Lex Privatum Vol. VI/No. 2/April/2018

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. 1

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB III PENUTUP. Jayapura, apabila perjanjian kredit macet dan debitur wanprestasi yaitu: (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring).

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

Lex Crimen Vol. VI/No. 10/Des/2017

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK. Oleh: Ni Made Trisna Dewi ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB II KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM YANG MENYANGKUT JAMINAN FIDUSIA. artinya, apabila jaminan dengan hak tanggungan sebagaimana diterangkan

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sosialisasi yang dilakukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA. Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Kebutuhan akan adanya lembaga jaminan, telah muncul sejak zaman romawi.

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dan. meningkatnya kemajuan tersebut, maka semakin di perlukan berbagai

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA DI DALAM PERJANJIAN KREDIT

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1996

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB V PENUTUP A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. keduanya diperlukan intermediary yang akan bertindak selaku kreditur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA DALAM PEMBELIAN KENDARAAN BERMOTOR ANTARA DEBITOR DENGAN KREDITOR

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB 3 PARATE EKSEKUSI DALAM KAITANNYA DENGAN JANJI EKSEKUTORIAL DALAM HAK TANGGUNGAN, PERMASALAHAN YANG ADA SERTA PEMBAHASANNYA

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2

TANGGUNG JAWAB KREDITOR ATAS HILANGNYA BARANG GADAI

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

Transkripsi:

TINJAUAN YURIDIS ATAS AKIBAT HUKUM WANPRESTASI JAMINAN FIDUSIA MENURUT KUH PERDATA 1 Oleh: Isabella Sharon Lapod 2 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Donald A. Rumokoy, SH, MH; Liju Z. Viany, SH, MH ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana wanprestasi ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan apa akibat hukum yang timbul dari wanprestasi suatu jaminan fidusia. Dengan menggunakan metode penel;itian yuridis normatif, disimpulakn: 1. Wanprestasi merupakan tidak memenuhi atau tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitor baik sengaja maupun karena tidak sengaja atau dapat disebut lalai. Wanprestasi mempunyai hubungan erat dengan somasi karena seorang debitor dapat dikatakan wanprestasi apabila telah diberikan surat peringatan tertulis atau somasi oleh kreditor atau juru sita. Somasi yang diberikan oleh kreditor atau juru sita minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali dan apabila somasi tersebut tidak dipenuhi oleh debitor, maka kreditor berhak untuk membawa persoalan itu ke pengadilan dan pengadilanlah yang memutuskan apakah debitor tersebut wanprestasi atau tidak. 2. Di dalam perjanjian jaminan fidusia, terdapat akibat hukum atau sanksi yang berlaku apabila seorang debitor wanprestasi. Kreditor penerima fidusia berhak melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia ketika debitor pemberi fidusia wanprestasi untuk pelunasan piutangnya. Eksekusi yang dimaksud yaitu mewajibkan debitor untuk menyerahkan objek jaminan tersebut kepada kreditor. Dan kreditor berhak untuk melibatkan pihak yang berwenang ketika debitor tidak mau menyerahkan objek jaminan tersebut. Dalam pelaksanaan eksekusi, sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan yang sama dengan putusan hakim. Selain itu, kreditor dapat menerima pelunasan piutangnya melalui pelelangan umum sesuai kekuasaan yang dimilikinya. Dapat juga dilakukan penjualan di bawah tangan agar kedua belah pihak dapat diuntungkan melalui kesepakatan 1 Artikel Skripsi. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum, NIM. 14071101258 antara pemberi dan/atau penerima jaminan fidusia dengan maksud untuk memperoleh harga tertinggi dari objek jaminan fidusia tersebut. Hal ini dapat dilakukan setelah lewat dari 1 (satu) bulan sejak pemberitahuan secara tertulis. Kata kunci: Tinjauan Yuridis, Akibat Hukum, Wanprestasi, PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian pada umumnya mempunyai maksud dan tujuan yang beragam. Salah satu tujuan dari perjanjian berkaitan dengan pemberian atau pengajuan kredit. Kata kredit berasal dari bahasa latin yaitu credere, yang diterjemahkan sebagai kepercayaan. 3 Pemberian jaminan dalam suatu perjanjian utang-piutang maupun perjanjian kredit sangat diperlukan oleh kreditur, karena kreditur mempunyai kepentingan untuk memastikan debitur akan benar-benar memenuhi kewajibannya membayar utang. 4 Pada dasarnya jaminan terbagi dalam dua bentuk, yaitu jaminan umum dan jaminan khusus. 5 Jaminan umum adalah jaminan yang ditentukan oleh undang-undang yang dalam hal ini ditentukan pada Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata 6 yang menyebutkan bahwa segala harta kekayaan seseorang baik yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan utangnya. Sedangkan jaminan khusus yaitu jaminan yang lahir dengan diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak, jaminan ini dibuat secara khusus dalam perjanjian dan dapat berbentuk jaminan yang bersifat kebendaan atau yang bersifat perorangan, tergolong jaminan ini adalah hipotek, gadai, fidusia, penanggungan atau 3 Irham Fahmi. 2014. Manajemen Perkreditan. Bandung: Alfabeta. Hlm. 2 4 Riky Rustam. 2017. Hukum Jaminan. Yogyakarta: UII Press. Hlm. 48 5 http://lawfile.blogspot.co.id/2011/12/catatanrangkuman-hukum-jaminan.html?m=1 diakses tanggal 7 november 2017. Pukul 16:15 WITA. 6 Riky Rustam. Op.,Cit. Hlm. 51. 5

