BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah adalah mengenai urusan yang memberikan penghasilan kepada pemerintah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penelitian terlebih dahulu yang hasilnya seperti berikut : Peneliti Judul Variabel Hasil

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. II.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah serta kemungkinan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah perwujudan dari pelaksanaan urusan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi yaknipenyerahan urusan pemerintah daerah kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya.salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah adalah mengenai urusan yang memberikan penghasilan kepada pemerintah daerah dan potensial untuk dikembangkan dalam penggalian sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah bersangkutan karena PAD ini sangat diharapkan dapat membiayai pengeluaran rutin daerah. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus diri sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan Menurut Saragih (2003 :39 dan 40) kata autonomy berasal dari bahasa Yunani (Greek), yakni kata autonomia, yang artinya: The quality orstate being independent, free, and self directing. Atau The degree of self determination or political control passed by a minority group, territorial division or political unit in its relation to the state or political unit in its relation to the state or political community of which it

forms a part and extending from local to full independence. Sedangkan menurut Encyclopedia of Social Science dalam Ahmad Yani (2002 : 5) pengertiannya yang orisinal, otonomi adalah The legal self suffiency of social body and its actual independence. Sejalan dengan bergulirnya pelaksanaan otonomi daerah di tanah air, setiap pemerintahan kabupaten dan kota melakukan berbagai pembenahan menuju kearah terselenggaranya otonomi di masing-masing daerah di kabupaten dan kota. Hal yang sangat penting dalam menjawab berbagai isu dalam implementasi daerah tersebut adalah tersedianya sistem dan mekanisme kerja organisasi perangkat daerah. 2.1.2 Desentralisasi Fiskal 2.1.2.1 Definisi Desentralisasi Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 Ayat 7 dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 8, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh oleh pemerintah daerah kepada otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.1.2.2 Definisi Desentralisasi Fiskal Menurut Saragih (2003: 83) desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. 2.1.2.3 Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 yang secara serentak diberlakukan di seluruh provinsi di Indonesia. Menurut Widjaja (2004: 65) dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan undang-undang No. 25 tahun 1999, mulai tanggal 1 Januari 2001 Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah member petunjuk yang dapat dipedomani dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD. Menurut Sekretaris Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keungan Negara Djoko Hidayanto (2004 : 53) pelaksanaan Otonomi daerah di Indonesia efektif dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Menurut Direktur dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia Kadjatmiko (2004 : 92) 1 Januari 2001 merupakan momentum awal yang mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia khususnya bagi

penyelenggara pemerintah di daerah, karena pada tahun tersebut kebijakan tentang otonomi daerah mulai dilaksanakan secara efektif. Menurut Widjaja (2004 : 100) Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan pelaksanaan daerah dimulai dari tahun 2001. Misi utama pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah : 1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat 2. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan 2.1.3 Pendapatan Perkapita PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalm wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Salah satu manfaat data PDRB adalah untuk mengetahui tingkat produk yang dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian pada suatu periode di suatu daerah tertentu. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan

nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai dasar penghitungannya. Selanjutnya menurut Kuncoro (2004), Gaspersz dan Feoni (2003) indikator pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) atau PDRB dianggap tidak selalu tepat karena tidak mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa indikator pendapatan perkapita lebih komprehensif dalam mengukur pertumbuhan ekonomi karena lebih menekankan kemampuan daerah untuk meningkatkan PDRB karena secara simultan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu meningkatkan kesejahteraan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Hukum Wagner merupakan teori mengenai perkembangan presentase pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap Gross National Product (GNP). Wagner menyatakan dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat secara relative pengeluaran pemerintah juga akan meningkat (Mangkoesoebroto, 2011). Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi, dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang (Boediono, 1999). Pengertian tersebut mencakup tiga aspek yaitu proses, output perkapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bukan gambaran ekonomi pada suatu saat. Hal ini mencerminkan aspek dinamis dari suatu perekonomian yaitu melihat bagaimana perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output perkapita. Dalam hal ini berkaitan output total (Gross Domestic Product) dan jumlah penduduk karena output perkapita adalah total dibagi dengan jumlah penduduk. Jadi proses kenaikan output perkapita harus dianalisa dengan melihat apa yang terjadi dengan output total di satu pihak dan jumlah penduduk di pihak lain. Pendekatan alternative penyebab semakin meningkatnya jumlah anggaran pemerintah antara lain: a. Pertumbuhan pendapatan perkapita; oleh karena proporsi antara barang sosial selalu berubah sesuai dengan kenaikan pendapatan perkapita dan bahwa porsi barang-barang social selalu mengalami peningkatan. Hal ini membawa implikasi bahwa kebijakan anggaran yang efisien menghendaki adanya peningkatan rasio pembelanjaan pemerintah terhadap Gross National Product (GNP). b. Perubahan populasi penduduk; perubahan populasi bias merupakan suatu penentu utama porsi pengeluaran pemerintah. Perubahan tingkat pertumbuhan populasi menyebabkan perubahan distribusi umur dan

