I. PENDAHULUAN. Peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat dengan kian

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan program Konversi minyak tanah ke LPG yang ditetapkan oleh

I. PENDAHULUAN. menjadikan Indonesia sebagai salah satu anggota OPEC (Organization of. Tabel 1. Kondisi Perminyakan Indonesia Tahun

PENDAHULUAN. Sumber : OPEC dalam Nasrullah (2009) Gambar 1 Perkembangan harga minyak dunia.

Tugas Akhir Universitas Pasundan Bandung BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan minyak tanah dalam kehidupannya sehari hari.

I. PENDAHULUAN. Dengan semakin bertambahnya populasi penduduk dunia, menyebabkan kebutuhan akan

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

BABI PENDAHULUAN. Seiring perkembangan sektor-sektor perekonomian dan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan modern sekarang ini, kita hidup dalam kondisi

KEBIJAKAN DAN ALOKASI ANGGARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

DATA DAN INFORMASI MIGAS

LAPORAN KEGIATAN PENYULUHAN KONVERSI PENGGUNAAN MINYAK TANAH KE GAS LPG 3 KILOGRAM DI KECAMATAN SAIL PEKANBARU. Oleh : Marzolina.SE.

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai masalah dalam berbagai sektor

PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN, DAN PENETAPAN HARGA LPG TABUNG 3 KILOGRAM

Progress Report Konversi Minyak Tanah ke LPG. Agustus 2007

Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi

ANALISIS KARAKTERISTIK KONSUMSI ENERGI PADA SEKTOR RUMAH TANGGA DI INDONESIA. Yano Hurung Anoi

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI

ANALISIS KARAKTERISTIK KONSUMSI ENERGI PADA SEKTOR RUMAH TANGGA DI INDONESIA

WALIKOTA JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 10 TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). 1

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012

BEBAN SUBSIDI BBM DALAM APBN TAHUN 2013

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG DI KELURAHAN TERBAN KECAMATAN GONDOKUSUMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari fosil hewan dan tumbuhan yang telah terkubur selama jutaan tahun.

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar

Sembuh Dari Penyakit Subsidi BBM: Beberapa Alternatif Kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Konversi energi dari minyak tanah ke gas adalah program nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyebabkan perusahaan harus menghadapi persaingan yang ketat, termasuk

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut UU No. 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah,

BAB III GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. Pertamina adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki

I. PENDAHULUAN. Sikap merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial karena manusia selalu

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Pengendalian. Pengguna. Bahan Bakar Minyak.

KAJIAN KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Pendistribusian LPG. Pembinaan. Pengawasan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang sarana transportasi.sektor transportasi merupakan salah satu sektor

BUPATI DEMAK PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG

PENDAHULUAN. Latar Belakang

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber

PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL. Agus Nurhudoyo

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Dalam periode 2005

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Konversi BBM ke BBG: Belajar dari Pengalaman Sebelumnya

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KULIAH UMUM DALAM SEKTOR PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL. DISAMPAIKAN OLEH : ALVIN LIE, MSi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SOLUSI KEBIJAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN GAS DOMESTIK

I. PENDAHULUAN. Kelangkaan sumber bahan bakar merupakan masalah yang sering melanda

KEBIJAKAN KONVERSI BAHAN BAKAR GAS UNTUK KENDARAAN BERMOTOR

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. Dalam UUD 1945 pasal 33, Negara harus menjamin perekonomian nasional dan

Uka Wikarya. Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat,

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG 3 KG DI KELURAHAN TENGAH KECAMATAN MEMPAWAH HILIR KABUPATEN PONTIANAK

Mengapa Harga BBM Harus Naik?

