1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air

EVALUASI METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR UNTUK PENILAIAN KONDISI TERUMBU KARANG GIYANTO

3 METODOLOGI PENELITIAN

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

5 EFISIENSI DAN AKURASI PADA PROSES ANALISIS FOTO BAWAH AIR UNTUK MENILAI KONDISI TERUMBU KARANG


6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR

4 PERBANDINGAN ANTARA METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR DENGAN TRANSEK SABUK DAN TRANSEK GARIS INTERSEP

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

G.2.7. Wilayah Takad Saru. G.2.8. Wilayah Kotal. Fluktuasi anomali dan persentase karang di Takad Saru StatSoft-7 1,4 42,10 1,2 39,43 1,0 36,75 0,8

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

BAB III METODE PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

LAPORAN REEF CHECK DI PERAIRAN KRUENG RAYA DAN UJONG PANCU ACEH BESAR DI SUSUN OLEH

3 METODOLOGI PENELITIAN

STUDI TUTUPAN KARANG DI PULAU JANGGI KECAMATAN TAPIAN NAULI KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

BAB I PENDAHULUAN. menyeluruh. Eksplorasi yang dilakukan saat ini rata-rata sebatas

LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT)

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Jenis dan Sumber Data

JAKARTA (22/5/2015)

3 BAHAN DAN METODE. KAWASAN TITIK STASIUN SPOT PENYELAMAN 1 Deudap * 2 Lamteng * 3 Lapeng 4 Leun Balee 1* PULAU ACEH

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan

III. METODE KERJA. A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan

Akuatik- Jurnal Sumberdaya Perairan

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

Metodologi Penelitian Ikan Karang

TEKNIK PENGAMATAN TUTUPAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN TRANSEK GARIS (LINE INTERCEPT TRANSECT) DI PULAU KUMBANG KEPULAUAN KARIMUN JAWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG SEBAGAI EKOWISATA BAHARI DI PULAU DODOLA KABUPATEN PULAU MOROTAI

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;

3. METODE PENELITIAN

Sebuah Temuan Awal dari XPDC Alor Flotim Penulis: Amkieltiela Marine Science and Knowledge Management Officer, WWF-Indonesia

JENIS SEDIMEN PERMUKAAN DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PULAU GILI LABAK KABUPATEN SUMENEP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo

3. METODE. Tabel 1 Posisi geografis stasiun penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR UNTUK PENILAIAN KONDISI TERUMBU KARANG. Giyanto 1)

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU

Alat dan Metode Mempelajari Tingkah Laku Ikan

THE CORAL REEF CONDITION IN SETAN ISLAND WATERS OF CAROCOK TARUSAN SUB-DISTRICT PESISIR SELATAN REGENCY WEST SUMATERA PROVINCE.

BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. secara langsung. Perameter yang diamati dalam penelitian adalah jenis-jenis

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi

Keputusan Kepala Badpedal No. 47 Tahun 2001 Tentang : Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang

Lampiran 1. Panduan Kuisioner untuk Internal dan Eksternal Kelembagaan

BAB I PENDAHULUAN. bertambahnya tekanan sebesar 1 atmosfer. Semakin dalam perairan maka semakin

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

3 METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

THE CORAL REEF CONDITION IN BERALAS PASIR ISLAND WATERS OF GUNUNG KIJANG REGENCY BINTAN KEPULAUAN RIAU PROVINCE. By : ABSTRACT

PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU

TINJAUAN PUSTAKA. ekosistem perairan dangkal dari abrasi laut (Suryanti dkk., 2011).

CORAL REEF CONDITION BASED ON LEVEL OF SEDIMENTATION IN KENDARI BAY

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung.

By : ABSTRACT. Keyword : Coral Reef, Marine Ecotourism, Beralas Pasir Island

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU KARANG CONGKAK KEPULAUAN SERIBU

Maspari Journal 03 (2011) 42-50

STUDI KEPADATAN DAN PENYEBARAN ECHINODERMATA DI SEKITAR RATAAN TERUMBU KARANG DI DESA WAEURA KECAMATAN WAPLAU KABUPATEN BURU

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

JURNAL KELIMPAHAN DAN POLA PENYEBARAN BULU BABI (ECHINOIDEA) DI EKOSISTEM TERUMBU KARANG PANTAI PASIR PUTIH, SITUBONDO

BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAERAH TERTUTUP DAN TERBUKA DI PERAIRAN SEKITAR PULAU PAMEGARAN, TELUK JAKARTA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