kecenderungan ini direfleksikan dalam perubahan pengeluaran sperti kebutuhan pendidikan, fasilitas perumahan, dan sebagainya. Oleh sebab itu kebutuhan akan pelayanan umum dipengaruhi pula oleh faktor-faktor seperi mobilitas penduduk yang dapat mendorong pertumbuhan kota-kota baru dan berakibat meningkatnya permintaan fasilitas publik Menurut Badan Pusat Statistik, pendapatan Perkapita adalah gambaran rata rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk sebagai hasil yang diterima oleh setiap penduduk sebagai hasil dari proses produksi yang terjadi di suatu daerah. PPPPPPPPPPPPPPPPPPPP PPPPPPPPPPPPPPPPPP = PPPPPPPPPPPPhuuuuuu JJJJJJJJJJh pppppppppppppppp tttthuuuuuu 2.1.4 Dana Alokasi Umum (DAU) 2.1.4.1 Pengertian DAU Dana ini adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil.

Sebaliknya daerah yang memiliki potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar, dengan maksud melihat kemampuan APBD dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai (Halim 2009). Menurut Halim (2009) ketimpangan ekonomi antara satu Provinsi dengan Provinsi lain tidak dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal, disebabkan oleh minimnya sumber pajak dan Sumber Daya Alam yang kurang dapat digali oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat berinisiatif memberikan subsidi berupa DAU kepada daerah untuk menanggulangi ketimpangan tersebut. Bagi daerah yang tingkat kemiskinanya lebih tinggi, akan diberikan DAU lebih besar dibanding daerah yang kaya dan begitu juga sebaliknya. Selain itu untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penugasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 26% dari Penerimaan Dalam Negeri. DAU akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pembelanjaan. Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut (Halim 2009):

1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. 2. DAU untuk daerah propinsi dan untuk Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari DAU sebagaimana ditetapkan diatas. 3. DAU untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan. 4. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Menurut UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemda, Pempus akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari DAU, DAK, dan DBH yang terdiri dari pajak dan Sumber Daya Alam. Selain itu, Pemerintah Daerah memiliki sumber pendanaan sendiri berupa PAD, pembiayaan, dan lain-lain pendapatan yang sah.kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Menurut Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan

daerah dengan potensi daerah. DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada (Rahmawati 2010). 2.1.4.2. Prinsip Dasar Alokasi DAU Ririn (2011) menyatakan bahwa prinsip dasar untuk alokasi DAU adalah sebagai berikut : 1. Kecukupan. Prinsip mendasar yang pertama adalah prinsip kecukupan. Sebagai suatu bentuk penerimaan, sistem DAU harus memberikan sejumlah dana yang cukup kepada daerah. Hal ini berarti, perkataan cukup harusdiartikan dalam kaitannya dengan beban fungsi sebagaimana diketahui, beban finansial dalam menjalankan fungsi tidaklah statis, melainkan cenderung meningkat karena satu atau berbagai faktor. Oleh karena itulah maka penerimaan pun seharusnya naik sehingga pemerintah daerah mampu membiayai beban anggarannya. Bila alokasidau mampu merespon terhadap kenaikan beban anggaran yang relevan, maka sistem DAU dikatakan memenuhi prinsip kecukupan. 2. Netralitas dan efisiensi. Desain dari sistem alokasi harus netral dan efisien. Netral artinya suatu sistem alokasi harus diupayakan sedemikian rupa sehingga efeknya justru memperbaiki (bukannya menimbulkan) distorsi dalam harga relatif dalam perekonomian daerah. Efisien artinya sistem

