BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang efektif dan efisien. Salah satu penyakit menular yang berbahaya adalah tuberkulosis. Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan salah satu penyebab kematian sehingga perlu dilaksanakan program penanggulangan tuberkulosis secara berkesinambungan (Kepmenkes, 2011). Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di Indonesia. Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Tuberkulosis menjadi tantangan global dan salah satu penyakit yang penanggulangannya menjadi komitmen global dalam Millenium Development Goals (MDGs) (Kemenkes, 2012). Indikator pencapaian MDGs 2015 yaitu meningkatkan proporsi jumlah kasus TB Paru yang terdeteksi mencapai 70% serta meningkatkan proporsi kasus TB Paru yang diobati dan sembuh mencapai 85% (Kemenkes, 2011). Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman TB tidak hanya menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Pada tahun 1993, World Health 1
2 Organization (WHO) mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena jumlah kasus TB meningkat dan tidak terkendali khususnya pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (Kemenkes RI, 2011). WHO memperkirakan bakteri ini telah membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahunnya, antara tahun 2002 2020 diperkirakan 1 miliar manusia akan terinfeksi. Dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56 juta jiwa setiap tahunnya. Biasanya 5 10 % yang terinfeksi berkembang menjadi penyakit dan 40% yang berkembang menjadi penyakit dapat berakhir dengan kematian (Angraeni, 2011). Tuberkulosis tidak tersebar secara merata di seluruh dunia. Dari populasi di berbagai negara di Asia dan Afrika yang melakukan tes tuberkulin, 80%-nya menunjukkan hasil positif, sementara di Amerika Serikat, hanya 5 10% saja yang menunjukkan hasil positif. Masyarakat di dunia berkembang semakin banyak yang menderita Tuberkulosis karena kekebalan tubuh mereka yang lemah. Biasanya, mereka mengidap Tuberkulosis akibat terinfeksi virus HIV dan berkembang menjadi AIDS. Diperkirakan sepertiga dari 40 juta ODHA di seluruh dunia terinfeksi oleh Tuberkulosis (TB). Di Asia Tenggara sekitar 40-50% dari sekitar 6 juta orang ODHA dewasa memiliki kemungkinan terinfeksi TB (Kemenkes, 2014). Orang yang mengidap HIV mempunyai risiko menjadi sakit TB sebesar enam kali lebih besar dari pada mereka yang tanpa HIV. Tingkat kematian ODHA dengan TB mencapai 20% sedangkan pada TB tanpa HIV hanya 5%. Di Indonesia, TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired Immune
3 Deficiency Syndrome (AIDS). karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada ODHA. Sebaliknya diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan data Kemenkes RI Tahun 2014, jumlah penderita TB di Indonesia sekitar 528.000 orang atau berada di posisi empat di dunia. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Tingkat risiko untuk terserang penyakit TB di Indonesia berkisar antara 1,7% sampai 4,4%. Penyakit TB Paru merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Secara nasional, TB paru membunuh kira-kira 101.000 orang tiap tahun, setiap hari 300 orang meninggal akibat penyakit TB paru di Indonesia (Kemenkes RI, 2014). Pada tahun 2012, jumlah cakupan penemuan semua kasus TB paru di Indonesia sebesar 298.376 kasus, dengan jumlah penderita TB Paru BTA positif sebesar 202.301 kasus (Kemenkes RI, 2013). Untuk Tahun 2013, jumlah cakupan penemuan semua kasus TB Paru di Indonesia sebesar 327.094 kasus, dengan jumlah cakupan TB BTA positif sebesar 196.310 kasus (Kemenkes RI, 2014). Di Provinsi Sumatera Utara, jumlah cakupan penemuan semua kasus TB Paru meningkat dari 17.133 kasus pada Tahun 2012 menjadi 21.954 kasus pada Tahun 2013, dengan jumlah penderita TB Paru BTA positif sebesar 16.930 kasus (Kemenkes RI, 2014). Besar dan luasnya permasalahan akibat TB Paru mengharuskan semua pihak untuk dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan
4 penanggulangan TB Paru. Untuk menurunkan angka kesakitan penyakit TB serta mencegah terjadinya resistensi obat telah dilaksanakan program nasional penanggulangan tuberkulosis. Sejak Tahun 1995, program pemberantasan penyakit TB Paru telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari atas lima komponen yaitu : (a) Komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguhsungguh menanggulangi TB Paru, (b) Diagnosis penyakit TB Paru melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c) Pengobatan TB Paru dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO), (d) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita dan (e) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru (Kemenkes RI, 2011). DOTS adalah strategi yang komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia, untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB Paru. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB Paru dapat berlangsung dengan cepat. DOTS bertujuan untuk memutuskan rantai penularan di masyarakat dengan mengobati penderita BTA positif sampai sembuh (Kemenkes RI, 2011). Menurut Kemenkes RI (2011), penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS diharapkan dapat memberikan angka kesembuhan tinggi yaitu minimal 85% dari penderita TB Paru BTA positif. Pengobatan TB Paru harus dilakukan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis obat, tidak boleh menggunakan obat
5 tunggal. Dosis obatnya harus diberikan dalam jumlah yang cukup dan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan untuk menghindari kuman TB berkembang menjadi resisten terhadap obat. Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun 2013, angka keberhasilan (Success Rate) rata-rata di tingkat provinsi mencapai 88,24%, dengan perincian persentase kesembuhan 82,59% dan persentase pengobatan lengkap 5,66%. Angka keberhasilan pada tahun 2013 ini telah mampu melampaui target nasional yaitu 85%. Angka keberhasilan adalah persentase kasus baru BTA positif yang sembuh plus pengobatan lengkap di antara kasus baru TB Paru positif yang di obati. Dari 33 Kabupaten/Kota, terdapat 11 Kabupaten/Kota yang belum mampu mencapai angka keberhasilan 85%. Angka keberhasilan tertinggi di Kabupaten Labuhan Batu Utara sebesar 135.48% dan terendah di Kabupaten Padang Lawas Utara sebesar 52.82% (Dinkes SU, 2014). Kabupaten Padang Lawas Utara merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2013 terdapat jumlah suspek TB Paru sebanyak 1.014 orang dengan BTA positif sebanyak 170 penderita TB Paru serta angka kesembuhan mencapai 54,11%. Adapun jumlah kasus TB Paru di Kabupaten Padang Lawas Utara dapat di lihat pada Tabel 1.1 Tabel 1.1. Jumlah Penderita TB Paru Per Unit Pelayanan Kesehatan di kabupaten Padang lawas Utara tahun 2013. No Nama UPK Suspek BTA (+) Sembuh Sembuh (%) 1. 2. 3. 4. Pusk. Portibi Pusk. Gunung Tua Pusk. Hutaimbaru Pusk. Psr Matanggor 95 240 37 120 8 37 5 12 7 24 4 9 87,5 64,86 80 75
6 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Pusk. Sipiongot Pusk. Langkimat Pusk. Siunggam Pusk. Aek Godang Pusk. Pangirkiran Pusk. Batangpane Pusk. Simundol Pusk. Batugana 38 97 134 94 19 65 20 6 24 15 20 9 14 12 4 5 6 5 7 10 7 66,66 20,83 40 25 77,77 71,42 58,33 55 8 4 50 Jumlah 1014 170 92 54, 11 Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Padang Lawas Utara 2014 Tabel tersebut menunjukkan bahwa dari 12 unit puskesmas yang ada, Puskesmas Langkimat merupakan puskesmas dengan jumlah penderita TB Paru tidak sembuh cukup tinggi yakni 19 penderita (79,17%) sedangkan penderita TB Paru yang sembuh hanya 5 penderita (20,83%). Berdasarkan data tersebut, bahwa angka kesembuhan penderita TB Paru belum mencapai target yang ditetapkan yaitu angka kesembuhan minimal 85%. Keadaan ini memprihatinkan, padahal Kemenkes RI telah menyediakan obat gratis bagi penderita TB Paru yang berobat ke puskesmas. Masih rendahnya cakupan angka kesembuhan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program, karena masih memberi peluang terjadinya penularan TB Paru kepada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain itu memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB Paru terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sehingga menambah penyebarluasan penyakit TB Paru, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti di Puskesmas Langkimat Kecamatan Simangambat, diperoleh data bahwa jumlah penderita TB Paru BTA Positif pada bulan Februari tahun 2015 terdapat 31 penderita. Sebanyak 5 penderita merupakan penderita baru dan 3 penderita telah sembuh. Dari hasil
7 wawancara peneliti dengan petugas pengelola program TB Paru dalam penanggulangan dan pencegahan TB Paru, program penyuluhan kesehatan mengenai TB Paru dilakukan bersamaan dengan program lainnya seperti promosi kesehatan. Penyuluhan dilakukan 2 kali dalam setahun dengan jadwal yang tidak tetap. Petugas TB Paru juga memberikan edukasi kepada keluarga yang akan menjadi PMO bagi penderita TB Paru. Selain dengan adanya PMO, petugas TB Paru sebaiknya memantau pengobatan penderita dengan melakukan pelacakan terhadap penderita yang mangkir dari pengobatan. Tetapi di puskesmas tersebut, pemantauan pengobatan hanya dilakukan pada saat penderita datang ke puskesmas untuk mengambil obat. Menurut wawancara peneliti dengan Hasan, seorang penderita TB Paru yang berusia 54 tahun mengatakan bahwa penyakit TB Paru disebabkan oleh angin malam, sehingga menurutnya dengan mengurangi keluar malam penyakitnya akan sembuh. Menurut Herlin, seorang penderita TB Paru yang berusia 39 tahun penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman tetapi terkadang ia merasa telah sembuh sehingga tidak melanjutkan pengobatan dan meminum obat lagi ketika batuk kambuh lagi. Untuk mencapai kesembuhan diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi setiap penderita. Paduan obat anti tuberkulosis jangka pendek dan penerapan pengawasan minum obat merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita, walaupun obat yang digunakan baik tetapi bila penderita tidak berobat dengan teratur maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan. Kenyataan lain bahwa penyakit TB Paru sulit untuk disembuhkan
8 karena obat yang diberikan harus beberapa macam sekaligus pengobatannya yang lama, setidaknya 6 bulan sehingga menyebabkan penderita banyak yang putus berobat. Menurut Aditama (1994), kalau pengobatan tidak tuntas malah menyebabkan kuman kebal terhadap obat dan tentu akan muncul kuman yang lebih ganas. Setelah makan obat dua atau tiga bulan tidak jarang keluhan pasien hilang tetapi belum berarti sembuh total. Penelitian Simamora (2004), menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB Paru adalah pengetahuan penderita tentang pengobatan TB Paru, ada tidaknya PMO, efek samping obat, perilaku petugas kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan dan jarak antara rumah pasien ke puskesmas. Penelitian Sari (2011) di Puskesmas Amplas Kota Medan menunjukkan terdapat pengaruh yang bermakna antara variabel pengetahuan penderita TB Paru, faktor pelayanan kesehatan dan PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat. Berdasarkan hal di atas dapat di asumsikan bahwa faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan penderita dalam pengobatan adalah pengetahuan penderita itu sendiri, faktor pelayanan kesehatan dan PMO sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan penderita TB Paru, penyuluhan kesehatan dan pengawas menelan obat dengan tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Langkimat Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2015.
9 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah apakah ada hubungan pengetahuan penderita TB Paru, penyuluhan kesehatan dan pengawas menelan obat dengan tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Langkimat Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2015. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjelaskan hubungan pengetahuan penderita TB Paru, penyuluhan kesehatan dan pengawas menelan obat dengan tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Langkimat Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2015. 1.4 Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan pengetahuan penderita TB Paru dengan tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Langkimat Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2015. 2. Ada hubungan penyuluhan kesehatan dengan tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru di Puskesmas Langkimat Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2015. 3. Ada hubungan PMO dengan tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru di Puskesmas Langkimat Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2015.
10 1.5 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Lawas Utara dalam rangka penanggulangan TB Paru. 2. Sebagai bahan masukan kepada petugas pengelola program TB Paru di Puskesmas Langkimat dalam meningkatkan pelayanan kesehatan kepada penderita TB Paru. 3. Sebagai bahan khasanah bagi penelitian lain di bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.