BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sindroma Koroner Akut 2.1.1. Defenisi Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum penyakit arteri koroner yang bersifat trombotik. Kelainan dasarnya adalah aterosklerosis yang akan menyebabkan terjadinya plaque aterom. Pecahnya plaque aterom ini akan menimbulkan trombus yang nantinya dapat menyebabkan iskemia sampai infark miokard. 16 Spektrum klinis dari SKA terdiri dari angina pektoris tidak stabil/apts (unstable angina/ua), infark miokard gelombang non-q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/nstemi), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/stemi) (Gambar 1). 17
Gambar 1. Spektrum dan definisi dari SKA. (PERKI,2012) 17 APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS. 18 Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. 19 Sedangkan pada STEMI terjadi oklusi koroner total yang
bersifat akut sehingga diperlukan tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan angioplasti primer atau terapi fibrinolitik. 20 2.1.2. Epidemiologi Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Data dari GRACE 2001, didapatkan bahwa dari semua pasien yang datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada ternyata penyebab terbanyak adalah STEMI (34%), NSTEMI (31%) dan APTS (29%). 21 Angka mortalitas dalam rawatan rumah sakit pada STEMI ialah 7 % sedangkan NSTEMI adalah 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka kematian pasien NSTEMI ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien STEMI. 21 2.1.3 Faktor Risiko Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko. Faktor risiko SKA dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain seperti : merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, diet tinggi lemak, dan kurangnya aktivitas fisik. Faktor-faktor risiko ini masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik
Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain seperti : usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga. 22 2.1.4 Patofisiologi Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK. Aterosklerosis merupakan suatu proses multifaktorial dengan mekanisme yang saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan endotel, pembentukan foam cell (sel busa) dan fatty streaks (kerak lemak), pembentukan fibrous cap (lesi jaringan ikat) dan proses ruptur plak aterosklerotik yang tidak stabil. Inflamasi memainkan peranan penting dalam setiap tahapan aterosklerosis mulai dari perkembangan plak sampai terjadinya ruptur plak yang dapat menyebabkan trombosis. Aterosklerosis dianggap sebagai suatu penyakit inflamasi sebab sel yang berperan seperti makrofag yang berasal dari monosit dan limfosit merupakan hasil proses inflamasi. 7 Patogenesis aterosklerosis (aterogenesis) dimulai ketika terjadi kerusakan (akibat berbagai faktor risiko dalam berbagai intensitas dan lama paparan yang berbeda) pada endotel arteri, sehingga menimbulkan disfungsi endotel. Kerusakan pada endotel akan memicu berbagai mekanisme yang menginduksi dan mempromosi lesi aterosklerotik. Disfungsi endotel ini disebabkan oleh faktor-faktor risiko tradisional seperti dislipidemia, hipertensi, DM, obesitas dan merokok dan faktor-faktor risiko lain misalnya homosistein dan kelainan hemostatik. 23
Pembentukan aterosklerosis terdiri dari beberapa fase yang saling berhubungan. Fase awal terjadi akumulasi dan modifikasi lipid (oksidasi, agregasi dan proteolisis) dalam dinding arteri yang selanjutnya mengakibatkan aktivasi inflamasi endotel. Pada fase selanjutnya terjadi rekrutmen elemen - elemen inflamasi seperti monosit ke dalam tunika intima. Awalnya monosit akan mengalami adhesi pada endotel, penempelan endotel ini diperantarai oleh beberapa molekul adhesi pada permukaan sel endotel, yaitu Inter Cellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1), Vascular Cell Adhesion Molecule -1 (VCAM-1) dan Selectin. Molekul adhesi ini diatur oleh sejumlah faktor yaitu produk bakteri lipopolisakarida, prostaglandin dan sitokin. Setelah berikatan dengan endotel kemudian monosit bermigrasi ke lapisan lebih dalam dibawah lapisan intima. Monositmonosit yang telah memasuki dinding arteri ini akan teraktivasi menjadi makrofag dan mengikat LDL yang telah dioksidasi melalui reseptor scavenger. Hasil fagositosis ini akan membentuk sel busa atau "foam cell" dan selanjutnya