/2003 terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Perusahaan Dinyatakan Pailit

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

PRINSIP DEBT FORGIVENESS DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

Keywords: Breakaway-Creditors Bankruptcy-Wages Of Laborers. JOM Fakultas Hukum Volume IV No. 2 Oktober 2017 Page 1

Oleh Gede Irwan Mahardika Ngakan Ketut Dunia Dewa Gede Rudy Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN TENAGA KERJA ASING DI PERUSAHAAN INDONESIA YANG BERADA DALAM KEADAAN PAILIT ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

JURNAL PEMENUHAN HAK BURUH PADA PERUSAHAAN YANG MENGALAMI PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

HAK HAK KARYAWAN PADA PERUSAHAAN PAILIT (STUDI TENTANG PEMBERESAN HAK KARYAWAN PADA KASUS PERUSAHAAN PT. STARWIN) SKRIPSI

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYAWAN OUTSOURCING JIKA PERUSAHAAN TIDAK MEMBERIKAN TUNJUNGAN HARI RAYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA (NATUURLIJKE PERSOON) DALAM HUKUM KEPAILITAN TERKAIT ADANYA ACTIO PAULIANA

BAB I PENDAHULUAN. maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara. sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaaan.

TANGGUNG JAWAB KURATOR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT DI KABUPATEN BADUNG

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA PARUH WAKTU APABILA TERJADI KECELAKAAN KERJA

Oleh Anak Agung Lita Cintya Dewi I Made Dedy Priyanto Ida Bagus Putu Sutama. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR PENERIMA

BENTUK-BENTUK PRAKTIK OUTSOURCING DALAM UNDANG- UNDANG KETENAGAKERJAAN

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan

AKIBAT PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN KEKUATAN HUKUM SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA YANG DITERBITKAN OLEH KANTOR PENDAFTARAN FIDUSIA

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

TINJAUAN TENTANG KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT HAK TANGGUNGAN APABILA ADA PERLAWANAN DARI DEBITUR WANPRESTASI

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

KEWAJIBAN PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT TERHADAP HUTANG PAJAK YANG BELUM DIBAYAR (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

EKSEKUSI KREDIT MACET TERHADAP HAK TANGGUNGAN

KEDUDUKAN RISALAH LELANG SEBAGAI UPAYA HUKUM PENEGAKAN HAK-HAK KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

Oleh : A.A. Nandhi Larasati Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITOR

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MEMPUNYAI IKATAN PERKAWINAN DALAM PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

PERALIHAN DAN HAPUSNYA HAK DAN TANGGUNGAN ATAS TANAH

KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

Dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara terperinci mengenai tingkatan. memberikan hak yang istimewa kepada kreditur/ pedagang yang mendapati

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

AKIBAT HUKUM KEPAILITAN SUAMI/ISTRI TERHADAP HARTA BERSAMA SUAMI-ISTRI TANPA PERJANJIAN KAWIN. Oleh Putu Indi Apriyani I Wayan Parsa

PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT OLEH MAHKAMAH AGUNG TERKAIT DENGAN PUTUSAN PAILIT PT. DIRGANTARA INDONESIA

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 2 Nomor 10 (2013) Copyright 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM. Nomor : 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT TERHADAP PIHAK KETIGA 1 Oleh : Ardy Billy Lumowa 2

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. membayar ganti rugi atau disebut dengan penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik atau wederkerig

PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI

SUBROGASI SEBAGAI UPAYA HUKUM TERHADAP PENYELAMATAN BENDA JAMINAN MILIK PIHAK KETIGA DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUSAHA YANG MELAKUKAN PENAHANAN UPAH KEPADA PEKERJA YANG TIDAK DISIPLIN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

KEPAILITAN DEBITUR YANG TERIKAT PERKAWINAN YANG SAH DAN TIDAK MEMBUAT PERJANJIAN PERKAWINAN ABSTRACT

KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUSAHA YANG MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KEPADA PEKERJA YANG SAKIT

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT. Saryana * ABSTRACT

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DALAM HUKUM KEPAILITAN. A. Klasifikasi Kreditor Dalam Hukum Kepailitan

