IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Breeding Center Puyuh Universitas Padjadjaran Pusat pembibitan puyuh Universitas Padjadjaran merupakan suatu lokasi pembibitan dan budidaya puyuh yang memiliki tujuan melestarikan plasma nutfah berupa galur murni puyuh dan menciptakan bibit unggul. Lokasi kandang penelitian berada di sekitar area kampus Universitas Padjadjaran, tepatnya di Dusun Ciparanje, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Suhu lingkungan dilokasi penelitian relatif sejuk dengan suhu 22-31 C dan kelembaban cukup tinggi berkisar antara 60-85 % (BMKG, 2017). Hal ini sesuai yang di ungkapkan oleh Wuryadi (2013), bahwa puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) hidup ideal di - C dengan kelembaban 85 %. Area pusat pembibitan puyuh Universitas Padjadjaran memiliki satu kandang pembibitan, satu tempat penetasan dan mess. Kandang puyuh di pusat pembibitan puyuh Universitas Padjadjaran terletak jauh dari pemukiman penduduk serta dari jalan utama. Sumber air di area kandang cukup melimpah serta mendapatkan sinar matahari yang cukup. Menurut Wheindrata (2014) beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kandang puyuh diantaranya, lokasi kandang jauh dari pemukiman penduduk, jauh dari sumber kebisingan, jauh dari peternakan ayam ras, memiliki sirkulasi udara yang baik serta memiliki sumber air yang melimpah. Kandang puyuh di pusat pembibitan puyuh Universitas Padjadjaran merupakan kandang permanen. Sistem kandang yang digunakan dipusat pembibitan puyuh Universitas Padjadjaran adalah sistem postal untuk indukan
21 (brooding) dan sistem baterei untuk puyuh fase grower dan layer dengan bahan dasar dari kayu dan kawat kasa (ram) yang berfungsi sebagai dinding dan lantai kandang. Puyuh yang digunakan pada saat penelitian adalah puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) yakni galur hitam dan coklat. Puyuh ini merupakan hasil pengembangan dipusat pembibitan puyuh Universitas Padjadjaran. Morfologi puyuh galur coklat dan hitam dapat dilihat seperti Ilustrasi 2. Ilustrasi 2. Morfologi Puyuh Coklat dan Hitam Sistem pemeliharaan yang dilakukan pada saat penelitian merupakan sistem pemeliharaan secara intensif. Satu minggu sebelum dilakukan pemindahan puyuh ke kandang baterei, kandang dibersihkan dan didesinfeksi terlebih dahulu serta dilakukan pengapuran secara merata. Tempat pakan dipasang memanjang dibagian depan kandang dan tempat minum dipasang disatu sisi bagian luar dinding kandang. Pemeliharaan menggunakan kandang sistem baterei bertingkat 5 berkapasitas maksimal 30 ekor per tingkat dengan ukuran 100 x 60 x 40 cm. pemberian ransum dilakukan dua kali sehari pagi dan sore, sedangkan pemberian air minum dilakukan secara adlibitum. Ransum yang diberikan merupakan ransum komplit butiran burung puyuh petelur fase produksi dengan kandungan
22 protein kasar 20-22 %. Hal ini sesuai dengan SNI (2006), pemberian ransum untuk puyuh petelur dewasa (quail layer) harus mengandung protein kasar minimal 17 % dan energi termetabolis minimal 2700 Kkal/kg. Pengambilan data produksi telur dilakukan setiap hari yakni pada pagi hari dengan mencatat jumlah produksi telur yang dihasilkan pada saat itu. Data produksi telur harian kemudian dikalkulasikan selama satu minggu dan dihitung persentasenya berdasarkan jumlah puyuh yang ada pada saat itu. Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2005), burung puyuh memiliki kebiasaan bertelur pada malam hari, sehingga pengambilan telur baru dapat dilakukan pada pagi hari. Kotoran dibersihkan seminggu tiga kali dengan membersihkan feses yang tertampung di papan triplek yang berada di bagian bawah setiap cage. Pembersihan kotoran dilakukan untuk menghindari bau amonia yang menyengat dan mencegah pertumbuhan bakteri yang dapat mengganggu kesehatan puyuh serta mengkontaminasi telur yang dihasilkan. Selain itu, dilakukan juga pembersihan tempat pakan dan tempat minum secara teratur setiap hari. Menurut Wuryadi (2013) untuk mencegah timbulnya penyakit, lingkungan di sekitar kandang harus dijaga kebersihannya. Hal yang harus diperhatikan meliputi kebersihan kandang, tempat pakan, tempat minum, serta peralatan dan perlengkapan lainnya. 4.2 Produksi Telur Pengukuran produksi telur puyuh dilakukan dengan perhitungan Quail Day Production (QDP) yakni jumlah telur yang dihasilkan dalam periode tertentu dibagi dengan jumlah puyuh yang hidup pada saat itu. Perhitungan QDP dimulai
23 saat puyuh pertama kali bertelur atau mencapai dewasa kelamin yakni umur 7 minggu. Umur dewasa kelamin pada puyuh galur coklat terjadi lebih cepat yakni saat umur 43 hari, sedangkan pada puyuh galur hitam yakni saat umur 47 hari. Pencahayaan merupakan faktor penting yang mempengaruhi umur dewasa kelamin pada puyuh. Informasi cahaya yang diterima oleh hipotalamus akan mengontrol sekresi dan pelepasan gonadotropin. GnRH selanjutnya ditranspot ke dalam hipofisis anterior. Kehadiran GnRH dalam hipofisis anterior menstimulus pelepasan LH dan FSH, kedua hormon inilah yang secara langsung terlibat dalam umur dewasa kelamin. Menurut Medion (2011) perbedaan umur dewasa kelamin dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kondisi kandang pemeliharaan, masa pemeliharaan periode starter, keseragaman bobot badan, pencahayaan, kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan. Rataan produksi telur puyuh dapat dilihat pada Tabel 4. Pada minggu pertama rataan produksi Quail Day Production (QDP) puyuh galur murni hitam sebesar 3% dan terus meningkat hingga mencapai puncaknya saat umur 18 minggu. QDP pada minggu tersebut berkisar antara 73%-85% dengan rataan 79%. Setelah mencapai puncak produksi, QDP menurun hingga 61% pada minggu ke- 25. Hasil pada puyuh galur murni coklat, pada minggu pertama rataan produksi quail day production (QDP) sebesar 3%. Puncak produksi puyuh galur coklat terjadi saat umur 14-18 minggu. QDP saat puncak produksi berkisar antara 72%-83% dengan rataan 77%. Setelah mencapai puncak produksi, QDP menurun hingga 64% pada minggu ke-25.
24 Tabel 4. Produksi Telur Puyuh Galur Hitam dan Coklat Generasi Ke-4 Quail Day Production (%) Umur (Minggu) Galur Hitam Galur Coklat 7 3 3 8 19 33 9 44 53 10 49 50 11 51 56 12 50 67 13 59 76 14 67 77 15 74 77 16 77 76 17 73 77 18 79 77 19 76 74 20 71 70 21 78 71 22 72 70 23 70 68 24 63 66 25 61 64 Rata-rata 60 63 Puncak produksi pada puyuh galur hitam dan coklat lebih tinggi dari puncak produksi yang dilaporkan Alarsy, dkk. (2016), tetapi umur puncak produksi terjadi relatif lebih lambat. Alarsy, dkk. (2016) dari hasil penelitiannya melaporkan produksi telur puyuh galur hitam saat puncak produksi mencapai 74
