BAB II KAJIAN TEORI. A. Resiliensi. 1. Definisi Resiliensi. Istilah resiliensi diperkenalkan oleh Redl (dalam Desmita, 2011)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. itu secara fisik maupun secara psikologis, itu biasanya tidak hanya berasal

BAB II KAJIAN PUSTAKA

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

A. Remaja. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI. Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB II KAJIANPUSTAKA. (penderitaan) lainnya (Smet, 1990 dalam Desmita, 2009).

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

BAB I PENDAHULUAN. menjadi orang tua dari anak-anak mereka. Orang tua merupakan individu yang

Menurut Benard (1991), resiliensi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi kedua terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. orang tua sejak anak lahir hingga dewasa. Terutama pada masa

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

LETTER OF CONSENT. Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Seorang ibu yang sedang mengalami kehamilan pertama akan merasa berbeda

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. remaja akhir dan dewasa awal, yaitu dan tahun (Monks, dkk.,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. data Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) persennya merupakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi atau

RESILIENSI PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI YANG TERLAMBAT MENYELESAIKAN SKRIPSI DI UNIVERSITAS X

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

Resiliensi pada Remaja Wanita yang Mengalami Kekerasan Seksual. Nama : Yudha Ardhiyanto Kelas : 3 PA 01 NPM : Pembimbing : Diana Rohayati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebahagiaan dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, subjective wellbeing

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lebih kuat dan berkembang setelah melewati masa krisis. 2005) melalui model yang dibangunnya yang bernama the resilience

Transkripsi:

16 BAB II KAJIAN TEORI A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi Istilah resiliensi diperkenalkan oleh Redl (dalam Desmita, 2011) dan digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individual dalam respons seseorang terhadap stres dan keadaan yang merugikan (adversity) lainnya. Henderson & Milstein (dalam Desmita, 2011) mengemukakan bahwa istilah resiliensi diadopsi oleh para peneliti untuk menggambarkan fenomena, seperti: invulnerable (kekebalan), invicible (ketangguhan), dan hady (kekuatan), karena dalam proses menjadi resilien tercakup pengenalan perasaan sakit, perjuangan dan penderitaan. Menurut Siebert (dalam Aprilia, 2013) dalam bukunya The Resiliency Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan 16

17 kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan penderitaan yang dialami dalam kehidupannya. Sedangkan menurut Goldstein & Brooks (dalam Argiyana, 2014), resiliensi bukan hanya untuk mereka yang mengalami keterpurukan saja tetapi menyangkut semuanya baik yang telah mengalami trauma ataupun belum sehingga resiliensi adalah kesehatan emosional yang dilengkapi dengan kesuksesan dalam menghadapi tantangan dan menyembuhkan dalam keterpurukan. Desmita (2011) mengungkapkan bahwa resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya, resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan, serta dapat mengembangkan kompetensi sosial, akademis, dan vikasional sekalipun berada di tengah kondisi stres hebat yang inheren dalam kehidupan dunia dewasa ini.

18 Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu dalam bertahan mengatasi masalah yang ada dalam hidup serta mampu untuk bangkit dari keterpurukan dan kesengsaraan sehingga mampu menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan. 2. Aspek-Aspek Resiliensi Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi sebagai berikut: a. Regulasi emosi (emotional regulation) Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dibawah kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah. Orang yang resilien akan mengembangkan seluruh kemampuannya

19 dengan baik yang dapat membantu untuk mengontrol emosi, atensi, dan perilaku. b. Pengendalian impuls (impuls control) Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Individu menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang disekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain. c. Optimisme (optimism) Optimisme adalah ketika individu melihat bahwa masa depannya cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis. Optimisme tentunya, berarti bahwa individu melihat masa depan kita relatif cerah. Implikasi dari optimisme adalah percaya bahwa mempunyai kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di masa depan. Orang yang optimis tidak menyangkal bahwa dirinya memiliki masalah atau menghindari berita buruk, sebaliknya mereka mamandang masalah dan berita buruk sebagai kesulitan yang dapat diatasi.

