I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak cadangan karbon yang tersimpan dalam bentuk biomassa pada hutan. Biomassa hutan dapat hilang atau berkurang karena adanya proses deforestasi dan degradasi hutan. Kontribusi emisi akibat dari deforestasi dan degradasi hutan tersebut diperkirakan 65 % dari emisi karbon nasional (Krisnawati et al., 2010). Oleh karena itu Indonesia berupaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfir, sebagai bentuk keseriusan Indonesia untuk mengurangi GRK tersebut antara lain adalah terselenggaranya Conference of Parties (COP) ke -13 di Bali tahun 2007 dan berhasil merumuskan rencana aksi Bali (Bali Action Plan). Beberapa butir penting dari keputusan COP ke 13 yang memerlukan tidak lanjut agar mampu diterjemahkan dalam bentuk implementasi antara lain : 1). Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation (REDD) dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara (sovereignty); 2). Negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer teknologi di bidang metodologi dan institusional: 3). Untuk pelaksanaan pilot/demonstration activities dan implementasi REDD diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar internasional. Oleh karena itu diperlukan kesepakatan tentang indicative guidance untuk pilot /demonstration activities, sebagai bentuk tanggung jawab internasional, nasional, dan daerah (Masripatin, 2008). Menindaklanjuti hasil COP 13, diselengarakan 2
COP 14 yang berlangsung di Poznan, Polandian dan berhasil dirumuskan suatu konsensus agar kegiatan REDD diperluas, pendekatan ini disebut dengan REDD- Plus (REDD+). REDD+ memberikan insentif dan ganti rugi kepada pengelola hutan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi berupa imbalan jasa lingkungan / Payments for Ecosystem Services (PES). Penerapan sistem PES ini memiliki hambatan diantaranya adalah kepastian pengunaan lahan untuk mendukung REDD+, pemantauan, pelaporan, dan pembuktian yang tidak memadai, kemampuan administrasi yang tidak memadai dan tata kelola yang buruk (Angelsen et al., 2012). Permasalahan penerapan REDD+ pada tingkat nasional dan regional di antaranya adalah kepastian pengunaan lahan, tata batas kawasan hutan yang belum jelas, dan lembaga/kelompok pengelola hutan (Angelsen et al., 2012). Salah satu pendekatan yang memungkinkan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut yakni penerapan REDD+ pada hutan rakyat. Menurut Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta manfaat hutan pada pasal 1 butir 22 menyebutkan bahwa hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Bentuk hutan hak yang umum dikenal adalah hutan rakyat, hutan rakyat diusahakan oleh rakyat pada lahan miliknya, sehingga memiliki kepastian luasan, dan penebangan dilakukan sesuai kehendak pemilik lahan. Kedudukan hutan rakyat telah dijamin kepastian lahan dan relatif mudah dalam mengevaluasi dan memonitoring kondisi tegakan, sehingga memiliki 3
peranan penting dalam pengembangan jasa lingkungan terutama dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Kondisi hutan rakyat di atas memudahkan pelaksana program REDD+ dalam mengukur, memonitoring, dan mengevaluasi perubahan struktur karbon hutan sebagai demonstration activities. Asycarya (2009) mengemukakan bahwa hutan rakyat dapat masuk pasar karbon baik pasar karbon sukarela maupun pasar karbon yang bersifat wajib atau antar negara mengikuti mekanisme REDD+. Minimnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan hutan rakyat. Bukti minimnya perhatian tersebut adalah penempatan wilayah pembangunan hutan rakyat masih ditempatkan pada lahan-lahan marjinal. Oleh karena itu pemilihan vegetasi yang mudah tumbuh menjadi alternatif pembangunan hutan rakyat, misalnya menanam jenis tanaman bambu. Hasil inventarisasi yang dilakukan oleh tim Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1993, dilaporkan bahwa jumlah produksi bambu per tahun dari jenis yang ditanam pada hutan rakyat di D.I. Yogyakarta diperkirakan kurang lebih 3 jutaan batang, dengan rincian masing-masing jenis bambu adalah bambu apus sebesar 80,84 %, bambu wulung 14,29 %, bambu ori 1,93 %, bambu petung 1,57 %, bambu legi 0,96 %, dan bambu ampel 0,41% (Ulfah, 1999). Bambu apus (Gigantochloa apus Kruz) banyak ditanam oleh masyarakat karena jenis bambu yang memiliki banyak manfaat seperti bahan bangunan, perabot rumah tangga dan memiliki nilai ekonomi yang baik, selain itu juga bambu mudah dan cepat pertumbuhannya, dan baik untuk menghambat aliran permukaan saat hujan turun. 4