akan menjadi fatty streaks. Aktivasi ini menghasilkan sitokin dan growth factor yang akan merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media ke tunika intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin dan kolagen, yang mengakibatkan pembesaran plak dan terbentuk fibrous cap. Pada tahap ini proses aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut dan disebut sebagai plak aterosklerotik. Pembentukan plak aterosklerotik akan menyebabkan penyempitan lumen arteri, akibatnya terjadi penurunan aliran darah. Trombosis sering terjadi setelah rupturnya plak aterosklerosis, terjadi pengaktifan platelet dan jalur koagulasi. Apabila plak pecah, robek atau terjadi
perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu arteri koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil/progresif yang dikenal juga dengan sindroma koroner akut. 23 Gambar 2. Patogenesis inflamasi pada aterosklerosis. 23 Ruptur plak memegang peranan penting untuk terjadinya sindroma koroner akut. Resiko terjadinya ruptur plak tergantung dari kerentanan atau ketidakstabilan plak. Ciri- ciri plak yang tidak stabil antara lain gumpalan lipid (lipid core) besar menempati > 40% volume plak, fibrous cap tipis yang mengandung sedikit kolagen dan sel otot polos serta
aktivitas dan jumlah sel makrofag, limfosit T dan sel mast yang meningkat. Trombosis akut yang terjadi pada plak yang mengalami ruptur memegang peran penting dalam kejadian sindroma koroner akut. Setelah plak mengalami ruptur, komponen trombogenik akan menstimulasi adhesi, agregasi dan aktivasi trombosit, pembentukan trombin dan pembentukan trombus. 24,25 Trombus yang terbentuk mengakibatkan oklusi atau suboklusi pembuluh koroner dengan manifestasi klinis angina pektoris tidak stabil atau sindroma koroner lainnya. Bukti angiografi menunjukkan pembentukan trombus koroner pada >90% pasien STEMI, dan sekitar 35-75% pada pasien UAP dan NSTEMI. 26 Pada APTS terjadi erosi atau fisur pada plak atherosklerosis yang relative kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20 menit. Pada NSTEMI kerusakan plak lebih berat dan menimbulkan oklusi trombus yang lebih persisten dan berlangsung lebih dari 1 jam. Pada sekitar 25% pasien NSTEMI terjadi oklusi trombus yang berlangsung > 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan terjadi kolateral. Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya trombus yang menetap yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung > 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural. 24,26 Lipid core mengandung bahan-bahan yang bersifat sangat trombogenik karena mengandung banyak tissue factor yang diproduksi oleh makrofag. Tissue factor adalah
suatu protein prokoagulan yang akan mengaktifkan kaskade pembekuan ekstrinsik sehingga paling kuat sifat trombogeniknya. Faktor jaringan akan membentuk kompleks dengan faktor Vva dan akan mengaktifkan faktor IX dan faktor X yang selanjutnya terjadi mata rantai pembentukan trombus. 27 Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada pathogenesis sindroma koroner akut. Ini terjadi sebagai respons terhadap disrupsi plak khususnya trombus yang kaya platelet dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskuler dengan melepaskan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal dengan Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin dan faktor kontraksi seperti endothelin-1, thromboxan A2, prostaglandin H2. Trombus kaya platelet yang mengalami disrupsi, terjadi platelet dependent vasoconstriction yang diperantarai serotonin dan thromboxan A2 sehingga menginduksi vasokonstriksi pada daerah ruptur plak atau mikrosirkulasi. 25 2.1.5. Diagnosis Sindroma Koroner Akut Diagnosis sindroma koroner akut ditegakkan berdasarkan adanya presentasi klinis nyeri dada yang khas, perubahan elektrokardiografi dan peningkatan enzim jantung. Nyeri dada khas angina biasanya berupa nyeri dada dengan rasa berat/ditindih/dihimpit didaerah retrosternal yang dapat menjalar kelengan kiri, leher rasa tercekik atau rasa ngilu rahang bawah dimana nyeri biasanya berdurasi > 20 menit dan berkurang dengan istirahat dan pemberian nitrat. Nyeri dada juga biasanya disertai gejala sistemik lain berupa mual,