20 d. Kemampuan menganalisis masalah (causal analysis) Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang dihadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang dihadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif. Mampu mengidentifikasi semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuat demi menjaga harga diri atau membebaskan dari rasa bersalah. Individu tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan. e. Empati (empathy) Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk

21 peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain. Orang yang resilien dapat dapat membaca isyarat nonverbal orang lain untuk membantu membangun hubungan yang lebih dalam dengan orang lain, dan secara emosional lebih cocok. f. Efikasi diri (self efficacy) Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy adalah perasaan bahwa individu efektif dalam dunia. Telah dihabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan tentang self efficacy, karena melihat betapa pentingnya hal tersebut dalam dunia nyata. Dalam pekerjaan, orang yang memiliki keyakinan terhadap kemampuan untuk memecahkan masalah, muncul sebagai

22 pemimpin, sementara yang tidak dapat di percaya terhadap kemampuan diri menemukan diri akan tertinggal dari orang lain. g. Pencapaian (reaching out) Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukkan, namun lebih dari itu faktor yang terakhir dari resiliensi adalah reaching out. Reaching out adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan individu tersebut telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untul berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individuindividu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini memberikan batasan bagi diri sendiri, atau dikenal dengan istilah self-handicaping.

23 Reaching out menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek resiliensi adalah regulasi emosi (emotional regulation), kontrol impuls (impuls control), optimisme (optimism), analisis kausal (causal analysis), empati (empathy), efikasi diri (self eficacy), dan pencapaian (reaching out). 3. Sumber-Sumber Pembentukan Resiliensi Menurut Grotberg (1999) ada tiga sumber dari resiliensi, yaitu I have (saya memiliki), I am (saya adalah), dan I can (saya bisa). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a. I have (saya memiliki) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan individu akan besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sumber I have ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi yaitu: hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan, struktur dan aturan, model-model peran, dorongan untuk mandiri, serta fasilitas penunjang kehidupan. b. I am (saya adalah) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki individu, yang terdiri dari perasaan, sikap, dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi

24 yang mempengaruhi I am adalah disayangi dan disukai banyak orang, mencintai, memiliki empati dan kepedulian pada orang lain, bangga kepada diri sendiri, bertanggung jawab, percaya diri, optimis, dan penuh harapan. c. I can (saya bisa) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan oleh individu sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilanketerampilan ini meliputi, cara berkomunikasi, memecahkan masalah, mengelola perasaan, mengukur temperamen diri dan orang lain, serta menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Berdasarkan poin-poin diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah hasil kombinasi dari tiga faktor, yang berupa: I have (saya memiliki), I am (saya adalah), dan I can (saya bisa). Individu tidak bisa menjadi resilien hanya dengan memiliki salah satu aspek saja, melainkan harus ditopang oleh ketiga sumber pembentukan tersebut. 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Masten dan Coatsworth (dalam Setyowati dkk, 2010) mengemukakan tiga faktor yang berhubungan dengan resiliensi pada individu, yaitu: a) Faktor individual Faktor individu merupakan faktor-faktor yang bersumber dari dalam individu itu sendiri, yaitu mempunyai intelektual yang baik, namun individu yang mempunyai intelektual yang

25 tinggi belum tentu individu itu resilien, sociable, self confident, self efficacy, harga diri yang tinggi, memiliki talent (bakat). b) Faktor keluarga Faktor-faktor keluarga yang berhubungan dengan resiliensi, yaitu hubungan yang dekat dengan orangtua yang memiliki kepedulian dan perhatian, pola asuh yang hangat, teratur dan kondusif bagi perkembangan individu, sosial ekonomi yang berkecukupan, memiliki hubungan harmonis dengan anggota-anggota keluarga lain. c) Faktor masyarakat sekitar Faktor dari masyarakat yang memberikan pengaruh terhadap resiliensi pada individu, yaitu mendapat perhatian dari lingkungan, aktif dalam organisasi kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor individual, faktor keluarga, dan faktor masyarakat sekitar. 5. Karakteristik Individu Yang Memiliki Kemampuan Resiliensi Menurut Wolins (dalam Desmita, 2011) ada tujuh karakteristik utama yang dimiliki individu yang resilien. Karakteristik-karakteristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik disaat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu:

26 a. Insight Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. b. Kemandirian Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. c. Hubungan Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role model yang sehat. d. Inisiatif Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif bukan reaktif bertanggung jawab dalam pemecahan masalah selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah.