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014

Subsidi BBM pada APBN. Komposisi Subsidi pada APBN 55% 50% 44% 44% 43% 35% 33% 33% APBN APBN LKPP LKPP LKPP APBN. Perkembangan Subsidi BBM ( )

MENTERl ENERGI DAN SUMBIER DAYA MINERAL REPUB!,EK INDONESIA

BAB III PENUTUP. belum maksimal, karena meskipun pihak PT Pertamina Persero sudah

TINJAUAN PUSTAKA. dan permintaan BBM, sejarah subsidi BBM, subsidi energi di negara lain, serta. studi terdahulu tentang subsidi BBM dan kemiskinan.

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENGHEMATAN ENERGI DAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENGATUR HILIR MINYAK DAN GAS BUMI. PERATURAN BADAN PENGATUR HILIR MINYAK DAN GAS BUMI NOMOR : 17/P/BPH Migas/VIII/2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. nasional diberbagai lapangan usaha. Perkembangan UMKM & Usaha Besar

WAJIBKAN INDUSTRI MEMRODUKSI MOBIL BER-BBG: Sebuah Alternatif Solusi Membengkaknya Subsidi BBM. Oleh: Nirwan Ristiyanto*)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 46 SERI E

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Mata Pencaharian Berkelanjutan (Sustainable Livelihood)

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG HARGA JUAL ECERAN DAN KONSUMEN PENGGUNA JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang dari penelitian penulis ini ialah harga Liquefied Petroleum Gas

BAB I PENDAHULUAN. minyak tanah ke elpiji ini di akibatkan harga minyak tanah yang semakin mahal

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Tata Cara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ini semakin menarik untuk dicermati, karena terjadi fluktuasi harga BBM

BAB I PENDAHULUAN. Tentang Minyak dan Gas Bumi, industri migas terdiri dari usaha inti (core business)

BAB I PENDAHULUAN. terus menerus akan mengakibatkan menipisnya ketersediaan bahan. konsumsi energi 7 % per tahun. Konsumsi energi Indonesia tersebut

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENETAPAN DAN PENANGGULANGAN KRISIS ENERGI DAN/ATAU DARURAT ENERGI

Pemanfaatan Potensi Geotermal Sebagai Bentuk Ketahanan Energi di Indonesia

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENGHEMATAN ENERGI DAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat dengan kian berkembang kegiatan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Permasalahan energi bagi kelangsungan hidup manusia merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia. Dengan keterbatasan sumber daya alam di dunia dimana cadangan energi yang kian menipis khususnya bahan bakar minyak (BBM). Tidak lagi ditemukan cadangan dalam jumlah yang besar pada rentang waktu terakhir ini serta dengan semakin melambungnya harga minyak dunia, membuat hampir seluruh negara berupaya mengoptimalkan sumber energi yang mungkin untuk diproduksi sendiri guna mengurangi ketergantungan dari negara lain. Untuk skala dunia, saat ini ada sekitar 1,6 milyar penduduk yang masih mengalami kesulitan akses terhadap listrik, dan sekitar 2,4 milyar penduduk masih bergantung pada bahan bakar tradisional biomassa untuk memasak dan pemanas. Berdasarkan perkiraan sampai dengan tahun 2030 masih akan ada sekitar 1,4 milyar penduduk yang mengalami kesulitan akses terhadap listrik, turun sekitar 200 juta dari kondisi saat ini dan lebih dari 2,6 milyar penduduk akan masih bergantung pada bahan bakar biomassa (Nuryanti, 2007). Berdasarkan catatan World Energi Outlook 2002, ada sekitar 20% penduduk terkaya di dunia menggunakan 55% energi primer, sedangkan sekitar 20% penduduk termiskin menggunakan energi primer sekitar 5% saja (Saghir, 2005 dalam Nuryanti, 2007).