jaminan perorangan, 7 hak tanggungan dan lainlain. Konsep pemberian jaminan fidusia adalah penyerahan hak milik secara kepercayaan atas hak-hak kebendaan. 8 Pada umumnya perjanjian dengan jaminan fidusia dibuat berkaitan dengan kredit yang diberikan oleh lembaga keuangan bank maupun nonbank kepada nasabahnya. Untuk memudahkan nasabah agar dapat tetap menggunakan jaminannya terutama untuk kepentingan usaha, maka lahirlah lembaga jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang. Lembaga jaminan fidusia timbul karena adanya alasan atau pertimbangan praktis yaitu terkait dengan adanya ketentuan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang gadai yang berbunyi: Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, atau pun yang kembali atas kemauan si berpiutang. 9 Larangan tersebut mengakibatkan pemberi gadai tidak dapat mempergunakan benda yang digadaikan untuk keperluan usahanya, hal ini akan mempersulit bagi debitur yang membutuhkan benda jaminan untuk suatu utang, sementara satu-satunya benda yang dimiliki dan dapat dijaminkan adalah benda bergerak yang kebetulan justru sangat dibutuhkan untuk menjalankan usahanya. 10 Dalam melakukan perjanjian fidusia yang dibuat oleh para pihak harus memperhatikan ketentuan umum suatu perikatan yang diatur dalam Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. 11 Pada tahap pelaksanaan perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah 7 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2011. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: BPHN dan Liberty. Hlm. 43-46 8 Irma Devita Purnamasari. 2014. Hukum Jaminan Perbankan. Bandung: Kaifa. Hlm. 83 9 Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 10 Riky Rustam. Op.cit. Hlm. 130 11 Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang disebut sebagai prestasi, sedangkan apabila salah satu pihak atau bahkan kedua pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya, itulah yang disebut dengan wanprestasi. 12 Perkataan wanprestasi sering juga dipadankan pada kata lalai atau alpa, ingkar janji atau melanggar perjanjian, bila saja debitur melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukan. 13 Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 14 Ketika debitur pemberi fidusia wanprestasi, kreditur penerima fidusia berhak melakukan eksekusi atas benda objek jaminan fidusia untuk mendapatkan pelunasan piutangnya. 15 Kajian yuridis tentang akibat hukum atas wanprestasi terhadap jaminan fidusia akan dibahas dalam Bab III skripsi ini. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik melakukan penulisan dengan judul Tinjauan Yuridis Atas Akibat Hukum Wanprestasi Menurut KUH Perdata. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana wanprestasi ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata? 2. Apa akibat hukum yang timbul dari wanprestasi suatu jaminan fidusia? C. Metode Penulisan Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan (Library Studies). Dalam metode ini, penulis akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berupa buku-buku, literatur-literatur dan produk-produk hukum yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai data dasar yang kemudian dianalisa dan disusun secara sistematis untuk memperoleh data yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 12 Ahmadi Miru. 2014. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 67 13 I Ketut Oka Setiawan. Op.cit. Hlm. 19. 14 Ibid., Hlm. 74. 15 Riky Rustam. Op.,Cit., Hlm. 157 6

