BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. input yang ditetapkan. Untuk mengukur kinerja keuangan. Belanja Daerah. Di dalam Kepmendagri tersebut dalam pembagian struktur APBD

BAB I PENDAHULUAN. komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung mencerminkan arah

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Standar Belanja (ASB) sudah diperkenalkan pertama kali kepada

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran sektor publik merupakan alat ( instrument) akuntabilitas atas

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

PENDAHULUAN. Indonesia sejak orde lama sampai sekarang telah menerapkan beberapa

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 telah menimbulkan tuntutan yang

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara.tata kelola pemerintahan yang baik (Good

BAB I PENDAHULUAN. pusat untuk mengatur pemerintahannnya sendiri. Kewenangan pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

ANALISIS STANDAR BELANJA: ASB Kota Tanjungbalai

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PERENCANAAN ANGGARAN BERDASARKAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENCAPAIAN KINERJA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Otonomi Daerah di Pemerintahan Indonesia, sehingga setiap

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintah daerah sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah. Untuk

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penting. Otonomi daerah yang dilaksanakan akan sejalan dengan semakin

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Artinya bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menciptakan pemerintahan Indonesia yang maju maka harus dimulai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi sistem penganggaran telah berjalan sejak disahkan paket. undang-undang keuangan negara yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 17

BAB I PENDAHULUAN. publik, anggaran justru harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik,

BAB I PENDAHULUAN. yang dijalankan untuk dewan komisaris, manajemen, dan personel lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perkembangan teknologi dan otonomi daerah menuntut

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Ditetapkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. komitmen Pemerintah Pusat dalam perbaikan pelaksanaan transparansi dan

BAB I LATAR BELAKANG

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN LAMONGAN TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN

SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAHAN BANDI

BAB I PENDAHULUAN. Juknis Penyusunan RKA Dinas Kominfo Tahun Anggaran

DINAS PENDAPATAN, PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang. Nomor 25 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

BAB I PENDAHULUAN. besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dimana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manajemen keuangan daerah tidak terlepas dari perencanaan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Selama ini pemerintahan di Indonesia menjadi pusat perhatian bagi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berlebih sehingga untuk mengembangkan dan merencanankan daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. awalnya hanya didasarkan pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memasuki era otonomi daerah lebih mendasar daripada berbagai

WALIKOTA PROBOLINGGO

pelayanan umum, menumbuhkan daya saing daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok. pemerintahan daerah, diubah menjadi Undang-Undang (UU) No.

BAB I PENDAHULUAN. yang diwujudkan dalam bentuk penerapan prinsip good governance. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah merupakan suatu tuntutan yang perlu direspon oleh

BAB I PENDAHULUAN. atau memproduksi barang-barang publik. Organisasi sektor publik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

Seksi Informasi Hukum Ditama Binbangkum

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bougette (Perancis) yang berarti sebuah tas kecil. Menurut Indra Bastian (2006),

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 77 TAHUN 2012 TENTANG ANALISIS STANDAR BELANJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN,

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan suatu kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KERANGKA ACUAN KERJA (K A K) PELAKSANAAN KEGIATAN (2017)

BAB 1 PENDAHULUAN. program ataupun kegiatan. Sebelum melaksanakan kegiatan, harus ada

BAB I PENDAHULUAN. yang cakupannya lebih sempit. Pemerintahan Provinsi Jawa Barat adalah salah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. prinsip- prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui

BAB I PENDAHULUAN. mulai mencoba mengenalkan konsep baru dalam pengelolaan urusan publik

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah. dana, menentukan arah, tujuan dan target penggunaan anggaran.

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Prinsip-Prinsip Penganggaran

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dengan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Ulum, 2004). (Stanbury, 2003 dalam Mardiasmo, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. satunya perbaikan terhadap pengelolaan keuangan pada instansi-instansi pemerintah.

