5 AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI

dokumen-dokumen yang mirip
SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG I - 1 LAPORAN AKHIR D O K U M E N

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

PENDAHULUAN Latar Belakang

KAJIAN SISTEM AKTIVITAS DAN KERUANGAN WILAYAH BANDUNGAN DALAM UPAYA PENERAPAN KONSEP AGROPOLITAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR TKP 477

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

VI KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG,

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

3 AGROPOLITAN DAN AGROINDUSTRI

KEMBALI KE PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI RIAU (Upaya Mengembalikan Kemandirian Masyarakat Pedesaan)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN PESAWARAN

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

BUPATI TEMANGGUNG BUPATI TEMANGGUNG,

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DENGAN PENDEKATAN LOCATION QUATION KABUPATEN PELALAWAN. Anthoni Mayes, Yusni Maulida dan Toti Indrawati

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MANFAAT KEMITRAAN USAHA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

Membangun Pertanian dalam Perspektif Agribisnis

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN

TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tambah (value added) dari proses pengolahan tersebut. Suryana (2005: 6)

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata dan Potensi Obyek Wisata

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

PENGARUH PERUBAHAN TEKNOLOGI TERHADAP PERKEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: A. ARU HADI EKA SAYOGA L2D

BAB I PENDAHULUAN. daerah memberikan wewenang dan jaminan bagi masing-masing daerah untuk

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN. 6.1 Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FAKTOR FAKTOR KELEMBAGAAN DALAM EKONOMI PERTANIAN

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Pengembangan Sektor Agro dan Wisata Berbasis One Sub-District One Misi Misi pengembangan Produk Unggulan Daerah Kab.

VIII. DUKUNGAN ANGGARAN DAN KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN SEKTOR SEKTOR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN MAHAKAM ULU TEMA RKPD PROV KALTIM 2018 PENGUATAN EKONOMI MASYRAKAT MENUJU KESEJAHTERAAN YANG ADIL DAN MERATA

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

KORPORASI USAHA PERDESAAN SALAH SATU ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI DESA SESUAI NAFAS PANCASILA

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Masyarakat di Pulau Bangka pada dasarnya menggantungkan

I PENDAHULUAN. (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di Asia

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

ANALISIS STRUKTUR PUSAT-PUSAT PELAYANAN DAN ALIRAN TATANIAGA KOMODITAS-KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIWIDEY. Oleh: RAHMI FAJARINI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

PETUNJUK TEKNIS PENILAIAN KEBERPIHAKAN BUPATI/WALIKOTA TERHADAP PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM DI JAWA TENGAH TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki peranan yang penting bagi pertumbuhan pembangunan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

Transkripsi:

5 AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI Keberlangsungan kawasan agropolitan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar stakeholder dapat menikmati nilai tambah dalam pengembangan kawasan agropolitan. Mempelajari pengalaman dari beberapa negara Asia yang menerapkan beberapa pola kawasan pertanian, tampak bahwa keberlangsungan (sustainability) dari suatu agropolitan sangat tergantung dari nilai tambah yang dapat ditumbuhkannya. Semakin besar nilai tambah yang dihasilkan maka semakin langgeng pula implementasinya. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis (UU No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang). Berdasarkan definisi pada undang-undang tersebut belum terdapat penekanan tentang adanya agroindustri pada kawasan agropolitan. Nilai tambah yang besar salah satunya dapat diwujudkan dengan adanya agroindustri. Agroindustri, merupakan kegiatan yang dapat menjamin pemanfaatan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah yang tinggi melalui upaya pemanfaatan, pengembangan, penguasaan teknologi dan bioteknologi. Sebagai salah satu sub sistem dalam agribisnis, agroindustri memiliki potensi yang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyerap tenaga kerja, dan meningkakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta mempercepat pembangunan daerah. 5.1 Kerangka Pemikiran Konsep Agropolitan Berbasis Agroindustri Konsep pembangunan kawasan pertanian yang mengintegrasikan sub-sub sistem agribisnis menjadi suatu sistem dan usaha agribisnis yang tangguh, berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistis merupakan konsep yang terus berkembang dan disempurnakan hingga dasawarsa terakhir ini. Konsep