25 % saat umur 11 minggu, sedangkan pada puyuh galur coklat mencapai 73 % saat umur 12 minggu. Lambatnya puncak produksi pada puyuh galur hitam dan coklat disebabkan oleh faktor pencahayaan selama pemeliharaan. Menurut Triyanto (2007) menyatakan lama pencahayaan merupakan faktor penting dalam manajemen pada pemeliharaan puyuh. Kebutuhan cahaya sangat penting untuk proses pembentukan dan pelontaran ovum. Kecukupan cahaya akan mempengaruhi produksi hormon dan selanjutnya akan menentukan produksi ovum. Produksi ovum yang optimal akan menyebabkan produksi telur juga akan optimal. Pemberian cahaya 22 jam/hari menghasilkan produksi telur yang paling baik dari pada pemberian cahaya 16, 18, 20 serta 24 jam/hari. Hubungan antara lama pencahayaan (jam/hari) dengan produksi telur (%) menghasilkan koefisien determinasi 95,57%. Hal ini menunjukkan bahwa 95,57% keragaman produksi telur disebabkan oleh keragaman lama pencahayaan (Triyanto, 2007). Faktor lain yang menyebabkan lambatnya puncak produksi yakni diantaranya serangan penyakit snot (coryza) yang disebabkan oleh bakteri Haemophillus gallinarum. Penyakit ini timbul karena kondisi lingkungan kandang terlalu lembab dan padat. Menurut Wheindrata (2014), penyakit ini menular melalui udara di lingkungan kandang dan kontak langsung antara puyuh yang sehat dengan puyuh yang sakit. Gejala umum penyakit ini yakni mata bengkak, nafsu makan menurun dan menyebabkan penurunan produksi telur. 4.3 Model Kurva Produksi Telur Model Adams-Bell merupakan model yang menggambarkan fungsi aljabar, serta meramalkan pendugaan produksi telur. Model tersebut digunakan
26 karena memiliki akurasi penggambaran kurva produksi serta memberikan kecocokan yang paling baik dengan data. Untuk mengetahui gambaran kurva produksi telur, persentase Quail Day Production (QDP) minggu ke 7 sampai 25 dimasukan ke dalam persamaan model Adams-Bell. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Dugaan Produksi Telur Berdasarkan Model Adams-Bell Koefisien Nilai Dugaan Galur Hitam Galur Coklat a 1,391530 1,458888 r 0,626636 0,529713 b -1,428312 0,566455 c 0,973279 0,973448 d -8,140959-9,068917 Berdasarkan Tabel 5, diperoleh nilai koefisien menggunakan program curve expert. Nilai koefisien a, r, b, c, dan d yang didapatkan akan menentukan rumus dari model Adams-Bell. Bentuk kurva produksi telur galur murni hitam dan coklat dapat dilihat pada Ilustrasi 3. Berdasarkan ilustrasi tersebut, kurva produksi telur puyuh Padjadjaran galur murni hitam dan coklat berbentuk non linier.
QDP (%) 27 81,00 76,00 71,00 66,00 61,00 56,00 51,00 46,00 41,00 36,00 31,00 26,00 21,00 16,00 11,00 6,00 1,00 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 UMUR (MINGGU) PUYUH HITAM PUYUH COKLAT ADAMS-BELL HITAM ADAMS-BELL COKLAT Ilustrasi 3. Kurva Adams-Bell Galur Hitam dan Coklat Dilihat dari grafik puyuh galur hitam pada 2 minggu pertama produksi, plot data aktual berada dibawah garis dugaan Adams-Bell, selanjutnya mengalami peningkatan secara fluktuatif hingga mencapai puncak produksi QDP sebesar 79 % pada minggu ke-18. Persentase QDP pada saat puncak produksi lebih tinggi, akan tetapi terjadi lebih lambat dibandingkan dengan nilai dugaan Adams-Bell. Setelah mencapai puncak produksi, produksi telur menurun secara fluktuatif dan menurun secara konstan serta berada dibawah garis dugaan Adams-Bell pada minggu ke 24-25. Pada puyuh galur coklat, minggu pertama produksi plot data aktual berada dibawah garis dugaan Adams-Bell. Selanjutnya mengalami peningkatan secara fluktuatif hingga mencapai puncak produksi 77 % pada minggu ke- 14 sampai 18.
28 Pada minggu ke-19 produksi telur menurun secara fluktuatif hingga pada minggu ke 23-25 berada dibawah garis dugaan Adams-Bell. Fluktuasi produksi telur pada galur hitam dan coklat disebabkan oleh kondisi lingkungan selama pemeliharaan. Populasi puyuh di area penelitian memiliki populasi yang terlalu banyak, sehingga menyebabkan cekaman panas di area kandang dan puyuh menjadi mudah stres. Menurut Medion (2017) kepadatan puyuh dalam kandang merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan karena tingkat kepadatan yang tinggi akan mengakibatkan puyuh tidak leluasa beraktivitas, temperatur kandang naik, akumulasi gas amonia dari feses, cekaman panas sehingga puyuh mudah terserang penyakit. Selain itu perilaku puyuh yang mudah terkejut menyebabkan puyuh berlarian dan melompat di dalam kandang, sehingga menyebabkan terjadinya stress dan berpengaruh terhadap produksi telur. Sejalan dengan pernyataan Rasyaf (1983), bahwa puyuh merupakan ternak yang mudah stres, memiliki sifat kanibalisme yang tinggi (biasanya diakibatkan oleh sangkar yang sempit), dan juga memiliki sifat melompat ke arah vertikal dalam kandang sehingga mengakibatkan puyuh tersebut terlalu banyak bergerak dan terluka akibat terbentur atap sangkar. Hal tersebut adalah pemicu yang dapat menurunkan produksi telur pada puyuh. 4.4 Akurasi Model Adams-Bell Akurasi dari model yang akan dijadikan standar produksi telur harus memiliki kecocokan yang tinggi dengan data aktual. Akurasi dari model tersebut diuji dengan beberapa nilai, yaitu koefisien determinasi (R²), koefisien korelasi (r) dan galat baku (SE). Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan
29 model Adams-Bell, menghasilkan nilai koefisien determinasi (R²), koefisien korelasi (r), dan galat baku (SE) seperti pada Tabel 6. Menurut Narinc, dkk. (2013), dari hasil penelitiannya pada puyuh Jepang melaporkan bahwa model Adams-Bell menghasilkan nilai koefisien determinasi (R²) = 0,9270. Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R²), puyuh galur hitam menghasilkan nilai (R²) lebih rendah, sedangkan puyuh galur coklat menghasilkan nilai (R²) lebih tinggi dibandingkan penelitian Narinc, dkk. (2013). Tabel 6. Nilai Koefisien Determinasi (R²), Koefisien Korelasi (R), Dan Galat Baku (SE) Parameter Galur Hitam Galur Coklat Koefisien determinasi (R²) 0,9171 0,9316 Koefisien korelasi (r) 0,9577 0,9652 Galat baku (SE) 6,6654 5,5330 Koefisien determinasi tidak mempunyai nilai negatif, nilai R² berkisar antara 0 dan 1 atau 0. Semakin dekat R² dengan 1 semakin baik kecocokan data dengan model, dan sebaliknya, semakin dekat R² dengan 0 semakin jelek kecocokan data tersebut (Sembiring, 2003). Berdasarkan nilai koefisien determinasi baik pada puyuh galur hitam maupun coklat menghasilkan nilai yang mendekati satu yang berarti data aktual dan model memiliki kecocokan yang baik. Koefisien korelasi merupakan nilai yang menunjukan besar dan arah hubungan yang terjadi antara dua variabel. Besar korelasi berkisar antara 0-1, sedangkan arah korelasi yakni positif dan negatif. Jika koefisien korelasi = 0 atau mendekati 0, maka kedua variabel tidak berkorelasi. Jika koefisien korelasi = -1,
30 maka kedua variabel berhubungan negatif sempurna. Jika koefisien korelasi = +1, maka kedua variabel berhubungan positif sempurna. Koefisien korelasi searah jika nilai koefisien korelasi diketemukan positif, sebaliknya jika nilai koefisien korelasi negatif, korelasi disebut tidak searah. Hasil penelitian diperoleh nilai koefisien korelasi pada puyuh galur hitam (r) = 0,9577, sedangkan pada puyuh galur coklat (r) = 0,9652. Hasil ini menunjukan bahwa model Adams-Bell memiliki akurasi yang tinggi serta tingkat kekuatan hubungan yang erat, sehingga dapat dijadikan sebagai standar penduga produksi telur. Galat baku (SE) merupakan standar deviasi yang menggambarkan variasi titik-titik diatas dan dibawah garis regresi populasi (Siagian dan Sugiarto, 2000). Hasil penelitian diperoleh nilai galat baku (SE) pada puyuh galur hitam (SE) = 6,6654, sedangkan pada puyuh galur coklat (SE) = 5,5330. Hasil ini menunjukan pada kedua galur puyuh hitam dan coklat memiliki kesalahan pendugaan yang cukup besar. Hal ini disebabkan adanya perbedaan himpunan data aktual dengan garis dugaan adams-bell. Menurut Siagian dan Sugiarto (2000), suatu regresi terbaik mempunyai variasi kesalahan total paling sedikit. Semakin tinggi (SE) berarti kesalahan pendugaan semakin tinggi, begitupun sebaliknya semakin kecil (SE) berarti kesalahan pendugaan semakin kecil.