1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam memprediksi kesehatan fisik dan kesejahteraan semua orang, mulai dari masa kanakkanak sampai orang dewasa. Tidak adanya dukungan sosial menunjukkan beberapa kelemahan antara individu-individu, dalam kebanyakan kasus dukungan sosial juga dapat memprediksi buruknya kesehatan fisik dan mental pada seseorang (Clark, 2005). Menurut penelitian Richmond (2012) dalam jurnalnya mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat menjadi faktor protektif bagi seseorang untuk mencegah dirinya mengalami gangguan jiwa ketika menghadapi suatu masalah. Menurut Ozbay (2007) dukungan sosial sangat diperlukan terutama untuk kesehatan fisik dan psikologis. Secara keseluruhan, tampak bahwa dukungan sosial yang positif dan berkualitas tinggi dapat meningkatkan ketahanan terhadap stres, membantu melindungi terhadap kesehatan psikopatologis yang terkait dengan masalah yang dihadapi seseorang. Berbeda dengan dukungan sosial yang rendah, dukungan sosial yang tinggi muncul untuk penyangga atau melindungi seseorang terhadap dampak dari penyakit mental dan fisik. Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam mempengaruhi kejadian dan efek stress. Menurut sarafino (dalam Azima 2001) dukungan sosial akan memperburuk kondisi seseorang. Beberapa efek negatif yang ditimbulkan bisa terjadi karena dukungan sosial tidak sesuai dengan apa yang
2 diharapkan pada pasien, sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, dan pasien menganggap dukungan tersebut tidak diperlukan sehingga individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan. Pasien gangguan jiwa yang telah menjalani terapi atau yang sudah dipulangkan memiliki kemungkinan untuk mengalami kekambuhan. Menurut Johnson dan Lundstrom (2003) pasien yang sedang mengalami rawat jalan dan telah kembali ke dalam masyarakat apabila dukungan dari masyarakat tidak ada, maka akan beresiko untuk mengalami kekambuhan. Kekambuhan bisa disebabkan karena kurangnya interaksi antara masyarakat dengan penderita gangguan jiwa. Menurut penelitian Larry (2007), untuk orang-orang dengan penyakit mental ditemukan sedikit anggota masyarakat yang mendukungngnya, masyarakat memandang rendah pasien gangguan jiwa dan memilih tidak berteman dengan mereka. Menurut Canadian Institute For Health Information (CIHI, 2012) secara khusus, orang-orang yang mengalami depresi cenderung melaporkan lebih sedikit teman-teman yang mendukung, kurang kontak dengan teman-teman mereka, kurang puas dengan teman-teman dan kerabat mereka. Kondisi kesehatan jiwa di Indonesia menjadi masalah yang memprihatinkan dan sangat serius. Hal ini ditunjukkan oleh hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesda, 2013), menyebutkan bahwa sebanyak 1,7 per mil masyarakat Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Data dari Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesda, 2007) juga menyebutkan angka kejadian gangguan jiwa mencapai 11,6% dan bervariasi setiap provinsi dan /kabupaten/kota. Di Jawa Timur sendiri prevalensi gangguan jiwa setiap tahunnya semakin bertambah. Jumlah pasien gangguan jiwa di Jawa Timur terbanyak adalah di Kabupaten Malang dengan prosentase mencapai 23,7%.
3 Tingginya angka kejadian gangguan jiwa di Indonesia juga akan diiringi dengan tingginya angka kekambuhan. Data diperoleh dari studi pendahuluan di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang setiap ruangan di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang memiliki prosentase kekambuhan pasien sebesar 9%. Tercatat tahun 2013 terdapat 99 pasien gangguan jiwa dari Kabupaten Malang yang megalami kekambuhan. Penderita yang mengalami kekambuhan tersebar di 29 kecamatan. Tingginya kekambuhan ini bisa disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya adalah: faktor klien, faktor penanggung jawab klien, faktor dokter, faktor keluarga, dan faktor masyarakat (Keliat 1996, dalam Yosep, 2006) Hasil studi pendahuluan, berdasarkan wawancara dengan beberapa masyarakat di sekitar tempat tinggal pasien gangguan jiwa yang mengalami kekambuhan di Kec. Lawang sebagian masyarakat sering berinteraksi dengan klien, masyarakat juga sering memberikan makanan seperti roti kepada klien. Namun sebagian masyarakat ada juga yang kurang berinteraksi dengan pasien gangguan jiwa. Masyarakat yang kurang berinteraksi dengan pasien gangguan jiwa menilai bahwa pasien gangguan jiwa bisa membahayakan bagi dirinya, dan tidak bisa di ajak untuk bersosialisasi. Menurut Abidin (2007) hasil temuan dilapangan bahwa penyebab kekambuhan penderita gangguan jiwa lebih sering diakibatkan karena pengaruh dari stressor yang berlebih. Beban yang ditimbulkan oleh pasien gangguan jiwa membuat penderita tidak mampu menikmati kehidupan secara normal, baik secara individu maupun sosial, sehingga individu sering mendapat reaksi negatif oleh masyarakat yang berada disekitarnya. Menurut Byrne (2000) stigma negatif yang sering diberikan oleh masyarakat pada pasien gangguan jiwa akan menyebabkan hubungan sosial antara masyarakat dan penderita gangguan jiwa menjadi kurang. Menurut Djatmiko (dalam Depkes, 2013) pasien yang mengalami gangguan jiwa sering mendapat stigma negatif
4 oleh masyarakat, bahkan tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa individu yang sakit jiwa adalah aib dan memalukan. Stigma ini sangat merugikan bagi individu dan institusi yang berwenang di dunia kesehatan jiwa, terutama untuk kesembuhan pasien gangguan jiwa. Penderita gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa diharapkan pada akhirnya akan dapat kembali ke tengah keluarga dan masyarakat untuk dapat berperan seperti semula. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung kesembuhan pasien gangguan jiwa menurut Kepmenkes no 220/Menkes/SK/III/ 2002 adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat mendukung kesembuhan pasien gangguan jiwa. Menurut Repper (2011) masyarakat harus terlibat dalam dukungan sosial terutama untuk tempat tinggal yang aman dan lingkungan yang mendukung untuk kesembuhan pasien gangguan jiwa. Menurut Nancy (2009) orangorang yang berada dalam jaringan dukungan sosial dapat membantu seseorang menemukan solusi untuk masalah yang dihadapinya, memvalidasi identitas individu, mengarahkan individu untuk informasi yang berguna, dan memberikan kenyamanan bagi individu. dan memberikan arti hidup pada seseorang. Stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada pasien gangguan jiwa membuat pasien gangguan jiwa rentan untuk mengalami gejala berulang. Dukungan sosial dari masyarakat adalah salah satu faktor yang dapat membantu menurunkan angka kekambuhan, maka penting bagi masyarakat untuk memberikan dukungan sosial bagi pasien ganggun jiwa. Disisi lain dukungan sosial dari masyarakat juga akan menyebabkan pasien gangguan jiwa menjadi lebih buruk kondisinya, sehingga pasien akan mengalami kekambuhan berulang.