54 integrated farming, corporate farming, terminal agribisnis di Thailand, pertanian kolektif di Australia Barat, one village one product (OVOP) movement di Jepang, one tambon one product (OTOP) di Thailand, one town one product (OTOP) di Filipina, agropolitan di Sabah Malaysia dan Jinju City Korea Selatan, merupakan konsep-konsep pembangunan kawasan berbasis agribisnis yang telah diimplementasikan. Program serupa sesungguhnya telah ada di Indonesia, tetapi proyek-proyek yang menghabiskan dana milyaran rupiah tersebut, tidak memuaskan hasilnya. Hal ini dapat dilihat dari petani kembali ke pola pertanian semula setelah berakhirnya proyek tersebut. Beberapa alasan yang dikemukakan sebagai penyebabnya adalah teknologi yang digunkan tidak tepat guna, perencanaan tidak terkoordinasi, dan pengawasan yang kurang, selain itu kewenangan Pemerintah Pusat melebihi kewenangan Pemerintah Daerah dalam merencanakan, mengelola dan mengawasi pengembangan program kawasan pertanian. Agropolitan berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian (sentra produksi pertanian) dimana kawasan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya (Friedmann & Douglass 1976). Terdapat beberapa prasyarat agar pembangunan kawasan agropolitan berkelanjutan, yaitu: (1) Harus diupayakan otonomi lokal sehingga setiap kawasan memiliki wewenang dan sumber-sumber ekonomi sehingga dapat merencanakan dan melaksanakan sendiri pembangunannya, (2) Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan setempat harus ditanam kembali untuk menaikkan dayahasil dan menciptakan suatu keadaan yang mendorong pertumbuhan ekonomi selanjutnya, dan (3) Pemakaian sumberdaya alam yang lebih rasional dan produktif dengan menentukan batas-batas minimum dan maksimum luas tanah milik/land reform. Syarat dan tujuan agropolitan yang pertama mengenai desentralisasi dan otonomi/kewenangan dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki suatu daerah dapat tercapai jika pengembangan agropolitan minimal terkoordinasi secara vertikal. Berdasarkan hal tersebut maka wilayah kabupaten menjadi batasan pengembangan secara administratif bagi kawasan agropolitan. Hal ini disebabkan

55 karena terkait dengan kecenderungan administrasi publik yang akan mewujudkan otonomi sebesar-besarnya berada pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pembatasan hubungan dengan wilayah di luar kawasan agropolitan pada syarat kedua dikhawatirkan dapat menghambat keberlangsungan ekonomi pada suatu kawasan agropolitan. Koordinasi horisontal diperlukan antar kawasan yang memiliki komoditi / produk sejenis dengan daerah pasar yang sama. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan melakukan kerjasama dalam menyelaraskan perencanaan produksi antar daerah produsen dengan konsumen sehingga dapat menciptakan stabilitas harga. Pemilihan komoditi unggulan yang tidak terlalu banyak di suatu kawasan juga diperlukan untuk meminimalkan land reform. Komoditi yang telah memiliki potensi dan telah diterima masyarakat lebih minimal memerlukan pengaturan kembali lahan-lahan pertanian. Pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan diharapkan dapat dicapai dengan pengembangan agropolitan. Agroindustri adalah sektor yang dapat menjawab meningkatkan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Bahan baku yang digunakan agroindustri, proses produksinya, maupun produk yang dihasilkan adalah ramah lingkungan. Selain itu dengan menggunakan komoditi pertanian lokal akan menurunkan tingkat ketergantungan bahan baku dari luar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10. Pengembangan Agropolitan - Keberlangsungannya dipengaruhi oleh nilai tambah yang diperoleh masyarakat - Aspek lingkungan semakin dituntut untuk diperhatikan - Pemasaran produk pertanian tdk melalui pusat agropolitan Pemecahan Permasalahan - Peningkatan nilai tambah produk pertanian - Penciptaan lapangan kerja - Menjaga Sustainabilitas lingkungan - Produksi dan pemasaran pertanian dikelola pada pusat agropolitan Agroindustri - Menciptakan nilai tambah bagi produk pertanian - Menyerap tenaga kerja - Menghela industri hulu - Mendorong industri hilir - Inputnya bahan alamiah yang dapat diperbaharui (renewable) - Proses produksinya renewable dan ramah lingkungan - Ketergantungan rendah terhadap bahan baku/modal/ kapital dari luar negeri/ impor Gambar 10 Agroindustri sebagai dasar pengembangan agropolitan (diolah dari berbagai sumber: Irawan et al. 2001; Rusastra et al. 2005; Susilowati et al. 2007; Misra 2007; Wilkinson & Rocha 2009)