PENERAPAN METODE FOTO TRANSEK BAWAH AIR UNTUK MENGETAHUI TUTUPAN TERUMBU KARANG DI PULAU POMBO, MALUKU

SKRIPSI KEANEKARAGAMAN DAN PENUTUPAN TERUMBU KARANG DI PANTAI PASIR PUTIH SITUBONDO, JAWA TIMUR

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang menyimpan kekayaan sumberdaya alam hayati yang melimpah, baik di darat maupun di laut. Salah satunya adalah terumbu karang (coral reef). Luas terumbu karang di seluruh dunia diperkirakan seluas 617.000 km 2 (Smith 1978), dimana sekitar 14%nya berada di Indonesia (Tomascik et al. 1997, Ikawati et al. 2001). Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal yang sangat bernilai ekonomis bagi Indonesia (Sukarno et al. 1982). Dalam terumbu karang hidup berbagai macam biota laut yang merupakan sumber protein dari laut dan sumber bahan obat. Perpaduan yang harmonis antara karang keras (hard coral), yang merupakan komponen utama penyusun terumbu karang, dengan biota lainnya menjadikan terumbu karang sebagai ekosistem yang memiliki keindahan yang bernilai tinggi, yang sangat potensial sebagai daya tarik pariwisata. Selain itu, terumbu karang juga dikenal sebagai benteng alami yang berfungsi melindungi pulau dan pantai dari bahaya erosi yang disebabkan oleh gempuran ombak. Mengingat betapa pentingnya terumbu karang bagi Indonesia, maka pengelolaan yang bersifat lestari sangatlah diperlukan. Terlebih-lebih pada masa sekarang dimana laju pertumbuhan penduduk yang tinggi ditambah dengan sulitnya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjadikan tekanan pada daerah terumbu karang meningkat. Penambangan pasir laut dan karang sebagai bahan bangunan merupakan salah satu contoh yang bisa membahayakan kelestarian terumbu karang, bahkan bisa mengakibatkan tenggelam atau hilangnya pulau. Pulau Air Kecil dan Pulau Ubi Kecil yang terletak di Kepulauan Seribu, Jakarta merupakan beberapa contoh pulau yang telah tenggelam (Ongkosongo and Sukarno 1986, Stoddart 1986). Untuk dapat mengelola terumbu karang dengan baik, diperlukan penelitian dengan menggunakan suatu metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menilai kondisi terumbu karang. Penelitian itu bisa merupakan penelitian yang bersifat pengumpulan data dasar (baseline) yang ditujukan untuk lokasi-lokasi yang belum ada datanya, maupun penelitian yang bersifat pemantauan

2 (monitoring) untuk melihat bagaimana perubahan kondisi ekosistem terumbu karang di suatu lokasi setelah periode tertentu ataupun setelah perlakuan tertentu (misalnya setelah dijadikan daerah konservasi). Ada beberapa metode yang digunakan untuk menilai kondisi terumbu karang diantaranya : - Manta tow (Kenchington 1978, English et al. 1997; Sukmara et al. 2001); - Spot check (Kenchington 1978); - Timed swims (Oliver et al. 2004); - Reef Resource Inventory (RRI) (Long et al. 2004); - Rapid Ecological Assessment (REA) (DeVantier et al. 1998) - Visual quadrat (Hill and Wilkinson 2004); - Quadrat transect (Oliver et al. 2004); - Permanent quadrat transect (English et al. 1997); - Belt transect (Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004); - Line transect (Loya 1978, Moll 1983); - Chain transect (Moll 1983, Hill and Wilkinson 2004); - Line Intercept Transect (LIT) (English et al. 1997; Mundy 1990; Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004); - Point Intercept Transect (PIT) (Hill and Wilkinson 2004; Lam et al. 2006); - Permanent photo quadrat (Hill and Wilkinson 2004); - Video transect (Hill and Wilkinson 2004, Lam et al. 2006); - Remotely Operated Vehicle (ROV) (Lam et al. 2006). Walaupun beberapa metode diantaranya memiliki nama yang berbeda tetapi memiliki kemiripan pelaksanaan di lapangan, sehingga pada prinsipnya bisa dikelompokkan pada satu kelompok. Beragamnya metode yang digunakan dalam menilai kondisi ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari adanya kelemahan yang dikandung oleh suatu metode sehingga perlu digunakan metode lainnya yang dianggap mampu menutupi kelemahan metode tersebut. Kelemahan tersebut bisa dari segi teknis pelaksanaan di lapangan, kemampuan sumberdaya manusia, maupun besarnya anggaran biaya yang diperlukan untuk melakukan metode tersebut. Sebagai contoh misalnya: pengunaan metode Manta tow yang dapat menjangkau daerah penelitian yang lebih luas dengan waktu yang lebih

3 singkat, akan sulit dan berbahaya bila dilakukan pada daerah yang penuh dengan karang keras yang berbentuk masif (seperti bongkahan batu) berukuran besar. Untuk itu digunakan metode lainnya, misalnya metode LIT, walaupun dengan metode ini diperlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan metode Manta tow. Contoh lainnya, untuk melakukan metode LIT diperlukan seorang yang memiliki kemampuan menyelam. Karena kemampuan yang dimiliki pengamat hanya sebatas dapat berenang, maka metode yang digunakan adalah Timed swims atau RRI. Sayangnya, dengan menggunakan metode Timed swims atau RRI ini, data yang terambil tidak selengkap data yang bisa terambil dengan metode LIT, dimana pada data LIT diperoleh data keanekaragaman jenis dari karang keras (dan juga biota/substrat lainnya) yang dijumpai pada garis transek. Jadi kemampuan pengamat (kemampuan tingkat dasar, menengah dan ahli) dalam melakukan pengambilan data menjadi pertimbangan tersendiri dalam pemilihan metode yang digunakan. Hill and Wilkinson (2004) menyatakan bahwa perbedaan skala cakupan penelitian (broad scale, medium scale, fine scale) juga turut menentukan metode apa yang akan digunakan. Dari sekian banyak metode yang dipakai untuk menilai kondisi terumbu karang seperti yang disebutkan diatas, terdapat dua metode yang lebih dulu dikenal dan umum digunakan oleh para peneliti, yaitu: 1. Transek Sabuk atau Belt transect (Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004). 2. Transek Garis atau Line Transect (Loya 1978, Moll 1983); Metode ini kemudian dikembangkan oleh AIMS (Australian Institute of Marine Science) lewat proyek kerjasama ASEAN-Australia, dan dikenal sebagai metode Line Intercept Transect (LIT) (English et al. 1997, Mundy 1990, Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004). Nadon and Stirling (2006), berdasarkan 49 artikel pada 8 jurnal yang diterbitkan antara tahun 1990 dan 2001, menyebutkan bahwa metode Transek Sabuk digunakan sebesar 30%, atau sekitar 2 kali dari penggunaan metode Transek Garis (16%). Dalam penggunaan kedua metode ini, selain diperlukan keahlian dalam mengidentifikasi jenis karang, juga diperlukan keahlian menyelam dengan menggunakan peralatan SCUBA (Self-Contained Underwater

4 Breathing Apparatus) atau perangkat bernapas bawah air yang berdiri sendiri (Gambar 1). Gambar 1 Pengamat yang menggunakan peralatan selam SCUBA Berlama-lama menyelam pada saat melakukan pengamatan atau penelitian bawah air dapat menyebabkan kelelahan fisik bagi penyelam. Apalagi bila saat penyelaman cuaca kurang bersahabat, dengan arus yang kuat dan ombak yang relatif besar. Belum lagi, resiko keracunan nitrogen (nitrogen narcosis yaitu meningkatnya tingkat nitrogen yang terlarut dalam darah yang diakibatkan oleh udara bertekanan tinggi yang dihirup selama penyelaman) yang dapat mempengaruhi fisik dan daya ingat (Baddeley et al. 1968, Hobbs and Kneller 2009), yang tentunya juga akan mempengaruhi data yang diperoleh. Selain daya tahan fisik yang mempengaruhi lamanya seseorang dalam melakukan penyelaman, faktor keterbatasan waktu dalam penyelaman karena terbatasnya udara dalam tabung selam, juga merupakan kendala yang tak bisa dihindarkan. Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan keluar agar dalam melakukan pengamatan bawah air, pengamat tak perlu berlama-lama melakukan penyelaman, tetapi tanpa kehilangan informasi atau data yang seharusnya diperoleh. Lam et al. (2006) menggunakan video bawah air (underwater video) untuk melakukan penelitian terumbu karang di Hongkong. Selain itu, Lam et al. (2006) juga menggunakan ROV, sebuah video yang digerakkan dengan remote dan dikontrol dari atas kapal sehingga tidak lagi diperlukan penyelam untuk pengambilan gambarnya. Penggunaan video, apalagi yang dilengkapi dengan ROV (Remotely Operated Vehicle) memerlukan biaya yang tinggi, dan adakalanya penggunaan

