BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kitin merupakan biopolimer alami kedua terbanyak setelah selulosa, merupakan komponen utama penyusun eksoskeleton Arthropoda dan dinding sel fungi (Gooday 1989; Cabib et al. dalam Ilmi 2007). Limbah hasil laut yang berasal dari golongan udang, kepiting, ketam, dan kerang banyak mengandung kitin. Secara hayati polimer polisakarida ini disintesis hampir satu miliar ton per tahun di dunia. Kadar kitin dalam kulit udang dan kepiting sekitar 40 60 %, sedangkan pada dinding sel fungi berkisar 22 24 %. Kitin yang diperoleh dari berbagai sumber memiliki struktur sama, kecuali ikatannya dengan protein dan kalsium karbonat yang merupakan dua komponen lain pada kulit udang (Rahayu et al. 2003). Mikroorganisme kitinolitik adalah mikroorganisme yang dapat mendegradasi kitin dengan menggunakan enzim kitinase. Mikroorganisme ini diperoleh dari tanah atau dari lingkungan air seperti laut, danau, kolam, limbah udang, dan sebagainya. Penelitian tentang bakteri penghasil enzim pendegradasi kitin (bakteri kitinolitik) telah banyak dilakukan. Kemudahan dalam pemeliharaan, pengembangan strain, serta manipulasi tingkat genetik dari bakteri membuat mikroorganisme tersebut menjadi salah satu penghasil enzim kitinolitik yang potensial (Gohel et al. 2006). Bakteri kitinolitik tersebar di alam, beberapa spesies bakteri tersebut habitatnya di perairan. Kandidat bakteri yang memiliki kemampuan kitinolitik di perairan yang dapat digunakan sebagai pengendali jamur Saprolegnia sp. belum banyak dilaporkan. Pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuan mikroorganisme tersebut dalam menghasilkan kitinase yang dapat melisis sel jamur (El-Katatny et al. 2000). Bakteri yang menghasilkan enzim kitinase ini adalah kandidat agen biokontrol karena mampu mengkolonisasi lingkungan sekitarnya dengan cepat. Dengan sifat tersebut, bakteri penghasil kitinase berpotensi sebagai agen pengendali hayati hama dan penyakit akibat jamur patogen (Suryanto et al. 1
2006). Sehingga bakteri kitinolitik sangat berpotensi sebagai agen pengendali hayati (biokontrol) untuk menghambat infeksi jamur. Infeksi Saprolegnia sp. menjadi permasalahan utama di pembenihan ikan. Penyakit ini ditandai dengan adanya lesi yaitu kerusakan sel-sel mukosa dan peradangan yang disebabkan oleh Saprolegnia sp. Pada lesi terdapat miselium Saprolegnia sp. dengan bentukan seperti kapas yang tumbuh pada permukaan tubuh, insang (Noga 2000) atau telur ikan ketika di dalam air (Khoo dalam Dewi 2011). Warna lesi bervariasi yaitu kemerahan, cokelat, atau kehijauan. Hal ini disebabkan partikel sedimen bahan organik ataupun alga yang menempel pada miselium Saprolegnia sp. (Khoo dalam Dewi 2011). Apabila infeksi Saprolegnia sp. sudah terdapat pada salah satu telur maka segera menyebar ke telur yang sehat. Infeksi Saprolegnia sp. pada telur menyebabkan tingkat hidup telur ikan menjadi menurun. Pengendalian infeksi Saprolegnia sp. yang efektif hingga tahun 2002 adalah menggunakan malachite green (Van West dalam Dewi 2011). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari kandidat anti Saprolegnia sp. Bahan kimia telah banyak dilaporkan sebagai pengganti malachite green antara lain formalin, hidrogen peroksida, dan natrium klorida. Kandidat ini memang efektif namun memiliki beberapa pengaruh negatif. Formalin memiliki efek berbahaya bagi kesehatan manusia dan menjadi residu pada lingkungan. Hidrogen peroksida bersifat korosif dan dosis efektifnya tinggi yaitu 1000 ppm. Natrium klorida relatif aman dalam penggunaannya namun dalam aplikasinya membutuhkan biaya besar karena dosis efektifnya tinggi yaitu 30.000 ppm. Berdasarkan kemampuannya dalam mendegradasi kitin sebagai penyusun dinding sel Saprolegnia sp. maka mikroba penghasil enzim kitinase seperti bakteri kitinolitik dapat menjadi kandidat pengendali Saprolegnia sp. 1.2 Identifikasi Masalah Dari latar belakang penelitian, masalah yang teridentifikasi adalah sejauh mana jenis bakteri kitinolitik yang diisolasi dari limbah pengolahan udang dan kepiting dapat berpotensi sebagai kandidat penghasil enzim kitinase setelah