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam konteks otonomi dan desentralisasi, anggaran menduduki peranan yang sangat penting. Saat ini kualitas perencanaan anggaran yang digunakan masih relatif lemah, diikuti dengan ketidakmampuan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan, sementara pengeluaran secara dinamis terus meningkat, tetapi tidak disertai penentuan skala prioritas dan besarnya plafon anggaran, sehingga memungkinkan underfinancing atau overfinancing. Menyadari kelemahan-kelemahan tersebut, sejak tahun 2001 Pemerintah Indonesia mulai merubah sistem penganggaran tradisional yang bercorak input case menjadi sistem penganggaran berbasis kinerja yang bercorak output case. Tujuannya adalah agar penggunaan anggaran dapat didasarkan pada kewajaran ekonomi, efisien, dan efektif, serta anggaran tidak lagi berorientasi pada penyerapan anggaran (input) tetapi pada hasil kinerja yaitu output dan outcome, maka anggaran daerah harus disusun berdasarkan kinerja yang akan dicapai oleh daerah. Dengan menggunakan anggaran kinerja tersebut, maka anggaran daerah akan lebih transparan, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tingginya tuntutan kebutuhan peningkatan kualitas layanan publik, transparansi dan akuntabilitas publik, juga menjadi alasan diterapkannya sistem penganggaran berbasis kinerja oleh pemerintah. Tuntutan ini mendorong pemerintah untuk dapat menyusun anggaran secara cermat, akurat dan sistematis. Sistem penganggaran ini mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dari keluaran tersebut. Melalui penerapan sistem penganggaran ini, dapat diidentifikasi keterkaitan antara nilai uang dengan hasil program dan kegiatan pembangunan sehingga dapat ditentukan efektifitas dan efisiensi program dan kegiatan pembangunan tersebut. Apabila terdapat perbedaan antara rencana dan implementasinya (realisasinya), maka dapat dilakukan evaluasi terhadap keterkaitan antara input dengan output dan outcome dari program dan kegiatan tersebut.

2 Dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja, sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pasal 20 ayat 3, Pemerintah daerah diperkenalkan dengan istilah standar analisa belanja (SAB). Istilah Standar Analisa Belanja atau SAB ini mempunyai makna penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan yang tujuannya untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah. Berdasarkan PP No. 105/2000 tersebut Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia menerbitkan pedoman operasional dalam bentuk Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Namun, Kepmendagri tersebut belum menunjukkan wujud/bentuk Standar Analisa Belanja. Pada Tahun 2004 keluarlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Dalam UU No. 32 tersebut dikenalkan istilah baru yaitu Analisis Standar Belanja (ASB) yang mempunyai maksud dan istilah yang sama dengan Standar Analisa Belanja (SAB) yaitu penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Selanjutnya, terbitlah PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. PP No. 58 tahun 2005 ini kemudian dijabarkan lagi dalam Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada Tahun 2007 terbitlah Permendagri No. 59 tahun 2007 sebagai penyempurnaan atas Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam regulasi-regulasi tersebut selalu disebutkan bahwa ASB merupakan salah satu instrumen pokok dalam penganggaran berbasis kinerja. Walaupun regulasi-regulasi tersebut mengamanatkan ASB, tetapi ternyata regulasi-regulasi tersebut belum menunjukkan secara riil dan operasional tentang ASB. Akibatnya, ASB menjadi sesuatu yang abstrak bagi Pemerintah Daerah di Indonesia (Ritonga, 2010). Dari uraian tersebut dapat dilihat seberapa pentingnya ASB dalam proses penganggaran, namun ironisnya hal ini belum didukung dengan bentuk perwujudan ASB secara riil oleh Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan banyak

3 hal, salah satunya yaitu tidak adanya petunjuk pelaksanaan ataupun petunjuk teknis yang secara rinci dapat menjelaskan bentuk riil dari ASB tersebut. Kotakota di Indonesia pun masih banyak yang melakukan sosialisasi ASB, padahal aturan mengenai ASB sudah lama dikeluarkan oleh Indonesia. Terutama di kota dengan pendapatan yang besar, penggunaan ASB akan semakin sulit karena semakin besar pendapatan maka semakin sulit pula dalam pengelolaan anggaran. Pentingnya analisa standar belanja ini dan harus disusun serta diimplementasikan dalam menyusun anggaran, diperjelas kembali dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dimana dalam Pasal 298 ayat (3) berbunyi: Belanja daerah untuk pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada analisis standar belanja dan standar harga satuan regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ASB Mendorong penetapan biaya dan pengalokasian anggaran kepada setiap aktivitas unit kerja menjadi logis serta mendorong dicapainya efisiensi secara terus menerus. Hal tersebut dikarenakan adanya pembandingan (bencmarking) biaya per unit setiap output dan diperoleh praktek-praktek terbaik dalam mendesain aktivitas. Sejalan dengan hal tersebut, implementasi ASB dalam sistem anggaran memiliki banyak manfaat yaitu a). Penetapan plafon anggaran dan besaran alokasi setiap kegiatan menjadi obyektif (tidak lagi berdasarkan intuisi ), b). Dapat menetukan kewajaran biaya untuk melaksanakan suatu kegiatan, c). Meningkatkan efisiensi dan keefektifan dalam pengelolaan keuangan daerah atau meminimalisir terjadi pengeluaran yang kurang jelas yang menyebabkan inefisiensi anggaran, d). Penentuan anggaran berdasarkan tolak ukur kinerja yang jelas, e). Penyusunan anggaran menjadi lebih tepat waktu, f). ASB memberikan kepastian terjaganya hubungan antara input dan output (target kinerja), g). Memiliki argumen yang kuat jika dianggap melakukan pemborosan, serta h). Unit kerja mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri (DJPK, 2014). Untuk Instrumen ASB tidak dapat dilepaskan dari tersedianya instrumen standar satuan harga atau dikenal juga dengan istilah standar satuan harga

4 barang/standar biaya. Ketersediaan standar satuan harga barang dan standar biaya dimaksud adalah standar satuan harga barang dan standar biaya yang berlaku pada saat proses penyusunan anggaran yang ditetapkan dalam bentuk Keputusan dan Peraturan Kepala Daerah, standar satuan harga barang dan standar biaya harus sesuai dan relevan dengan tahun anggaran yang disusun serta dijadikan pedoman yang digunakan serta ditaati oleh seluruh perangkat daerah dalam penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA) pada masing-masing perangkat daerah tersebut. Pada akhirnya, diharapkan bahwa penentuan jumlah rupiah belanja yang dianggarkan merupakan proses yang transparan dan akuntabel. Standar satuan harga barang dan standar biaya merupakan instrumen yang diperlukan dalam menyusun rencana kerja anggaran pemerintahan, mengingat pentingnya standar satuan harga barang dan standar biaya bagi pemerintahan, maka standar satuan harga barang dan standar biaya yang disusun diharapkan mampu memenuhi seluruh kebutuhan penganggaran dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA). Penyusunan standar satuan harga barang dan standar biaya merupakan implementasi atas salah satu peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, Pasal 7 ayat (2) Dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan serta pada ayat (4) menyatakan Menteri Keuangan menetapkan standar biaya, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus bagi Pemerintah Pusat setelah berkoordinasi dengan Kementerian Negara/Lembaga terkait. Kemudian dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengamanatkan pada pasal 89 bahwa dalam penyusunan RKA SKPD harus di dasarkan atas Surat Edaran Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan RKA SKPD yang salah satunya mencantumkan bahwa salah satu dokumen sebagai lampiran surat edaran adalah standar analisis belanja dan satuan harga, selain itu di pasal 93 ayat (5) menyatakan bahwa standar satuan harga merupakan harga satuan setiap unit barang yang berlaku disuatu daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.