5 Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan dukungan sosial masyarakat dengan kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan jiwa di Kecamatan Lawang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut apakah dukungan sosial masyarakat berhubungan dengan kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan jiwa? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan sosial masyarakat dengan kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan jiwa. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dukungan sosial masyarakat pada pasien gangguan jiwa di Desa Sumber Porong dan di Desa Amandanom. 2. Mengidentifikasi karakteristik responden penelitian di Desa Sumberporong dan di Desa Amadanom. 3. Mengidentifikasi angka kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan jiwa di Desa Sumber Porong dan di Desa Amandanom.
6 4. Menganalisis adanya hubungan dukungan sosial masyarakat dengan kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan jiwa di Desa Sumber Porong dan di Desa Amandanom. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bidang Peneliti 1. Dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang pentingnya dukungan sosial masyarakat dengan kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan jiwa. 2. Mampu memahami lebih jelas tentang keperawatan jiwa terutama tentang dukungan sosial. 1.4.2 Bagi Institusi 1. Dapat digunakan sebagai sumber informasi dan khasanah wacana kepustakaan. 2. Dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya khususnya ilmu keperawatan jiwa. 1.4.3 Bagi Masyarakat. 1. Dengan adanya penelitian ini masyarakat dapat termotivasi untuk meningkatkan kesehatan global khususnya mengenai penyakit gangguan jiwa. 2. Masyarakat dapat mengetahui pentingnya dukungan sosial pada penderita gangguan jiwa. 3. Masyarakat dapat memberikan dukungan sosial pada pasien gangguan jiwa. 1.4.4 Bagi Profesi Dapat memberikan sumbangan ilmu bagi keperawatan jiwa khususnya mengenai dukungan sosial.
7 1.5 Keaslian Penelitian Dukungan sosial menjadi bagian dari profesi kesehatan yang erat kaitannya dengan pengendalian strees pada pasien gangguan jiwa karena kelebihan dari dukungan sosial ialah dapat melindungi individu dengan melawan efek-efek negatif dari tingkat stres yang tinggi. Sehingga dengan diberikan dukungan sosial dari masyarakat pasien gangguan jiwa dapat mengontrol stress yang tinggi. Dari uraian tersebut peneliti ingin meneliti tentang hubungan antara dukungan sosial masyarakat dengan kejadian relaps (kekambuhan) pada pasien gangguan jiwa. Hal ini didukung dengan penelitian sebelumnya terkait dengan dukungan sosial dan kekambuhan diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Wulansih dan Widodo (2008) yang meneliti tentang hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap keluarga dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta, Prinda (2010) yang meneliti tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial pada pasien skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit, dan penelitian Carla (2013) yang meneliti tentang hubungan antara ekspresi emosi keluarga pasien dengan kekambuhan penderita skizofrenia di RS DR. SARDJITO Yogyakarta. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan Wulansih dan Widodo (2008) yaitu terletak pada variabel dependen. Dimana variabel independen peneliti sebelumnya adalah tingkat pengetahuan dan sikap keluarga, sedangkan penelitian yang akan dilakukan variabel independennya adalah dukungan sosial masyarakat. Selain itu sampel yang digunakan juga berbeda, penelitian Wulansih dan Widodo (2008) menggunakan sampel keluarga pasien, sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal dilingkungan pasien. Perbedaan dengan penelitian Prinda (2010) yaitu terletak pada variabel dependen. Dimana variabel dependen penelitian sebelumnya yaitu keberfungsian sosial, sedangkan
8 penelitian yang akan dilakukan variabel dependennya adalah relaps (kekambuhan). Selain itu sampel yang digunakan juga berbeda, penelitian Prinda (2010) menggunakan sampel keluarga pasien, sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal dilingkungan pasien. Sedangkan perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian Carla (2013) terletak pada variabel independen. Dimana variabel independen peneliti sebelumnya yaitu ekspresi emosi keluarga, sedangkan penelitian yang akan dilakukan yaitu dukungan sosial masyarakat.