BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia. Jenis tanaman yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. kenyataan yang terjadi yakni

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

Bab 5 H O R T I K U L T U R A

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura tergolong komoditas yang bernilai ekonomi tinggi

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

Tinjauan Pasar Bawang Merah

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertanian haruslah merupakan tujuan utama dari setiap pemerintah sedang berkembang.

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, pertanian sayuran sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan.

I. PENDAHULUAN. berkaitan dengan sektor-sektor lain karena sektor pertanian merupakan sektor

No.46/08/17/Th IV, 03 Agustus 2015

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2013

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2013

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH MALUKU UTARA TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. bumbu penyedap makanan serta obat tradisonal. Komoditas ini juga merupakan

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yudohusodo (2006) mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi produksi pertanian tropis dan potensi pasar pangan

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

I. PENDAHULUAN. pertanian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PRODUKSI CABAI BESAR, BAWANG MERAH, DAN MANGGA PROVINSI ACEH TAHUN 2011

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat. Produksi hortikultura yaitu sayuran dan buah-buahan menyumbang pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

30% Pertanian 0% TAHUN

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRODUKSI CABAI BESAR DAN CABAI RAWIT

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2013

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan daya saing produk pertanian menjadi perhatian utama karena Indonesia dihadapkan pada kondisi pasar yang semakin liberal. Liberalisasi perdagangan telah menjadi salah satu isu penting dalam perdagangan termasuk dalam perdagangan komoditas pertanian. Sebagai negara yang menganut ekonomi terbuka (open economic) situasi pasar domestik di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh gejolak pasar dunia yang semakin liberal. Proses liberalisasi pasar tersebut dapat terjadi karena kebijakan unilateral dan konsekuensi keikutsertaan meratifikasi kerja sama perdagangan regional maupun global yang menghendaki penurunan kendalakendala perdagangan baik kendala tarif maupun non tarif (Hardono et al. 2004). Semakin terbukanya pasar di ASEAN dengan dihilangkannya hambatan tarif maupun non tarif menyebabkan semakin bebasnya arus keluar-masuk produk pertanian antar negara ASEAN yang berdampak pada semakin ketatnya persaingan pasar. Dalam mengatasi ketatnya pesaingan pasar maka diperlukan peningkatan efisiensi produksi dalam negeri sebagai upaya peningkatan daya saing. Apabila daya saing komoditas pertanian di dalam negeri lemah maka pasar dalam negeri akan dibanjiri oleh produk impor dari negara lain yang memiliki daya saing lebih tinggi. Hal tersebut tentu saja akan merugikan bagi petani yang ada di dalam negeri. Supaya dapat bersaing dengan produk impor, peningkatan produksi komoditas pertanian di dalam negeri perlu diiringi dengan peningkatan daya saing dan efisiensi usaha (Irawan, 2003). Sektor pertanian yang mendapat perhatian serius dari pemerintah terkait dengan peningkatan daya saingnya adalah subsektor hortikultura. Hortikultura merupakan salah satu sub sektor penting dalam pembangunan Pertanian dan berkontribusi cukup besar dalam PDB (Lampiran 1). Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran,