5 Adapun permasalahan umum yang sering terjadi dalam penyusunan dan penggunaan standar satuan harga barang dan standar biaya dilingkungan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan diantaranya adalah (1) Dalam penyusunan standar satuan harga barang dan standar biaya belum melibatkan seluruh perangkat daerah, sehingga sering terjadi permasalahan dalam proses penganggaran dan pelaksanaan kegiatan dikarenakan standar satuan harga barang dan standar biaya yang ada belum memenuhi komponen-komponen biaya yang dibutuhkan seluruh perangkat daerah. (2) Dalam praktek penyusunan standar satuan harga barang dan standar biaya belum dilakukan identifikasi permasalahan terhadap standar biaya yang ada pada tahun sebelumnya, sehingga permasalahan yang timbul pada tahun sebelumnya masih terjadi pada tahun sekarang. (3) Standar satuan harga barang dan standar biaya yang ada belum sepenuhnya digunakan dalam proses penganggaran belanja perangkat daerah sehingga banyak ditemui penganggaran belanja yang tidak sesuai dan tidak tercantum dalam standar satuan harga barang dan standar biaya yang telah ditetapkan. (4) Standar satuan harga barang dan standar biaya baru sebatas berbentuk buku/dokumen yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistim aplikasi penganggaran yang dipakai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan. (5) Belum adanya kepastian hukum terhadap besaran biaya yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan untuk komponen-komponen biaya yang belum tercantum dalam standar satuan harga barang dan standar biaya. Demikian pentingnya penerapan standar harga barang, standar biaya dan analisis standar belanja, maka sudah seharusnya seluruh pemerintah daerah untuk menetapkan dan mempedomani standar satuan harga barang dan standar biaya serta menyusun analisis standar belanja guna tercapainya proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran yang baik dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun dalam kenyataannya masih banyak pemerintah daerah yang belum menyusun analisis standar belanja dan tidak mempedomani standar satuan harga barang dan standar biaya sehingga penyusunan anggaran pun belum sepenuhnya bisa dikatakan baik. Masih ditemukan kasus tentang permainan anggaran yang dilakukan dengan tidak mempedomani standar satuan harga barang agar anggaran yang dibuat lebih tinggi dari yang seharusnya.

6 Kasus lain yang ditemukan dalam penyusunan anggaran Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan adalah terdapatnya kelebihan alokasi dana atas pelaksanaan suatu kegiatan karena belum adanya ASB sehingga tidak adanya penilaian atas kewajaran belanja. Bahkan ada beberapa Pemerintah daerah di kabupaten/kota lainnya di Indonesia, hal tersebut menjadi temuan pemeriksaan oleh BPK atas tidak berjalannya sistem pengendalian internnya karena dalam penyusunan anggaran. Pemerintah daerah tersebut belum sepenuhnya menerapkan ASB seperti halnya yang terjadi dalam laporan hasil pemeriksaan atas LKPD Kabupaten Lebong pada tahun 2015 silam. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian bagi pemerintah daerah kabupaten/kota lainnya termasuk pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan untuk dapat belajar dari hasil temuan tersebut agar tidak terjadi pada pemerintah daerahnya. Untuk itu, Pada tahun 2017 ini Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan sedang berupaya untuk meningkatkan kinerjanya dengan bekerjasama dengan tim ahli untuk menyusun Analisis Standar Belanja (ASB) yang direncanakan akan diterapkan pada tahun anggaran 2018. Umumnya model ASB yang digunakan untuk jenis belanja yang besar kecilnya dapat dipengaruhi oleh manajemen, yakni terhadap biaya variabel atau semi variabel. Model ASB dikelompokan menjadi: (1) kegiatan yang menghasilkan output fisik, yakni kegiatan dalam rangka pengadaan, pembangunan, pembelian dan pemeliharaan asset tetap baik itu berbentuk kontruksi maupun non kontuksi. (2) Kegiatan untuk menghasilkan output non fisik, yakni: kegitan rutin dalam rangka memenuhi kebutuhan rutin organisasi dan kegiatan rutin yang menghasilkan output non fisik dalam rangka melaksanakan urusan wajib, pilihan, penunjang urusan dan urusan pendukung (Mairizal, 2016). Beberapa penelitian terdahulu tentang ASB, umumnya masih banyak yang terfokus kepada ASB kegiatan rutin yang menghasilkan output non fisik, seperti ASB bimbingan atau pelatihan teknis. Sedangkan untuk ASB kegiatan yang menghasilkan output fisik masih sedikit. Kemudian beberapa penelitian terdahulu tentang standar satuan harga barang dan standar biaya, umumnya menjelaskan bahwa kedua standar tersebut merupakan faktor penentu baik atau tidaknya ASB yang disusun. Namun belum banyak yang meneliti apakah jika kedua standar yaitu standar satuan harga barang

7 dan standar biaya diterapkan secara bersamaan, apakah akan memberikan manfaat yang baik terhadap penyusunan ASB walaupun banyak teori yang telah menjelaskan bagaimana hubungan antara ketiga standar tersebut. Berpijak dari uraian di atas, diketahui bahwa standar satuan harga barang, standar biaya dan ASB merupakan dasar penyusunan anggaran guna mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja dan sudah menjadi masalah yang cukup krusial untuk ditindaklanjuti guna memenuhi amanat undang-undang dan penerapan anggaran dan penelitian ini juga sejalan dengan keinginan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan untuk memperbaiki dan membenahi penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja terkait penerapan standar satuan harga barang, penerapan standar biaya dalam penganggaran kegiatan dan penyusunan ASB kegiatan-kegiatan yang ada dilingkungan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan. Secara spesifik, penelitian ini difokuskan untuk model ASB kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor. B. Perumusan Masalah Rumusan masalah adalah suatu pertanyaan yang akan dicari jawabannya melalui pengumpulan data. Rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: 1. Seberapa besar kesesuaian standar satuan harga barang dalam penyusunan penganggaran pada kelompok kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor di Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan? 2. Seberapa besar kesesuaian standar biaya dalam penyusunan penganggaran pada kelompok kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor di Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir selatan? 3. Bagaimana model ASB Kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan yang disusun berdasarkan anggaran yang terdapat dalam dokumen pelaksanaan perubahan anggaran tahun 2017? 4. Bagaimana model ASB Kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor dilingkungan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan yang disesuaikan dengan Standar Satuan Harga Barang dalam Keputusan Bupati Pesisir

8 Selatan Nomor: 900.5/501/Kpts/BPT-PS/2016 dan Standar Biaya dalam Peraturan Bupati Pesisir Selatan Nomor 27 Tahun 2016? 5. Apakah terdapat perbedaan antara kedua model ASB tersebut serta model manakah yang lebih baik? C. Pembatasan Masalah Untuk lebih memfokuskan dalam pengumpulan data, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian. Karena begitu banyaknya kegiatan yang ada di Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan, maka penelitian ini dibatasi pada kelompok kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor dilingkungan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan. D. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui seberapa besar kesesuaian standar satuan harga dalam penganggaran perangkat daerah di Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan. 2. Untuk mengetahui seberapa besar kesesuaian standar biaya dalam penganggaran perangkat daerah di Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan. 3. Membuat model ASB Kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor dengan menggunakan anggaran berdasarkan DPPA 2017 di Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan. 4. Membuat model ASB Kegiatan pengadaan peralatan gedung kantor di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan yang sesuai dengan standar satuan harga barang dalam Keputusan Bupati Pesisir Selatan Nomor: 900.5/501/Kpts/BPT-PS/2016 dan standar biaya dalam Peraturan Bupati Pesisir Selatan Nomor 27 Tahun 2016. 5. Untuk mengetahui perbedaan perhitungan belanja diantara kedua model ASB tersebut untuk melihat model terbaik.

9 E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan tentang pentingnya penggunaan standar satuan harga barang dan standar biaya dalam menyusun anggaran serta dalam penyusunan analisis standar belanja. 2. Dengan adanya penelitian ini, maka menambah wawasan penulis tentang penggunaan standar satuan harga barang dan standar biaya dalam penyusunan analisis standar belanja sebagai alat penilaian kewajaran suatu belanja. 3. Sebagai acuan atau perbandingan bagi peneliti lain dalam memperkaya wawasan di bidang akuntansi pemerintahan.