muntah dan keringat dingin. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dapat dijumpai perubahan berupa depresi ST segmen atau T inverse, elevasi segmen ST, dimana pada awal masih dapat berupa hiperakut T yang kemudian berubah menjadi ST elevasi, dapat dijumpai LBBB baru yang juga merupakan tanda terjadinya infark gelombang Q. Marker yang biasa dipakai sebagai penanda adanya kerusakan miokard ialah enzym CK (Creatinin kinase) dan CK-MB (isoenzym CK). Enzim ini akan meningkat setelah 4 jam serangan. Sehingga pada awal serangan nilainya masih dalam batas normal. Selain enzim tersebut, juga dapat dinilai Troponin T dan I yang biasanya meningkat 3-12 jam setelah infark. 28 Setelah jejas miokard peningkatan kadar Troponin T terdeteksi kira-kira bersamaan dengan CK-MB, dengan kadar yang dapat dideteksi 3 sampai 4 jam setelah IMA. Troponin T tetap meningkat kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB, karena sustained release protein yang secara struktural berikatan dengan miofibril yang mengalami desintegrasi, dengan kadar yang masih dapat dideteksi hingga 24 jam setelah IMA. Peningkatan yang lama dari Troponin T akan mengganggu diagnosis perluasan IMA atau adanya re-infark. Pemeriksaan kadar Troponin T mempunyai sensitivitas sampai 100% terhadap kerusakan miokard dalam 4-6 jam setelah IMA. Spesifisitas Troponin T dalam diagnosis IMA tinggi, tetapi terdapat faktor yang dapat mengurangi spesifisitasnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Troponin T dilepas dari sel-sel miokard pada APTS, sehingga mengurangi spesifisitas untuk diagnosis IMA. Hal lain yang dapat mengurangi spesifisitasnya adalah gen untuk Troponin T ditemukan pada otot
skeletal selama pertumbuhan janin. Selama jejas otot dan regenerasinya, otot skeletal nampaknya kembali ke keadaan janin, yang melepas Troponin T dalam darah. Peningkatan kadar Troponin T ditemukan pada gagal ginjal kronik, kemungkinan disebabkan oleh myopati akibat gagal ginjal kronik. 29 Dari penelitian yang dilakukan oleh Nawawi RA dkk, terhadap 90 penderita SKA yang diperiksa di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo pada bulan Maret sampai Juli 2005 didapatkan: kadar troponin T terbanyak pada laki-laki berkadar 0,1 sampai 2,0 ng/ml, kelompok umur 60 sampai 69 tahun yang banyak menderita SKA, dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, terdapat korelasi peningkatan kadar troponin T dengan gambaran EKG pada penderita IMA, juga terdapat hubungan yang bermakna antara kadar Troponin T terhadap CKMB dan LDH. 30 Penelitian yang dilakukan oleh Lopez-Cuenza AA dkk, terhadap 392 pasien SKA non STE didapatkan 204 pasien (51,9%) dengan peningkatan kadar troponin T. 31 Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS) dapat ditegakkan apabila dijumpai kriteria sebagai berikut yaitu adanya angina pada waktu istirahat/aktivitas ringan serta pada EKG dapat dijumpai gambaran depresi segmen ST 0,05 mv atau inversi gelombang T > 0,1 mv pada dua lead yang berdampingan serta enzim jantung yang tidak meningkat. Diagnosis Non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat ditegakkan apabila dijumpai adanya nyeri dada khas infark pada saat istirahat selama > 20 menit, gambaran depresi segmen ST 0,05 mv atau inversi gelombang T > 0,1 mv pada
dua lead yang berdampingan dengan prominent R atau rasio R/S >1 dan peningkatan enzim jantung. Diagnosis ST elevation myocardial infarction (STEMI) dapat ditegakkan apabila didapatkan adanya nyeri dada khas infark yang terjadi pada saat istirahat selama > 20 menit, Elevasi segmen ST baru pada J point pada 2 lead yang berdampingan dengan cut point 0,1 mv pada semua lead selain V2-V3 dimana pada lead V2-V3 cut point ialah 0,2 mv pada pria atau 0,15 mv pada wanita dan peningkatan serial dari enzim jantung. 28,32 2.2. Red Cell Distribution Width (RDW) 2.2.1. Definisi Red Cell Distribution Width (RDW) merupakan suatu hitungan matematis yang menggambarkan jumlah anisositosis (variasi ukuran sel) dan pada tingkat tertentu menggambarkan poikilositosis (variasi bentuk sel) pada pemeriksaan darah tepi. 33 RDW adalah cerminan dari nilai koefisien variasi dari distribusi volume sel darah merah. Baik MCV dan RDW keduanya dinilai dari histogram eritrosit (RBC). MCV dihitung dari seluruh luas area dibawah kurva, sedangkan RDW dihitung hanya dari basis tengah histogram. 34 Ada 2 metode yang dikenal untuk mengukur nilai RDW, yaitu RDW-CV (Coefficient Variation) dan RDW-SD (Standard Deviation). 35 Nilai RDW-CV dapat diukur dengan formula. 34 RDW = ( ) x 100
Nilai normal berkisar antara 11.5 % - 14.5%. Sedangkan RDW-SD merupakan nilai aritmatika lebar dari kurva distribusi yang diukur pada frekwensi 20%. Nilai normal RDW-SD adalah 39 sampai 47 fl. Semakin tinggi nilai RDW maka semakin besar variasi ukuran sel. 33 Nilai RDW-CV sangat baik digunakan sebagai indikator anisositosis ketika nilai MCV adalah rendah atau normal dan anisositosis sulit dideteksi, namun kurang akurat digunakan pada nilai MCV yang tinggi. Sebaliknya nilai RDW-SD secara teori lebih akurat untuk menilai anisositosis terhadap berbagai nilai MCV. Namun tidak semua laboratorium kesehatan mengukur nilai RDW-SD pada pemeriksaan hitung darah lengkap nya. 34 Gambar 3. Histogram distribusi ukuran sel normal. Ukuran sel lebih kecil dari normal distribusi kekiri; Ukuran sel lebih besar dari normal distribusi kekanan. 34
Gambar 4. Penilaian RDW. RDW dinilai dari lebar histogram pada 1 standard deviasi (1SD) dibagi nilai rerata MCV. Nilai normal RDW-CV adalah 11,5% sampai 14,5%. RDW-SD adalah nilai aritmatika lebar dari kurva distribusi yang diukur pada frekwensi 20%. Nilai normal RDW-SD adalah 39 sampai 47 fl. 35 RDW-CV = Red Cell Distribution Width - Coefficient Variation. RDW-SD = Red Cell Distribution Width - Standard Deviation 2.2.2. RDW dan Sindroma Koroner Akut Patogenesis sindrom koroner akut (SKA) adalah multifaktorial dan kompleks, dan diagnosis awal masih menantang. Ada upaya terus-menerus di seluruh dunia dalam pencarian biomarker yang ideal untuk pengambilan keputusan klinis, terutama pada periode awal (yaitu 2 jam pertama) setelah onset nyeri dada. Troponin I atau T jantung merupakan penanda biokimia yang direkomendasikan untuk diagnosis SKA, tetapi keterlambatan munculnya dalam darah setelah kejadian akut membatasi efisiensi diagnostiknya dalam 3-4 jam pertama. 36
Marcello T dkk pada tahun 2008 melakukan pengamatan terhadap populasi dengan penyakit jantung koroner selama hampir 60 bulan masa penelitian. Dari hasil pengamatan disimpulkan bahwa adanya hubungan antara peningkatan kadar RDW dengan risiko kematian dan kejadian kardiovaskular pada penderita infark miokard. 10 Diduga peningkatan RDW pada penderita SKA memiliki hubungan dengan proses aktivasi hormone hepsidin yang dapat menyebabkan akumulasi lipid intraselular, peningkatan proses stress oksidatif, inflamasi dan apoptosis. 39 Hepsidin meningkatkan kadar zat besi intraselular dengan cara menurunkan ekspresi dari ferroportin 1 (FPN 1) pada permukaan makrofag sehingga menyebabkan degradasi ferroportin 1 (FPN 1). Hal ini menyebabkan terjadinya proses berkurangnya ekspor zat besi keluar dari sel makrofag. Hepsidin juga meningkatkan penyimpanan zat besi didalam sel dengan cara meningkatkan regulasi dari ferritin sehingga menyebabkan peningkatan kadar ferritin didalam sel kemudian menyebabkan kadar besi di plasma akan menurun, dan menyebabkan ukuran eritrosit akan bervariasi. Kedua hal tersebut menyebabkan peningkatan kadar zat besi didalam sel sehingga mengakibatkan akumulasi lipid intraselular, stress oksidatif meningkat, proses inflamasi meningkat dan juga apoptosis meningkat. Dan semua proses tersebut menyebabkan plak aterosklerosis menjadi tidak stabil. 39
Gambar 5. Mekanisme yang mendasari ketidakstabilan plak diinduksi hepcidin Pada penelitian Yan-Ling Wang dkk, dilakukan pada pasien yang dirawat di instalasi gawat darurat lokal yang dicurigai diagnosis SKA pada populasi Chinese. Dalam penelitian ini kadar RDW yang meningkat dihubungkan dengan peningkatan mortalitas penyakit jantung, gagal jantung dan infark berulang pada pasien sindrom koroner akut. Dimana penelitian tersebut signifikan (p<0,001) secara statistik. 12 Penelitian yang dilakukan oleh Giuseppe Lippi dkk, menganalisa kadar RDW pada 2304 pasien dewasa, dengan keluhan nyeri dada selama periode 1 tahun. Hasilnya menunjukkan dari 456 pasien dengan diagnosis SKA, didapatkan kadar RDW yang meningkat dibandingkan dengan pasien non SKA. 37 Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Adam Beker dkk, terhadap 251 pasien SKA infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/nstemi), dimana penelitian ini menghubungkan antara kadar RDW yang tinggi dengan fragmentasi QRS elektrokardiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kadar RDW yang tinggi berkorelasi positif dengan fragmentasi QRS elektrokardiografi pada pasien NSTEMI. 38