Bambu apus selain memiliki jumlah dan manfaat yang banyak, bambu apus juga tergolong dalam tanaman C4. Golongan tanaman C4 dikelompokan berdasarkan kecepatan dan banyak mengikat karbon di udara. untuk mengetahui kandungan karbon dalam bambu dibutuhkan penelitian dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan agar mendapat model yang baik digunakan untuk menduga potensi karbon yang tersimpan pada hutan rakyat bambu apus, dan peluangnya dalam penerapan REDD+ di Indonesia. 1.2. Perumusan Masalah Penyebab peningkatan suhu global di antaranya adalah deforestasi dan degradasi hutan. Untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan tersebut dibutuhkan keterlibatan multipihak dalam menjaga dan melestarikan hutan. Keberadaan hutan rakyat merupakan salah satu cara melestarikan kawasan hutan, untuk mengetahui besarnya kontribusi hutan rakyat dalam pengurangan karbon di atmosfir dilakukan pengukuran kemampuan hutan rakyat dalam menyerap karbon. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Berapa nilai kandungan biomassa dan karbon hutan rakyat jenis bambu apus di Dusun Ngandong, Desa Girikerto, Kec. Turi, Kab. Sleman, Yogyakarta? 2. Bagaimana perbedaan nilai produksi bersih hutan rakyat jenis bambu apus, bila dihitung dengan menggunakan tiga metode perhitungan produksi hutan? 3. Bagaimna peluang dan hambatan hutan rakyat dalam penerapan REDD+, di Indonesia? 5
1.3. Kerangka Pemikiran Peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK) Pembakaran bahan bakar fosil deforestasi, dan degradasi lahan Berdasarkan status : - Hutan Negara - Hutan Hak (UU Kehutanan No 41 tahun 1999) Fungsi hutan yang tidak maksimal Salah satu hutan hak adalah hutan rakyat Kemampuan hutan rakyat menurunkan GRK Summation method (Kira et al., 1977): Produksi hutan rakyat Stock carbon sink hutan rakyat Miami model (Lieth, 1977 Thornthwaite memorial model (Lieth, 1977) Kompensasi menjaga hutan rakyat Luasan kawasan tanggungjawab pemilik Partisipasi masyarakat Deforestasi dan degradasi lahan Implementasi REDD+ pada tingkat daerah Gambar 1.1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 6
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kandungan biomassa dan karbon hutan bambu apus di Dusun Ngandong, Desa Girikerto, Kec. Turi, Kab. Sleman, Yogyakarta. 2. Mengetahui perbedaan nilai produksi hutan rakyat jenis bambu apus, bila dihitung dengan menggunakan tiga metode perhitungan Produksi hutan 3. Mengetahui peluang dan hambatan hutan rakyat jenis bambu apus di dalam penerapan REDD+ di Indonesia. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat dalam menyumbang kekayaan bagi ilmu pengetahuan (akademis) dari penelitian ini adalah : 1. Pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan produksi biomassa dan karbon pada hutan rakyat jenis bambu apus di Dusun Ngandong, Desa Girikerto, Kec. Turi, Kab. Sleman, Yogyakarta. 2. Menilai metode perhitungan produksi hutan yang tepat untuk diterapkan pada hutan rakyat khususnya jenis bambu apus di Dusun Ngandong, Desa Girikerto, Kec. Turi, Kab. Sleman, Yogyakarta 3. Memperkaya ketersediaan data ilmiah terhadap peluang dan hambatan penerapan REDD+ di Indonesia. 7
Manfaat praktis penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi bagi pemerintah terhadap nilai produksi biomassa dan karbon hutan rakyat khususnya jenis bambu apus. 2. Memberikan informasi kepada peneliti selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini, demi kemajuan ilmu pengetahuan. 3. Memberikan bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan dalam penerapan REDD+ dalam bentuk keterlibatan masayarakat. 1.6. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan hutan rakyat di Dusun Ngandong, Kec. Turi Sleman Yogyakarta. Dominasi vegetasinya adalah jenis bambu apus. Taksiran yang akurat nilai biomassa dan produksi hutan sangat penting tidak hanya untuk panduan manajemen hutan secara ilmiah namun juga untuk merespon adanya isu global tentang perubahan iklim (global climate change). Database produksi hutan dapat digunakan untuk melakukan validasi model ekosistem hutan di skala regional maupun global. Penelitian ini dilakukan dengan menghitung biomassa tegakan, biomassa tegakan yang hilang atau setelah dilakukan penebangan (grazing) dan seresah yang berasal dari daun bambu apus (litter fall). Selain itu perhitungan produksi hutan juga dilakukan dengan pendekatan faktor-faktor iklim daerah setempat, sebagai pembanding nilai produksi hutan tersebut. Beberapa penelitian yang terkait dengan tema penelitian adalah seperti tabel di bawah ini : 8
Tabel 1. 1. Penelitian yang Relevan dengan Tema Penelitian No Nama /tahun Judul penelitian Metode Obyek Hasil 1 2 3 4 5 6 1 Tri Adiriono 2009 Pengukuran kandungan karbon (Carbon Stock) dengan metode karbonasi pada hutan tanaman jenis Acacia crassicarpa (studi kasus di HTI PT. SEBANGUN BUMI ANDALAS WOODBASED INDUSTRIES 2 Guang sheng Zhou, Yuhui Wang, Yanling Jiang, Zhengyu Yang/ 2002 Estimating biomass and net primary production from forest inventory data : a case study of China s Larix forest Menggunakan metode karbonasi, pengukuran biomas digunakan dengan teknik destructive sampling. Mengestimasi biomassa dan produksi hutan Estimasi produksi hutan berdasarkan iklim dari hutan larix Model miami (lieth 1977): produksi hutan (g m -2 per tahun) Model thornthwaite memorial: produksi hutan (g m -2 per tahun) Potensi biomas tegakan akasia, potensi serapan karbon riap karbon ratarata tahunan, kemampuan serapan CO 2 Spesies dominan :larix gmelini, L sibrica dan L pricipisrupprechtii. L gmelini (55%) dari total luas dan (75%) dari volume total hutan Larix. L. sibrica terdistribusi di gunung Altai Potensi biomas tegakan akasia sebesar 123,68 ton/ha, potensi serapan karbon sebesar 45,64 tc/ha riap karbon rata-rata tahunan,10, 22 tc/ha kemampuan serapan CO 2 167,49 tco 2 /ha Database produksi hutan dapat digunakan untuk melakukan validasi model ekosistem di skala regional maupun global dan meningkatkan prediksi efek-efek yang mungkin dari perubahan iklim pada skala regional dan global 3 Y. Isagi, T. Kawahara_, K. Kamo_ & H. Ito /1997 Net production and carbon cycling in a bamboo Phyllostachys pubescens Stand Produksi atas tanah bersih diperkirakan oleh menjumlahkan produksi bersih masing-masing komponen: batang, cabang, daun, daun selubung dan selubung batang. net produksi (Pn) dari masing-masing komponen diperkirakan dengan metode penjumlahan menggunakan persamaan berikut (Ogawa 1977) Pn = y + L + G Bambu Phillostachys pubecens Kerapatan vegetasi 7100 batang /Ha dan DBH 11,3 cm, biomassa batang 116,5 t/ha, biomassa cabang 15,5 t/ha, biomassa daun 5,9 t/ha, 9
No Nama /tahun Judul penelitian Metode Obyek Hasil 1 2 3 4 5 6 4 Yuji Isagi, Teruhiko Kawahara And Kouichi Kamo Biomass and net production in a bamboo Phyllostachys bambusoides stand Biomassa di produksi bersih (pn) dari masingmasing komponen di etimasi dengan metode penjumlahan menggunakan persamaan yang dilakukan (Ogawa 1977) Pn = y + L + G Bambu Phillostachys pubecens Kepadatan batang berfluktuasi di sekitar nilai rata-rata dari 12 040 ha -1 selama periode penelitian (1985-1991). Penambahan tahunan dan tingkat kematian dari batang adalah 1.340 dan 1.133 ha -1,. Diameter rata-rata DBH meningkat dari 7,28 cm di 1985-8,68 cm pada tahun 1991, dan biomassa batang meningkat dari 71,3 sampai 111.6t ha -1 selama periode waktu yang sama. Cabang dan daun biomasa hampir konstan, dan 10,0 9.4t ha -1 ratarata, masing-masing. Luas daun indeks berdiri adalah 11,6 ha ha -1, yang merupakan salah satu nilai terbesar ditemukan di hutan Jepang. Biomassa di bawah tanah dari 32.6t ha -1 untuk rimpang dan 14.8t ha -1 untuk akar baik menghasilkan rasio lebih kecil dari bagian atas tanah dengan sistem akar (2,38) dibandingkan ditentukan untuk tegakan hutan. Jumlah seresah, termasuk batang dan cabang besar, itu besar (9.13t ha -1 tahun -1), sesuai dengan yang diukur di tribun khatulistiwa. Produksi bersih atas tanah adalah 24.6t ha -1 tahun -1, 10