Di Indonesia sendiri dengan pertumbuhan penduduk yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan pertumbuhan ekonomi yang terus berlangsung yang ditunjukkan oleh kian bertambahnya output dengan beragam aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat, maka peningkatan kebutuhan energi adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Dalam kurun waktu antara tahun 1990 sampai dengan 2005, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mencatat terjadinya pertumbuhan yang cukup substantial dalam permintaan energi final (termasuk biomassa) di Indonesia, yaitu dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar 4,08% per tahun. Pada tahun 2005, konsumsi energi final mencapai angka sekitar 863.750 ribu satuan barel minyak (SBM). Pangsa pemakaian energi final walaupun tidak melakukan aktivitas produksi bersifat komersial, sektor rumah tangga merupakan sektor pemakai energi final terbesar diantara sektor lainnya (Hidayat, 2005). Pada tahun 1990, sektor rumah tangga mengkonsumsi 56,5% dari total energi final. Memasuki tahun 1995 proporsi pemakaiannya mulai menurun menjadi 49,5% dan kecenderungan penurunan ini terus berlangsung, bahkan pada tahun 2005 tingkat pemakaian energi final oleh rumah tangga menjadi 36,5% atau sekitar 315.135 ribu SBM. Kian menurunnya pemakaian energi final di sektor rumah tangga ini bukan dikarenakan penurunan pemakaian energi di rumah tangga, namun lebih disebabkan oleh terjadinya pertumbuhan sektor industri dan transportasi yang sangat pesat sehingga menyebabkan besaran konsumsi energi final menjadi bertambah besar. Konsumsi energi sektor rumah tangga adalah seluruh konsumsi energi untuk keperluan rumah tangga tidak termasuk konsumsi untuk kendaraan pribadi. Konsumsi energi untuk kendaraan pribadi dimasukkan ke dalam kelompok pengguna sektor 2

transportasi. Konsumsi energi untuk keperluan rumah tangga tersebut 71,7% diantaranya atau sebesar 225.848 ribu SBM adalah energi tradisional yakni energi yang berasal dari kayu bakar, arang dan briket. Pola konsumsi energi non minyak/biomassa di sektor rumah tangga lebih terkonsentrasi pada penggunaan kayu bakar rata-rata 73,6% per tahun dari total energi rumah tangga. Sementara briket yang sudah diperkenalkan secara luas kepada masyarakat sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah untuk memasak pada tahun 2005 tingkat penggunaannya hanya 0,03% dari seluruh energi rumah tangga. Dilihat dari pertumbuhan pun dari tahun 1993 sampai 2005 tidak mengalami perubahan hanya berkisar 0,03%. Sama halnya dengan briket, konsumsi LPG dan gas kota juga tingkat penggunaanya masih relatif kecil. Pada tahun 1990, tingkat penggunaan LPG oleh rumah tangga hanya 0,42%, sementara gas kota hanya 0,02%. Limabelas tahun berturut-turut proporsi penggunaan LPG pertumbuhan rata-ratanya hanya 1,18%, gas kota hanya 0,03%. Lain halnya dengan minyak tanah proporsi penggunaanya relatif stabil pada tahun 1990, tingkat penggunaannya sebesar 18,43% atau sebesar 39.490 ribu SBM limabelas tahun kemudian yakni tahun 2005 proporsi penggunaannya sebesar 18,87% atau sebebesar 59.459 ribu SBM. Beberapa faktor yang menyebabkan pola konsumsi di sektor rumah tangga lebih terkonsentrasi pada penggunaan minyak tanah dan kayu bakar, yaitu : (1) faktor harga, minyak tanah dan kayu bakar merupakan energi dengan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan energi lain yang digunakan untuk keperluan yang sama; (2) faktor pendapatan, sebagian besar rumah tangga di Indonesia berpendapatan rendah dan menengah. Pada kelompok ini, bahan bakar yang terjangkau dan biasa 3

