BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Convention on the

dokumen-dokumen yang mirip
2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

BAB IV PENUTUP. Perempuan Di Partai Politik dan Parlemen, maka kesimpulannya adalah. tujuannya untuk mempercepat tercapainya persamaan de facto antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sistem patriarki menempatkan perempuan berada di bawah sub-ordinasi

BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kekerasan tersebut akan terjadi kembali yaitu karena ketergantungan secara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannyalah yang akan membentuk karakter anak. Dalam bukunya yang berjudul Children Are From Heaven, John Gray

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 88/PUU-XIV/2016 Syarat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III METODE PENELITIAN. ilmiah adalah proses analisa yang meliputi metode-metode penelitian untuk

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BAB I PENDAHULUAN. TLN No. 3019, ps.1.

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. Tenaga kerja memiliki peranan penting sebagai tulang punggung. perusahaan, karena tanpa adanya tenaga kerja, perusahaan tidak dapat

BUPATI POLEWALI MANDAR

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akses kepada keadilan (access to justice) dan kesamaan di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

METODE PENELITIAN. penelitian guna dapat mengolah dan menyimpulkan data serta memecahkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB III PENUTUP. maka pada bab ini penulis menyimpulkan sebagai rumusan terakhir dengan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan

BAB I PENDAHULUAN. sudah memberikan perlindungan yang dimasukkan dalam peraturan-peraturan yang telah

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Mewujudkan Perlindungan Perempuan Korban melalui Pemenuhan Bantuan Hukum: Kertas Posisi Terhadap Pembahasan RUU Bantuan Hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

III. METODE PENELITIAN. Cara penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan normatif dan empiris

BAB III METODE PENELITIAN. menggali, mengelola dan merumuskan bahan-bahan hukum dalam menjawab

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata. tahun jumlah masyarakat semakin bertambah banyak.

DAFTAR BACAAN. Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Penerbit Sinar

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

RINGKASAN PUTUSAN.

BAB I PENDAHULUAN. agar hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) melalui Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita pada tanggal 29 Juli 1980. Konsekuensi dari meratifikasi Konvensi CEDAW ini adalah Indonesia berkomitmen, mengikatkan diri untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan tindakan khusus sementara, mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki, serta terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. 1 Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW, hingga kini masih terdapat beberapa aturan hukum yang subordinasi terhadap perempuan. Ketentuan-ketentuan hukum yang subordinasi terhadap perempuan tersebut misalnya, dalam kehidupan berumahtangga sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang berbunyi, Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Juncto Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan yang berbunyi, Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada 1 Achie Sudiarti Luhulima, 2006, Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia, dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Edisi Pertama, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 85. 1

Pengadilan.. Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan menegaskan bahwa suami berstatus sebagai kepala rumah tangga dalam hukum perkawinan dan perempuan sebagai ibu rumah tangga bergantung dalam hal ekonomi kepada suaminya. Sedangkan Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan menyatakan bahwa suami maupun istri berhak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya. Sebagai konsekuensi dari berlakunya KUHPerdata dan UU Perkawinan tersebut adalah perempuan termarjinalisasikan pula dalam ranah hukum pajak karena kedua peraturan hukum tersebut membuat perempuan secara langsung bergantung dalam hal ekonomi kepada laki-laki yaitu suaminya. Pasal 7 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 jo beserta perubahannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyatakan penghasilan seorang istri yang bekerja digabungkan dengan penghasilan suami dengan penambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp. 15.840.000. Selain itu, Pasal 8 UU PPh menyebutkan, Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau awal tahun bagian tahun pajak, begitu pula kerugiaannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suami. Pasal ini mendiskriminasi pekerja perempuan yang sudah menikah karena dengan jenis pekerjaan yang sama secara pribadi perempuan menikah dianggap lajang sehingga ia akan menanggung pajak yang lebih tinggi daripada pekerja laki-laki yang belum menikah. 2

Selain dalam Hukum Perdata dan hukum administrasi negara, ketentuan hukum yang memarjinalkan perempuan yang lain adalah Pasal 285 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi, Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal ini menekankan bahwa perkosaan terjadi apabila perempuan dapat membuktikan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Seringkali unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam pasal ini sukar untuk dibuktikan karena harus ada bukti bahwa pihak perempuan melawan perbuatan kekerasan. Sedangkan terkadang perempuan tidak langsung melaporkan perbuatan perkosaan langsung setelah terjadinya perbuatan tersebut sehingga besar kemungkinan buktibukti kekerasan atau sperma laki-laki telah lenyap. 2 Namun, di masa reformasi ini, pemerintah telah membuat strategi yang disebut affirmative action yaitu tindakan afirmatif yang salah satu bentuknya berupa perlakuan istimewa (special treatment) untuk membangun lingkungan yang kondusif bagi kelompok marginal termasuk perempuan untuk mendapatkan kesempatan lebih berkembang. Menurut American Civil Liberties Union, affirmative action adalah: 3 2 Doortje D. Turangan, 2011, Penerapan Pasal 285 KUHP Tentang Pelaku Tindak Pidana Perkosaan, Karya Ilmiah Dosen: Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, hal. 14. 3 American Civil Liberties Union, 2000, Affirmative Action, https://www.aclu.org/files/filespdfs/affirmative_action99.pdf, diunduh pada tanggal 25 November 2017. 3

Affirmative action is one of the most effective tools for redressing the injustices caused by our nation s historic discrimination against people of color and women, and for leveling what has long been an uneven playing field. Artinya affirmative action adalah suatu tindakan afirmatif untuk memperbaiki ketidakadilan yang disebabkan oleh tindakan diskriminasi terhadap beberapa golongan tertentu. Dengan demikian, tujuan dari affirmative action adalah menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya. Menurut Lisa Noor Humaidah 4, tindakan affirmative action dilakukan dengan memberikan fasilitas sosial berupa kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi di ruang publik untuk meningkatkan peran dan kemampuan mereka. Beberapa bentuk affirmative action bagi perempuan dalam bidang hukum khususnya bagi pekerja perempuan dan perempuan di parlemen telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pertama, pada Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang menyatakan bahwa daftar bakal calon legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) yang disusun oleh partai politik masing-masing memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% dan pada Pasal 257 UU Pemilu menegaskan bahwa KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional. UU Pemilu mengamanatkan kepada partai politik yang 4 Lisa Noor Humaidah, 2012, Affirmative Action dan Dampak Keterlibatan Perempuan: Sebuah Refleksi, Jurnal Perempuan, Vol. 17 No. 4, hal. 75. 4

menyalonkan kadernya untuk menjadi anggota legislatif harus menyediakan kuota minimal 30% bagi perempuan. Kedua, pada Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dinyatakan, Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. UU Ketenagakerjaan menganggap perempuan memiliki perbedaan biologis yang tidak dimiliki oleh laki-laki yaitu mempunyai rahim sehingga perempuan mengalami haid. Oleh karena kekhususan biologis tersebut, mengakibatkan hak yang diberikan kepada perempuan tidak mungkin sama dengan hak yang diberikan kepada laki-laki. UU Ketenagakerjaan memberi suatu perlakuan istimewa (special treatment) kepada perempuan berupa cuti haid agar ia tidak dirugikan karena memiliki kekhususan biologis tersebut. 5 Mengingat Indonesia berkomitmen memberikan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk diskriminasi maka, pada tanggal 4 Agustus 2017, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Perma ini dibuat untuk menguatkan perlindungan yang diberikan oleh negara kepada perempuan yang berhadapan dengan hukum, karena seringkali dalam berhadapan dengan hukum, perempuan mendapatkan 5 Donny Danardono, Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum, dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 10-11. 5

diskriminasi ganda. Artinya perempuan yang berkonflik dengan hukum baik sebagai korban, saksi atau pelaku tindak pidana itu mendapatkan diskriminasi lain dari para hakim saat perempuan diperiksa kasusnya secara hukum. Misalnya, seorang perempuan korban perkosaan ditanya oleh hakim mengenai pakaian yang ia gunakan saat terjadinya perkosaan, yang mana seharusnya tidak relevan untuk ditanyakan. Untuk itu Perma No. 3 Tahun 2017 memberi pedoman mengenai cara hakim bersikap dalam mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, baik perempuan tersebut berkedudukan sebagai korban, saksi, maupun pelaku. Apabila kita pahami pasal-pasal yang ada dalam Perma No. 3 Tahun 2017, maka terlihat bahwa Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 pada hakikatnya mengatur agar hakim memenuhi asas kesetaraan gender yaitu menyamakan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam hukum dan pengadilan (asas equality before the law). Namun, di Pasal 4 Perma No. 3 Tahun 2017 6 mengatur bahwa dalam rangka memenuhi asas kesetaraan gender tersebut hakim diwajibkan untuk mempertimbangkan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak setara, tidak berdaya, dan berpotensi mendapat diskriminasi yang lain ketika beracara di pengadilan. Dengan kata lain, Pasal 4 Perma No. 3 Tahun 2017 ingin menjunjung 6 Pasal 4 Perma No. 3 Tahun 2017: Dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan: a. Ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara; b. Ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan; c. Diskriminasi; d. Dampak psikis yang dialami korban; e. Ketidakberdayaan fisik dan psikis korban; f. Relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan g. Riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi. 6