Universitas Kristen Maranatha

Transkripsi:

KEDUDUKAN UTANG UPAH PEKERJA DALAM KEPAILITAN * Oleh: Kadek Sutrisna Dewi** I Ketut Markeling*** Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Kepailitan ialah suatu putusan pengadilan yang mengakibatkan adanya sita umum terhadap kekayaan debitur. Ketika terjadinya suatu kepailitan, hak pekerja harus tetap diperhatikan. Undang-Undang Ketenagakerjaan menempatkan pekerja sebagai kreditur yang haknya harus didahulukan pembayarannya. Namun Undang-Undang Kepailitan tidak mengatur bahwa pekerja mempunyai hak untuk didahulukan dari kreditur lainnya. Hal ini tentu mengakibatkan ketidakpastian kedudukan pekerja dalam memperoleh pembayaran utang upahnya. Penulisan ini secara khusus membahas mengenai kedudukan utang upah pekerja ketika terjadinya kepailitan, serta membahas mengenai kedudukan utang upah pekerja dalam hal terjadinya kepailitan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Penulis membahas permasalahan tersebut dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Melalui metode penelitian hukum normatif, penulis mengkaji lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Kepailitan. Adanya pertentangan norma dalam kedua undangundang tersebut mengakibatkan ketidakpastian kedudukan pekerja sebagai kreditur yang harus didahulukan pembayaran utang upahnya ketika terjadinya kepailitan suatu perusahaan. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 telah mempertegas kedudukan pekerja sebagai kreditur preferen dengan hak istimewa yang harus didahulukan pembayaran utang upahnya dari kreditur lain ketika terjadi kepailitan. Kata Kunci: Kepailitan, Pekerja, Utang Abstract Bankruptcy is a court decision that results in a general confiscation of the debtor s wealth. When the occurrence of a bankruptcy, the right of workers must be kept in mind. The Manpower Act places workers as creditor whose rights * Tulisan ini bukan merupakan ringkasan skripsi **Kadek Sutrisna Dewi adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: sutrisnadewi865@gmail.com ***I Ketut Markeling, dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: ktmarkeling@gmail.com 1

should take precedence over the payment. But The Bankruptcy Act does not regulate that workers has the right to take precedence over the other creditor. This certainly leads to the uncertainty of the position of workers in obtaining payment of wage debt. This paper specifically discusses the position of debt wages of worker when then occurence of bankruptcy, and discusses the position of debt wages of workers in the event of bankruptcy post Constitutional Court Decision Number 67/PUU-XI/2013. The author discusses these problems by using normative legal research methods. Through normative legal research methods, the authors further review the provisions contained in The Manpower Act and The Bankruptcy Act. The contradiction of norms in both acts resulted in the uncertainty over the position of the workers as creditor who must prioritize the payment of debt wages when a bankruptcy occurs a company. After the decision of the Constitutional Court Number 67/PUU-XI/2013 has reinforced the position of the worker as a preferential creditor with the privilege of having to prioritize payment of wages from other creditors in the event of bankruptcy. Keywords: Bankruptcy, Worker, Debt I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pekerja merupakan salah satu faktor pendukung terpenting pembangunan nasional. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, keadilan, serta kemakmuran yang merata baik secara materiil maupun spiritual. 1 Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan) menentukan bahwa Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sebagai salah satu faktor pendukung dalam pembangunan nasional tentu saja pekerja memiliki peran yang penting sehingga perlu diadakan perlindungan terhadap hak-hak pekerja. Perlindungan terhadap hak-hak pekerja tersebut tidak hanya dilakukan selama masa kerja pekerja dalam suatu perusahaan, melainkan hak pekerja juga perlu dilindungi dalam keadaan mendesak, seperti misalnya dalam hal terjadinya kepailitan terhadap suatu perusahaan. 1 Asri Wijayanti, 2015, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, h.6. 2