2 bahan obat nabati, dan florikultura (tanaman hias). Komoditas prioritas hortikultura saat ini meliputi jeruk, pisang, mangga, manggis, durian, anggrek, cabai merah, bawang merah, dan kentang (BRS Hortikultura, 2013). Cabai merah merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia dikarenakan perubahan harga cabai merah dapat mempengaruhi inflasi. Cabai merupakan salah satu komoditas yang mudah berubah, dan memberikan andil terhadap inflasi nasional, sehingga pasokan ke pasar harus terjaga kontinuitasnya. Inflasi pedesaan Agustus 2014 sebesar 0,37 persen dipicu oleh naiknya komoditas salah satunya cabai merah. Harga cabai merah naik 1,50 persen dibanding Juli 2014 atau turun 47,66 persen bila dibanding Agustus 2013. Selama periode September 2013 Maret 2014, harga eceran cabai merah sebesar 3,31 persen. Anjloknya harga cabai yang terjadi juga disebabkan kebijakan pemerintah yang memperbolehkan masuknya sayuran impor ke Indonesia, sehingga hal tersebut semakin memperparah harga cabai (Kementan, 2015). Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam memproduksi cabai merah yang ditunjukkan dengan produksi cabai yang semakin meningkat dari tahun 2011 sampai 2015 rata-rata peningkatan produksi cabai di Indonesia selama lima tahun terakhir sebesar 10,32 persen per tahun. Dalam periode lima tahun terakhir, produksi cabai tertinggi dicapai pada tahun 2015 yaitu sebesar 1.915.120 ton per tahun. Luas panen cabai juga mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebesar 11,18 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Produktivitas cabai di Indonesia mencapai 7,49 ton/ha pada tahun 2015. Rata-rata peningkatan produktivitas cabai sebesar 1.72 persen per tahun dalam lima tahun terakhir (Lampiran 4). Jika dilihat berdasarkan total produksi cabai merah dalam satu tahun, jumlah produksi cabai merah sebenarnya sudah dapat mecukupi kebutuhan konsumsi cabai merah bagi masyarakat di Indonesia bahkan terjadi surplus produksi. Sebagai gambaran, kosumsi per kapita cabai di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 2.97 kg/tahun (Lampiran 3). Sentra produksi cabai merah di Indonesia adalah pulau Jawa khususnya Jawa Barat dengan total produksi sebesar 240.864 ton dari total produksi cabai merah Indonesia tahun 2015 sebesar 1.045.182 ton. Sedangkan provinsi penghasil cabai

3 merah terbesar di luar Jawa adalah Pulau Sumatera. Provinsi Jambi merupakan salah satu dari peringkat 10 provinsi penghasil cabai merah terbesar nasional yaitu sebesar 30.342 ton (BPS, 2015). Provinsi Jambi merupakan salah satu penyumbang produksi cabai merah nasional namun tidak sebanyak di Pulau Jawa. Dimana produksi cabai merah di Provinsi Jambi tahun 2016 sebesar 277.895 ton mengalami peningkatan sebanyak 18.538 ton (815,86 %) dibandingkan pada tahun 2015. Peningkatan produksi tersebut disebabkan meningkatnya luas panen sebesar 5.048 hektar atau sebesar 47 % (Lampiran 2). Sentra produksi cabai merah terbesar propinsi Jambi terdapat di Kabupaten Kerinci. Kabupaten Kerinci merupakan salah satu wilayah Kabupaten terluas di provinsi Jambi dalam melakukan pengembangan cabai merah,dengan luas areal pengembangannya 2,636 Ha, diikuti oleh Kabupaten Merangin 1,019 Ha (lampiran 3). Tanaman hortikultura merupakan salah satu komoditas dalam sub sektor tanaman pangan yang memberikan kontribusi terbesar dalam struktur PDRB Kabupaten Kerinci. Pada tahun 2016 untuk sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan memberi kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kerinci atas dasar harga berlaku sebesar 53,02 persen. Tanaman Hortikulturamerupakan penyumbang terbesar terhadap kategori pertanian yaitu tercatat sebesar 20,17 persen dari total PDRB (BPS Kabupaten Kerinci, 2017). Cabai merah di Kabupaten Kerinci pada umumnya terkosentrasi di beberapa wilayah saja, seperti di Kecamatan Kayu Aro dan sekitarnya. Beberapa komoditas hortikultura yang memiliki luas lahan terbesar di Kabupaten Kerinci yakni Kentang, Cabai Merah, Kubis, Tomat dan Cabai Rawit.Cabai Merah merupakan salah satu komoditas hortikultura utama di Kabupaten Kerinci. Hal ini ditunjukkan peningkatan luas panen dan produksi cabai merah di kabupaten kerinci pada tahun 2015 mencapai 284.209 kuintal dengan luas panen 2.315 Ha dan meningkat pada tahun 2016 dengan luas panen 3.297 Ha dan produksi sebesar 297.479 kuintal (Dinas Pertanian Kerinci, 2016).