asas kesetaraan, non-diskriminasi, dan netralitas pengadilan dengan jalan menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak setara dengan lakilaki maka dari itu pasal tersebut memberikan tindakan afirmatif (affirmative action) yang berupa perlakuan istimewa (special treatment) bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum dengan memerintahkan hakim untuk memperhatikan kondisi-kondisi khusus perempuan, yaitu ketidaksetaraan status sosial antara pihak yang berperkara, ketidaksetaraan perlindungan hukum, diskriminasi, dampak psikis korban, ketidakberdayaan fisik dan psikologis korban, relasi kuasa yang mengakibatkan saksi/korban tidak berdaya, dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap saksi/korban. Menurut penulis, Perma No. 3 Tahun 2017 bersifat ambigu karena disatu sisi ia menjunjung asas perlakuan setara yang artinya perempuan dianggap berdaya sehingga ia disetarakan dengan laki-laki, dan sisi lain perempuan dianggap tidak berdaya, oleh sebab itu Perma No. 3 Tahun 2017 memberikan affirmative action bagi perempuan. Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Keadilan Hukum bagi Perempuan: Ketegangan antara Asas Perlakuan Setara dan Asas Perlakuan Istimewa di Pengadilan (Studi terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017) 7

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang timbul diuraikan sebagai berikut. 1. Bagaimana Perma No. 3 Tahun 2017 mewujudkan persamaan di depan hukum, kepastian hukum, dan kesetaraan gender bagi perempuan berhadapan dengan hukum? 2. Bagaimana hubungan antara kesetaraan gender, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, dan netralitas pengadilan? 3. Bagaimana hubungan antara perlakuan istimewa terhadap perempuan berhadapan dengan hukum, kepastian hukum, dan persamaan di depan hukum? C. TUJUAN PENELITIAN Dengan perumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian yang akan dilakukan Penulis adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui bagaimana Perma No. 3 Tahun 2017 mewujudkan persamaan di depan hukum, kepastian hukum, dan kesetaraan gender bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum. 2. Untuk mengetahui hubungan antara kesetaraan di depan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, dan netralitas pengadilan. 8

3. Untuk mengetahui hubungan antara perlakuan istimewa terhadap perempuan berhadapan dengan hukum, kepastian hukum, dan persamaan di depan hukum. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan-bahan kajian terhadap Perma No. 3 Tahun 2017 dan hubungannya dengan perempuan berhadapan dengan hukum, asas perlakuan setara, perlakuan istimewa terhadap perempuan, asas kepastian hukum, dan netralitas pengadilan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Penelitian ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan skripsi di Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang serta untuk menunjukkan dan memberikan pengetahuan yang lebih mengenai Perma No. 3 Tahun 2017 dan hubungannya dengan asas perlakuan setara, perlakuan istimewa terhadap perempuan, asas kepastian hukum, dan netralitas pengadilan. b. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat yang tertarik terhadap Perma No. 3 Tahun 2017 dan hubungannya dengan asas perlakuan setara, 9

perlakuan istimewa terhadap perempuan, asas kepastian hukum, dan netralitas pengadilan. E. METODE PENELITIAN Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten 7. Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode sebagai berikut. 1. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Oleh karena itu, menurut Johnny Ibrahim 8, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach). Pendekatan ini mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan asas perlakuan setara, perlakuan istimewa terhadap perempuan, asas kepastian hukum, dan netralitas pengadilan. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu dengan memberikan penjelasan-penjelasan secara rinci dan sistematis mengenai pasal-pasal dalam dalam Perma No. 3 Tahun 2017 dalam hubungannya dengan asas perlakuan setara, perlakuan istimewa terhadap perempuan, 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal. 1. 8 Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, hal. 295. 10