Kita ketahui bersama bahwa kepailitan merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dihindari oleh perusahaan manapun. Pailit merupakan suatu kondisi ketidakmampuan seorang debitur dalam melakukan pembayaran terhadap utang-utang para krediturnya. 2 Kepailitan merupakan solusi bagi seorang debitur yang sudah tidak mampu lagi membayar utang-utang kepada krediturnya. 3 Ketika suatu perusahaan dinyatakan pailit, maka pekerja akan menjadi bagian kreditur dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, kreditur tersebut akan diposisikan sebagai kreditur preferen yang memperoleh pelunasan haknya dengan mendahului para kreditur lainnya. Ketentuan mengenai pekerja didahulukan pembayaran utang upahnya diatur dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Meskipun berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang- Undang Ketenagakerjaan telah mengatur hak pekerja untuk didahulukan dari kreditur lainnya, namun terjadinya kepailitan dalam suatu perusahaan tetap merupakan ancaman serius pekerja. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur secara tegas mengenai kedudukan utang upah pekerja yang harus didahulukan pembayarannya dari kreditur lain. Sehingga hal tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi pekerja untuk memperoleh haknya agar didahulukan pembayaran utang upahnya dari kreditur lainnya. Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Kepailitan sama-sama merupakan peraturan perundangundangan yang mengatur secara khusus, sehingga dalam penerapannya tidak dapat digunakan asas prioritas karena kedua 2 Hadi Shubhan, 2009, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana, Jakarta, h. 1. 3 Ibid, h.2. 3

undang-undang tersebut memiliki kedudukan yang sama. Hal ini tentu saja mengakibatkan adanya pertentangan norma yang menimbulkan adanya ketidakpastian hukum bagi pekerja dalam memperoleh haknya. Ketidakpastian hukum tersebut mendorong keinginan pekerja untuk melakukan pengujian undang-undang ketenagakerjaan agar memperoleh tafsiran yang tepat berkenaan dengan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai frasa didahulukan pembayarannya. Sehingga dengan diberikannya penafsiran atas frasa tersebut dapat memberikan kepastian hukum bagi pekerja dalam memperoleh haknya. Setelah diadakan pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah memperjelas kedudukan utang upah pekerja sebagai kreditur preferen dengan hak istimewa yang harus didahulukan dari kreditur lainnya. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan hukum terkait kedudukan utang upah pekerja ketika terjadinya suatu kepailitan dalam sebuah jurnal ilmiah yang berjudul KEDUDUKAN UTANG UPAH PEKERJA DALAM KEPAILITAN 1.2 Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini memiliki 2 (dua) tujuan penting. Pertama, melalui makalah ini penulis hendak mengkaji mengenai kedudukan utang upah pekerja dalam hal terjadinya kepailitan. Kedua, melalui makalah ini penulis juga hendak mengkaji mengenai kedudukan utang upah pekerja dalam hal terjadinya kepailitan pasca Putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013. 4

II. ISI MAKALAH 2.1 Metode Penelitian Penulisan makalah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif pada intinya mengkaji berdasarkan bahan kepustakaan 4 dengan objek penelitiannya adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tenaga kerja, ketentuan umum perpajakan, serta kepailitan. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penilitian ini meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang dipergunakan bersumber dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tenang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Bahan hukum sekunder berguna sebagai petunjuk untuk mengarahkan langkah penulis dalam melakukan penelitian. 5 Bahan hukum sekunder yang dipergunakan meliputi buku-buku yang berkaitan dengan hukum, dan jurnal ilmiah. 2.2 Hasil dan Analisa Masalah 2.2.1 Kedudukan utang upah pekerja dalam kepailitan Karyawan/Pegawai merupakan istilah bagi seseorang yang bekerja pada instansi pemerintahan maupun pada perusahaan swasta. Sedangkan untuk pekerja kasar seperti tukang bangunan, kuli, mandor, dan para pekerja di luar kantor disebut dengan 4 Amiruddin, Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.119. 5 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h.155. 5

