BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia maupun di negara-negara barat. Kematian akibat penyakit jantung

Informed Consent Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. SL, Cotran RS, Kumar V, 2007 dalam Pratiwi, 2012). Infark miokard

BAB I PENDAHULUAN. menimpa populasi usia di bawah 60 tahun, usia produktif. Kondisi ini berdampak

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital

POLA PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KUDUS TAHUN 2012 SKRIPSI

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008). Menurut data dan pengalaman sebelum adanya pengobatan yang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia. Fenomena yang terjadi sejak abad ke-20, penyakit jantung dan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

DIAGNOSIS 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit

Referat. Diagnostik dan Manajemen ACS NSTEMI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular yang diakibatkan karena penyempitan pembuluh darah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi ditandai dengan peningkatan Tekanan Darah Sistolik (TDS)

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konseptual

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit non infeksi, yaitu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

Pencegahan Tersier dan Sekunder (Target Terapi DM)

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi aorta dan cabang arteri yang berada di perifer terutama yang memperdarahi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. seluruh pembuluh dimana akan membawa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah

BAB I PENDAHULUAN. Sistem kardiovaskularadalahsalah satu sistemyang paling penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

I. PENDAHULUAN penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung kongestif (Brashesrs,

MODUL SINDROMA KORONER AKUT PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Dewasa ini perilaku pengendalian PJK belum dapat dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome

RUMAH SAKIT MATA PADANG EYE CENTER (RSMPEC) Ramah, Empati, Siaga, Proaktif, Exsclusive, dan Competence PANDUAN TENTANG PANDUAN TELAAH INTERAKSI OBAT

BAB I PENDAHULUAN. Aterosklerosis koroner adalah kondisi patologis arteri koroner yang

BAB III METODE PENELITIAN

Sodiqur Rifqi. Bagian kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi Semarang.

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kardiovaskular dinyatakan sebagai penyebab kematian utama dengan konstribusi sebesar 19,8% dari total kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998. Apabila tidak segera dilakukan tindakan yang tepat diperkirakan banyak orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular (Perwitasari et al., 2010). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan pada tahun 2001 tercatat penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang wanita dibanding pria, yang sebelumnya penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang para pria. Perkembangan terkini memperlihatkan, penyakit kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosial ekonomi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi di negara maju dan berkembang, termasuk di Indonesia (PERKI, 2015). Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik RSUD DR. M. Djamil Padang periode April 2010- April 2012 diketahui bahwa jumlah pasien sindrom koroner akut (SKA) yang di rawat inap di RSUD DR. M. Djamil Padang mencapai 719 orang (35,19% dari 2043 orang) dengan rata-rata lama perawatan berkisar 6-9 hari. Sedangkan angka kunjungan pasien yang berobat jalan ke poliklinik jantung RSUD DR. M. Djamil Padang pada bulan Desember 2010 sekitar 2052 orang dan bulan desember 2011 mengalami peningkatan mencapai 2503 orang. Hal ini semakin menunjukkan bahwa angka kejadian sindrom koroner akut (SKA) cukup tinggi (Oktarina et al., 2013). WHO memprediksi pada tahun 2030 kematian akibat penyakit jantung akan terus meningkat serta menempati peringkat pertama penyebab kematian di dunia sebesar 14,2% (Udjianti, 2010). 1

2 Kemajuan perekonomian sebagai dampak dari pembangunan di negaranegara sedang berkembang termasuk di Indonesia menyebabkan perbaikan tingkat hidup. Hal ini menyebabkan tingkat kesehatan masyarakat meningkat, disamping itu terjadi pula perubahan pola hidup. Perubahan pola hidup ini menyebabkan pola penyakit berubah, dari penyakit infeksi dan rawan gizi ke penyakit-penyakit degeneratif, diantaranya adalah penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular) dan akibat kematian yang ditimbulkannya. Salah satu faktor yang dapat memperburuk penyakit jantung adalah kejadian interaksi obat (Kurniaajaritama, 2013). Interaksi obat dapat memberikan perubahan pada aktivitas obat, baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau menurunkan efek terapinya. Selain beberapa interaksi obat juga dapat saling mendukung kerja satu sama lain atau kebalikannya, interaksi obat dapat mengakibatkan kerja satu obat di hambat obat lain. Terutama pasien yang rentan terhadap interaksi obat diantaranya pasien lanjut usia (Aslam et al., 2004). Penelitian terdahulu tentang penggunaan obat pada penanganan pasien sindrom koroner akut dilakukan oleh Setyawati (2016). Penelitian ini meneliti interaksi obat di rumah sakit panti Nugroho Yogyakarta periode januari 2006- oktober 2016 penderita sindrom koroner akut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa 28 pasien mengalami interaksi obat dengan mekanisme interaksi paling banyak adalah farmakodinamik (46,9%) dan kategori signifikansi paling banyak adalah signifikansi/monitor secara ketat (75,0%). Pengobatan ditujukan untuk sedapat mungkin memperbaiki kembali aliran pembuluh koroner sehingga dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut, serta mencegah kematian mendadak dengan memantau dan mengobati secara tepat. Kematian infark miokard juga dipengaruhi oleh jenis terapi yang diberikan. Terapi standar infark miokard yaitu nitrat, asam asetil salisilat, ACEI terbukti menurunkan kematian dini pada sindrom koroner akut (Setianto et al., 2003). Karena itulah tata laksana sindrom koroner akut diperlukan untuk pengobatan. American College of Cardiologi/American Heart Association merekomendasikan dalam tata laksana terapi pada pasien STEMI diberikan terapi seperti antiplatelet

3 (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), antikoagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH)/Low Molekular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACEinhibitor, dan Angiotensin Receptor Bloker. Tatalaksana IMA terutama STEMI pada usia lanjut menurut panduan ACC/AHA dan ESC dapat menurunkan mortalitas tapi pasien yang selamat mungkin akan meningkatkan insiden gagal jantung (Rahmat, 2013). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Kurniajaturiatama tahun 2013 di RSUP Fatmawati menunjukkan pasien yang mengalami interaksi obat merupakan pasien yang menggunakan lebih dari 5 jenis obat, dengan jumlah pasien yang mengalami interaksi obat sebanyak 5 pasien dari 51 pasien yang diamati, 13 kasus interaksi obat dimana 10 kasus merupakan interaksi obat dengan obat yang terjadi pada pasien. Kasus interaksi obat dengan obat adalah antara captopril dengan aspirin (50%), aspirin dengan clopidogrel (50%). Berdasarkan latar belakang masalah maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui gambaran pengobatan yang diberikan pada kasus sindrom koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016, serta menganalisis terjadinya potensial interaksi obat. Kejadian interaksi obat yang cukup tinggi perlu mendapat perhatian farmasis. Apabila mengacu pada tujuan utama pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) untuk meminimalkan resiko pada pasien, maka memeriksa adanya interaksi obat pada pengobatan pasien merupakan tugas utama farmasis. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimana gambaran pengobatan yang digunakan pada pasien sindrom koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016? 2. Berapa besar prevalensi terjadinya interaksi obat pada pasien sindrom koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016?

4 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui gambaran pengobatan yang digunakan pada pasien sindrom koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016. 2. Mengetahui prevalensi terjadinya interaksi obat pada pasien sindrom koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016. D. Tinjauan Pustaka 1. Sindrom Koroner Akut (SKA) a. Definisi Sindrom Koroner Akut (SKA) Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard tanpa elevasi segmen ST/NSTEMI, dan infark miokard dengan elevasi segmen ST/STEMI. APTS dan NSTEMI merupakan sindrom koroner akut yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). b. Etiologi Adanya aterosklerosis koroner dimana terjadi kelainan pada intima bermula berupa bercak fibrosa (fibrous flaque) dan selanjutnya terjadi ulserasi, pendarahan, klasifikasi dan trombosis. Perjalanan dalam kejadian ateroskerosis tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, akan tetapi disebabkan oleh banyak faktor lain seperti : hipertensi, kadar lipid, rokok, kadar gula darah yang abnormal (Djohan, 2004). c. Patogenesis Sindrom Koroner Akut (SKA) 1). Angina Pektoris Tidak Stabil terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis yang relatif kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20 menit.

5 2). NSTEMI (Non-ST Elevation Myokardial Infarction) kerusakan pada plak lebih berat dan menimbulkan oklusi yang lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Pada kurang lebih ¼ pasien NSTEMI, terjadi oklusi trombus yang berlangsung lebih dari 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan terdapat koleteral. Trombolisis spontan, resolusi vasokonstriksi dan kolesteral memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya STEMI. 3). STEMI (ST Elevation Mycardial Infarction) disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya trombus yang fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). d. Diagnosis Diagnosis adanya suatu sindrom koroner akut (SKA) adalah didasarkan pada tiga kriteria yaitu gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Tabel 1. Diagnosis Klinis Sindrom Koroner Akut Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung APTS Angina pada waktu istirahat/aktifitas Depresi segmen T Tidak Meningkat ringan (CCS III-IV),Cresendo Inversi gelombang T angina, hilang dengan nitrat. Tidak ada gelombang Q NSTEMI STEMI Lebih berat dan lama (>30 menit), tidak hilang dengan nitrat, perlu opium Lebih berat dan lama (>30 menit) tidak hilang dengan nitrat, perlu opium Depresi segmen ST Inversi gelombang T Hiperakut T Elevasi segmen T Gelombang Q Inversi gelombang T Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal e. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA) Tujuan jangka pendek untuk pasien sindrom koroner akut adalah: a. Pemulihan aliran darah ke arteri infark. b. Pencegahan kematian dan komplikasi. c. Pencegaran reoklusi arteri koroner. d. Memperbaiki ketidak nyamanan pada iskemik. e. Pemeliharaan normoglikemia (Dipiro, 2008).

6 Terapi awal yang diberikan dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung yaitu : a. Tirah baring. b. Suplemen oksigen diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi dan dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri. c. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorbsi sublingual lebih cepat. d. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate) 1) Dosis awal ticaglerol adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk referfusi menggunakan agen fibrinolitik. 2) Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari. e. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Dapat diberikan berulang jika nyeri angina tidak hilang. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan tiga dosis NTG sublingual. Jika tidak tersedia NTG sebagai pengganti Isosorbid dinitrat (ISDN). f. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (PERKI, 2015). Untuk pengobatan farmakologi yang diperlukan dalam menangani sindrom koroner akut, berdasarkan pedoman tatalaksana sindrom koroner akut yang disusun oleh perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia tahun 2015 yang disusun melalui proses penelaahan berbagai publikasi ilmiah dan mempertimbangkan konsistensi dengan berbagai konsensus dan pedoman yang dibuat oleh berbagai perkumpulan profesi kardiovaskular. Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut.

7 Tabel 2. Klasifikasi Rekomendasi Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (Sumber: Himpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015) Kelas I Bukti dan atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut bermanfaat dan efektif. Kelas II Bukti dan atau pendapat yang berbeda tentang manfaat pengobatan tersebut. Kelas IIa Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat atau kegunaan, sehingga beralasan untuk dilakukan. Kelas IIb Manfaat atau efektifitas kurang didukung oleh bukti atau pendapat namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan. Kelas III Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut tidak berguna atau tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus kemungkinan membahayakan. Tingkat bukti A Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau meta analisis. Tingkat bukti B Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa penelitian tidak acak. Tingkat bukti C Data berasal dari konsensus opini para ahli dan atau penelitian kecil, studi retrospektif atau registri. (SKA) yaitu : Obat- obat yang digunakan dalam pengobatan sindrom koroner akut a. Anti iskemia 1) Penyekat Beta (Beta blocker) Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Penyekat beta oral hendak nya diberikan dalam 24 jam pertama (PERKI, 2015). Tabel 3. Jenis dan Dosis Penyekat Beta untuk Terapi IMA Penyekat beta Selektivitas Aktifitas Agonis Parsial Dosis untuk Angina Atenolol B1-50-200mg/hari Bisoprolol BI - 10mg/hari Carvedilol α dan β + 2x6,25mg/hari,titrasi sampai maksimum 2x25 mg/hari Metoprolol B1-50-200mg/hari Propanolol Nonselektif - 2x20-80mg/hari 2) Nitrat Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina (Kelas I-C). Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 24 jam pertama UAP/NSTEMI. Menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi

8 pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B). Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmhg atau >30 mmhg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan (Kelas III-C). Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase : sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C) (PERKI, 2015). Tabel 4. Jenis dan Dosis Nitrat untuk Terapi IMA Nitrat Dosis Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5-15mg (onset 5 Menit) Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis Intravena 1,25-5 mg/jam Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari Oral (slow release) 120-240 mg/hari Nitrogliserin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg 1,5 mg (trinitrin,tnt,glyceryl trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit 3) Calcium channel blockers (CCBs) Calcium channel blockers (CCBs) terutama golongan dihidropiridin merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospatik. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta, CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B) (PERKI, 2015). CCB non-dihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B). CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospatik (Kelas I-C). Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta (Kelas III-B) (PERKI, 2015).

9 Tabel 5. Jenis dan Dosis Penghambat Kanal Kalsium untuk Terapi IMA Penghambat kanal kalsium Dosis Verapamil 180-240mg/hari dibagi 2-3 dosis Diltiazem 120-360mg/hari dibagi 3-4 dosis Nifedipine GITS (long acting) 30-90 mg/hari Amlodipine 5-10 g/hari b. Antiplatelet Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanpa indikasi kontra dengan dosis loading 150-300mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi yang diberikan. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra risiko perdarahan berlebih. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) di berikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy-aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. Pylori, usia 65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A). Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C) (PERKI, 2015). Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemia sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B). Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A). Pemberian dosis loading clopidogrel 600mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B). Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap

10 hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B) (PERKI, 2015). Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C). Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan atau dilanjutkan setelah pembedahan coronary artery bypass grafting (CABG) yaitu pembedahan yang membantu memulihkan aliran darah yang normal ke otot jantung yang tersumbat begitu dianggap aman (Kelas IIa-B). Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2 selektif dan NSAID non-selektif) (Kelas III-C) (PERKI, 2015). Tabel 6. Jenis dan Dosis Antiplatelet untuk Terapi IMA Antiplatelet Dosis Aspirin Dosis loading 150-300mg, dosis pemeliharaan 75-100mg Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari Clopidogrel Dosis loading 300mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari c. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A) (PERKI, 2015). d. Antikoagulan Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A). Pemilihan antikoagualan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasikeamanan agen tersebut (Kelas I-C). Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki

11 profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A). Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP IIb/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I- B). Enoksaparin (1mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I- C). Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A). Crossover heparin (UFH dan LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B) (PERKI, 2015). Tabel 7. Jenis dan Dosis Antikoagualan untuk IMA Antikoagulan Dosis Fondaparinuks 2,5 mg subkutan Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari Heparin tidak terfraksi Bolus i.v. 60U/g, dosis maksimal 4000 U. Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam target aptt 11/2-2x kontrol e. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (Kelas I-A). Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C). Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark miokard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri 40% dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas I-B) (PERKI, 2015). Tabel 8. Jenis dan Dosis Inhibitor ACE untuk IMA Inhibitor ACE Dosis Captopril 2-3 x 6,25-50 mg Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

12 f. Statin Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethyglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I- A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dl (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dl mungkin untuk dicapai. g. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan Penggunaan warfarin bersama aspirin dan /atau clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus di pantau ketat (Kelas I-A). Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih target INR terendah yang masih efektif (kelas IIa-C). Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang berisiko tinggi perdarahan, target INR 2-2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B) (PERKI, 2015). 2. Interaksi Obat a. Definisi Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai penggunaan dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efek masing-masing atau saling berinteraksi. Interaksi obat yang terjadi dapat bersifat potensial atau antagonis satu obat oleh obat lainnya atau dapat menimbulkan efek yang lainnya (Badan POM, 2015). b. Mekanisme Interaksi Obat 1) Interaksi farmakokinetik Interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat lain. Interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek farmakologinya (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2008).

13 2) Interaksi farmakodinamik Interaksi antara obat-obat yang mempunyai efek farmakologi atau efek samping yang serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2008). Efek dan keparahan interaksi obat bervariasi antara pasien yang satu dengan pasien yang lain. Faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat di antaranya : 1. Pasien lanjut usia 2. Pasien yang minum lebih dari satu macam obat 3. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati 4. Pasien dengan penyakit akut 5. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil 6. Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu 7. Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter c. Penatalaksanaan Interaksi Obat Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi dengan obat lain. Strategi dalam penatalaksanaan interaksi obat diantaranya : 1) Hindari kombinasi obat yang berinteraksi Jika resiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. 2) Penyesuaian dosis obat Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. 3) Memantau pasien Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan, pemantauan diperlukan. 4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya

14 5) Jika interaksi obat tidak bermakna klinis, atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan tanpa perubahan (Fradgley, 2003). E. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi data obat kardiovaskuler dan potensial interaksi obat pada pasien sindrom koroner akut di RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo tahun 2016.