27 e. Kreatifitas Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku yang negtaif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari setiap perilaku dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. f. Humor Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. g. Moralitas Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Individu juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang lain yang membutuhkan.

28 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah individu yang memiliki karakteristik tertentu yaitu insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreatifitas, humor dan moralitas. B. Tunagrahita Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk mneyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarted, mental deficiency, mental defective, dan lain-lain (dalam Somantri, 2007). Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan kecerdasan dan kekurangmatangan aspek mental lainnya dan sosialnya sedemikian rupa, yang terjadi selama masa perkembangan, sehingga untuk mencapai perkembangan yang optimal diperlukan pelayanan dan pengajaran dengan program khusu (dalam Hidayat dkk, 2006). Klasifikasi tunagrahita atau retardasi mental dalam DSM-IV-TR terdapat empat level. Berikut ini merupakan ringkasan karakteristik masingmasing level tunagrahita atau retardasi mental dalam DSM-IV-TR (dalam Gerald dkk, 2014): 1. Ringan (IQ 50-55 hingga 70) Sekitar 85 persen dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70 diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental atau tunagrahita ringan. Mereka tidak selalu dapat dibedakan dari anak-anak

29 normal sebelum mulai bersekolah. Di usia remaja akhir biasanya mereka dapat mempelajari keterampilan akademik yang kurang lebih sama dengan level kelas 6. Ketika dewasa mereka mampu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan atau di balai karya di rumah penampungan, meskipun mereka mungkin membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan. Mereka bisa menikah dan mempunyai anak. 2. Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55). Sekitar 10 persen dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70 diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental atau tunagrahita sedang. Kerusakan otak dan patologi lain sering terjadi. Orangorang yang mengalami retardasi mental sedang dapat memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik yang normal, seperti memegang dan mewarnai di dalam garis, dan keterampilan motorik kasar, seperti berlari dan memanjat. Mereka mampu, dengan banyak bimbingan dan latihan, bepergian sendiri di daerah lokal yang tidak asing bagi mereka. Banyak yang tinggal di institusi penampungan, namun sebagian besar hidup bergantung bersama keluarga atau dalam rumah-rumah bersama yang disupervisi. 3. Berat (IQ 20-25 hingga 35-40) Di antara mereka yang memiliki IQ kurang dari 70, sekitar 3 hingga 4 persen masuk dalam kelompok retardasi mental parah.

30 Orang-orang tersebut umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Sebagian besar dimasukkan dalam institusi penampungan dan membutuhkan bantuan dan supervisi terus menerus. Orang dewasa yang mengalami retardasi mental parah dapat berperilaku ramah, namunbiasanya hanya dapat berkomunikasi secara singkat di level yang sangat konkret. Mereka hanya dapat melakukan sedikit kativitas secara mandiri dan sering kali terlihat lesu karena kerusakan otak mereka yang parah yang menjadikan mereka relatif pasif dan kondisi kehidupan mereka hanya memberikan sedikit stimulasi. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana. 4. Sangat Berat (IQ di bawah 20-25) Hanya 1 hingga 2 persen dari mereka yang mengalami retardasi mental yang masuk dalam kelompok retardasi mental sangat berat, yang membutuhkan supervisi total dan seringkali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sebagian besar memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri ke mana pun. Tingkat kematian di masa kanak-kanak pada orang-orang yang mengalami retardasi mental sangat berat sangat tinggi. Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi di mana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak

31 mencapai tahap perkembangan yang optimal. Ada beberapa karakteristik umum tunagrahita sebagai berikut (dalam Somantri, 2007): 1. Keterbatasan Inteligensi Inteligensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalahmasalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo. 2. Keterbatasan Sosial Disamping memiliki keterbatasan inteligensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman baik dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orangtua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga

32 mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya. 3. Keterbatasan Fungsi-fungsi Mental Lainnya Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulangulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu menggunakan pendekatan konkret (dalam Somantri, 2007). Selain itu, anak tunagrahita kurang mampu mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah. Ini semua karena kemampuannya terbatas sehingga anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan (dalam Somantri, 2007).