digunakan adalah minyak tanah dan kayu bakar; (3) alasan kepraktisan; (4) kurangnya sosialisasi pemanfaatan energi non minyak (Hidayat, 2005). Jika dilihat dari konsumsi energi final berdasarkan klasifikasi jenis energi, pada kurun waktu 1990 sampai dengan 2005 BBM masih merupakan energi utama yang dikonsumsi oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian energi final merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan rata-rata 4,80% per tahun. Pada tahun 1990 konsumsi sebesar 173.135.825 SBM angka ini adalah 40,21% dari total konsumsi energi final. Limabelas tahun kemudian, pada tahun 2005, konsumsinya meningkat menjadi 347.289.308 SBM. Proporsi pemakaian BBM yang tinggi terkait dengan keterlambatan upaya diversifikasi ke energi non minyak akibat harga BBM yang relatif murah karena masih mendapat subsidi dari pemerintah. Kebijakan pemberian subsidi BBM ini dimulai sejak tahun anggaran 1977/1978 dengan maksud untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional melalui penciptaan stabilitas harga BBM sebagai komoditas yang strategis. Namun dalam perjalannya subsidi BBM ini ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Masyarakat cenderung boros menggunakan BBM dan ada indikasi bahwa alokasi subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang seharusnya tidak perlu mendapatkan subsidi. Sementara peningkatan kebutuhan BBM tersebut ternyata belum diimbangi oleh pertumbuhan produksi minyak dalam negeri, bahkan sejak tahun 1990 hingga 2007 produksi minyak dalam negeri terus mengalami penurunan dengan rata-rata 2,383% per tahun dimana pada tahun 1990 tercatat sebesar 533.562 ribu barrel sementara pada tahun 2007 hanya 348.358 ribu barrel. Untuk mengimbangi 4

peningkatan kebutuhan BBM dalam negeri tersebut pemerintah terpaksa harus mendatangkan/impor dari luar negeri dengan peningkatan rata-rata 6,442% per tahun, tahun 1990 sebesar 46.225 ribu barrel, tahun 2007 menjadi 111.067 ribu barrel. Jika keadaan ini terus berlangsung ditambah lagi dengan harga minyak yang terus melambung tentunya berdampak kepada harga jual minyak di dalam negeri, dan sudah barang tentu subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak yang meliputi premium, minyak tanah, solar, minyak disel dan minyak bakar juga meningkat sehingga membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan devisa negara. Besarnya beban pemerintah Indonesia untuk subsidi BBM mengakibatkan berbagai revisi APBN harus dilakukan agar kegiatan perekonomian dan pemerintahan terus dapat berjalan. Selain itu dampak dari keterbatasan APBN dan devisa negara maka pemerintah dengan terpaksa mengurangi pasokan BBM terutama minyak tanah. Pada tahun 2006 subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk BBM sebesar 64,212 triliun rupiah, 31,580 triliun rupiah diantaranya atau sekitar 49,18% dipergunakan untuk subsidi minyak tanah (DESDM, 2007). Sementara untuk tahun 2007 berdasarkan APBNP subsidi minyak tanah sebesar 28,8 triliun rupiah dari total subsidi BBM sebesar 49,3 triliun rupiah atau sebesar 58,42% (Pertamina, 2007). Untuk mengatasi beban subsidi dan ketergantungan terhadap impor BBM maka pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui program konversi minyak tanah ke LPG. Melalui kebijakan ini diharapkan beban subsidi yang dikeluarkan pemerintah dan ketergantungan terhadap impor dapat dikurangi serta dapat meningkatkan 5

