BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru dan dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Tuberculosis merupakan penyakit menular yang berbahaya. Setiap penderita tuberculosis dapat menularkan penyakitnya pada orang lain yang berada disekelilingnya dan atau yang berhubungan erat dengan penderita (Amiruddin, Jaorana, dkk:2009). Penyakit yang disebabkan oleh Micobacterium tuberkulosis telah membunuh banyak jiwa didunia, hingga di Indonesia. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menempati urutan ke lima dengan terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO Global Tuberculosis Control, 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Angka mortalitas dan morbiditasnya terus meningkat. TB sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, malnutrisi, tempat kumuh, perumahan dibawah standar, dan perawatan kesehatan yang tidak baik. Tahun 1952, diperkenalkan obat antituberkulosis dan angka kasus TB yang dilaporkan di Amerika Serikat menurun rata-rata 6% setiap tahun antara 1953 dan 1985. Saat itu diduga bahwa pada awal abad ke-21, TB di Amerika mungkin dapat disingkirkan. Namun, sejak 1985 justru sebaliknya dan jumlah kasusnya meningkat. Perubahan ini telah ditunjang oleh beberapa faktor, yaitu peningkatan imigrasi, epidemik HIV, strein TB yang resisten terhadap banyak obat, dan tidak adekuatnya dukungan sistem kesehatan masyarakat Amerika Serikat (Smeltzer & Bare, 2002). Penyakit TB di Indonesia juga mengalami peningkatan. Setiap tahun diperkirakan terjadi 583.000 pasien baru TB dan 140.000 orang meningggal karena TB. Betapa banyaknya kasus TB yang terjadi di Indonesia, dilihat dari 1
2 penyebaran TB di Indonesia, pada setiap menit muncul satu orang pasien TB Paru baru, setiap 2 menit muncul 1 orang penderita TB Paru yang menular, dan setiap 4 menit satu orang meninggal akibat TB (Amiruddin et. al.,2009). Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) Departemen Kesehatan RI (2010) menyebutkan bahwa prevalensi TB pada penduduk dengan usia lebih dari 15 tahun di Provinsi Jawa Tengah sebayak 22.182 orang (12,%). Data yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang pada tahun 2010, target penemuan suspek sebanyak 15.567, dari target tersebut suspek yang ditemukan sebanyak 8.003 orang, target BTA (+) sebanyak 1.557 orang ditemukan 793 orang dan BTA (-) sebanyak 892 orang, TB ekstra paru sebanyak 67 orang, serta TB anak sebanyak 771 orang. Pusat kesehatan masyarakat yang melaporkan angka kejadian TB paling banyak adalah di Puskesmas Bangetayu yakni mencapai 46 orang pada tahun 2010. Koordinator TB Paru puskesmas Bangetayu, menyatakan bahwa penyebaran kasus TB Paru dengan BTA (+) mulai meluas. Data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang (2010) menyebutkan bahwa di wilayah kerja Puskesmas Bangetayu terdapat 46 BTA (+) dari jumlah pemeriksa 288 orang, sedangkan pada tahun 2011 terdapat 34 BTA (+) dari 304 orang. Melihat data diatas memberi gambaran bahwa sebenarnya banyak penderita TB yang tinggal dengan masyarakat yang belum ditangani secara maksimal. Individu melakukan pemeriksaan dahak dan hasil tes BTA (+) dengan mekanisme koping maladaptif, individu akan melarikan diri dari sumber stress. Sedangkan reaksi psikologis individu menampilkan diri seperti apatis, pendiam dan munculnya perasaan tidak berminat yang menetap pada individu. Perilaku yang dapat dilakukan adalah menggunakan alkohol atau obat-obatan, melamun dan fantasi, banyak tidur, menangis, beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah (Suryani & Widyasih, 2008). Berdasarkan hasil penelitian strategi koping menghadapi stres pada penderita TBC yang dilakukan oleh Habibah (2008) menunjukan bahwa reaksi subjek ketika divonis menderita penyakit TBC yaitu emosi negatif, respon fisik dan
3 menarik diri. Mekanisme koping yang digunakan setelah mengetahui TBC paru penyakit menular berupa pendekatan religius, mencari informasi, taat pada saran petugas kesehatan dan diskusi. Mekanisme koping yang digunakan menjalani pengobatan 6 bulan berupa pendekatan religius, curah hati dan diskusi. Mekanisme koping penderita TBC paru menghadapi efek samping minum obat yang digunakan berupa pergi ke tempat pelayanan kesehatan dan tindakan mengatasi keluhan. Penelitian strategi koping pasien dari beberapa penyakit berat yang dilakukan oleh Ernita (2010) dan Widiyanto (2009) menunjukan bahwa problem psikologis yang dihadapi penderita adalah stres, merasa bersalah, putus asa dan ketakutan akan kematian dalam hidup, strategi koping yang digunakan pasien adalah menangis, konsultasi dan spiritual yaitu berdoa kepada Allah, SWT dan konsultasi dengan dokter. Berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa koping yang berbeda-beda pada pasien dari berbagai penyakit, untuk pasien TBC memiliki mekanisme koping dengan menjalani pengobatan 6 bulan, pendekatan religius, curah hati, diskusi, pergi ke tempat pelayanan kesehatan dan tindakan mengatasi keluhan pada waktu pengobatan sedangkan untuk pasien penderita penyakit berat yang lain menggunakan strategi koping yang hampir sama yakni dengan menangis, konsultasi tentang pengobatan penyakit dan metode spiritual yaitu berdoa kepada Allah SWT. Mekanisme pemecahan masalah yang dilakukan oleh penderita dapat berupa koping adaptif (efektif) dan koping maladaptif (inefektif). Mekanisme koping adalah berbagai usaha yang dilakukan individu untuk menanggulangi stres yag dihadapi (Stuart, 2005). Keliat (1999) menyatakan bahwa mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan serta respon terhadap situasi yang mengancam. Berdasarkan hasil observasi dengan menggunakan metode wawancara terhadap 6 orang penderita TB yang di diagnosa BTA (+) di wilayah kerja
4 Puskesmas Bangetayu Semarang, di dapat 4 dari 6 penderita TB merasa sedih setelah mengetahui bahwa dirinya di diagnosa BTA (+). Mereka kemudian cenderung menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat karena pada waktu menerima hasil diagnosa BTA (+) juga mendapatkan informasi tentang pengobatan dan penularan penyakit TB. Sehubungan dengan kondisi dan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana Mekanisme koping penderita baru TB paru yang di diagnosa BTA (+) (studi di wilayah kerja Puskesmas Bangetayu Kecamatan Genuk Kota Semarang). B. Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena tersebut rumusan masalah pada penelitian ini adalah Bagaimana mekanisme koping penderita baru TB paru yang di diagnosa BTA (+)?. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Mengetahui mekanisme koping penderita TB paru yang di diagnosa BTA (+). 2. Tujuan Khusus: a. Mendeskripsikan karakteristik penderita TB paru yang di diagnosa BTA (+). b. Mendeskripsikan mekanisme koping pasien BTA (+). D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi pada masyarakat luas tentang mekanisme koping pada penderita TB paru yang di diagnosa BTA (+) positif, mempermudah teman sejawat dalam
5 mengidentifikasi kemungkinan dampak yang akan muncul pada penderita TB paru dengan BTA (+). 2. Bagi Penelitian Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian sejenis di masa yang akan datang dengan variabel, jumlah responden dan lokasi yang lain sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang mekanisme koping pada penderita TB paru. 3. Bagi Perawat Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi petugas kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien khususnya tentang mekanisme koping pada penderita TB paru. E. Bidang Ilmu Penelitian ini masuk dalam bidang ilmu keperawatan jiwa, khususnya tentang pentingnya mekanisme koping pada penderita TB paru yang di diagnosa BTA (+) positif