BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat dengan orang lain (agent) untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Abstrak. Kata kunci: Kinerja Keuangan, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Belanja Modal.

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belanja modal termasuk jenis belanja langsung dan digunakan untuk

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Selama ini dominasi Pusat terhadap Daerah menimbulkan besarnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Scott (2000) dalam Bangun (2009)

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

Analisis Kinerja Keuangan Dalam Otonomi Daerah Kabupaten Nias Selatan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

Shinta Noor Anggraeny 1) Ahmad Kudhori 2) Politeknik Negeri Madiun

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KLATEN DILIHAT DARI PENDAPATAN DAERAH PADA APBD

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan. perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Rebulik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan kesempatan untuk menyelenggarakan otonomi. daerah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA MALANG

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta)

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH DI KOTA GORONTALO (Studi Kasus DPPKAD Kota Gorontalo)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Agensi Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai kontak dimana satu orang atau lebih (principle) terlibat dengan orang lain (agent) untuk melakukan pelayanan kepada mereka yang melibatkan beberapa otoritas pengambilan keputusan kepada agent. Agency theory menyatakan bahwa agen biasanya dinilai sebagai pihak yang ingin memaksimumkan dirinya, tetapi ia tetap selalu berusaha memenuhi kontrakkontraknya (Suwardjono, 2006). Menurut pandangan teori agensi, kinerja dari organisasi ditentukan berdasarkan usaha dan pengaruh dari kondisi lingkungan. Teori agensi menyatakan bahwa terdapat perbedaan sikap dari prinsipal bersikap netral terhadap resiko, sebaliknya agen bersikap menolak usaha dan risiko. Prinsipal menilai pemberian kompensasi kepada agen berdasarkan pada hasil, namun agen berpandangan bahwa pemberian kompensasi tidak hanya diukur berdasarkan hasil tetapi juga harus berdasarkan tingkat usahanya (Lubis, 2011). Berdasarkan teori yang disusun oleh Jensen dan Meckling (1976) dan (Suwardjono, 2006), dapat disimpulkan bahwa teori keagenan merupakan suatu organisasi selalu ingin memajukan dan mewujudkan visi, misi organisasinya melalui kontrak atau perjanjian yang telah disetujui oleh pihak organisasi yang bersangkutan dalam kegiatan tersebut.

Sejak otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintah Daerah pada tahun 2001, perspektif keagenan (agency theory) dapat digunakan di dalam sektor publik. UU tersebut memisahkan dengan tegas antara pemerintah daerah (eksekutif) dengan fungsi perwalian rakyat (legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran daerah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Teori ini menjelaskan kepentingan antara pihak manajerial dengan pemilik yang kepentingannya tidak sama, sehingga dapat terjadi konflik. Konflik tersebut dinamakan konflik keagenan. Dalam teori ini dapat membagi secara rata atau menyelaraskan antara hak masing-masing pihak antara pihak agen dan pihak principal beserta kewajibannya dan kepentingan masing-masing pihak tersebut. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah untuk memadukan antara kepentingan principal dan agent agar tidak terjadi konflik kepentingan. 2.2. Variabel-Variabel Penelitian Variabel penelitian suatu atribut atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2011:64). Pada penelitian ini telah ditentukan 2 variabel, yaitu variabel bebas atau variabel independen dan variabel terikat atau dependen.

Variabel dependen atau variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel independen atau variabel bebas (Sugiyono,2011:61). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah belanja modal. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 menjelaskan bahwa belanja modal sendiri adalah belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 tahun anggaran yang akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal biasanya digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Belanja modal didapatkan dengan cara membeli melalui proses lelang atau tender. Belanja modal yang merupakan bagian dari pengeluaran pemerintah daerah akan menjadi aset daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang gunanya baik langsung maupun tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Pembangunan yang berkaitan dengan pelayanan publik akan mendorong masyarakat untuk lebih produktif dalam bekerja karena adanya fasilitas yang memadai dan investor akan tertarik karena fasilitas tersebut. Belanja modal dapat dibagi dalam 5 (lima) kategori utama yakni : Belanja Modal Tanah, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Modal Gedung dan Bangunan, Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan, Belanja Modal Fisik Lainnya. Rumus yang digunakan dalam menghitung belanja modal daerah adalah Belanja Modal Total Realisasi Belanja x 100%

Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau terikat. Variabel independen dalam penelitian adalah : 2.2.1. Rasio Keuangan Daerah Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang ditetapkan dan dilaksanakan (Halim, 2007). Analisis rasio keuangan ialah proses yang memberikan ciri-ciri penting tentang bagaimana keadaan keuangan daerah dan kegiatan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Alat ukur kinerja adalah analisis rasio keuangan yang dapat digunakan untuk konsep pengelolaan keuangan pemerintah untuk menjamin pertanggungjawaban publik oleh lembaga pemerintah kepada rakyat. Analisis rasio keuangan dalam APBD dilakukan dengan cara membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya sehingga bisa diketahui kecenderungannya. Dapat juga dilakukan dengan membandingkan rasio keuangan suatu pemerintah daerah dengan daerah lain yang maupun yang potensinya relatif sama terhadap pemerintah daerah lainnya. Karena keuangan daerah merupakan komponen yang sangat penting untuk perencanaan pembangunan, maka analisis mengenai kondisi dan proyeksi keuangan daerah perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mendanai rencana pembangunan dan kesadaran untuk secara efektif dalam pengelolaan daerah.

Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan daerah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggung jawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Salah satu alat yang digunakan untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD. Pihak yang berkepentingan dengan analisis rasio keuangan pada laporan keuangan daerah adalah (widodo, 2001): 1. DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat). 2. Pemerintah eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya. 3. Pemerintah pusat / provinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. 4. Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan turut memiliki saham pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman ataupun membeli obligasi. 2.2.1.1. Rasio Pertumbuhan Keuangan Daerah Rasio Pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari satu periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian daerah (Abdul Halim 2007:241).

Pertumbuhan APBD dilihat dari berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri dari Pendapatn Asli Daerah, total pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan (Widodo,2001: 270). Rumus Rasio Pertumbuhan keuangan daerah sebagai berikut : r = Pn - P0 P0 Keterangan : r = Pn = Rasio Pertumbuhan Total Pendapatan Daerah/ PAD/ Belanja Modal/ Belanja Operasi yang dihitung pada tahun ke-n P0 = Total Pendapatan Daerah/ PAD/ Belanja Modal/ Belanja dari tahun ke 0 Sebaiknya pertumbuhan ini dinyatakan dalam bentuk presentase. Pertumbuhan yang diukur dalam organisasi sektor publik meliputi pertumbuhan aset yang mengukur perubahan dari aset antara satu periode dengan periode yang lain, pertumbuhan utang yang mengukur perubahan dari utang antara satu periode yang lain, pertumbuhan pendapatan antara satu periode dengan periode dengan lainya, pertumbuhan belanja yang mengukur perubahan dari belanja antara satu periode dengan periode yang lain, pertumbuhan surplus atau defisit yang digunakan untuk mengukur perubahan dari surplus atau defisit antara satu periode ke periode lain dan pertumbuhan SiLPA/SiKPA yang digunakan untuk mengukur perubahan dari SiLPA/SiKPA antara satu periode dengan periode yang lain.

Jika semakin tinggi nilai PAD, TPD dan Belanja Pembangunan yang kemudian diikuti oleh kecenderungan rendahnya Belanja Rutin maka pertumbuhannya bernilai positif. Yang memberikan arti bahwa pemerintah daerah secara periodik bisa meningkatkan serta mempertahankan pertumbuhannya. Berikutnya dikatakan pertumbuhannya negatif apabila rendahnya belanja rutin mengikuti rendahnya PAD, TPD, dan Belanja pembangunan. Berarti bahwa pemerintah daerah belum mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan dari satu periode ke periode lainnya. 2.2.1.2. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian ini menggambarkan tingkat ketergantungkan daerah terhadap sumber dana ekstern. Rasio kemandirian menunjukan tigkat partisipasi masyarakat dalam pembagunan daerah. Artinya, semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah (Abdul Halim, 2007:233). Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dilihat dari besarnya PAD dibandingkan dengan Pendapatan Daerah yang berasal dari sumber lain atau Pendapatan Transfer terdiri dari : Bagi hasil pajak, Bagi hasil bukan pajak sumber daya alam, Dana alokasi umum dan Alokasi khusus, Dana darurat dan pinjaman. Rumus untuk menghitung Rasio Kemandirian keuangan daerah yakni : RKemKD : x 100% PAD Pendapatan Transfer