pemanfaatan potensi sumber daya energi dalam negeri yang penggunaannya relatif kecil. Program konversi minyak tanah ke LPG diluncurkan dengan pertimbangan satuan subsidi per kilogram yang lebih kecil dibandingkan subsidi per liter minyak tanah, LPG dipandang sebagai energi altenatif yang aman bagi kesehatan, dan ramah lingkungan (Anonim, 2006 dalam Sunarti 2007). Konversi penggunaan minyak tanah ke LPG dipandang sebagian kalangan sebagai jalan keluar dan langkah yang tepat untuk pengurangan beban devisa negara, juga karena Indonesia memiliki cadangan gas yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal, serta beragam alasan lain terkait kualitas lingkungan, efisiensi dan harga per satuan energi yang dihasilkan (Sunarti, 2007). Sosialisasi program konversi minyak tanah ke LPG mulai dilakukan pemerintah pada bulan Agustus 2006 yang diawali dengan uji coba pasar di kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan target responden 500 ibu rumah tangga (Pertamina, 2007). Uji coba pasar ini dilakukan oleh konsultan independent dengan tujuan untuk : (1) Mengetahui reaksi masyarakat pengguna minyak tanah beserta jalur distribusi; (2) Mengetahui faktor penghambat dan pendorong penggunaan LPG; (3) Mengetahui sensitifitas harga Elpiji 3 kg. Metode yang digunakan dalam uji coba adalah : (1) Responden pengguna minyak tanah dibagikan tabung LPG 3 kg beserta isi, kompor dan perlengkapannya secara cuma-cuma; (2) Responden diajari cara menggunakan kompor dan tabung, handling serta safety; (3) Responden diminta untuk mencoba menggunakan LPG; (4) Responden diamati selama 4 kali pengisian 6

ulang. Setiap kali selesai melakukan pengisian ulang, responden akan diinterview oleh konsultan. Setelah uji pasar tahap pertama dilakukan langkah selanjutnya pemerintah melakukan uji pasar tahap kedua pada bulan Desember 2006 dengan melibatkan jumlah responden yang lebih besar dari uji pasar tahap pertama yakni 25.000 KK. Program yang sesungguhnya dimulai pada bulan Mei 2007, dengan target jumlah KK yang dikonversi pada tahun 2007 adalah 6 juta KK. Untuk mensukseskan program pengalihan minyak tanah ke LPG ini, pemerintah melibatkan berbagai instansi terkait yang masing-masing bertanggungjawab sesuai bidang tugasnya, membentuk tim independen sebagai tim pengarah yang keanggotaannya mewakili instansi-instansi yang terkait dalam program ini, yaitu : (1) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral c.q. Ditjen Migas, sebagai koordinator; (2) Departemen Keuangan, bertanggungjawab dalam penganggaran dalam APBN; (3) Departemen Perindustrian, bertanggungjawab dalam pengadaan tabung; (4) Kementerian Pemberdayaan Perempuan, bertanggungjawab dalam sosialisasi; (5) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, bertanggung jawab dalam pengadaan kompor; (6) Departemen Sosial, bertanggungjawab pengalihan profesi dalam usaha niaga minyak tanah; (7) Badan Pengatur BBM dan Gas Melalui Pipa, bertanggung jawab dalam penarikan minyak tanah pada daerah konversi. Untuk efektifitas pelaksanaan program ini, ditunjuk PT Pertamina (Persero) yang telah mempunyai pengalaman dan infrastruktur pendistribusian BBM, selaku pelaksana program pemerintah dapat menugasi Badan Usaha Nasional lain untuk mempercepat pelaksanaan program ini (Blue Print Program Pengalihan Minyak Tanah ke LPG, DESDM, 2007). 7

Program konversi minyak tanah ke LPG ini memiliki target rumah tangga dan usaha mikro. Target rumah tangga adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan, pengguna minyak tanah murni, kelas sosial C1 ke bawah (keluarga yang berpenghasilan kurang dari 1,5 juta rupiah per bulan), serta penduduk yang sah pada daerah tempat konversi tersebut dilakukan (Tim Studi Pusat Kebijakan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal milik Pemerintah Indonesia, 2008). Sedangkan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan produksinya, penduduk legal dari tempat konversi dilakukan serta memiliki surat keterangan dari kelurahan setempat. Mekanisme konversi minyak tanah ke LPG kepada rumah tangga pengguna minyak tanah dan usaha mikro yaitu : warteg, pedagang martabak, pedagang makanan dalam gerobak (mie ayam, gorengan) dan pedagang baso/mie rebus dilakukan dengan cara (Program Konversi Minyak Tanah ke LPG, Pertamina, 2007) : 1. Untuk rumah tangga pengguna minyak tanah (a) Membagikan secara cuma-cuma tabung LPG 3 kg beserta isi perdana, kompor gas 1 tungku, beserta perlengkapannya (selang, klem dan regulator); (b) Distribusi LPG 3 kg menggunakan jalur distribusi eks minyak tanah, yaitu agen dan pangkalan minyak tanah; (c) Pelaksanaan konversi dengan membagi paket konversi kepada masyarakat dilakukan bertahap dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya; (d) Penarikan minyak tanah dilakukan di daerah yang sudah selesai dicacah dan didistribusikan paket konversi. Penarikan ini dilakukan secara bertahap, untuk memberi kesempatan kepada masyarakat pengguna untuk beradaptasi. 8