PEMBAHASAN A. Wanprestasi Ditinjau Dari Kitab Undangundang Hukum Perdata Ketentuan dalam Pasal 1238 Kitab Undangundang Hukum Perdata menyebutkan bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. 16 Menurut ketentuan tersebut, debitor dianggap lalai atau dapat dikatakan wanprestasi apabila telah lewat tenggang waktu yang telah ditentukan dalam sebuah perjanjian. Dalam hal ini pemenuhan akan prestasi merupakan hakekat dari suatu perjanjian yang dibuat, sehingga debitur dituntut untuk melaksanakan kewajibannya secara bertanggung jawab. Untuk mengikatkan debitur agar dapat memenuhi prestasinya, maka menurut Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, debitur harus mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan atas hutangnya kepada kreditur. Dalam praktek dilapangan jaminan harta kekayaan ini dapat dibatasi dalam jumlah tertentu yang patut, sesuai batas-batas pinjaman yang diperjanjikan. Artinya benda jaminan itu nilainya sepadan dengan nilai hutang debitur. Esensi dalam suatu perjanjian selalu terdapat dua subjek hukum, yaitu pihak yang berkewajiban melaksanakan suatu prestasi dan pihak yang berhak atas suatu prestasi. Dalam pemenuhan suatu prestasi ini, tidak jarang ditemui dalam praktek debitur yang lalai melaksanakan kewajiban atau tidak memenuhi seluruh prestasinya. Ada dua cara untuk menyatakan debitur wanprestasi yaitu: 1. Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui pengadilan negeri. 2. Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui pengadilan negeri. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui pengadilan negeri yang berwenang yang disebut sommatie. 17 Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor atau juru sita. 18 Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan. Mengenai tuntutan yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut, tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Tuntutan tersebut dapat berupa: 19 1. Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243 KUH Perdata) 2. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata) 3. Perikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata) 4. Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata) 5. Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitor dinyatakan bersalah. Dalam ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata yang menentukan bahwa tiap perjanjian bilateral selalu dianggap telah dibuat dengan syarat, bahwa kelalaian salah satu pihak akan mengakibatkan pembatalan perjanjian. Pembatalam tersebut harus dimintakan pada hakim. 20 Dalam hal ini yang menjadi persoalan ialah apakah perjanjian itu sudah batal karena kelalaian dari pihak debitor atau harus dibatalkan oleh hakim. Menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukanlah kelalaian debitur yang menyebabkan batal, tetapi putusan hakim yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan itu bersifat constitutief dan tidak declaratoir. Malahan hakim itu mempunyai suatu kekuasaan discretionair artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi debitur. 21 Putusan constitutief ialah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum 16 Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 17 Abdulkadir Muhammad. Op.,Cit., Hlm. 242 18 Ahmadi Miru. Loc.Cit 19 Abdulkadir Muhammad. Op.,Cit., Hlm. 243 20 Subekti. Op.,Cit., Hlm. 148 21 Ibid. 7

maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru, sedangkan putusan declaratoir adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Namun, kenyataan yang dijumpai dalam suatu kontrak baku adalah ketentuan bahwa para pihak yang telah bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1266 Kitab Undangundang Hukum Perdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya sudah batal demi hukum. 22 Tetapi beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal terjadi wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan kepada hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipun debitor sudah wanprestasi hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan kepadanya untuk memenuhi perjanjian. 23 Dalam Pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. 24 Dengan demikian menurut ketentuan ini wanprestasi merupakan syarat batal. Akan tetapi dalam Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata disebutkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, maka perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. 25 Dalam praktik yang dijumpai, para pihak yang melakukan perjanjian selalu mencantumkan suatu klausula bahwa mereka sepakat untuk melepaskan atau menyampingkan ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian itu batal demi hukum. 26 Ada beberapa alasan yang mendukung pencantuman klausula ini, misalnya dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 27 Sehingga pencantuman klausula yang melepaskan ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata, harus ditaati oleh para pihak. Selain itu jalan yang ditempuh melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama sehingga hal ini tidak efisien bagi pelaku bisnis. 28 Sebaliknya, ada para ahli hukum atau para praktisi hukum yang berpendapat bahwa wanprestasi tidak secara otomatis batal demi hukum, melainkan harus dimintakan kepada hakim sesuai ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata. Hal ini didukung karena jika debitor wanprestasi, maka kreditor masih berhak mengajukan gugatan agar debitor memenuhi perjanjian, sedangkan apabila wanprestasi dianggap sebagai suatu syarat batal, maka kreditor hanya menuntut ganti rugi. 29 Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 1266 ayat (4) KUH Perdata yang berbunyi jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan. 30 Dalam hal ini hakim mempunyai discrecy untuk menimbang berat ringannya kelalaian debitor debandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian dibatalkan. 31 Dalam kasus yang melibatkan pelaku usaha dan konsumen, memang perlu diberikan perlindungan hukum kepada konsumen dari tindakan sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha tanpa melalui putusan hakim. Akan tetapi dalam kasus antara pelaku usaha melawan pelaku usaha atau business to business perlu adanya kepastian hukum agar para pihak mentaati hak dan kewajibannya. 32 Untuk memutuskan apakah terjadinya wanprestasi merupakan syarat batal atau harus dimintakan pembatalannya pada hakim, maka 22 Suharnoko. 2004. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana. Hlm. 61 23 Ibid. 24 Pasal 1266 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata 25 Suharnoko. Op.,Cit., Hlm. 63 26 Ibid. 27 Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata 28 Suharnoko. Loc.Cit. 29 Ibid. Hlm 64 30 Pasal 1266 ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata 31 Suharnoko. Op.Cit., Hlm. 64 32 Ibid. Hlm. 62 8

harus dipertimbangkan kasus demi kasus dan pihak yang membuat perjanjian. B. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Jaminan Fidusia Akibat hukum merupakan segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. 33 Dengan kata lain, akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum. 34 Akibat hukum ini dapat berwujud: 35 1. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum. 2. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain. 3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum. Dalam pelaksanaan jaminan fidusia, akibat hukum dari seorang yang lalai atau cidera janji dapat dilakukan pelaksanaan eksekusi oleh kreditor kepada yang bersangkutan. Pelaksanaan eksekusi dalam jaminan fidusia itu mudah dan pasti dalam pelaksanaannya, hal tersebut merupakan salah satu ciri dari jaminan fidusia. Walaupun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, namun dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi dalam Undangundang, yaitu yang mengatur mengenai lembaga parate eksekusi. 36 Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 sampai Pasal 34 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang. Dimaksud dengan eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fudusia. Yang menjadi 33 Dudu Duswara Machmudin. 2003. Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa). Bandung: PT. Refika Aditama. Hlm. 50 34 R. Soeroso. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 296 35 Ibid. 36 Rachmadi Usman. Op.,Cit., Hlm. 229 penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia ini adalah karena debitur atau pemberi fidusia cidera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia, walaupun mereka telah diberikan somasi. 37 Eksekusi atas objek dari jaminan fidusia dapat dilakukan dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga tidak perlu melalui proses pengalihan pada umumnya. 38 Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang terdapat 3 cara pelaksanaan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia, diantaranya: 39 a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia; b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Yang dimaksud titel eksekutorial sebagaimana dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-undang adalah tulisan yang mengandung pelaksanaan putusan pengadilan, yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang sita (executorial verkoop) tanpa perantaraan Hakim. 40 Selanjutnya parate eksekusi lewat pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang, dapat dilakukan tanpa melibatkan pengadilan sama sekali. 41 Dan pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-undang, dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan 37 H. Salim. HS. Op.,Cit., Hlm. 90 38 Riky Rustam. Op.,Cit., Hlm. 157 39 Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang 40 H. Salim. HS. Loc.Cit 41 Munir Fuady. 2003.. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hlm. 60 9

diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. 42 Perlu diperhatikan, bahwa ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia merupakan suatu ketentuan yang bersyarat, yang biasa berlaku apabila syarat tersebut terpenuhi, yaitu syarat bahwa debitur atau pemberi fidusia cidera janji. Karena cidera janji debitur meliputi baik pada perjajian pokoknya maupun dalam perjanjian penjaminannya. Sebab dalam perjanjian pokok maupun dalam perjanjian penjaminannya, para pihak bisa memperjanjikan, bahwa apabila debitur tidak mematuhi janji-janji yang terutang dalam perjajian-perjanjian yang mereka tutup, utang debitur seketika menjadi matang untuk ditagih. 43 Cidera janji disini bisa berupa lalainya debitur memenuhi kewajiban pelunasannya pada saat utangnya sudah matang untuk ditagih, maupun tidak dipenuhi janji-janji yang diperjanjikan, baik dalam perjanjian pokok maupun perjanjian pinjamannya, sekalipun utangnya sendiri pada saat itu belum matang untuk ditagih. Dalam peristiwa seperti itu, maka kreditor (penerima fidusia) bisa melaksanakan eksekusinya atas benda jaminan fidusia. 44 Pasal 30 Undang-undang mewajibkan pemberi fidusia untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Dalam hal pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, maka penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang. 45 Khusus dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempattempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 31 Undang-undang ). 42 Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang 43 Rachmadi Usman. Op.,Cit., Hlm.231 44 Ibid. 45 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Op.,Cit., Hlm. 153 Ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 sampai Pasal 31 Undang-undang Jaminan Fidusia sifatnya mengikat dan tidak dapat dikesampingkan atas kemauan para pihak. 46 Pasal 32 Undang-undang menyebutkan bahwa setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai Pasal 31 adalah batal demi hukum. 47 Selanjutnya mengingat bahwa jaminan fidusia adalah pranata jaminan dan bahwa pengalihan hak kepemilikan dengan cara constitutum possesorium adalah dimaksudkan semata-mata untuk memberi agunan dengan hak yang didahulukan kepada penerima fidusia, maka sesuai dengan Pasal 33 Undang-undang setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. 48 Ketentuan tersebut untuk melindungi pemberi fidusia, teristimewa jika nilai objek jaminan fidusia melebihi besarnya utang yang dijamin. 49 Dalam Pasal 34 Undang-undang Jaminan Fidusia terdapat 2 kemungkinan dari hasil eksekusi barang jaminan fidusia, yaitu: 50 1. Dalam hasil eksekusi melebihi nilai pinjaman, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia. 2. Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar. Dalam proses eksekusi yang dilakukan oleh pengadilan berpedoman pada ketentuan Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR/ Pasal 206 sampai dengan Pasal 258 Rbg. Dalam ruang lingkup 46 Ibid. Hlm. 154 47 Pasal 32 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang 48 Pasal 33 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang 49 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Loc.Cit 50 Pasal 34 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang 10