3 analisis bioinformatika. Serta sejauh mana potensi bakteri kitinolitik dapat mencegah serangan jamur Saprolegnia sp. secara in vitro. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu : a. Mendapatkan isolat murni bakteri kitinolitik dari limbah pengolahan udang dan kepiting yang berpotensi sebagai penghasil enzim kitinase dan anti jamur Saprolegnia sp. secara in vitro. b. Memverifikasi jenis bakteri kitinolitik menggunakan marka molekuler gen 16S rrna yang memiliki aktivitas kitinolitik pada medium koloidal kitin. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi jenis bakteri yang memiliki kemampuan kitinolitik serta pemanfaatan enzim kitinase dalam mencegah serangan jamur Saprolegnia sp. secara in vitro. Bakteri kitinolitik yang diisolasi dari limbah pengolahan udang dan kepiting diharapkan mampu menguraikan enzim kitinase lebih baik. Sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pengendalian penyakit akibat serangan jamur Saprolegnia sp. 1.5 Pendekatan Masalah Kelimpahan kitin di alam menempati urutan terbesar kedua setelah selulosa dan terdistribusi luas di lingkungan biosfer seperti pada kulit Crustacea (kepiting, udang, dan lobster), ubur-ubur, komponen struktural eksoskeleton insekta, dinding sel fungi sekitar 22-40 % juga dalam nematoda, binatang, maupun tumbuhan. Pada pabrik pembekuan udang (cold storage) yang mengolah udang untuk ekspor dalam bentuk udang beku headless atau peeled menghasilkan limbah berupa kulit keras (cangkang) sekitar 50-60 % yang dibuang atau hanya sedikit yang digunakan sebagai campuran makanan ternak. Kandungan limbah udang yang tinggi ini merupakan salah satu substrat bagi bakteri pengurai kitin (Emma dalam Herdyastuti 2009).
Keberadaan kitin di alam yang sangat melimpah ini dengan cepat terdegradasi karena adanya beberapa bakteri dan fungi yang mempunyai enzim kitinase yang mampu mendegradasi kitin. Kitin dapat didegradasi oleh mekanisme kitinolitik yang menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosida, atau polimer mengalami deasetilasi pertama yang selanjutnya dihidrolisis oleh kitosanase. Jumlah kitin yang dapat dihasilkan per tahunnya dalam biosfer sangat banyak sekali. Pada tahun 1993 diperkirakan dunia dapat memperoleh kembali kitin dari invertebrata laut sebanyak 37.000 ton dan meningkat menjadi 80.000 ton pada tahun 2009 (Kilhachiro et al. dalam Herdyastuti 2009). Menurut Widjajanti dan Muharni (2011) aktivitas kitinase dari bakteri kitinolitik sangat potensial digunakan sebagai agen pengendali hayati terhadap jamur patogen maupun serangan hama, karena kedua organisme ini mempunyai komponen kitin pada dinding selnya. Menurut Malau (2012) bakteri kitinolitik dapat menghambat infeksi Aspergillus sp. pada ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ikan lele (Clarias batrachus) ditunjukan pada hari pengamatan ke empat. Enzim kitinase mampu mengendalikan infeksi patogen pada tanaman. Sistem kitinolitik terdiri atas endokitinase, kitobiase, dan eksokitinase yang bekerja secara sinergis dalam mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin bebas. Selain kemampuannya mendegradasi kitin secara langsung, kitinase melepaskan oligo-n-asetil glukosamin yang berfungsi mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh tanaman (Gohel et al. 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011), menunjukkan hasil uji antagonisme dari 24 bakteri terhadap Saprolegnia sp. dan diketahui bahwa 10 bakteri memiliki kemampuan menghambat Saprolegnia sp. dengan baik selama tujuh hari masa inkubasi. Enzim kitinase yang disekresikan oleh isolat bakteri ini kemungkinan menjadi salah satu mekanisme dalam penghambatan terhadap Saprolegnia sp. Berdasarkan kemampuannya dalam mendegradasi kitin sebagai penyusun dinding sel Saprolegnia sp. maka mikroba penghasil enzim kitinase seperti bakteri kitinolitik dapat menjadi kandidat pengendali Saprolegnia sp. Keberadaan bakteri kitinolitik diketahui dengan melakukan uji aktivitas kitinolitik dengan menggunakan medium agar kitin yang ditambahkan dengan
5 koloidal kitin 0,5 gram untuk melihat zona bening yang dihasilkan. Setelah didapat isolat bakteri, dilakukan karakterisasi molekuler dengan menggunakan gen penyandi 16S rrna. Menurut Heijs et al. (2007), gen penyandi 16S rrna ini umum digunakan untuk menganalisis keragaman bakteri, karena gen penyandi 16S rrna spesifik untuk amplifikasi DNA bakteri dan archae. Selanjutnya dilakukan uji tantang secara in vitro untuk melihat zona hambat yang dihasilkan terhadap jamur Saprolegnia sp.