33 C. Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita Dalam Kamus Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa ibu adalah sebutan untuk perempuan yang telah melahirkan seseorang (Tim Penyusun, 2008). Wikipedia (2015) mengartikan ibu sebagai orangtua perempuan seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu dapat diberikan untuk perempuan yang bukan orangtua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Contohnya adalah pada orangtua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (isteri ayah biologis anak). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan ibu adalah seorang wanita yang melahirkan, merawat, dan mengasuh anaknya. Kartono (1992) mengungkapkan kata keibuan bersangkutan dengan relasi ibu dengan anaknya, sebagai kesatuan fisiologis, psikis, dan sosial. Relasi tersebut dimulai sejak janin berada dalam kandungan ibunya, dan dilanjutkan dengan proses-proses fisiologis berupa masa hamil, kelahiran, periode menyusui, dan memelihara anak. Syafei (2002) juga mengungkapkan bahwa kehadiran seorang ibu sangat penting dan strategis bagi anak, terutama pada masa awal bagi kepentingan pertumbuhan, perkembangan, dan kedewasaan anak. Keutamaan tersebut jelas tidak bisa digantikan oleh orang lain. Kartono (1992) menjelaskan pengalamanpengalaman sebagai seorang ibu menumbuhkan tugas-tugas kewajiban serta reaksi-reaksi emosional yang khas, baik yang bersifat positif (misalnya,

34 kebahgaiaan), maupun yang bersifat negatif (misalnya kecemasan dan ketakutan). Kartono (2007) mengemukakan bahwa seorang ibu memiliki peran sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Ibu sebagai pendidik bagi anakanaknya dapat terpenuhi dengan baik apabila ibu mampu menciptakan iklim psikis yang gembira-bahagia dan bebas; sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak, dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat, menyenangkan, serta penuh kasih-sayang. Dengan begitu anak-anak dan suami akan betah tinggal di rumah. Iklim psikologis penuh kasih-sayang, kesabaran, ketenangan, dan kehangatan itu memberikan semacam vitamin psikologis yang merangsang pertumbuhan anak-anak menuju kedewasaan. Gesell (dalam Crain, 2007) mengutarakan bahwa orangtua, termasuk ibu, memerlukan sejumlah pengetahuan teoritis tentang kecenderungan dan urutan perkembangan anak. Secara khusus mereka perlu menyadari bahwa perkembangan berfluktuasi antara periode kestabilan dan ketidakstabilan. Pengetahuan ini akan membantu orangtua menjadi sadar dan paham. Sebagai contoh, orangtua akan terbantu oleh pengetahuan bahwa anak mereka dua setengah tahun harus melewati periode-periode sulit yang bisa membuatnya jadi sangat bandel. Dengan mengetahui hal ini, orangtua tidak akan merasa berat hati untuk mengendalikan tingkah lakunya sebelum terlambat. Selain itu, orangtua akan mampu menghadapi anak-anak dengan lebih fleksibel, dan mungkin lebih menikmati masa-masa kebersamaan dengan mereka yang gigih berusaha membangun dasar kemandiriannya.

35 Orangtua dengan anak tunagrahita khususnya ibu akan mengalami banyak permasalahan dalam praktek pengasuhannya. Kelahiran bayi dengan kelainan tertentu juga akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keluarga dan dalam berinteraksi satu sama lain. Membuat ibu mengalami trauma paling hebat dalam merespon kondisi yang diciptakan dengan kehadiran anak cacat. Ibu yang memiliki sikap yang sehat dalam mengasuh dan merawat anak tungrahita dapat memberikan pengaruh yang baik dalam praktek pengasuhan. Orangtua yang memiliki anak tunagrahita memiliki beban berat dalam mengurus anak, karena anak tunagrahita memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri dan harus mendapat perhatian lebih yang berbeda dengan anak normal lainnya. Selain itu, beban lain yang dirasakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita biasanya berasal dari lingkungan sosial. Orang awam yang tidak memiliki pengetahuan mengenai anak tunagrahita akan memandang anak tunagrahita sebagai anak yang tidak normal dan acap kali disepelekan. Penilaian-penilaian dari lingkungan ini akan mempengaruhi kejiwaan orang tua anak tersebut (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010). Amin dan Dwidjosumarto (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010) mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki anak tunagrahita biasanya merasa tidak bahagia mempunyai anak yang berkelainan, bahkan tidak sedikit orangtua merasa malu mempunyai anak berkelainan, sehingga ada sementara orangtua yang justru menyembunyikan anak supaya tidak menjadi perhatian orang lain.