5 ROV sangat riskan dilakukan pada daerah-daerah tertentu terutama yang dasar perairannya tidak rata atau memiliki rugositas yang tinggi, dimana banyak dijumpai bongkahan-bongkahan karang berbentuk padat (masif). Benturanbenturan yang terjadi pada alat ROV bisa menyebabkan kerusakan pada alat tersebut. Oleh karena itu, penggunaan fotografi dengan kamera bawah air (underwater camera) ataupun kamera biasa yang diberi pelindung (casing) agar tahan terhadap tekanan dan rembesan air laut (selanjutnya disebut dengan metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transect) dirasa dapat menjadi salah satu pilihan sebagai pengganti penggunaan video. Beberapa pertimbangan lainnya yaitu: 1. Harga kamera yang lebih murah dibandingkan dengan video. Dengan demikian, dari segi biaya akan lebih mudah dijangkau oleh banyak kalangan, termasuk kalangan pemerhati terumbu karang. 2. Dengan biaya yang sama, gambar yang dihasilkan oleh kamera memiliki resolusi yang lebih tinggi (baik) dibandingkan dengan video. Walaupun dengan perkembangan teknologi, resolusi gambar yang dihasilkan video meningkat, tetapi harganya juga akan jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan harga kamera. 3. Bagi beberapa penyelam, terutama penyelam pemula, penggunaan kamera lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan penggunaan video. Penggunaan fotografi dalam penelitian terumbu karang dimulai oleh Connell pada 1973 dan 1976 (English et al., 1997) untuk memantau rekruitment, pertumbuhan dan kematian individu karang dalam luasan tertentu (Frame Kuadrat) dalam selang waktu tertentu. Penggunaan fotografi diyakini dapat mempercepat pengambilan data di lapangan, selain juga sebagai foto dokumentasi yang berguna dalam pemantauan jangka panjang rekruitment, pertumbuhan dan kematian karang. Dalam metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transect (UPT) ini, penggunaan fotografi tidak dilakukan pada suatu luasan kuadrat tertentu seperti pada English et al. (1997) yang menggunakan luasan (2 x 2) m 2, melainkan dilakukan sepanjang titik-titik

6 tertentu pada garis transek. Teknis pelaksanaan di lapangan dari metode Transek Foto Bawah Air ini akan diuraikan lebih rinci pada Bab Metodologi Penelitian. 1.2 Perumusan Masalah Dalam melakukan pengamatan terumbu karang secara langsung di lapangan diperlukan kemampuan dasar menyelam dengan menggunakan peralatan SCUBA. Lamanya pengamatan dalam setiap kali penyelaman selain sangat dipengaruhi oleh ketersediaan udara dalam tabung udara yang dibawa selama menyelam, juga dipengaruhi oleh daya tahan fisik penyelam itu sendiri. Apalagi bila selama penyelaman, cuaca jelek seperti ombak besar dan arus kuat. Oleh karena itu, dalam melakukan pengamatan terumbu karang diharapkan pengamat tidak terlalu lama melakukan penyelamana saat pengambilan data. Pengambilan data menggunakan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) dapat mempersingkat waktu penyelaman karena pengambilan datanya dilakukan dengan cara melakukan pemotretan bawah air, dimana foto-foto hasil pemotretan tersebut baru dianalisis di darat (ruang kerja) dengan menggunakan komputer. Meskipun dapat mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan, terdapat beberapa permasalahan yang harus dihadapi sebelum menggunakan metode UPT ini untuk menilai kondisi terumbu karang. Permasalahan tersebut adalah: 1. Bagaimana keakurasian dan tingkat efisiensi dari penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang dibandingkan dengan metode lainnya yang umum dipakai seperti pada metode Transek Sabuk (BT = Belt Transect) dan Transek Garis Intersep (LIT = Line Intercept Transect)? 2. Teknik analisis macam apa yang diperlukan untuk menganalisis foto yang dihasilkan dari pemotretan bawah air dan berapa luas minimal bidang pemotretan yang diperlukan untuk setiap fotonya? 3. Berapa banyak foto yang harus diambil dan berapa interval jarak pengambilan antara satu foto dengan foto berikutnya dalam garis transek agar hasil yang diperoleh tetap representatif untuk menilai kondisi terumbu karang di suatu lokasi pengamatan?