4 Kabupaten Kerinci terdapat 16 kecamatan dan daerah penghasil cabai merah terbesar tersebar di beberapa kecamatan yakni Kayu Aro, Gunung Tujuh dan Kayu Aro Barat(Lampiran 7). Penduduk yang bekerja di Kabupaten Kerinci umumnya bekerja di bidang pertanian dengan persentase sebesar 82% (Lampiran 8). Pendapatan penduduk dapat dikatakan berasal dari usahatani. Cabai merah merupakan salah satu usahatani unggulan yang banyak diusahakan di Kabupaten Kerinci setelah kentang (Lampiran 9). B. Rumusan Masalah Pengembangan komoditas cabai merah di Kerinci khususnya, masih sangat prospektif jika dilihat dari potensi yang dimilikinya. Namun, potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Kabupaten Kerinci belum dapat dimaksimalkan penggunaannya sedemikian rupa. Kabupaten Kerinci merupakan salah satu wilayah Kabupaten terluas di provinsi Jambi dalam melakukan pengembangan cabai merah, dengan luas areal pengembangannya 2,636 Ha, diikuti oleh Kabupaten Merangin 1,019 Ha (BPS Jambi, 2016). Kentang, kubis, cabe, bawang dan tomat merupakan komoditas tanaman sayuran utama dan unggulan Kabupaten Kerinci (Bappeda Kabupaten Kerinci, 2015) sebagai salah satu sentra produksi sayuran di Sumatera (Balitbang Pertanian, 2015). Selama periode 6 tahun (2010-2015) luas tanam, luas panen dan produksi sayuran di Kabupaten Kerinci berfluktuasi dan cenderung meningkat dengan produksi sebesar 284,209 kuintal dari luas panen 2,315 ha pada tahun 2015. Pada tahun 2016 terjadi kenaikan yang cukup besar yakni total luas panen 3,297 ha dengan total produksi 297,479 kuintal (Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Kerinci, 2017). Berdasarkan penjualan produksi cabai merah, didapatkan bahwa produsen cabai merah di Provinsi Jambi meliputi Kabupaten Kerinci dan Muaro jambi mendapatkan bahan baku dari wilayahnya sendiri. Sedangkan berdasarkan distribusi perdagangan, didapatkan bahwa wilayah pembelian cabai merah berasal dari Provinsi Jambi sendiri (69,85%) dan provinsi lain yaitu Sumatera Utara (6,03%), Sumatera

5 Selatan (6,03%), Bengkulu (6,03%), Jawa Barat (6,03%), dan lainnya dari Jawa Tengah (BPS Distribusi Perdagangan Cabai Indonesia, 2015). Daya beli masyarakat di Provinsi Jambi termasuk Kabupaten Kerinci masih relatif rendah yaitu pada urutan ketiga terendah di Sumatera setelah Lampung dan Bengkulu. Hal ini menunjukkan potensi tekanan inflasi dari sisi permintaan masih relatif rendah. Namun demikian, fakta menunjukkan tingkat harga umum ternyata relatif lebih tinggi dan cenderung berfluktuasi dalam rentang yang cukup besar. Dari sisi suplai sebagian besar produk pertanian yang diperdagangkan berasal dari daerah lain termasuk cabai, meskipun potensi pengembangannya sangat besar. Ketergantungan yang tinggi terhadap pasokan impor dan juga luar daerah mengakibakan kecilnya peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah bersama pelaku ekonomi lokal untuk melakukan langkah-langkah dalam meredam inflasi dari sisi penawaran. Sementara kebijakan ekonomi regional adalah dalam sisi penawaran. Cabai merah merupakan salah satu penyumbang inflasi di Provinsi Jambi (BPS Jambi, 2016). Cabai merah merupakan bahan pokok yang perubahan rata-rata harganya paling menurun disetiap tahunnya. Pada tahun 2015, rata-rata harga cabai merah di Kabupaten Kerinci menurun dari tahun 2014 sebesar 10,37 persen per kilogram. Selama tahun 2015 rata-rata harga tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai Rp 51.667- per kilogram, sedangkan rata-rata harga terendah terjadi pada bulan Maret yang hanya seharga Rp18.667, per kilogram. Kesejahteraan petani diukur dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang dihitung dari perbandingan atas harga yang diterima dengan harga yang diterima dengan harga yang dibayar petani. NTP diatas 100 mengindikasikan pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya, dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya (KEKR Provinsi Jambi, 2016). Nilai Tukar Petani Hortikultura pada 2016 di Kabupaten Kerinci mengalami penurunan dari sebelumnya 92,74 menjadi 90,11 yang disebabkan indeks terima petani hortikultura sayur-sayuran dan tanaman obat. Penurunan tersebut didominasi penurunan harga cabai merah yang menjadi komponen inflasi. Harga rata-rata yang