alokasi DAU tidak boleh menciptakan distorsi dalam struktur harga input, untuk itu sistem alokasi harus memanfaatkan berbagai jenis instrumen finansial alternatif relevan yang tersedia. 3. Akuntabilitas. Sesuai dengan namanya yaitu Dana Alokasi Umum, maka penggunaan terhadap dana fiskal ini sebaiknya dilepaskan ke daerah, karena peran daerah akan sangat dominan dalam penentuan arah alokasi, maka peranlembaga DPRD, pers dan masyarakat di daerah bersangkutan amatlah penting dalam proses penentuan prioritas anggaran yang perlu dibiayai DAU. Format yang seperti ini, format akuntabilitas yang relevan adalah akuntabilitas kepada elektoral (accountability to electorates) dan bukan akuntabilitas finansial kepada pusat (financial accountability to the centre). 4. Relevansi dengan tujuan. Sistem alokasi DAU sejauh mungkin harus mengacu pada tujuan pemberian alokasi sebagaimana dimaksudkan dalam UU. Alokasi DAU ditujukan untuk membiayai sebagian dari beban fungsi yang dijalankan, hal-hal yang merupakan prioritas dan target-target nasional yang harus dicapai. Perlu diingat bahwa kedua UU telah mencantumkan secara eksplisit beberapa hal yang menjadi tujuan yang ingin dicapai lewat program desentralisasi. 5. Keadilan. Prinsip dasar keadilan alokasi DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi.

6. Objektivitas dan transparansi. Sebuah sistem alokasi DAU yang baik harus didasarkan pada upaya untuk meminimumkan kemungkinan manipulasi, maka sistem alokasi DAU harus dibuat sejelas mungkin dan formulanya pun dibuat se-transparan mungkin. Prinsip transparansi akan dapat dipenuhi bila formula tersebut bisa dipahami oleh khalayak umum. Oleh karena itu maka indikator yang digunakan sedapat mungkin adalah indikator yang sifatnya obyektif sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang ambivalen. 7. Kesederhanaan. Rumusan alokasi DAU harus sederhana (tidak kompleks). Rumusan tidak boleh terlampau kompleks sehingga sulit dimengerti orang, namun tidak boleh pula terlalu sederhana sehingga menimbulkan perdebatan dan kemungkinan ketidak-adilan. Rumusan sebaiknya tidak memanfaatkan sejumlah besar variabel dimana jumlah variabel yang dipakai menjadi relatif terlalu besar ketimbang jumlah dana yang ingin dialokasikan. 2.1.5 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terdiri atas :

1. Hasil pajak daerah yaitu pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada semua objek pajak, seperti orang / badan, benda bergerak / tidak bergerak. 2. Hasil retribusi daerah, yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa/fasilitas yang berlaku oleh pemerintah daerah secara langsung dan nyata. 3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain laba dividen, penjualan saham milik daerah. 4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah antara lain hasil penjualan asset tetap dan jasa giro (Sirozujilam dan Mahali, 2011) Menurut Mardiasmo (2002) PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.menurut Halim (2003) PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, dituntut kemandirian pemerintahan daerah untuk dapat melaksanakan kebijakan desentralisasi fiscal secara lebih bertanggung jawab.oleh karena itu, pajak dan Retribusi yang telah diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi fiskal baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota harus dikelola dan ditingkatkan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah.hal ini mengingat Pajak dan Retribusi