7 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) sebagai salah satu metode alternatif dalam penarikan sampel untuk menilai kondisi terumbu karang. Evaluasi yang dilakukan adalah: 1. Menentukan apakah metode UPT dapat dipakai sebagai metode alternatif untuk penilaian kondisi terumbu karang. Hal ini dilakukan dengan uji perbandingan antara hasil yang diperoleh dari penggunaan metode UPT dan metode lain yang umum dipakai sebelumnya, yaitu metode Transek sabuk (BT=Belt Transect) dan Transek Garis Intersep (Line Intercept Transect) 2. Jika ternyata metode UPT dapat dipakai untuk penilaian kondisi terumbu karang, maka evaluasi selanjutnya adalah menentukan teknik analisis foto yang efisien dan akurat serta panjang garis transek yang optimal pada penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang 1.4 Hipotesis Metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) merupakan metode alternatif yang dapat dipakai untuk menilai kondisi terumbu karang. Penggunaan metode UPT dapat mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan (yang dilakukan dengan penyelaman) dan lebih efisien penggunaannya dibandingkan dengan dua metode lain yang telah umum dan lebih dulu dikenal, yaitu metode Transek Sabuk (BT = Belt Transect) dan metode Transek Garis Intersep (LIT = Line Intercept Transect). 1.5 Manfaat Penelitian Penggunaan metode UPT untuk menilai kondisi terumbu karang sangat bermanfaat sekali bagi perkembangan penelitian terumbu karang di Indonesia, khususnya untuk pemantauan kondisi terumbu karang. Pengambil data lapangan tidaklah harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi karang di alam atau habitatnya. Sepanjang pengambil data dapat melakukan pemotretan bawah air dengan kualitas gambar yang bisa untuk dianalisis di komputer (sehingga tidak

8 memerlukan hasil foto yang artistik), sudah dirasa cukup dalam penelitian ini. Selain itu, karena pengambilan datanya dilakukan hanya dengan melakukan pemotretan bawah air, maka waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan data di lapangan menjadi lebih singkat. Pada kegiatan penyelaman yang dilakukan di laut yang sangat tergantung pada kondisi alam yang cuacanya sewaktu-waktu bisa berubah, perbedaan waktu yang sedikit saja kadang sangat bermanfaat sekali, baik dari segi efisiensi pengambilan data, maupun dari segi keselamatan dalam penyelaman. Lagi pula dengan semakin singkatnya waktu yang diperlukan untuk pengambilan data, tenaga yang diperlukan untuk penyelaman menjadi berkurang sehingga kelelahan fisik atau penyakit-penyakit yang mungkin timbul akibat penyelaman bisa ditiadakan atau diminimalisasi. Dari segi pengelolaan terumbu karang, waktu pengambilan data di lapangan yang semakin singkat memungkinkan area terumbu karang yang diteliti akan semakin bertambah banyak, dibandingkan dengan metode lain yang pengambilan data di lapangannya memerlukan waktu yang lebih lama. Dengan demikian maka data yang terkumpul akan semakin lengkap dan akan sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan ataupun instansi terkait dalam pengelolaan terumbu karang yang lestari. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penilaian kondisi terumbu karang yang umum dipakai adalah dengan mengelompokkan kondisi terumbu karang ke dalam beberapa kelompok, misalnya sangat baik, baik, cukup atau pun kurang. Pengelompokan tersebut dilakukan berdasarkan persentase tutupan karang kerasnya (hard coral) dikarenakan karang keras merupakan komponen utama penyusun terumbu karang. Meskipun begitu, data seperti persentase tutupan untuk biota selain karang keras termasuk abiotiknya, serta data jenis-jenis karang keras sebagai dasar perhitungan nilai indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan, sering juga diperlukan sebagai data pendukung dalam penilaian kondisi terumbu karang. Berdasarkan hal itu, maka dalam penulisan disertasi ini kategori biota dan substrat seperti dalam (English, et. al. 1997) dikelompokkan ke dalam lima kelompok yaitu kelompok :

9 1. Karang keras (HC=Hard Coral), yang sering disebut sebagai karang saja. Kelompok ini hanya untuk jenis karang yang dalam keadaan hidup, sehingga kadang disebut juga sebagai karang hidup (live coral). Bentuk karang yang keras dan menyerupai batu membuat kelompok ini kadang disebut juga sebagai karang batu (stony coral). Termasuk dalam kelompok ini adalah karang-karang baik dari marga Acropora maupun Non-Acropora yang memiliki bentuk hidup (lifeform) yang beragam seperti bercabang (branching), merayap (encrusting), lembaran (foliose), masif, ataupun bentuk yang lainnya. 2. Karang mati (DS= Dead Scleractinia), terdiri dari karang yang baru mati (masih berwarna putih), dan karang mati yang telah ditumbuhi alga [karangnya sudah mati dan tidak berwarna putih lagi, tapi masih terlihat bentuknya dan belum banyak ditumbuhi oleh alga halus (turf algae)]. 3. Alga (ALG=Algae), merupakan kelompok yang terdiri dari makro alga (seperti alga dari marga Padina, Sargasum dan sebagainya), Coralline algae, Halimeda dan juga alga halus (turf algae) yang banyak tumbuh pada karang yang telah mati. 4. Fauna lain (OF=Other Fauna), meliputi karang lunak (soft coral), Spons (sponge), gorgonian, dan biota laut lainnya seperti lili laut (crinoid), bulu babi (echinoid), dan sebagainya. 5. Abiotik (ABI=Abiotic), seperti pasir, pecahan karang (rubble) dan komponen abiotik lainnya. Gambar ilustrasi dari masing-masing kelompok biota dan substrat disajikan pada Lampiran 1. Untuk penamaan jenis karang keras mengacu kepada pada Veron (2000a, 2000b, 2000c). Jenis karang keras yang tidak bisa diidentifikasi langsung selama pengamatan, diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium. Untuk meminimalisasi kesalahan dalam pemberian nama jenis karang keras, maka pada penelitian ini dibantu oleh pengamat yang telah terbiasa melakukan pengambilan data di lapangan. Paling tidak, bila terjadi kesalahan dalam penamaan jenis, kesalahan terjadi secara konsisten sehingga tidak akan mempengaruhi hasil analisis yang dilakukan.

10 1.7 Kerangka Pemikiran Pada penelitian bawah air khususnya penelitian mengenai kondisi terumbu karang, terdapat beberapa masalah yang harus dihadapi. Masalah tersebut beranekaragam, mulai dari kondisi geografi seperti luasnya wilayah terumbu karang di Indonesia, kondisi cuaca atau perairan di lokasi penelitian, hingga masalah sumberdaya manusia yang mampu untuk melakukan penelitian tersebut. Memang terdapat banyak metode penelitian untuk menilai kondisi terumbu karang, tetapi pada umumnya memerlukan sumberdaya manusia yang mampu untuk melakukan penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA, selain juga mampu untuk melakukan penelitian terumbu karang. Seandainya tidak memerlukan kemampuan menyelam, seperti pada penggunaan peralatan ROV, biaya yang diperlukan sangat tinggi sehingga sangat sulit untuk dilaksanakan. Untuk melakukan penyelaman, diperlukan kemampuan fisik yang kuat, apalagi bila kondisi perairan yang kurang bersahabat untuk kegiatan penyelaman seperti ombak atau arus yang kuat. Selain itu, lamanya penyelaman juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan udara dalam tabung selam yang dibawa selama menyelam. Belum lagi aturan-aturan penyelaman yang harus ditaati seperti lamanya penyelaman maksimal dalam kedalaman tertentu untuk menghindari penyakit-penyakit yang mungkin timbul akibat penyelaman. Semakin lama kegiatan penyelaman dilakukan untuk mengambil data di suatu lokasi, maka akan semakin banyak pula biaya operasional yang dibutuhkan, terutama bila pengambilan datanya dilakukan di banyak lokasi. Oleh karena itu diperlukan suatu metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang dengan waktu penyelaman yang sesingkat mungkin untuk pengambilan datanya. Metode alternatif yang diusulkan adalah metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect). Kerangka pemikiran tentang perlunya metode alternatif, dalam hal ini metode UPT, untuk menilai kondisi terumbu karang disajikan pada Gambar 2.

11 Penggunaan metode penelitian untuk penilaian kondisi terumbu karang Umumnya, metode yang ada memerlukan kemampuan menyelam menggunakan peralatan SCUBA, sehingga terdapat beberapa masalah yang harus dihadapi seperti: q perlu sumberdaya manusia yang mampu menyelam dan melakukan penelitian terumbu karang q perlu daya tahan fisik yang kuat untuk melakukan penyelaman q waktu penyelaman sangat tergantung pada kondisi cuaca atau perairan q lamanya penyelaman sangat tergantung pada kapasitas udara dalam tabung selam dan aturan-aturan dalam penyelaman untuk menghindari bahaya penyakit-penyakit yang mungkin timbul akibat penyelaman q semakin lama waktu yang diperlukan untuk kegiatan menyelam, semakin tinggi biaya operasional yang dibutuhkan. Perlu metode alternatif dimana waktu pengambilan data di lapangan bisa dipersingkat Metode yang diusulkan: Metode Transek Foto Bawah Air (UPT=Underwater Photo Transect) Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian Pertanyaan yang timbul kemudian adalah apakah penggunaan metode UPT dapat dipakai sebagai metode alternatif dalam penilaian kondisi terumbu karang. Ada beberapa tahapan sebelum memutuskan bahwa metode UPT dapat dipakai sebagai metode alternatif untuk menilai terumbu karang. Tahap pertama (Tahap I) adalah melakukan kajian perbandingan hasil yang diperoleh dari metode UPT dengan hasil yang diperoleh dari metode lain yang umum dipakai. Dalam penelitian ini, kajian perbandingan dilakukan antara metode Transek Sabuk (Belt Transect = BT) dan metode Transek Garis Intersep (Line Intercept

12 Transect = LIT) dengan metode UPT. Terdapat dua kemungkinan yang terjadi dari perbandingan yang dilakukan tersebut yaitu: 1. Kemungkinan pertama: apapun dari ketiga metode yang digunakan untuk menilai kondisi terumbu karang (UPT, LIT dan BT) akan memperoleh hasil yang tidak berbeda secara nyata. Bila ini terjadi, maka hipotesis yang diuraikan sebelumnya akan terjawab dimana penggunaan metode UPT merupakan salah satu metode pilihan selain metode LIT dan BT. 2. Kemungkinan kedua: tidak semua metode (UPT, LIT dan BT) akan memberikan hasil yang sama untuk menilai kondisi terumbu karang. Bila ini terjadi, maka langkah selanjutnya adalah menyelidiki metode mana yang berbeda untuk menilai kondisi terumbu karang. Selanjutnya pada penggunaan metode yang hasilnya berbeda dengan metode lain tersebut dilihat apakah hasil yang diperoleh keduanya menunjukkan pola tertentu, atau terdapat korelasi antara keduanya. Bila ini terjadi, maka nilai dugaan dari satu metode tertentu akan dapat dipakai untuk memprediksi nilai yang diperoleh dengan metode yang berkorelasi dengan metode tersebut. Bila pada tahap pertama menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode UPT relatif tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode BT dan LIT, ataupun hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode UPT berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan metode BT dan LIT tetapi hasilnya memiliki pola tertentu atau korelasi yang kuat dengan metode UPT, maka dapat dilakukan tahap berikutnya yaitu Tahap II dan Tahap III. Tahap II merupakan tahapan untuk menentukan teknik analisis apa yang efisien tapi juga akurat untuk menganalisis foto yang dihasilkan dengan metode UPT. Setelah teknik tersebut ditemukan, maka dilanjutkan dengan Tahap III yaitu menemukan panjang garis transek yang optimal yang dibutuhkan untuk penarikan sampel dengan metode UPT. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari Tahap II dan Tahap III tersebut dapat ditentukan teknik analisis foto yang efisien dan akurat serta panjang garis transek yang optimal sehingga hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode UPT dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang. Gambar 3 merupakan diagram

13 alir untuk keseluruhan tahapan pada penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang, sedangkan Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6 merupakan diagram alir untuk Tahap I, Tahap II dan Tahap III. Mulai Tahap I: Kajian perbandingan antara metode UPT dengan metode BT dan LIT Apakah bisa dilanjutkan ke Tahap selanjutnya? (Lihat Gambar 4) Tidak Selesai Ya Tahap II: Menentukan teknik analisis yang efisien dan akurat untuk menganalisis foto pada metode UPT Tahap III: Menentukan panjang garis transek yang optimal yang dibutuhkan untuk penarikan sampel dengan metode UPT Berdasarkan hasil pada Tahap II dan Tahap III: Tentukan teknik analisis foto yang efisien dan akurat serta panjang garis transek yang optimal sehingga hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode UPT dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk menilai kondisi terumbu karang Selesai Gambar 3 Diagram alir yang berisi keseluruhan tahapan pada penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang

14 Mulai Pengambilan data di lapangan (metode UPT, LIT dan BT) Data lapangan BT Data lapangan LIT Data lapangan UPT Hasil Hasil Hasil Apakah antara pasangan metode: (i) UPT-LIT (ii) UPT-BT (iii) LIT-BT memiliki hasil yang sama? Tidak Apakah Ya hasilnya sama? Kesimpulan: Hasil yang diperoleh ketiga metode sama Tidak Ya Metode yang hasilnya berbeda dengan metode UPT Metode yang hasilnya sama dengan metode UPT Kesimpulan: Hasil yang diperoleh kedua metode sama Apakah perbedaannya menunjukkkan pola tertentu (menunjukkan korelasi antar metode)? Ya Tentukan hubungan antar kedua metode yang berbeda Tahap II Tidak Kesimpulan: Hasil yang diperoleh kedua metode berbeda tetapi keduanya menunjukkan korelasi Kesimpulan: Hasil yang diperoleh kedua metode berbeda dan tidak menunjukkan korelasi antar keduanya Kesimpulan akhir: Metode UPT tidak layak dijadikan metode untuk menilai kondisi terumbu karang Selesai Gambar 4 Diagram alir yang berisi tahapan pelaksanaan pada Tahap I

15 Mulai Pengambilan data lapangan: Lakukan dengan menggunakan dua tipe kamera yang berbeda, data diambil menggunakan metode UPT dengan panjang garis transek 70 m dan pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar pemotretan 1 m Untuk setiap foto yang dihasilkan dari masing-masing kamera, lakukan analisis foto dengan teknik yang berbeda (8 perlakuan) yaitu: a. Menghitung luas area setiap kelompok biota dan substrat (1 perlakuan), b. Pemilihan sampel titik acak (7 perlakuan yaitu: 5, 10, 20,30,40,50,60 titik acak) Tentukan perlakuan kontrol diantara 8 perlakuan yang dilakukan Bandingkan hasil yang diperoleh setiap perlakuan dengan perlakuan kontrol Tentukan teknik analisis yang efisien tetapi akurat untuk menilai kondisi terumbu karang Tahap III Gambar 5 Diagram alir yang berisi tahapan pelaksanaan pada Tahap II

16 Mulai Pengambilan data lapangan: Lakukan dengan menggunakan tipe kamera WZ (yang memiliki bidang pemotretan yang lebih luas dibanding kamera SW), data diambil menggunakan metode UPT dengan panjang garis transek 70 m dan pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 hingga meter ke-70 dengan rentang jarak antar pemotretan 1 m) Lakukan analisis data untuk beragam panjang transek dan rentang jarak antara pemotretan (18 perlakuan) dimana analisis fotonya dilakukan menggunakan teknik menghitung luas area Tentukan perlakuan kontrol diantara 18 perlakuan yang dilakukan Bandingkan hasil yang diperoleh setiap perlakuan dengan perlakuan kontrol Tentukan perlakuan yang optimal yang dibutuhkan untuk penarikan sampel dengan metode UPT Selesai Gambar 6 Diagram alir yang berisi tahapan pelaksanaan pada Tahap III

17 1.8 Kebaruan Terdapat beberapa kebaruan (novelties) dari penelitian ini, yaitu: 1. Metode pengambilan sampel untuk menilai kondisi terumbu karang yang disebut dengan nama metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect). Pada penggunaan metode UPT ini, pengambilan sampel dilakukan dengan cara melakukan pemotretan bawah air di setiap interval jarak 1 m sepanjang garis transek. Pemotretan dilakukan mulai meter ke-1 (sebagai Frame 1 ), hingga meter ke-70 (sebagai Frame 70 ). Frame bernomer ganjil (1, 3, 5,...,69) diambil pada bagian sebelah kiri garis transek, sedangkan untuk frame dengan nomor genap (2, 4, 6,...,70) diambil pada bagian sebelah kanan garis transek. Penggunaan garis transek hanya sebagai garis bantu untuk mencegah kesalahan orientasi saat pemotretan, misalnya penentuan jarak antar frame, kedalaman dan arah. 2. Teknik analisis foto serta luas bidang hasil pemotretan per framenya (berkaitan dengan tipe kamera yang dipakai) yang menghasilkan nilai dugaan selain akurat juga efisien dalam kaitannya dengan penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang. 3. Panjang garis bantu transek yang optimal dalam penggunaan metode UPT untuk penilaian kondisi terumbu karang.