I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa dekade terakhir, kecenderungan masyarakat menyenangi produk yang instan dan praktis semakin meningkat, tidak terkecuali untuk pembalut wanita. Para produsen senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan ini dengan memproduksi berbagai jenis pembalut wanita yang siap digunakan atau juga mudah untuk dibuang setelah digunakan. Menurut CIC (1998), hingga akhir tahun 1997 jumlah perusahaan pembalut wanita yang beroperasi di lndonesia diprediksikan sekitar 19 perusahaan. Pelopor industri pembalut wanita adalah PT Softe lndonesia dan memulai produksinya sejak tahun 1970an. Pada tahun 1982 mulai banyak dibangun perusahaan pembalut wanita lainnya, diantaranya adalah perusahaan nasional yang memproduksi produk pembalut wanita di bawah lisensi yang diketahui sebagai produk luar. Beberapa perusahaan asing juga yang dulunya hanya memberikan lisensi, saat ini telah mulai menanamkan modalnya secara langsung. Banyaknya perusahaan pembalut wanita yang beroperasi di lndonesia dengan dukungan sistem distribusi yang baik menyebabkan banyak merek pembalut wanita dapat dengan mudah ditemukan di pasaran. Selain produk domestik, produk impor juga dapat ditemukan di pasaran. Dengan banyaknya merek yang dijumpai di pasar saat ini menunjukkan tingkat persaingan yang sangat ketat sehingga dalam perjalanannya ada beberapa merek yang menghilang dan ada juga yang
muncul sebagai pendatang baru. Merek-merek yang menghilang dan muncul tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini beserta pangsa pasarnya. Tabel 1. Perusahaan Pembalut Wanita, Merek, dan Pangsa Pasar (daiam jutaan pieces) Perusahaan dan Merek 16 17 18 Nidia Panca Usahatama Paramita Trandy Procter & Gamble Indonesia Whisper Rita Sinar lndah Sofree 0.2-32.3 32.3 0.9 0.9 11.3 11.3 9.1 9.1 8.6 8.6 8.4 8.4
Perusahaan dan Merek Carissa Keterangan : - rnerek tersebut tersedia di pasar tetapi pangsa pasarnya tidak tercatat rnerek tenebut tidak tenedia di pasar Surnber: Data tahun 1997 berdasarkan CIC (1998) Data tahun 2002 dan 2003 berdasarkan AC Nielsen 0.2 1 Tabel 1 memperlihatkan bahwa ada produsen yang berhasil dan ada juga yang gagal membangun mereknya di pasar setelah sekian lama. Mempertahankan merek yang sudah kuat pun tidak mudah. Pada saat ini perusahaan dituntut bersaing dalam ha1 menciptakan dan mempertahankan konsumen yang loyal, dan salah satunya adalah melalui persaingan antar merek. Memiliki merek kuat bisa menjamin arus kas yang sangat deras. Dalam banyak hal, nasib perusahaan bahkan ditentukan bukan oleh kekayaan riil atau tangible-nya, tetapi oleh deretan merek yang dimilikinya. Merek-merek ini merupakan kekayaan intangible yang sering kali lebih besar nilainya daripada kekayaan tangible seperti peralatan produksi, gedung, dan sebagainya. Merek berbeda dengan produk. Produk adalah sesuatu yang menawarkan keuntungan fungsional, sedangkan merek adalah sebuah nama, simbol, desain, atau tanda yang meningkatkan nilai suatu produk di
atas nilai fungsionalnya. Sebagai contoh, harga makanan dari gandum dengan merek Quaker Oats pada tahun 1991 adalah 3000 persen lebih tinggi daripada harga dasar produknya. Seperti diketahui bahwa gandum merupakan produk komoditi yang saat itu harga penjualan keseluruhannya menurun 33 persen antara 1980 dan 1990 (Walgren dkk Bertambahnya nilai yang disebabkan oleh merek tersebut menjadi alasan mengapa para pebisnis dan konsumen bersedia membayar dengan harga relatif lebih tinggi. Bertambahnya nilai yang dilakukan oleh merek pada produk dikenal sebagai brand equity atau ekuitas merek (Walgren dkk 1995). Aaker (1991) merumuskan teori mengenai ekuitas merek yang menyatakan bahwa setiap merek pada dasarnya adalah modal (equity) yang nilainya kemungkinan bisa lebih besar daripada modal berupa uang. Untuk mengetahui lebih rinci peran ekuitas merek ini, Aaker merumuskannya sebagai kumpulan aktiva yang berkaitan dengan nama serta simbol sehingga dapat menambah nilai yang disediakan oleh sebuah produk atau jasa bagi perusahaan atau pelanggannya. Beberapa ha1 yang membuat nilai ekuitas merek itu tinggi adalah aspek loyalitas konsumen terhadap merek yang digunakannya (brand loyalty), dikenal secara luas (brand awareness), menimbulkan persepsi tertentu atas kualitas barang (perceived quality), serta diasosiasikan secara positif (brand association). Jadi ekuitas merek menurut Aaker adalah seperangkat aset (dan Jiabilitas) yang terkait dengan suatu merek, nama