asas kepastian hukum, dan netralitas pengadilan tanpa mengambil kesimpulan secara umum. 3. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah seluruh informasi mengenai Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum dalam hubungannya dengan keadilan hukum bagi perempuan, asas perlakuan setara, perlakuan istimewa terhadap perempuan, asas kepastian hukum, dan netralitas pengadilan. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar yang digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan. 9 Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara untuk memperoleh data primer dan studi kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. a. Wawancara Wawancara dimulai dengan menyusun pertanyaan atau mengemukakan isu hukum secara tertulis, sehingga si yang diwawancarai dapat memberikan pendapatnya terhadap isu hukum tersebut. 10 Model wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan secara terbuka dimana subjek bebas mengemukakan 9 Moh. Nazir, 2005, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, hal. 174. 10 Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, edisi revisi, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, hal. 206. 11

jawaban, tetapi dibatasi oleh tema dan alur pembicaraan agar tidak melebar ke arah yang tidak diperlukan. Dalam menentukan narasumber yang sesuai dengan tujuan wawancara, maka Penulis menggunakan metode in depth interview. Narasumber yang dipilih Penulis dalam wawancara penelitian ini adalah: a) Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, M.A,, Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Program Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia; b) Evarisan, S.H., M.H., advokat di Klinik Hukum Ultra Petita Semarang dan mantan pendamping perempuan pada Legal Resources untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM);dan c) Dr. Syahrul Machmud, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Kota Semarang. b. Studi Kepustakaan Data yang diteliti dalam suatu penelitian dapat berwujud data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan dan/atau secara langsung dari masyarakat. Data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan disebut data sekunder. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Dengan mengadakan studi kepustakaan akan diperoleh data awal untuk dipergunakan dalam penelitian. 12

Data sekunder dapat dikategorikan dalam bahan hukum primer dan sekunder. 11 1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat dan terdiri atas norma-norma dasar. Bahan hukum primer untuk penelitian ini meliputi: a) Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya; b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; d) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; e) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women); f) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; g) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan; h) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 11 Ronny Hanityo Sumitro, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 52-53. 13

i) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan; j) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; k) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum; l) Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak; m) Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana; dan n) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang digunakan untuk membantu menjelaskan dan memahami bahan hukum primer seperti buku literatur, hasil penelitian, berita media massa online, jurnal karya ilmiah yang berkaitan dengan asas 14

perlakuan setara, perlakuan istimewa terhadap perempuan, asas kepastian hukum, dan netralitas hakim. 5. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data Setelah data terkumpul, Penulis mengelompokkan data sesuai dengan jenisnya kemudian menganalisa data primer maupun data sekunder. Data yang diperoleh dari penelitian yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data, diolah, diperiksa, dan dipilih untuk memilih data yang diperlukan atau sesuai dengan objek penelitian. Setelah proses pengolahan data selesai dan untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dalam bentuk uraianuraian yang disusun secara sistematis untuk menjelaskan secara lengkap hasil dari penelitian yang dilakukan. 12 6. Metode Analisa Data Menurut Bahder Johan Nasution, Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah penelitian. 13 Penulis menggunakan metode analisis data secara kualitatif, yaitu tata cara penelitian untuk menghasilkan informasi secara deskriptif. Penulis melakukan analisa pasal-pasal dalam Perma No. 3 tahun 2017 kemudian penulis akan menghubungkan pasal-pasal tersebut dengan asas 12 Ibid, hal. 64. 13 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, Bandung: CV. Mandar Maju, hal. 174. 15

perlakuan setara, perlakuan istimewa terhadap perempuan, asas kepastian hukum, dan netralitas pengadilan yang disebut analisa konten. Analisis ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan kesimpulan mengenai Perma No. 3 Tahun 2017 dalam hubungannya dengan asas perlakuan setara, asas perlakuan istimewa, asas kepastian hukum, dan netralitas pengadilan. F. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika Penulisan penelitian ini dibagi dalam empat bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Bab I adalah Bab Pendahuluan yang berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab II adalah Bab Tinjauan Pustaka yang merupakan pengertianpengertian hukum, teori-teori hukum yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat umum dan berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Di samping itu, pengertian dan teori yang ada dapat bermanfaat untuk melakukan analisis terhadap kasus yang diteliti. Bab III adalah Bab Hasil Penelitian dan Analisis Data yang berisikan interpretasi berdasarkan data terhadap permasalahan penelitian dan menjawab atas permasalahan yang disampaikan pada pendahuluan. Bab IV adalah Bab Penutup yang memberikan kesimpulan terhadap hasil penelitian dan pembahasan. Dimungkinkan untuk mengungkapkan masalah baru yang membutuhkan studi lebih lanjut sebagai rekomendasi. 16