Menurut Halim (2004:60), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah: 1. Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. 2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dari kedua ciri tersebut dapat dilihat pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Semakin baik kinerja keuangan suatu daerah menggambarkan daerah tersebut mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan yang positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan pembangunan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi pada daerah tersebut. Vella (2015) mengatakan bahwa PAD selalu dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat.

Realitas hubungan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap pembangunan daerah. Hal ini terlihat jelas dari rendahnya PAD terhadap total pendapatan daerah dibandingkan dengan total subsidi yang didrop dari pusat. Serta ardhini (2011) menyatakan bahwa dilakukan kajian lebih lanjut dengan menggali apakah pengalokasian dalam belanja modal dan realisasi belanja modal tersebut tidak terkait dengan perilaku oportunistik pihak-pihak yang terlibat dalam penganggaran seperti pembiayaan untuk pemilukada. 2.2.1.3. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rasio efektivitas menunjukan kemampuan Pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang telah dianggarkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan tersebut untuk menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila mencapai sebesar atau 100 persen. Semakin tinggi rasio efektivitas, maka kemampuan daerah pun semakin baik. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk memobilisasi penerimaan PAD yang ditargetkan. Dalam rasio tersebut akan diperoleh perbandingan antara PAD yang telah ditargetkan dengan PAD yang terealisasi. Angka rasio efektivitas PAD yang tinggi menunjukan bahwa pemerintah daerah tersebut telah mampu memenuhi target penerimaan PAD yang telah dianggarkan sebelumnya Rumus rasio ini adalah sebagai berikut : REfePAD = RealisasipenerimaanPAD TargetpenerimaanPAD 100%

2.2.1.4. Rasio Derajat Desentralisasi Keuangan Derajat desentralisasi dilihat dari sisi belanja (expenditure) diartikan sebagai otoritas untuk mengalokasikan belanja sesuai dengan kebutuhan daerah masingmasing. Pemerintah Pusat hanyalah memberikan supervisi dan pengawasan terhadap pelaksanaan. Tetapi, karena pola inilah yang membuat pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia menjadi semakin jauh dari apa yang dirumuskan sebelumnya. Pemerintah Daerah semakin bergantung kepada Pemerintah Pusat, adanya praktek penguasa di daerah serta maraknya perilaku korupsi para pejabat publik. Dalam hal ini, pemerintah membuat kebijakan yang sifatnya antisipasif dan reaktif yang dijalankan dengan mengutamakan penguatan kapasitas Pemerintah daerah dalam menjalankan proses desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tersebut. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan penguatan pembagian kewenangan antara Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam sudut perbaikan tata cara pembiayaan, pemerintah daerah juga mengadakan langkah-langkah perbaikanyang dilakukan secara terus menerus. Hubungan fiskal antara pusat dan daerah dilihat dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Terlihat jelas dari rendahnya porsi PAD terhadap poin total pendapatan daerah dibandingkan dengan besarnya subsidi yang di drop dari pos pusat. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan tersebut juga semakin besar.

Ketergantungan fiskal terlihat dari relatif rendahnya PAD dan dominannya transfer terhadap pusat. Anggraeny dan ahmad kudhori (2016) mengatakan bahwa derajat desentralisasi secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal serta penelitian yang dilakukan oleh Rusydi (2010) menunjukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurni dan Afrizal (2015) mengatakan derajat desentralisasi memberikan ruang gerak yang lebih bagi Pemda untuk berimprovisasi dalam hal pemanfaatan sumber daya dan potensi daerah serta kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan daerah, seperti pelaksanaan tugas-tugas rutin, pelayanan publik, dan peningkatan investasi yang produktif (capital investment) di daerahnya. Rasio ini membagi antara Pendapatan Asli Daerah dengan Total Pendapatan Daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi pula kemampuan Pemda dalam melakukan desentralisasinya. Rumusnya ialah : RDD = PAD Total Pendapatan Daerah 2.3. Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang peneliti jadikan sebagai referensi dalam melakukan penelitian ini.

Judul dan No penelitian terdahulu 1 Analisis Kinerja Keuangan dan Alokasi Belanja Modal Pemerintah Daerah (Shinta Noor Anggraeny dan Ahmad Kudhori, 2016) 2. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Dengan Alokasi Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening (Studi Pada Pemerintah Kabupaten/Kota D.I. Yogyakarta) (Kurni Adi Suwandi, dan Afrizal Tahar, 2015) Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Variabel Penelitian Variabel Independent : desentralisasi fiskal, efektivitas PAD, kemandirian keuangan Variabel Dependent: Belanja Model Variabel Independent: Derajat Desentralisasi Fiskal, Ketergantungan Fiskal, Keuangan Kemerdekaan, Efektifitas Pendapatan Daerah, Kontribusi BUMD Degrees, Variabel Dependent: Pertumbuhan Ekonomi Daerah Variabel Intervening : Alokasi Belanja Modal Hasil Penelitian Kinerja keuangan yang terdiri dari derajat desentralisasi, efektivitas PAD dan kemandirian keuangan secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal Kemandirian Keuangan Daerah, Efektivitas Belanja Modal dan Keserasian Belanja berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen Alokasi Belanja Modal, sedangkan variabel Ketergantungan Keuangan Daerah, Efektivitas PAD, Derajat desentralisasi fiskal dan Efisiensi tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen Alokasi Belanja Modal. 3. Pengaruh Rasio Keuangan Daerah, Pendapatan Asli Daerah (Pad), Dan Dana Alokasi Umum (Dau) Terhadap Alokasi Belanja Modal Pada Variabel Independent : Rasio Keuangan Daerah, Pendapatan Asli Daerah (Pad), Dan Dana Alokasi Umum (Dau) Variabel Dependent: Alokasi Belanja Moda Pendapatan asli daerah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal sedangkan 4 variabel lainnya yaitu rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, dan dana alokasi umum tidak

Kabupaten/Kota Di Provinsi Riau Tahun 2009-2012 (Vella Kurniasih Fitri, 2013) 4. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/kota di Jawa Tengah. (Havid Sularso dan Yanuar E. Restianto, 2011) 5. Analisis Determinan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dan Deteksi Ilusi Fiskal (Studi Kasus Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2008) (Bahrul Ulum Rusydi, 2010) 6. Pengaruh Rasio Kemandirian Daerah, Rasio Efektivitas, Rasio Efesiensi, Rasio Variabel Independent: Derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan, Efektivitas PAD, derajat kontribusi BUMD Variabel Dependent: Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Variabel Independent: Derajat Desentralisasi Fiskal, Ketergantungan Fiskal, Keuangan Kemerdekaan, Efektifitas Pendapatan Daerah, Kontribusi BUMD Degrees, Alokasi Belanja Modal, dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Variabel Dependent: Belanja Modal, Pertumbuhan Ekonomi Variabel Independent : Rasio Kemandirian Daerah, Rasio Efektivitas, Rasio Efesiensi, Rasio memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal Pengalokasian belanja modal yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dipengaruhi oleh kinerja keuangan khususnya rasio Ketergantungan keuangan, rasio kemandirian keuangan, rasio efektivitas PAD dan derajat kontribusi BUMD. Namun, hasil penelitian menunjukan indikasi bahwa derajat desentralisasi tidak memiliki pengaruh terhadap alokasi belanja modal Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan saling mempengaruhi yang signifikan antara sisi penerimaan (PAD) dengan sisi pengeluaran (belanja daerah). PAD mampu meningkatkan belanja daerah sebesar 0,67 juta rupiah setiap kenaikan 1 juta PAD, sedangkan belanja daerah mampu meningkatkan PAD sebesar 0,07 juta rupiah setiap kenaikan 1 juta belanja daerah. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa tidak terdapat ilusi fiskal di dalam kinerja keuangan pemerintah daerah provinsi. Rasio tingkat kemandirian daerah tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Rasio efektifitas tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Rasio efesiensi tidak berpengaruh

Aktivitas Dan Rasio Pertumbuhan Terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten Dan Pemerintah Kota Di Kepulauan Riau Tahun 2010 2013 (Raja Assyurriani, 2015) 7. Pengaruh Rasio Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal Untuk Pelayanan Publik Dalam Perspektif Teori Keagenan (Studi Pada Kabupaten Dan Kota Di Jawa Tengah) (Ardhini dan Hj. Rr. Sri Handayani, SE, Msi, Akt, 2011) Aktivitas Dan Rasio Pertumbuhan Variabel Dependent: Belanja Modal Variabel Independent : Rasio Kemandirian daerah, Rasio Efektivitas keuangan daerah, Rasio Efisiensi keuangan daerah, Sisa Lebih Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA) Variabel Dependent: Belanja Modal Untuk Pelayanan Publik terhadap belanja modal. Rasio Aktivitas berpengaruh terhadap belanja modal. Rasio pertumbuhan pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap belanja modal. Rasio pertumbuhan pendapatan daerah tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Rasio pertumbuhan belanja pembangunan tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Rasio tingkat kemandirian daerah, rasio efektifitas, rasio efektifitas, rasio aktifitas, rasio pertumbuhan secara bersamaan berpengaruh terhadap belanja modal Rasio Kemandirian daerah berpengaruh positif tidak signifikan terhadap rasio belanja modal untuk pelayanan publik. Rasio Efektivitas keuangan daerah berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal untuk pelayanan publik. Rasio Efisiensi keuangan daerah berpengaruh negatif namun signifikan terhadap alokasi belanja modal untuk pelayanan publik. Sisa Lebih Anggaran Tahun Sebelumnya ( SiLPA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap realisasi belanja modal untuk pelayanan publik. 2.4. Kerangka Pemikiran Teoritis dan Pengembangan Hipotesis

2.4.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka penelitian dibuat hanya sebagai informasi dalam penjelasan secara singkat mengenai penelitian dalam menjelaskan variabel independen dan variabel dependen yang saling mempengaruhi secara signifikan. Rasio Pertumbuhan Keuangan Daerah(X 1 ) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah(X 2 ) Belanja Modal (Y) Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD)(X 3 ) Rasio Derajat Desentralisasi Keuangan Daerah(X 4 ) Gambar 2.1. Kerangka penelitian 2.4.2. Pengaruh Rasio Pertumbuhan Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal Rasio pertumbuhan menunjukan kemampuan daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya dari satu periode ke periode berikutnya, baik dari sisi peningkatan PAD, peningkatan pendapatan, peningkatan belanja rutin dan peningkatan belanja pembangunan. Dengan diketahuinya peningkatan pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat menjadi

bahan untuk perencanaan dan pemanfaatan potensi-potensi yang perlu mendapatkan dikembangkan. Hasil penelitian yang dilakukan Assyurriani (2015) mendapatkan hasil di mana rasio pertumbuhan keuangan daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : H1 : Rasio pertumbuhan keuangan daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal 2.4.3. Pengaruh Rasio Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal Rasio kemandirian daerah menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Rasio kemandirian daerah juga menunjukan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Partisipasi masyarakat ini diwujudkan dalam membayar retribusi daerah dan pajak yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Sedangkan pendapatan asli daerah sendiri merupakan sumber dana untuk alokasi belanja modal. Mengacu pada teori keagenan, hubungan antara organisasi yakni antara atasan (prinsipal) dan bawahan (agen) (Halim dalam Handayani, 2011). Kemandirian daerah merupakan indikator untuk menilai Perolehan PAD atas adverse selection yang terjadi. Dalam hal ini eksekutif sebagai agen yang bertanggung jawab dalam Perolehan PAD yang nantinya akan digunakan sebagai sumber dana untuk belanja modal yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Anggraeny dan Kudhori (2016) menujukan pengalokasian belanja modal dipengaruhi oleh rasio kemandirian keuangan daerah. Semakin tinggi rasio

kemandirian daerah maka semakin tinggi alokasi belanja modalnya. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Havid dan Restianto (2011) bahwa rasio kemandirian berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Vella (2013) menghasilkan data bahwa rasio kemandirian tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alokasi belanja modal dan Ardhini (2011) yang menunjukkan bahwa secara statistik adanya rasio kemandirian keuangan daerah pada pemerintah daerah kabupaten/kota tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal dikabupaten/kota di Provinsi Riau yang dilihat pada laporan realisasi APBD. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis dalam penelitian ini : H2 : Rasio Kemandirian Daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal 2.4.4. Pengaruh Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Modal Menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah digambarkan dalam rasio efektivitas. Ukuran efektivitas merupakan refleksi dari realisasinya. Dengan demikian, maka efektivitas menunjukkan keberhasilan operasional pemerintah karena dapat menghasilkan sumber daya yang abadi masyarakat yang sesuai target. Fitri dkk (2014) kemampuan efektivitas keuangan daerah dalam merealisasikan PADnya akan memperlihatkan tingkat kemandirian daerah dalam mengelola potensi dan manajemen keuangan. Oleh karena itu daerah dengan rasio efektivitas rendah menandakan rendahnya kemampuan

daerahnya dalam mengelola dan memanajemen potensi keuangan daerah. Hasil ini akan mengakibatkan turunnya PAD yang mengakibatkan PAD menjadi turun dan membawa dampak menurunnya dana alokasi belanja modal. Anggraeny dan Kudhori (2016) mengatakan bahwa rasio efektivitas pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap belanja modal dan Assyurriani (2015) menyatakan bahwa rasio efektivitas berpengaruh positif namun tidak signifikan pada alokasi belanja modal. Namun hasil yang bertolak belakang ditemukan oleh Vella (2013) bahwa alokasi belanja modal di kabupaten/kota provinsi Riau tidak dipengaruhi oleh rasio efektivitas keuangan daerah. Serta penelitian yang dilakukan oleh Suwandi dan Tahar (2015) mengungkapkan bahwa efektivitas PAD tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Dari hasil uraian diatas diperoleh hipotesis: H3 : Rasio efektivitas pendapatan asli daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap belanja modal 2.4.5. Pengaruh Derajat Desentralisasi Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal Derajat desentralisasi memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan dengan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat setempat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat (UU No. 32 Tahun 2004). Kemampuan menciptakan penerimaan daerah untuk membiayai pembangunan bersumber dan berawal dari kemampuan daerah

untuk membentuk sumber pendapatan yang diwujudkan dari potensi ekonomi daerah menjadi dari berbagai bentuk aktivitas ekonomi. Dalam masa peningkatan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah maka dilaksanakannya otonomi daerah. Cara agar pelayanan publik meningkat yakni dengan membelanjakan kepentingan investasi yang dilaksanakan dari belanja modal. APBD dibuat sesuai kebutuhan pemerintah dan kemampuan pemerintah daerah dalam menghasilkan pendapatan. Dalam penganggaran APBD, alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diterima yang di proksikan ke dalam Desentralisasi Fiskal. Sehingga apabila Pemda ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemda harus menggali penerimaan yang sebesar-besarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Anggraeny dan ahmad kudhori (2016) mengatakan bahwa derajat desentralisasi secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal serta penelitian yang dilakukan oleh Rusydi (2010) menunjukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurni dan Afrizal (2015) serta Sularso dan Yanuar (2011) menemukan hasil di mana desentralisasi tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis dalam penelitian ini : H4 : Rasio derajat desentralisasi keuangan daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal.