BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia termasuk negara yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil terutama minyak bumi sebagai sumber energinya, di mana 51,66% kebutuhan energi dipasok dari penggunaan minyak bumi (Wiratmaja, 2010). Permintaan minyak bumi dalam negeri juga semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2000, permintaan minyak bumi dalam negeri adalah sebesar 54,8 juta liter. Angka tersebut terus meningkat menjadi 67,6 juta liter di tahun 2004 (Trisnamurti dkk, 2004). Maka dari itu untuk mengurangi ketergantungan penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi, dibutuhkan sumber energi alternatif pengganti minyak bumi. Penelitian di bidang sumber energi alternatif dengan berbagai jenis proses dan bahan baku terus dilakukan, salah satu bahan baku yang dinilai berpotensi adalah minyak nabati. Minyak nabati dapat diolah menjadi bahan bakar yang serupa dengan bahan bakar fosil dengan cara perengkahan yang berprinsip pada pemutusan rantai panjang hidrokarbon dari trigliserida, rantai hidrokarbon inilah yang menyebabkannya dapat berperan sebagai bahan bakar. Minyak nabati yang merupakan sumber daya terbarukan dianggap cocok digunakan sebagai bahan baku sumber energi pengganti bahan bakar fosil karena dapat dibudidayakan. Salah satu minyak nabati yang dianggap berpotensi adalah minyak sawit. Minyak sawit dibudidaya dan ditanam secara massal di negara-negara tropis, termasuk Indonesia dan Malaysia, sehingga ketersediannya dianggap memadai dan harganya relatif lebih murah dari kebanyakan minyak nabati lain (Nasikin et al., 2009). Minyak sawit tidak dapat langsung dipakai menjadi bahan bakar, melainkan harus diproses terlebih dahulu. Minyak sawit dapat diproses menjadi bahan bakar dengan fraksi yang mirip bensin ataupun minyak diesel. Minyak sawit mengandung beberapa jenis asam lemak, asam-asam lemak terikat dalam struktur gliserida yang memiliki panjang rantai hidrokarbon yang bervariasi (Wijanarko dkk., 2006). Variasi rantai karbon yang terdapat pada minyak sawit dapat dilihat pada Tabel I.1. 1
2 Tabel I.1 Jenis asam-asam lemak dalam minyak sawit (Anonim, 2016) Asam lemak (jumlah atom karbon:jumlah ikatan rangkap) % Asam Miristat (14:0) 1,0 Asam Palmitat (16:0) 43,5 Asam Stearat (18:0) 4,3 Asam Oleat (18:1) 36,6 Asam Linoleat (18:2) 9,1 Lainnya 5,5 Dari Tabel I.1 diketahui bahwa kandungan asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit adalah asam palmitat yang memiliki 16 atom karbon tanpa ikatan rangkap dan asam oleat yang memiliki 18 atom karbon dengan satu ikatan rangkap pada struktur hidrokarbonnya. Asam lemak yang terikat pada struktur trigliserida pada minyak sawit dapat diubah menjadi biogasolin (C12-C16) atau bahan bakar lain melalui proses pemutusan rantai karbon pada asam lemak, sehingga melalui minyak sawit dapat diproduksi produk turunan serupa bahan bakar fosil seperti minyak diesel, kerosin, atau gasolin (Jujarama et al., 2014). Pembuatan biofuel dari minyak sawit dapat dilakukan dengan proses perengkahan, baik katalitik maupun non-katalitik. Reaksi ini berjalan secara eksotermis dan hasil reaksinya berupa molekul dengan berat molekular yang lebih rendah. Perengkahan non-katalitik atau termal dilakukan dengan cara memanaskan minyak sawit pada suhu dan tekanan tinggi tanpa penggunaan katalis. Cara ini dianggap boros energi dan kurang efektif karena pada pemutusan