pengadilan di Indonesia, eksekusi dikenal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: 51 1. Eksekusi riil, eksekusi ini hanya mungkin terjadi berdasarkan putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata atau riil yang: a. Telah memperoleh kekuatan hukum tetap, b. Bersifat dijalankan terlebih dahulu, c. Berbentuk provisi, d. Berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan. 2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang dengan didasarkan pada bentuk aktanya yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu berupa: a. Grose akta pengakuan utang. b. Grose akta hipotik. Kekuatan eksekutorial akta pengakuan utang dan akta hipotik yang dibuat secara notariil disebutkan dalam Pasal 224 HIR/258 RBg yang menentukan bahwa surat asli (grosse) dari akta pengakuan utang dan akta hipotik yang dibuat dihadapan notaris di Indonesia dan membubuhkan irah-irah perkataan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa di kepalanya, kekuatannya sama dengan suatu keputusan pengadilan (hakim). 52 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Wanprestasi merupakan tidak memenuhi atau tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitor baik sengaja maupun karena tidak sengaja atau dapat disebut lalai. Wanprestasi mempunyai hubungan erat dengan somasi karena seorang debitor dapat dikatakan wanprestasi apabila telah diberikan surat peringatan tertulis atau somasi oleh kreditor atau juru sita. Somasi yang diberikan oleh kreditor atau juru sita minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali dan apabila somasi tersebut tidak dipenuhi oleh debitor, maka kreditor berhak untuk membawa persoalan itu ke pengadilan 51 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. 1993. Grose Akta Dalam Pembuktian Dan Eksekusi. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 119-120 52 Rachmadi Usman. Op.,Cit., Hlm. 232 dan pengadilanlah yang memutuskan apakah debitor tersebut wanprestasi atau tidak. 2. Di dalam perjanjian jaminan fidusia, terdapat akibat hukum atau sanksi yang berlaku apabila seorang debitor wanprestasi. Kreditor penerima fidusia berhak melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia ketika debitor pemberi fidusia wanprestasi untuk pelunasan piutangnya. Eksekusi yang dimaksud yaitu mewajibkan debitor untuk menyerahkan objek jaminan tersebut kepada kreditor. Dan kreditor berhak untuk melibatkan pihak yang berwenang ketika debitor tidak mau menyerahkan objek jaminan tersebut. Dalam pelaksanaan eksekusi, sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan yang sama dengan putusan hakim. Selain itu, kreditor dapat menerima pelunasan piutangnya melalui pelelangan umum sesuai kekuasaan yang dimilikinya. Dapat juga dilakukan penjualan di bawah tangan agar kedua belah pihak dapat diuntungkan melalui kesepakatan antara pemberi dan/atau penerima jaminan fidusia dengan maksud untuk memperoleh harga tertinggi dari objek jaminan fidusia tersebut. Hal ini dapat dilakukan setelah lewat dari 1 (satu) bulan sejak pemberitahuan secara tertulis. B. Saran 1. Diharapkan kepada semua pihak yang melakukan perjanjian untuk dapat menghindari wanprestasi karena akan menimbulkan kerugian kepada kreditor umumnya dan akan mendapatkan sanksi bagi pihak debitor yang telah dinyatakan lalai. Selain itu, hakim diharapkan mampu untuk bersikap bijak dalam mencari keadilan pada perkara wanprestasi. 2. Untuk mencegah terjadinya wanprestasi, ada baiknya sebelum dilakukan perjanjian jaminan fidusia, debitor harus memperhatikan dan mencermati isi dari perjanjian, memahami hak dan kewajibannya sebagai pemberi jaminan fidusia, serta mengetahui akibat hukum 11

atau sanksi yang berlaku apabila debitor melanggar perjanjian. DAFTAR PUSTAKA I. BUKU-BUKU: Fahmi Irham, Manajemen Perkreditan, Alfabeta, Bandung, 2014. Fuady Munir,, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. HS Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2014., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Kamelo Tan, Hukum Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006. Machmudin Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), PT. Refika Aditama, Bandung, 2003. Marzuki Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2009. Miru Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, 2014. Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014. Nugroho Bambang Daru, Hukum Perdata Indonesia: Integrasi Hukum Eropa Kontinental Ke Dalam Sistem Hukum Adat dan Nasional, PT. Refika Aditama, Bandung, 2017. Purnamasari Irma Devita, Hukum Jaminan Perbankan, Kaifa, Bandung, 2014. Rustam Riky, Hukum Jaminan, UII Press, Yogyakarta, 2017. Satrio J, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. Setiawan I Ketut Oka, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2017. Situmorang Victor M dan Cormentyna Sitanggang, Grose Akta Dalam Pembuktian Dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Soerodjo Irawan, Hukum Perjanjian dan Pertanahan Perjanjian Build, Operate and Transfer (BOT) Atas Tanah: Pengaturan, Karakteristik dan Praktik, LaksBang PressIndo, Yogyakarta, 2016. Soeroso R, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Sofwan Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, BPHN dan Liberty, Yogyakarta, 2011. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2002. Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004. Usman Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Widjaja Gunawan dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis:, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. Witanto D. Y, Hukum Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran, dan Eksekusi), CV. Mandar Maju, Bandung, 2015. II. INTERNET: http://lawfile.blogspot.co.id/2011/12/catatanrangkuman-hukum-jaminan.html?m=1 Diakses tanggal 7 november 2017. Pukul 16:15 WITA. http://bramfikma.blogspot.co.id/2013/01/jami nan-fidusia.html?m=1 Diakses tanggal 25 januari 2018. Pukul. 21:48 WITA III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-undang Hukum Perdata Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang 12