dan simbolnya yang mampu menambah (atau mengurangi) nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik kepada perusahaan maupun kepada pelanggan. Ekuitas merek sangat relevan dibahas dari berbagai sisi, baik investor, produsen, retailer, atau pun konsumen, karena merek menambah nilai bagi masing-masing kelompok tersebut. Investor memiliki motivasi finansial untuk menghasilkan nilai atas merek dari nilai aset-aset lain perusahaan. Di pihak lain, produsen dan retailer lebih dimotivasi oleh implikasi strategis dari ekuitas merek (Walgren dkk 1995). Bagi produsen, ekuitas merek memberikan keuntungan karena dapat menghasilkan volume dan margin yang lebih besar. Ekuitas merek dapat memberikan platform bagi pertumbuhan melalui perluasan merek dan melindungi merek terhadap serangan persaingan. Dari perspektif perdagangan, ekuitas merek yang kuat membuat retailer memberikan ruang pada rak- rak nya dan menciptakan kerjasama dalam mengimplementasikan program-program pemasaran. Bagaimanapun juga bila merek tidak berarti bagi konsumen maka tidak satupun ha1 dapat berarti. Dengan kata lain, merek akan memiliki nilai bagi investor, produsen, dan retailer hanya bila terdapat nilai bagi konsumen (Walgren dkk 1995). Oleh karena itu informasi mengenai ekuitas merek berdasarkan perspektif konsumen menjadi sangat penting. Riset ekuitas merek telah banyak dilakukan, namun kebanyakan perhatian hanya tertuju pada aspek komponen saja, tidak pada aspek sumber yang membentuk ekuitas merek atau pada upaya
pengembangannya. Penelitian yang dilakukan oleh Yoo dkk (2000) adalah salah satu penelitian ekuitas merek yang meneliti hubungan antara sumber ekuitas merek dan pembentukan ekuitas merek. Sumber ekuitas merek yang ditelitinya adalah aspek harga, image channel distribusi (toko), intensitas distribusi, pengeluaran iklan, dan harga promosi yang merupakan aktivitas pemasaran tradisional "4P" (price, placeldistribusi, promotion, dan product). Dengan mengetahui bagaimana aktivitas pemasaran tertentu berkontribusi atau mengikis ekuitas rnerek, akan memungkinkan para manajer pemasaran untuk mengembangkan rencana-rencana pemasaran yang efektif. Para manajer perlu menyokong aktivitas brand-building dan mengurangi atau menghindari aktivitas brand-hurting. Oleh karena itu perusahaan yang ingin tetap bertahan dalam persaingan yang ketat ini dan melangkah lebih maju untuk memenangkan persaingan, sangat perlu mengetahui kondisi ekuitas merek yang dimilikinya. Melalui riset terhadap dirnensi-dimensi ekuitas merek dan sumber-sumber ekuitas merek seperti usaha-usaha pemasaran, maka perusahaan dapat merencanakan usahausaha pemasaran atas merek yang lebih terarah sehingga perusahaan dapat memenangkan persaingan. 1.2 ldentifikasi Masalah Yoo dkk (2000) telah mengembangkan kerangka kerja konseptual ekuitas merek dimana elemen-elemen bauran pemasaran yaitu aspek harga, image channel distribusi (toko), intensitas distribusi, pengeluaran
iklan, dan harga promosi dihubungkan secara selektif pada dimensi- dimensi ekuitas merek seperti kesadaran merek dan asosiasi merek,.. kesan kualitas, dan loyalitas merek. Selanjutnya dimensi-dimensi ekuitas merek tersebut dihubungkan pada ekuitas merek. Kerangka kerja konseptual ekuitas merek yang dikemukakan oleh Yoo dkk (2000) tersebut digunakan sebagai kerangka pemikiran konseptual pada penelitian ini, tetapi dengan modifikasi disesuaikan dengan kategori produk yang dikaji. Sebagai contoh, image channel distribusi (toko), Yoo dkk melakukan penelitian terhadap tiga kategori produk sekaligus yaitu sepatu atletik, kamera film, dan televisi. Elemen image channel distribusi (toko) adalah relevan bagi penelitian yang dilakukan Yoo dkk karena ketiga kategori produk yang menjadi subjek penelitian tersebut memiliki toko khusus untuk memasarkan produknya, sedangkan untuk kategori produk pembalut wanita, semua perusahaan pembalut wanita tidak memiliki toko khusus untuk memasarkan produknya, sehingga elemen image toko tidak relevan digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, modifikasi terhadap model struktural yang dikemukakan oleh Yoo dkk (2000) perlu dilakukan disesuaikan dengan kategori produk yang dikaji. 1.3 Perurnusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Komponen-komponen apa yang membangun ekuitas merek?
2. Bagaimana pola keterkaitan antara dimensi-dimensi ekuitas merek dengan ekuitas merek? 3. Bagaimana usaha-usaha pemasaran berkontribusi terhadap ekuitas merek? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengevaluasi komponen ekuitas merek pada produk pembalut wanita dan menganalisis pola keterkaitannya dengan ekuitas merek 2. Menganalisis hubungan antara usaha-usaha pemasaran dengan pembentukan ekuitas merek 3. Mengetahui nilai ekuitas merek untuk produk pembalut wanita. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Perusahaan pembalut wanita, sebagai bahan masukan dalam mengelola mereknya sehingga dapat bersaing secara kompetitif 2. Penulis sendiri, guna meningkatkan pengetahuan yang bersifat teoritis yang didapatkan selama kuliah dengan melakukan pengamatan langsung untuk mendapatkan gambaran nyata 3. lnstitusi pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai bahan pustaka dan sebagai bahan pembanding dalam penelitian analisis ekuitas merek selanjutnya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah produk dan merek pembalut wanita. Penelitian ini dilakukan pada bulan November dan Desember 2003 di wilayah DKI Jakarta. Kerangka pemikiran konseptual ekuitas merek yang digunakan dalam penelitian ini yaitu memadukan model ekuitas merek Aaker (1991) yang terdiri dari kesan kualitas, loyalitas merek, kesadaran merek, dan asosiasi merek; dan kerangka kerja konseptual ekuitas merek yang dikemukakan oleh Yoo dkk (2000) dimana elemen-elemen bauran pemasaran dihubungkan pada dimensi-dimensi ekuitas merek, dan dimensi ini semua kemudian dihubungkan pada ekuitas merek.