36 D. Kerangka Berpikir Ketika seorang ibu sedang mengandung, tentunya mengharapkan anak yang ada dalam kandungannya lahir dengan sehat dan sempurna. Biasanya sejak anak masih dalam kandungan para orang tua mencoba membayangkan dan menggambarkan anaknya secara fisik dan mulai merencanakan apa yang dapat mereka lakukan untuk memberikan yang terbaik bagi anak mereka. Namun pada kenyataannya, tidak semua anak yang lahir sesuai dengan harapan dan impian orang tuanya. Tidak semua anak lahir dengan kondisi yang sehat dan sempurna, beberapa dari mereka terlahir dengan memiliki keterbatasan atau ketidak-mampuan, baik fisik maupun psikis. Para anak berkebutuhan khusus mungkin saja mengalami gangguan atau ketunaan seperti, gangguan fisik/tuna-daksa, emosional atau perilaku, penglihatan/tuna-netra, komunikasi, pendengaran/tunarungu, kesulitan belajar/tunalaras, atau mengalami retardasi mental/tunagrahita (dalam Levianti, 2013). Ketika sang anak didiagnosis mengalami ketunaan seperti tunagrahita, maka seketika seorang ibu akan merasa sangat sedih, marah, shock, kecewa, bahkan menolak (dalam Cahyani, 2015). Orangtua yang memiliki anak tunagrahita memiliki beban berat dalam mengurus anak, karena anak tunagrahita memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri dan harus mendapat perhatian lebih yang berbeda dengan anak normal lainnya. Selain itu, beban lain yang dirasakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita biasanya berasal dari lingkungan sosial. Orang-orang yang tidak memiliki

37 pengetahuan mengenai anak tunagrahita akan memandang anak tunagrahita sebagai anak yang tidak normal dan acap kali disepelekan. Penilaianpenilaian dari lingkungan ini akan mempengaruhi kejiwaan orang tua anak tersebut (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010). Tekanan psikologis yang dihadapi oleh ibu yang memiliki anak tunagrahita sangatlah berat. Seorang ibu harus mencurahkan segala perhatian dan kemampuannya untuk mengasuh anaknya. Ketika seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita, mereka harus mengurangi segala kegiatannya demi mengasuh sang anak. Harus mampu mengendalikan dirinya secara emosi karena keadaan sang anak yang tidak bisa disamakan dengan anak normal lainnya. Seorang ibu dengan anak tunagrahita harus memiliki kesabaran dan tidak bisa memkasakan keinginannya terhadap sang anak. Perasaan putus asa sering mereka rasakan ketika harus memikirkan masa depan anaknya. Rasa marah harus mereka kendalikan ketika sang anak yang sangat susah untuk di atur dan didisiplinkan. Amin dan Dwidjosumarto (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010) mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki anak tunagrahita biasanya merasa tidak bahagia mempunyai anak yang berkelainan, bahkan tidak sedikit orang tua merasa malu mempunyai anak berkelainan, sehingga ada sementara orang tua yang justru menyembunyikan anak supaya tidak menjadi perhatian orang lain. ada sementara orang tua yang justru menyembunyikan anak supaya tidak menjadi perhatian orang lain.

38 berikut: Dari uraian di atas maka dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai Ibu yang memiliki anak tunagrahita Kondisi Psikiologis: - Anak membutuhkan pengawasan penuh bahkan tidak bisa ditinggal sekedar mengerjakan pekerjaan. - Marah dan sedih ketika anak susah diatur, harus perlahan dan berkali-kali memberitahukan segala hal terhadap anaknya. - Tidak bisa diperlakukan secara normal ketika akan marah walaupun sudah berkalikali tidak dapat mengerti, terkadang harus menahannya dan membuat sesak dadanya karena merasa sia-sia memarahi anaknya. - Anak menghadapi bulliying dari lingkungan - Kekhawatiran akan masa depan Individu yang resilien Aspek-aspek resiliensi: a. Regulasi emosi b. Pengendalian impuls c. Optimisme d. Kemampuan Analisis masalah e. Empati f. Efikasi diri g. Pencapaian Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi: a. Faktor individual b. Faktor keluarga c. Faktor masyarakat sekitar Gambar 2.1 Kerangka Berpikir