6 pada Desember 2016 sebesar 17.000/kg naik menjadi Rp 60.000/kg pada akhir 2017. Kenaikan tersebut disebabkan kurangnya pasokan dari sentra produksi cabai di Kabupaten Kerinci. Harga cabai merah domestik dibandingkan dengan harga cabai merah dunia jauh lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing cabai merah terhadap cabai impor relatif lebih rendah sehingga pasar cabai Indonesia sangat potensial untuk dipenuhi oleh cabai impor yang harganya jauh lebih murah. Pada oktober 2015 harga cabai dunia USS 0,94/kg atau Rp 8.256/kg sedangkan harga cabai merah nasional yaitu Rp 27.394 /kg (Kementrian Perdagangan, 2017). Perbedaan harga yang cukup tinggi ini akan memberikan pengaruh terhadap lemahnya daya saing cabai merah di Kabupaten Kerinci. Kenaikan biaya-biaya produksi di sektor usaha juga menyebabkan tidak terciptanya keunggulan bersaing dalam harga jual produk khususnya komoditas cabai. Kendala selanjutnya yang dihadapi petani adalah produksi cabai merah di Kabupaten Kerinci juga dihadapkan pada usahatani berbiaya tinggi. Usahatani cabai merah membutuhkan biaya per satuan luas lahan yang lebih tinggi khususnya untuk upah tenaga kerja dan sarana produksi. Menurut Rachman et al (2004) usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka pengeluaran biaya untuk sarana produksi menempati urutan pertama dengan proporsi biaya berkisar antara 21,60-34,50 persen dibandingkan biaya untuk penggunaan tenaga kerja sebesar 16,3-32,9 persen terhadap total penerimaan. Tingginya biaya sarana produksi, terutama disebabkan oleh tingginya harga bibit (Apriani, 2011). Tingginya biaya produksi juga disebabkan banyaknya tenaga kerja dalam keluarga seperti penelitian Lubis et al (2013) pada usahatani cabai merah di Sumatera Utara. Sementara harga jual cabai merah di tingkat petani tidak dapat dipisahkan dari harga cabai pasaran internasional. Namun bila dibandingkan dengan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pemasaran cabai merah, petani jelas merupakan pihak yang paling sulit dalam mengelak dari resiko kerugian. Petani cabai mengeluarkan sejumlah biaya yang tidak dapat disesuaikan secara leluasa dengan perubahan harga jual cabai. Hal tersebut tidak berarti harga jual cabai di tingkat petani harus selalu

7 berada di atas harga pokok produksinya. Namun, dengan mengetahui perbandingan harga jual cabai dengan harga pokok produksi nyad apat dijadikan dasar oleh petani dalam pengambilan keputusan. Pengaruh musim tidak hanya berdampak pada adanya fluktuasi produksi tetapi juga menyebabkan adanya fluktuasi harga. Sifat produk cabai merah yang mudah rusak (perishable) menyebabkan harga cenderung fluktuatif dan perubahan harga yang sangat cepat. Harga cabai merah sangat berfluktuasi tergantung dengan kondisi pasar. Fluktuasi harga sangat tergantung terhadap permintaan dan penawaran cabai merah. Permintaan yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan pasokan yang cukup sehingga menyebabkan harga cabai merah meningkat tajam dibandingkan harga pada bulan-bulan lainnya. Fluktuasi harga cabai merah di Kabupaten Kerinci mempengaruhi petani cabai merah di Kabupaten Kerinci. Pada akhir 2016 panen raya cabai merah namun harga cabai merah justru menurun yaitu Rp 17.000/kg diakibatkan adanya pasokan cabai merah impor dan pasokan dari daerah lain seperti Sumatera Utara dan Lampung. Namun pada 2017 terjadi kenaikan harga mencapai Rp 60.000/kg yang disebabkan kurangnya pasokan cabai merah dari sentra cabai merah di Kabupaten Kerinci yaitu Kecamatan Kayu Aro. Jika dibandingkan dengan harga rata-rata cabai merah di Sumatera Barat pada awal 2017 sebesar Rp 61.281/kg namun lebih rendah dibandingkan harga cabai merah pada akhir 2016 sebesar Rp 73.125/kg. Tingginya fluktuasi harga cabai merah tersebut memaksa Pemerintah untuk membuat kebijakan berupa harga referensi untuk cabai merah melalui Permentan No 86/2013, Permendag 47/2013 dan SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No 118/PDN/2013. Harga referensi ini merupakan batas atas harga eceran cabai merah di tingkat konsumen yang dijadikan acuan untuk mengambil keputusan impor cabai merah. Apabila harga eceran cabai merah di tingkat konsumen melebihi harga referensi tersebut maka pemerintah akan membuka kran impor cabai merah. Dengan adanya ketetapan harga referensi ini diharapkan dapat meregulasi harga cabai merah dan juga mencegah terjadinya pemasokan cabai merah impor yang tidak tepat.

8 Selain kebijakan harga referensi tersebut, sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait dengan cabai merah di antaranya kebijakan pengaturan impor hortikultura termasuk cabai merah didalamnya melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 16/MDAG/PER/4/2013. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa cabai merah menjadi salah satu komoditas yang diatur impornya. Pemerintah juga menetapkan tarif bea masuk untuk cabai merah impor sebesar 20 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.001/2010. Kebijakan-kebijakan tersebut disusun dalam rangka mengendalikan impor cabai merah dalam negeri dan untuk mendukung produksi cabai merah di dalam negeri. Kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan usahatani cabai merah dan juga terkait dengan perdagangan cabai merah tentunya harus dapat meningkatkan dayasaing dari cabai merah dalam negeri supaya tidak kalah bersaing dengan cabai merah impor. Namun pada kenyataannya petani masih menghadapi permasalahan pada usahatani cabai merah yang menyebabkan produksi tidak optimal dan tingginya biaya produksi. Hal tersebut menyebabkan adanya disparitas harga eceran yang besar antara harga cabai merah lokal dengan impor. Selain itu, kebijakan pembukaan impor cabai merah yang dilakukan pemerintah menyebabkan harga cabai merah dalam negeri turun. Pada saat harga turun maka konsumen akan diuntungkan dengan adanya kebijakan impor tersebut namun di lain pihak petani menjadi pihak yang dirugikan. Petani dirugikan karena ketika cabai merah impor masuk, harga cabai merah dalam negeri akan jatuh yang menyebabkan pendapatan petani menurun sehingga menyebabkan kerugian. Dari uraian permasalahan tersebut maka timbul pertanyaan yang mendasari penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana harga pokok produksi usahatani cabai merah di Kabupaten Kerinci? 2. Bagaimana daya saing cabai merah di wilayah sentra produksi cabai merah di Kabupaten Kerinci? 3. Apakah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka mendukung usahatani cabai merah mampu meningkatkan daya saing cabai merah dalam negeri?

9 C. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dayasaing usahatani cabai merah di Kabupaten Kerinci. Secara khusus terdapat tiga tujuan utama dalam penelitian ini, yaitu: 1. Menganalisis harga pokok produksi usahatani cabai merah di Kabupaten Kerinci. 2. Menganalisis dayasaing cabai merah di wilayah sentra produksi di Kabupaten Kerinci melalui keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. 3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing cabai merah di Kabupaten Kerinci. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Akademik : Penelitian ini sebagai sarana dalam peningkatan kompetensi diri, baik dari segi pengetahuan maupun keterampilan dalam menganalisis potensi serta permasalahan pada harga pokok produksi, dayasaing cabai merah serta dampak kebijakan terhadap cabai merah. Serta sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya. 2. Bagi Pelaku Bisnis : Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan gambaran mengenai usahatani, harga pokok produksi dan daya saing cabai merah di daerah sentra produksi cabai merah sebagai bahan referensi dalam pengambilan keputusan pengembangan usaha. Serta dapat dijadikan pedoman untuk penyaluran informasi di pasar dengan tepat. 3. Bagi Pemerintah : Penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagi pemerintah, yaitu berupa gambaran tentang harga pokok produksi dan daya saing cabai merah khususnya untuk di Kabupaten Kerinci sehingga dapat menerapkan kebijakan yang tepat dan bermanfaat.