istilah buruh. 6 Istilah yang memiliki perbedaan tersebut lazim digunakan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan). Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak ditemukan kembali perbedaan dalam hal pemberian istilah bagi para pekerja. Ketiadaan perbedaan ini semata-mata dicanangkan agar dapat menjamin adanya persamaan kedudukan para pekerja dalam sektor manapun, serta pemerintah dapat secara merata memberikan perlindungan terhadap hak-hak setiap pekerja tanpa membeda-bedakan kedudukannya. Salah satu perlindungan hukum yang harus didapatkan oleh pekerja yakni pada saat terjadinya kepailitan terhadap suatu perusahaan. Perlindungan hukum terhadap hak pekerja ketika suatu perusahaan telah dinyatakan pailit yakni berkaitan dengan pemberian/pembayaran upah dan pemberian pesangon terhadap pekerja yang bersangkutan. Ketika suatu perusahaan telah dinyatakan pailit, maka pekerja pada perusahaan yang bersangkutan akan menjadi kreditur yang mempunyai hak harta pailit perusahaan. 7 Hukum kepailitan mengatur dua golongan kreditur, yakni Kreditur preferen dan kreditur konkuren. Kreditur preferen terbagi lagi menjadi dua bagian, yang terdiri dari kreditur pemegang hak jaminan dan kreditur dengan hak istimewa. Masing-masing kreditur memiliki kedudukan hukum yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, tergantung jenisnya serta berkaitan dengan prioritas dalam memperoleh haknya atas 6 Lalu Husni, 2016, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.45. 7 Hadi Shubhan, op. cit., h. 172 6

pelunasan piutang yang dimiliki dari debitur. 8 Kreditur preferen merupakan kreditur yang memiliki hak preferensi, yaitu hak untuk lebih diprioritaskan dalam pelunasan piutangnya daripada kreditur konkuren. Sebagai salah satu kreditur dari suatu perusahaan yang telah dinyatakan pailit, pekerja dapat diklasifikasikan sebagai kreditur preferen, yang mempunyai hak untuk didahulukan dalam hal pembayaran piutangnya. Hal ini diatur berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan menghendaki gaji atau upah serta hak-hak lainnya dari seorang pekerja dalam hal terjadinya kepailitan pada suatu perusahaan merupakan utang perusahaan yang harus didahulukan pembayarannya. Namun, ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak dapat secara serta merta memposisikan pekerja sebagai satu-satunya kreditur yang harus didahulukan pembayaran haknya. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan tidak secara tegas mengatur mengenai hak pekerja untuk didahulukan pembayaran utang upahnya dari kreditur lain dalam kepailitan. Mengenai utang upah pekerja diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Kepailitan. Akan tetapi, dalam pasal tersebut hanya mengatur bahwa upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang 8 Sutan Remy Sjahdeini, 2016, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, Prenadamedia Group, Jakarta, h.13. 7

harta pailit. Tidak adanya kejelasan kedudukan utang upah pekerja dalam Undang-Undang Kepailitan tersebut tentu menimbulkan problematika dalam penyelenggaraan ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, mengingat pasal tersebut memiliki kaitan yang erat dengan Undang-Undang Kepailitan. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur bahwa setiap kreditur mempunyai kedudukan yang sama dengan kreditur lainnya, kecuali undang-undang menentukan bahwa kreditur tersebut harus didahulukan daripada kreditur lainnya. Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa hak didahulukan dimiliki oleh kreditur yang haknya diatur oleh undang-undang. Lebih lanjut lagi, Pasal 1133 KUH Perdata menentukan bahwa hak untuk didahulukan dari para kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai, dan pada hipotek. Pasal 1134 KUH Perdata menentukan bahwa Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Sehingga dalam pelunasan utang oleh debitur, maka pemegang hak istimewa harus didahulukan dari kreditur lainnya. Undang-Undang Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa pekerja memiliki hak untuk didadulukan pembayaran utang upahnya dari kreditur lain, akan tetapi Undang-Undang Kepailitan tidak mengatur secara tegas mengenai hak pekerja untuk didahulukan dalam pembayaran utang upahnya. Hal tersebut tentu saja menimbulkan pertentangan antara Undang-Undang Kepailitan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adanya pertentangan yang terdapat dalam Undang-Undang 8

Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang Kepailitan tersebut telah berimplikasi pada tidak terciptanya kepastian hukum bagi pekerja dalam memperoleh hak-haknya. Permasalahan kedudukan utang upah pekerja dalam memperoleh haknya untuk didahulukan dari kreditur lain juga terjadi akibat adanya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan dan PKPU), khususnya yang terdapat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) serta Pasal 138 undang-undang tersebut, karena tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi pekerja/buruh. 9 Ketentuan dalam undang-undang tersebut telah mengesampingkan kedudukan utang upah bagi pekerja sebagai kreditur preferen yang haknya harus didahulukan, dengan lebih mengutamakan kepentingan dari kreditur separatis. Pada saat pekerja dihadapkan dengan kreditur separatis, dimana dalam praktiknya hak kreditur separatis cenderung lebih diutamakan daripada pembayaran gaji atau upah dari pekerja yang berkedudukan sebagai kreditur preferen. 10 Tidak adanya jaminan kepastian hukum akibat pertentangan undang-undang tersebut mengakibatkan pada praktiknya suatu perusahaan yang mengalami kepailitan lebih mendahulukan pembayaran hak-hak negara serta hak kreditur separatis. Hal ini tentu saja mengakibatkan hak-hak pekerja dikesampingkan ketika suatu perusahaan dinyatakan pailit. Adanya pertentangan norma antara Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang Kepailitan tersebut, berimplikasi terhadap tidak jelasnya kedudukan utang upah 9 Tri Budiyono, Problematika Posisi Buruh Pada Perusahaan Pailit, Vol.42. No. 3, 2013, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Semarang, h. 416-425. 10 Ibid. 9

pekerja ketika terjadi kepailitan terhadap suatu perusahaan, yang tentu saja akan menghambat diperolehnya hak pekerja serta tidak terjaminnya perlindungan hak pekerja. 2.2.2 Kedudukan utang upah pekerja dalam kepailitan pasca Putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013 Menurut pengaturan dalam KUH Perdata, apabila dalam suatu pelunasan utang oleh debitur ditentukan adanya kreditur dengan hak istimewa yang pembayaran utangnya harus dilunasi terlebih dahulu, maka urutan pelunasan utang kreditur oleh debitur yaitu, pertama kreditur yang memiliki hak istimewa, kedua kreditur yang memiliki piutang dengan hak jaminan, dan terakhir kreditur konkuren. 11 Sehingga kreditur pemegang hak istimewa akan didahulukan pembayaran haknya oleh debitur. Menurut ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, ketika terjadi kepailitan maka hak-hak pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya, sehingga pekerja dapat dikategorikan sebagai kreditur preferen dengan hak istimewa. Meskipun ketentuan pasal tersebut telah memberikan jaminan perlindungan bagi hak pekerja untuk didahulukan pembayarannya, namun kedudukan pekerja sebagai kreditur preferen masih belum jelas dalam implementasinya. Hal ini dikarenakan pekerja bukan merupak satu-satunya pemegang hak istimewa, selain pekerja terdapat pula kreditur lain yang memiliki hak istimewa, misalnya negara dalam hal pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) Undang- Undang Ketentuan Umum Perpajakan juncto Pasal 1137 ayat (1) KUH Perdata. Terlebih lagi dalam Undang-Undang Kepailitan tidak mengatur mengenai hak seorang pekerja untuk didahulukan 11 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, h.16. 10

pembayaran utang upahnya dari kreditur lain. Sehingga dalam menerima haknya, pekerja masih harus menunggu pembayaran hak negara serta hak dari kreditur separatis. Ketidakpastian kedudukan utang upah pekerja dalam memperoleh jaminan perlindungan haknya ketika terjadi kepailitan tentu menimbulkan keresahan bagi pekerja. Permasalahan tersebut akan berimplikasi pada terabaikannya hak pekerja untuk memperoleh penghidupan yang layak. Namun, keresahan pekerja untuk memperoleh haknya sebagai kreditur preferen dengan utang yang harus didahulukan pembayarannya, telah terjamin setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 telah membawa kepastian hukum bagi kedudukan utang upah pekerja dalam kepailitan suatu perusahaan. Melalui putusannya tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memberikan penafsiran yang jelas sekaligus merevisi ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang- Undang Ketenagakerjaan sehingga ketentuan dalam pasal tersebut dimaknai: pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hakhak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis. Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja, dimana pembayaran upah atau gaji pekerja harus didahulukan pembayarannya terhadap seluruh kreditur termasuk atas tagihan 11

kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU- XI/2013, telah memperjelas bahwa pekerja memiliki kedudukan sebagai kreditur preferen dengan hak istimewa. Adanya hak istimewa tersebut memberikan kepastian kepada pekerja untuk didahulukan pembayaran gaji atau upahnya atas semua jenis kreditur, termasuk kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah. Sedangkan pembayaran hak lainnya dari pekerja didahulukan pembayarannya terhadap hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali terhadap hak kreditur separatis. Menurut pendapat Mahkamah Konstitusi, pekerja harus ditempatkan dalam urutan pertama yang harus diprioritaskan dari kreditur lainnya. Hal ini dikarenakan hak pekerja untuk memperoleh gaji atau upah atas kerja kerasnya semata-mata diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi dirinya sendiri serta kehidupan keluarga dari pekerja yang bersangkutan. Berdasarkan berbagai pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi telah secara tegas memberikan perlindungan terhadap hak pekerja dengan memberikan kepastian hukum untuk memprioritaskan hak pekerja agar dapat memperoleh haknya sendiri dalam hal perusahaan yang bersangkutan mengalami kepailitan. Melalui putusan tersebut semakin menguatkan hak pekerja untuk memperoleh hak sebagai kreditur preferen dengan hak istimewa yang didahulukan dari semua jenis kreditur yang ada. 12

III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dalam proses penyelesaian utang upah pekerja ketika perusahaan dinyatakan pailit, Undang-Undang Kepailitan tidak mengatur secara tegas mengenai hak pekerja untuk didahulukan pembayaran utang upahnya dari kreditur lainnya. Sehingga dalam Undang-Undang Kepailitan, pekerja digolongkan sebagai kreditur konkuren. Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 telah mempertegas kedudukan utang upah pekerja sebagai kreditur preferen, yakni kreditur dengan hak istimewa. Melalui hak istimewa yang dimiliki oleh pekerja dalam hal terjadinya kepailitan, pembayaran terhadap utang upah pekerja didahulukan dari semua kreditur lainnya, termasuk dari kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang maupun badan umum yang dibentuk oleh pemerintah. 3.2 Saran Ketidakpastian kedudukan utang upah pekerja/buruh sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU- XI/2013 merupakan salah satu bukti bahwa masih banyak hal yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu produk hukum agar dapat menjamin kepastian hukum. Oleh sebab itulah, diharapkan pembentuk undangundang dapat melakukan revisi terhadap Undang-Undang Kepailitan agar secara tegas mengatur mengenai hak pekerja untuk didahulukan pembayaran utang upahnya dari kreditur lain, agar kesejahteraan pekerja dapat tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan. Meskipun dalam praktiknya sudah ada Mahkamah Konstitusi sebagai suatu lembaga yang berwenang untuk menguji 13

suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki permasalahan dalam suatu rumusan, namun akan lebih baik lagi apabila suatu undang-undang telah memiliki rumusan yang jelas sehingga tidak menimbulkan kekaburan norma maupun konflik norma antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lainnya. Sehingga dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan pemerintah harus lebih teliti dan memperhatikan produk hukum lain yang juga berkaitan dengan produk hukum yang akan dibentuk, agar tercapainya kesesuaian rumusan peraturan perundang-undangan dan tidak menimbulkan adanya pertentangan norma. Daftar Pustaka A. Buku Amiruddin, Asikin, Zainal, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Husni, Lalu, 2016, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Shubhan, Hadi, 2009, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana, Jakarta. Sjahdeini, Sutan Remy, 2016, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, Prenadamedia Group, Jakarta. Wijayanti, Asri, 2015, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta. B. Jurnal Budiyono, Tri, Problematika Posisi Buruh Pada Perusahaan Pailit, Vol.42. No. 3, 2013, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Semarang. 14

C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tenang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. D. Bahan Hukum Lainnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. 15