rantai hidrokarbon yang tidak terkendali menyebabkan produk yang didapatkan lebih banyak berupa hidrokarbon rantai pendek yang berupa gas, seperti metana, etilen, dan olefin, bukan biogasolin seperti yang diinginkan. Cara lainnya adalah dengan proses perengkahan katalitik, yang dianggap lebih baik dari reaksi non-katalitik karena membutuhkan suhu reaksi yang relatif lebih rendah dan juga hasil yang lebih memuaskan (Nasikin et al., 2009). Reaksi hidrorengkah merupakan kombinasi antara perengkahan dan hidrogenasi untuk menghasilkan senyawa yang jenuh. Pada reaksi perengkahan
3 terjadi penguraian ikatan-ikatan karbon yang diikuti dengan hidrogenasi yaitu penjenuhan molekul dengan hidrogen. Hidrorengkah katalitik adalah perengkahan yang melibatkan pengunaan katalis dan suplai hidrogen yang kontinyu. Ada tiga jenis katalis yang dikenal, yaitu: (1) katalis logam, misalnya Ni, Pd, Pt; (2) katalis nonlogam, misalnya Al2O3, SiO2, zeolit; (3) katalis teremban logam, misalnya Ni/γ- Al2O3, Ni/HZSM-5, Ni/zeolit Y. Katalis logam mempunyai keterbatasan, misalnya tidak efisien dan tidak tahan temperatur tinggi sehingga penggunaan katalis logam dalam industri minyak bumi menjadi terbatas, sedangkan katalis nonlogam merupakan katalis di mana katalis itu bersifat sebagai asam dalam reaksinya sebagaimana dalam proses perengkahan minyak bumi. Pada katalis teremban logam (katalis bifungsional), fungsi asam yang mengkatalisis reaksi cracking dan isomerisasi berasal dari material pengembannya (alumina, silika, zeolit) sedangkan fungsi hidrogenasi dan pembentukan olefin berasal dari logamnya (Santi, 2013). Katalis teremban logam dianggap potensial untuk menjadi katalis hidrorengkah yang baik. Indonesia memiliki sumber daya alam mineral yang tersebar di beberapa propinsi dengan jumlah yang cukup besar. Salah satu mineral yang banyak terdapat di Indonesia adalah lempung. Berdasarkan kandungan mineralnya, tanah dibedakan menjadi montmorilonit, kaolinit, haloisit, klorit dan illit. Montmorilonit merupakan kelompok mineral filosilikat yang paling banyak menarik perhatian karena montmorilonit memiliki kemampuan untuk mengembang serta kemampuan untuk diinterkalasi dengan senyawa organik membentuk material komposit organikanorganik. Montmorilonit juga memiliki kapasitas penukar kation yang tinggi sehingga ruang antar lapis montmorilonit mampu mengakomodasi kation dalam jumlah besar (Lubis, 2007). Bentonit (montmorilonit) termasuk jenis mineral lempung hidrous phyllosilicate yang struktur materialnya berbentuk lembaran. Setiap lembaran montmorilonit terdiri dari dua 1apisan tetrahedral yang disusun oleh unsur utama Si(O,OH) dan mengapit satu lapisan oktahedral yang disusun oleh unsur M (O,OH) dengan M= Al, Mg, Fe. Di antara lembaran-lembaran ini, terdapat ruang yang diisi oleh molekul-molekul air dan kation-kation lain. Kation-kation yang ada di antara
4 lapisan dapat diganti dengan kation-kation yang mempunyai muatan dan ukuran lebih besar seperti polikation atau polihidroksi yang berbasis logam seperti Al, Zr, Ti, Cr, Fe, dan Ga. Sebagai hasil pertukaran kation ini, dihasilkan suatu bahan yang berdimensi dua seperti bentonit yang dikenal dengan lempung berpilar. Setelah pemanasan, pilar polikation ini akan membentuk kluster oksida yang membuka antar lembaran lempung secara permanen dan menghasilkan ruang-ruang berdimensi molekular yang mempunyai sistem pori yang baik. Sebagai hasilnya, lempung berpilar ini akan diperoleh tekstur permukaan yang bersifat asam basa yang cocok untuk bermacam-macam aplikasi katalitik seperti perengkahan minyak bumi, alkilasi, dehidrasi alkohol, produksi bahan kimia murni, dan lain-lain (Fisli & Haerudin, 2002). Lempung berpilar ini, di samping cocok untuk bermacam-macam aplikasi analitik juga dapat digunakan sebagai pendukung katalis (komponen aktif) yang bersifat katalitik. Hal-hal yang menguntungkan bagi liat berpilar sebagai pendukung katalis, di antaranya luas permukaan yang tinggi, bentuk porositas yang khas, mempunyai kestabilan termal yang cukup dan mempunyai permukaan aktif secara katalitik. Penggabungan liat berpilar dengan komponen aktif, yang bersifat katalitik, biasanya logam-logam transisi, seperti Cu, Ni, Pt, Mn, Mo, Pa, Fe, dan Co akan diperoleh suatu bahan katalis yang lebih elektif dan selektif sesuai dengan sifat katalitik logam transisi yang digunakan (Fisli & Haerudin, 2002). Nikel dianggap berpotensi menjadi komponen aktif yang dapat diembankan pada bentonit. Sebagai katalis, nikel mempunyai aktivitas dan selektivitas yang baik dalam suatu reaksi. Harga nikel juga lebih murah dibanding dengan logam platina dan paladium, sehingga penggunaan nikel lebih menguntungkan. Pemilaran bentonit dengan alumina yang pernah dilakukan oleh Haerudin dkk. (2005) dan Fisli dkk. (2002) memberikan informasi adanya peningkatan sifat kimia-fisika bentonit, seperti luas permukaan spesifik bentonit, ukuran pori dan distribusi pori. Sedangkan reaksi perengkahan minyak sawit menggunakan katalis Ni-Zeolit alam telah dilakukan oleh Rahayu (2012) yang berhasil mendapatkan fraksi biogasolin. Rifqi dkk. (2012) juga telah behasil melakukan perengkahan minyak jelantah dengan katalis Ni-Mo/Zeolit alam menjadi fraksi biogasolin. Ada
5 banyak penelitian yang membahas perengkahan katalitik menggunakan lempung terpilar sebelumnya, akan tetapi belum banyak yang meneliti tentang hidrorengkah minyak sawit menggunakan bentonit yang dimodifikasi dengan pemilaran dan pengembanan. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian yang mengarah pada pembuatan biofuel dengan katalis Ni-Al2O3-bentonit menjadi sangat potensial. Pada penelitian ini, bentonit alam dimodifikasi dengan pemilaran menggunakan agen Keggin dan kemudian diimpregnasi dengan logam Nikel sebelum digunakan sebagai katalis hidrorengkah minyak sawit menjadi biogasolin untuk menelaah aktivitas katalitiknya. I.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Membuat katalis hidrorengkah dari bentonit yang dimodifikasi dengan pemilaran dan pengembanan, serta mengkaji sifat fisikokimiawinya. 2. Mengkaji aktivitas bentonit termodifikasi sebagai katalis dalam reaksi hidrorengkah minyak sawit dan membandingkan sifat produk hidrorengkah dengan bahan bakar fosil. I.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi tentang pembuatan katalis hidrorengkah dari bentonit termodifikasi dan kemampuannya dalam proses hidrorengkah minyak sawit. 2. Memberikan informasi tentang keunggulan produk hasil modifikasi bentonit dengan teknik pemilaran dan pengembanan dibandingkan bentonit yang belum dimodifikasi. 3. Mendapatkan alternatif bahan bakar baru terbarukan sebagai pengganti bahan bakar fosil.
6 4. Memberdayakan bentonit alam dan minyak sawit yang merupakan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia untuk dijadikan bahan bakar alternatif.