2. Untuk kelompok usaha mikro (a) Warteg: dua set kompor khusus (sanggup menahan beban sampai dengan 100 kg) dan perlengkapannya, beserta 2 tabung LPG 3 kg dan isi; (b) Pedagang makanan dalam gerobak: satu kompor gas high pressure, satu tabung LPG 3 kg dan isi; (c) Pedagang martabak: satu kompor gas khusus berlubang banyak, satu tabung LPG 3 kg dan isi; (d) Pedagang baso/mie rebus: satu kompor gas seperti untuk rumah tangga, satu tabung LPG 3 kg dan isi. Sasaran program pengalihan/konversi minyak tanah ke LPG adalah ZERO- KERO 2012. Pengertian Zero-Kero adalah kondisi dimana tidak ada lagi minyak tanah bersubsidi yang digunakan untuk memasak. Sesuai Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2006 maka minyak tanah untuk penerangan tetap tersedia. Selain itu minyak tanah akan tetap dipasarkan dengan harga keekonomian atau ditingkatkan nilai tambahnya menjadi avtur. Terdistribusinya tabung LPG 3 kg untuk 6 juta KK pada tahun 2007 dan sekitar 42 juta KK pada akhir tahun 2012. Meskipun program konversi minyak tanah ke LPG sudah berjalan lebih dari dua tahun yang diawali uji coba pasar pada bulan Agustus dan Desember 2006, melibatkan beberapa instansi pemerintah dan konsultan independen dengan berbagai metode sosialisasi telah dilakukan antara lain melalui penyuluhan langsung kepada masyarakat, iklan layanan masyarkat di lima radio swasta (Radio Delta, Muara, Elangga, Camajaya, RKM Jakarta) dan RRI, dialog interaktif di lima radio swasta dan RRI, iklan layanan masyarakat di dua stasiun televisi swasta dan TVRI (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2009) dengan pesan yang disampaikan LPG lebih mudah dan hemat, aman, bersih, ramah lingkungan dan praktis. Dari uji pasar disimpulkan bahwa program pengalihan akan mendapat 9

dukungan dari masyarakat. Responden menganggap mereka lebih suka menggunakan LPG daripada minyak tanah dengan alasan utama: cepat, hemat, praktis dan bersih (Pertamina, 2007). Telah pula dilakukan penelitian mengenai aspek sosial budaya program konversi BBM dimana kesiapan dan persentase terbesar contoh menganggap program penting dan bersedia berpartisipasi (Sunarti, 2007), serta telah pula dilakukan kajian efektivitas program konversi minyak tanah ke LPG yang dilakukan oleh Tim Studi Pusat Kebijakan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal milik Pemerintah Indonesia, hasil penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa pemakaian LPG lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan minyak tanah sehingga pengguna LPG akhirnya lebih banyak dibandingkan minyak tanah. Namun, dalam kenyataannya belum semua masyarakat pengguna minyak tanah yang menjadi target program konversi minyak tanah ke LPG termotivasi untuk beralih menggunakan bahan bakar LPG. Terbukti sejak diluncurkannya program konversi ini hingga Desember 2008 untuk seluruh Indonesia belum memenuhi target yang telah ditetapkan yakni 15 juta KK dan baru tercapai 6,9 juta KK atau 35,7% (http://energialternatif.ekon.go.id). 1.2 Perumusan Masalah Program konversi minyak tanah ke LPG diluncurkan dengan tujuan selain untuk menghemat anggaran pemerintah, juga untuk menghemat pengeluaran keluarga dan rumah tangga. Namun dalam pelaksanaannya program konversi minyak tanah ke LPG yang dilakukan di beberapa wilayah tidak mudah mengubah perilaku konsumsi energi bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah ke LPG. Tingkat penerimaan dan 10

partisipasi keluarga di berbagai wilayah beragam, dan tingkat partisipasi paling rendah yang dilaporkan adalah 30%. Bahkan disinyalir terdapat sebagian keluarga yang semula mencoba beralih dari minyak tanah ke LPG, kembali menggunakan bahan bakar minyak (Sunarti, 2007). Menurut Sunarti (2007) berbagai penelitian dan kajian mengenai penyebaran (difusi) inovasi untuk diadopsi masyarakat menunjukkan bahwa pada umumnya terdapat beberapa tahap dalam proses difusi inovasi. Hal tersebut memberikan makna perlunya sosialisasi dan pendampingan yang memadai dalam mengintroduksi sebuah perubahan kepada masyarakat. Apalagi jika aspek yang ingin diubah memiliki sensitifitas yang tinggi terkait kebiasaan, kemampuan ekonomi, serta risiko atau keselamatan yang dirasakan masyarakat manakala mengadopsi inovasi yang didifusikan. Kesediaan atau partisipasi keluarga dan atau masyarakat untuk berubah seringkali diawali oleh pengetahuan, persepsi, sikap masyarakat terhadap program atau kegiatan yang diluncurkan. Proses keputusan konsumen selain dipengaruhi sosial dan budaya, juga dipengaruhi pengetahuan, persepsi, motivasi dan sikap. Sikap merupakan faktor penting yang mempengaruhi keputusan seseorang (Sumarwan, 2002). Berdasarkan latar belakang di atas, maka dipandang penting untuk mengetahui pengetahuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap ibu rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar LPG. Untuk itu diperlukan informasi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi dan sikap ibu rumah tangga dalam program konversi minyak tanah ke LPG, serta faktor-faktor yang 11

mempengaruhi ibu rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar LPG, sehingga menimbulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana upaya sosialisasi konversi minyak tanah yang dilakukan pemerintah di desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. 2. Bagaimana pengetahuan ibu rumah tangga mengenai bahan bakar LPG kemasan 3 kg. 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi persepsi dan sikap ibu rumah tangga terhadap bahan bakar LPG kemasan 3 kg. 4. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ibu rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar LPG kemasan 3 kg. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi dan menginventarisasi upaya sosialisasi konversi minyak tanah yang dilakukan pemerintah di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang. 2. Mengidentifikasi pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang mengenai bahan bakar LPG kemasan 3 kg 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap ibu rumah tangga di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang terhadap bahan bakar LPG kemasan 3 kg. 4. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan bahan bakar LPG kemasan 3 kg di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang. 12

1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Badan Pengelola Kegiatan Hilir Minyak dan Gas (BPH MIGAS) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Republik Indonesia dan instansi terkait merumuskan alternatif strategi sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG dalam upaya meningkatkan penggunaan bahan bakar LPG kemasan 3 kg dilingkungan keluarga. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis pengetahuan, persepsi dan sikap serta faktor-faktor yang mempengaruhi ibu rumah tangga terhadap penggunaan bahan bakar LPG. Untuk dapat memberikan gambaran secara umum mengenai faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan ibu rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar LPG kemasan 3 kg, faktor yang dijadikan pertimbangan adalah karakteristik individu/keluarga : umur, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran rumah tangga, jumlah anggota keluarga, jarak/akses tempat tinggal ke pasar kecamatan, persepsi dan sikap terhadap bahan bakar LPG. Responden yang dijadikan objek contoh dalam kajian ini adalah ibu rumah tangga sasaran program konversi minyak tanah ke LPG bertempat tingal di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. 13

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB