RUMUS TINGGI BENDA LANGIT Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Atronomi Dosen Pengampu : Drs. H. Slamet Hambali, M.Si Oleh: Ridhokimura Soderi Risya Himayatika Riza Afrian Mustaqim PROGRAM STUDI S2 ILMU FALAK FAKULTAS SYARI AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2017 1
A. Pendahuluan Salah satu cara untuk menentukan waktu-waktu ibadah adalah dengan mengetahui dimana posisi objek benda langit. Seperti matahari dan bulan. Hal ini tentunya sangat berhubungan dengan nilai tinggi benda langit tersebut. Tinggi benda langit merupakan posisi yang di ukur dari pengamat sampai dengan posisi benda langit itu sendiri. Seperti halnya dalam kajian ilmu falak, dimana tinggi hilal di butuhkan untuk menentukan awal bulan Qamariyah, tinggi matahari di butuhkan untuk menentukan waktu-waktu salat, dan juga benda-benda langit lain yang mungkin diperlukan. Dalam makalah ini, akan dipaparkan mengenai tinggi benda langit beserta hal-hal yang berkaitan dengannya. B. Pembahasan 1. Tinggi benda langit dalam Bola Langit Menghitung ketinggian benda langit adalah dihitung sepanjang lingkaran vertikal dari ufuk sampai benda langit yang dimaksud. Dalam astronomi dikenal dengan istilah altitude. Ketinggian benda langit bertanda positif (+) apabila benda langit yang bersangkutan berada di atas ufuk dan bertanda negatif (-) apabila berada di bawah ufuk. 1 Dalam astronomi terdapat koordinat horizon. Koordinat horizon merupakan sistem pemetaan posisi benda langit yang paling tua. Sistem ini didasarkan pada kesan pengamat akan keberadaannya disebuah bidang datar dan menjadi pusat bagi pergerakan benda-benda langit yang ada. Perhatikan gambar berikut ini: 1 Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm. 37. 2
Gambar koordinat horizon Gambar di atas menunjukkan sketsa bola langit untuk pengamat, dimana tata koordinat horizon, posisi sebuah benda langit dinyatakan dengan azimut dan altitude (tinggi benda langit). Altitude sebuah objek di ukur tegak lurus dari horizon pengamat, sedangkan azimut diukur dari sebuah titik acuan yang terdapat di lingkaran horizon. 2 Adapun data yang diperlukan dalam menghitung tinggi benda langit adalah sebagai berikut: a. Lintang tempat Lintang tempat yaitu jarak sepanjang meridian bumi yang diukur dari equator bumi (katulistiwa) sampai sautu tempat yang bersangkutan. Harga lintang tempat adalah 0 sampai 90. Lintang tempat bagi belahan bumi utara bertanda positif (+) disebut latitude yang biasanya digunakan lambang ϕ (phi). b. Deklinasi 2 Muhammad Hadi Bashori, Pengantar Ilmu Falak, Jakarta: Pustaka al-kausar, 2015, hlm. 72. 3
Deklinasi adalah jarak suatu benda langit sepanjang lingkaran deklinasi dari equator sampai benda langit. 3 Deklinasi dibelahan langit bagian utara adalah positif (+), sedangkan di bagian selatan adalah negatif (-). Ketika matahari melintasi khatulistiwa deklinasinya adalah 0. Hal ini terjadi sekitar tanggal 21 Maret dan tanggal 23 September. 4 c. Sudut waktu Sudut waktu adalah busur sepanjang lingkaran harian suatu benda langit dihitung dari titik kulminasi atas sampai benda langit yang bersangkutan. Nilai sudut waktu adalah antara 0 sampai 180. Jika benda langit sedang berkulminasi, maka harga t nya adalah 0. Besar t diukur dengan derajat sudut 0 samapi 180 dan selalu berubah ± 15 /jam, karena gerak harian benda-benda langit. Sudut waktu akan bernilai positif (+) ketika Matahari berada di sebelah barat meridian atau ketika telah melewati titik kulminasinya dari 0 sampai 180, sebaliknya ketika berada di sebelah timur maka akan bernilai negatif (-) dan karena belum melewati titik kulminasinya dari 0 sampai 180. 5 2. Rumus mencari tinggi bintang Perhitungan menghitung tinggi benda langit pad dasarnya adalah untuk mengetahui dimanakah posisi benda langit itu berada. Misalnya saja saat akan melakukan perhitungan awal bulan, kita harus mengetahui tinggi matahari dan tinggi hilal. Adapaun rumus untuk menghitung ketinggian benda langit adalah sebagai berikut: Sin h = sin ϕ sin δ + cos ϕ cos δ sin t 3 Khazin, Kamus Ilmu, hlm. 51. 4 Slamet Hambali, Ilmu Falak 1: Penentuan Awal Waktu Shalat & Arah Kiblat Seluruh Dunia, Semarang: Pascasarjana IAIN Waliosngo, 2011, hlm. 55. 5 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 4
Keterangan : h = tinggi benda langit ϕ = lintang tempat δ = deklinasi t = sudut waktu Jika digambarkan dalam bola langit pada koordinat horizon adalah sebagai berikut: Maka dari gambar di atas akan didapatkan turunan rumus sebagai berikut cos c cos (90 - h) = cos a cos b + sin a sin b cos C = cos (90 - ϕ) cos (90 - δ) + sin (90 - ϕ) sin (90 - δ) cos t sin h = sin ϕ sin δ + cos ϕ cos δ cos t 6 6 Hambali, Ilmu Falak, hlm. 37. 5
Saat mencari tinggi matahari pada waktu terbit atau terbenam (saat perhitungan awal bulan kamariah) rumusnya adalah sebagai berikut: h = - (sd + refraksi + DIP). Perhitungan nilai tinggi matahari pada awal waktu magrib dengan rumus di atas sangat dianjurkan apabila untuk perhitungan awal bulan. Tetapi apabila untuk perhitungan awal waktu salat cukup dengan h magrib = - 1. Kemudia dalam perhitungan mencari tinggi benda langit dalam hal ini menghitung tinggi hilal saat dalam perhitunga awal bulan, harus dilakukan beberapa koreksi terhadap tinggi nyata. Koreksi-koreksi tersebut adalah: a. Parallax atau beda lihat (dikurangkan) Dengan koreksi parallax, berarti tinggi Bulan bukan dihitung dari titik pusat Bumi melainkan dari pemukaan Bumi yang ditempati peninjau. Parallax ini berubah-ubah harganya setiap saat tergantung pada jarak anatar benda langit yang bersangkutan dengan bumi dan tergantung pula dengan ketinggian benda langit dari ufuk. Semakin jauh jaraknya, maka semakin kecil haega parallaxnya. Begitu pula semakin tinggi posisi benda langit dari ufuk maka semakin kecil pula harga parallaksnya. Ketika benda langit berada di titik kulminasi maka harga parallaksnya 0 (nol). Apabila suatu benda langit berada di horizon atau ufuk maka parallaksnya disebut horizontal parallax (HP) atau Geocentris Equatorisl Parallax, karena sebagai acuan perhitungan horizontal parallax ini adalah jari-jari bumi pada equator bumi, yaitu 6378,14 km. Harga HP dapat dihitung dengan rumus: Sin HP = R : d 6
R = jari-jari bumi (rata-rata 6378,14 km) d = jarak dari bumi sampai titik pusat suatu benda langit (dalam km) b. Semi diameter hilal (ditambahkan) Dengan koreksi semidiameter berarti yang kita hitung adalah posisi piringan atas Bulan, bukan titik pusatnya. c. Refraksi atau pembiasan sinar (ditambahkan) Dengan koreksi refraksi, berarti kita menghitung posisi tinggi lihat hilal, bukan tinggi nyata. Refraksi membuat ketinggian posisi benda langit bertambah besar. Refraksi ketinggian benda langit berubah harganya menurut ketinggian benda langit. Data ini diperlukan untuk menghitung ketinggian matahari pada saat terbenam dan terbit. Besar refraksi matahari di horizon adalah 34 30. 7 d. Kerendahan ufuk (ditambahkan) Dengan koreksi kerendahan ufuk, berarti kita menghitung tinggi lihat hilal dari ufuk mar i, bukan dari ufuk hakiki. DIP terjadi karena ketinggian tempat pengamat mempengaruhi ufuk (horizon). Horizon yang teramati pada ketinggian mata sama dengan ketinggian permukaan laut disebut horizon benar (true horizon). Ufuk ini sejajar dengan ufuk hakiki yang bidangnya melalui titik pusat bumi. Horizon yang teramati oleh mata pada ketinggian tertentu di atas permukaan laut disebut horizon semu atau ufuk mar i. Rumus pendekatan untuk menghitung sudut DIP adalah sebagai berikut: DIP = 1,76 m 7 Pedoman Hisab Muhammadiyah, Hlm. 57. 7
m (markaz) = ketinggian tempat dari permukaan laut dari daerah sekitar Setelah dilakukan koreksi di atas menghitung sudut waktu bulan dengan rumus: t bulan = AR O - AR C + t O Baru kemudian menghitung tinggi hilal dengan rumus: sin h = sin ϕ sin c + cos ϕ cos c cos t c Adapun menghitung tinggi benda langit yaitu matahari pada awal Ashar adalah sebagai berikut: Cotan h ashar = tan zm + 1 Misalkan kita akan menghitung tinggi bulan dengan data berikut ini: Φ = -7 10 δ = + 10 15 t = +88 18 sin h = sin -7 10 sin 10 15 + cos -7 10 cos 10 15 cos 88 18 = 00 23 15,43 C. Penutup Demikian makalah tentang Rumus Tinggi Benda Langit ini. Semoga dapat bermanfaat sebagai pengembangan keilmuan Islam. Dalam penulisan makalah ini, tentunya terdapat banyak kekurangan, baik dari segi substansi, maupun dari segi penulisan. Terhadap kesalahan tersebut penyusun meminta maaf karena hal tersebut terjadi karena kekurangan wawasan penulis. 8
DAFTAR PUSTAKA Bashori, Muhammad Hadi, Pengantar Ilmu Falak, 2015, Jakarta: Pustaka al-kausar. Hambali, Slamet, Ilmu Falak 1: Penentuan Awal Waktu Shalat & Arah Kiblat Seluruh Dunia, 2011, Semarang: Pascasarjana IAIN Waliosngo. Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka,, Kamus Ilmu Falak, 2005, Yogyakarta: Buana Pustaka. 9