merupakan pendapatan asli daerah dan menjadi sumber pendanaan bagi keberlangsungan pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah (Undangundang nomor 28 Tahun 2009). PAD yang tinggi belum merupakan jaminan tingginya pendapatan masyarakat di suatu daerah (regional income). Namun demikian, tingginya PAD dapat menjadi sumberdaya yang sangat penting bagi pemerintah daerah di dalam pengembangan wilayah termasuk dalam peningkatan pendapatan masyarakatnya (Rustiadi, Ghifari, Suradinata, Wijanarko, Supranto, Karmaji, Oyong, Nurbaya dan Martha, 2010). Perolehan PAD diperlukan bagi manajemen pemanfaatan dana yang mampu digunakan semaksimal mungkin bagi kemakmuran masyarakat yang sebesar-besarnya melalui program-program dan kegiatan-kegiatan yang diluncurkan pemerintah daerah tersebut (Rustiadi, Ghifari, Suradinata, Wijanarko, Supranto, Karmaji, Oyong, Nurbaya dan Martha, 2010). 2.1.6 Belanja Modal Menurut Halim (2004:73), Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok Belanja Administrasi Umum. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, belanja modal dibagi menjadi:

a. Belanja Pelayanan Publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. b. Belanja Aparatur Daerah, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, belanja menurut kelompok belanja terdiri dari: a. Belanja Tidak Langsung Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan social, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. b. Belanja Langsung Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdir dari belanja pegawai yang dimaksudkan untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah; belanja barang dan jasa belanja modal.

Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006, Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan asset tetap lainnya. Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik.pergeseran ini dilakukan untuk meningkatkan investasi modal dalam bentuk asset tetap.semakin tinggi investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas peayanan publik, karena aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Proses pembuatan keputusan pengalokasian belanja modal menjadi sangat dinamis karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki serta terdapat banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi yang berbeda. Pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah daerah. Namun, adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan

alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat. 2.2 Penelitian Terdahulu Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya Adi dan Harianto (2007) yang meneliti tentang hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pendapatan perkapita. Penelitian ini menemukan bahwa DAU sangat berpengaruh terhadap belanja modal.belanja modal mempunyai dampak yang signifikan dan negativ terhadap pendapatan perkapita dalam hubungan langsung. PAD sangat berpengaruh terhadap pendapatan perkapita, tetapi pertumbuhan yang terjadi masih kurang merata sehingga banyak ketimpangan/jarak ekonomi antar daerah. DAU mempunyai dampak yang signifikan terhadap PAD melalui belanja modal (efek tidak langsung). Ramayanti (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh PAD dan Transfer Pemerintah Pusat terhadap Pendapatan Perkapita Masyarakat Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.Variabel dalam penelitian ini adalah PAD dan Transfer Pemerintah Pusat sebagai variabel independen dan Pendapatan Perkapita sebagai variabel dependen.hasil penelitian ini membuktikan bahwa, secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Pendapatan Perkapita, sedangkan Transfer Pemerintah Pusat tidak berpengaruh signifikan.secara

simultan, Pendapatan Asli Daerah dan Transfer Pemerintah Pusat berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Pendapatan Perkapita. Jayanti (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pendapatan Perkapita.Hasil penelitian ini membuktikan bahwa belanja modal berpengaruh negative dan signifikan terhadap Pendapatan Perkapita di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pendapatan Perkapita di Kabupaten dan Kota provinsi Jawa Tengah.Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Perkapita penduduk di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Adi dan Harianto (2007) Ramayanti (2011) Judul Penelitian Hubungan antara DAU, Belanja Modal, dan PAD dan Pendapatan Perkapita Pengaruh PAD dan Transfer Variabel Penelitian DAU, Belanja Modal, PAD, dan Pendapatan Perkapita PAD, Transfer Pemerintah Pusat, Hasil Penelitian Dana Alokasi Umum sangat berpengaruh terhadap Belanja Modal. Belanja Modal mempunyai dampak yang signifikan dan negatif terhadap Pendapatan Perkapita dalam hubungan langsung. Pendapatan Asli Daerah sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Perkapita. Dana Alokasi Umum mempunyai dampak yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah melalui Belanja Modal (efek tidak langsung). Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan

Pemerintah Pusat terhadap Pendapatan Perkapita Masyarakat Kabupaten/Kot a di Provinsi Sumatera Utara dan Pendapatan Perkapita terhadap peningkatan Pendapatan Perkapita, sedangkan Transfer Pemerintah Pusat tidak berpengaruh signifikan. Secara simultan, Pendapatan Asli Daerah dan Transfer Pemerintah Pusat berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Pendapatan Perkapita. Jayanti (2011) Bangun (2009) Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pendapatan Perkapita Pengaruh Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pendapatan Perkapita Belanja Modal, PAD, dan Pendapatan Perkapita DAK, DAU, PAD, dan Pendapatan Perkapita Belanja modal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Pendapatan Perkapita di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pendapatan Perkapita di Kabupaten dan Kota provinsi Jawa Tengah. Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Perkapita penduduk di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Tengah. Secara simultan, DAK, DAU, dan PAD berepengaruh terhadap pendapatan perkapita. Secara parsial DAK tidak berpengaruh terhadap pendapatan perkapita. Secara parsial DAU berpengaruh negative secara sgnifikan terhadap pendapatan perkapita. Secara parsial PAD berpengaruh positif secara signifikan terhadap PAD.

2.3 Kerangka Konseptual Menurut Erlina (2008 :38) kerangka teoritis adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor yang penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Hubungan yang dijelaskan adalah hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan juga jika ada variabel lain yang menyertainya. Berdasarkan latar belakang masalah, tinjauan teoritis dan tinjauan penelitian terdahulu, maka peneliti membuat kerangka konseptual penelitian sebagai berikut : Variabel Independen (X) Dana Alokasi Umum (DAU) HH 1 (X1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) HH HH 4 Variabel Dependen (X2) 2 Pendapatan Perkapita (Y) Belanja Modal (X3) HH 3 Pendapatan perkapita merupakan besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu daerah yang diperoleh dari Produk Domestik Regional Bruto tanpa minyak dan gas dari tiap kabupaten/kota dibagi dengan jumlah penduduk pada wilayah tersebut.pendapatan perkapita mengindikasikan apakah pertumbuhan perekonomian

di suatu daerah telah tumbuh atau tidak.pertumbuhan pendapatan perkapita dapat disebabkan oleh banyak faktor.dalam penelitian ini faktor tersebut adalah Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, dan Belanja Modal. DAU diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka pemerataan keuangan dan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.pembagian DAU berdasarkan bobot dari masing-masing daerah, yang ditetapkan berdasarkan ataskebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi ekonomi daerah. Pengelolaan DAU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyrakat yang denga sendirinya akan berdampak pada pertumbuhan pendapatan perkapita. PAD merupakan salah satu unsur yang menentukan dalam pembangunan di daerah. Pemerintah daerah harus mampu menggali dan mengelola sumber-sumber PAD yang potensial sebagai salah satu sumber pendapatan dalam pemerintah daerah demi terwujudnya kemandirian daerah. Daerah membutuhkan dana yang berasal dari pendapatan asli daerah dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga. Tanpa sumbersumber keuangan yang cukup maka usaha daerah untuk meningkatkan pendapatan perkapita akan menemui halangan. Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk memiliki Pendapatan Perkapita yang lebih baik.

Berbagai penerimaan yang diperoleh tidak akan berpengaruh langsung kepada masyarakat apabila tidak melakukan strategi belanja yang efektif. Salah satu belanja daerah yang menentukan pertumbuhan pendapatan perkapita dan pembangunan ekonomi adalah belanja modal yang efektif dan efisien. Belanja modal berpengaruh langsung terhadap tingkat produktivitas masyarakat, dimana masyarakat akan lebih produktif ketika infrastruktur dan sarana umum lengkap, dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tingkat kemakmuran rakyat atau pendapatan perkapita daerah tersebut. 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis dikembangkan dari telaah teoritis sebagai jawaban sementara dari masalah atau pertanyaan penelitian yang memerlukan pengujian secara empiris (Sugiyono, 2007 : 51). Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal berpengaruh secara simultan dan parsial Terhadap Pendapatan Perkapita Pada Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.