56 Agropolitan berbasis agroindustri adalah suatu kawasan pertanian dimana agroindustri akan dijadikan pusat pengembangan kawasan. Pusat pengembangan kawasan berperan dalam peningkatan nilai tambah, peningkatan lapangan kerja, yang selanjutnya akan memperluas sektor jasa/pelayanan, peningkatan sarana dan prasarana, kemudian memberikan keuntungan bagi seluruh pihak yang terlibat (Anwar 1999). Konsep pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dapat dilihat pada Gambar 11. KA II KA I KA III Pasar Keterangan: Penghasil bahan baku (kawasan pendukung) Pengumpul bahan baku Agroindustri (Pusat Agropolitan) Batas kawasan klaster agropolitan Batas kawasan agropolitan KA Klaster Agropolitan Jalan & dukungan sarana prasarana Gambar 11 Konsep pengembangan agropolitan berbasis agroindustri (modifikasi dari Soenarno 2003) 5.2 Pengaruh Agroindustri bagi Perkembangan Agropolitan Agropolitan terdiri dari dua kata Agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga Agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Friedmann & Douglass 1976). Penciptaan lapangan kerja dan peningkatan nilai tambah produk pertanian merupakan hal yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Agroindustri adalah sektor yang dapat menjawab permasalahan agropolitan dalam peningkatan nilai tambah dan penciptaan lapangan pekerjaan. Kerangka

57 pemikiran konseptual pengaruh agroindustri bagi pengembangan agropolitan dapat dilihat pada Gambar 12. Paradigma Baru Pembangunan: - Memadukan Pemeratan, pertumbuhan dan Keberlangsungan - Desentralisasi (bottom up) - Pembangunan Kerakyatan Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Perubahan Pola Pertanian Subsisten menjadi sistem agribisnis yang tangguh, berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistis Ekonomi AGROPOLITAN Sosial Ekologi AGROINDUSTRI AGROINDUSTRI sebagai pusat pertumbuhan baru di AGROPOLITAN Peluasan produkproduk perusahaan lokal Peningkatan pola penyerapan tenaga kerja Peningkatan permintaan akan barang dan jasa lokal Peningkatan investasi dan kerjasama Peningkatan lapangan kerja dan pendapatan penduduk Perluasan sektor jasa / pelayanan Peningkatan keuntungan kepada stakeholder Peningkatan sarana prasarana lokal Peningkatan keuntungan pada suatu agropolitan Keberlangsungan agropolitan yang senantiasa: - Memberikan nilai tambah - Meningkatan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat - Memberikan peluang investasi dan kerjasama - Pemerataan perekonomian - Menurunkan kesenjangan pembangunan desa-kota - Mempertahankan kualitas lingkungan Gambar 12 Pengaruh agroindustri bagi pengembangan agropolitan (hipotesa)

58 Agroindustri dijadikan pusat pengembangan kawasan agropolitan karena dengan adanya agroindustri di pusat pengembangan kawasan, maka diharapkan terjadi peningkatan nilai tambah, terjadi peningkatan lapangan kerja, yang selanjutnya akan memperluas sektor jasa/pelayanan, peningkatan sarana dan prasarana, kemudian memberikan keuntungan bagi seluruh pihak yang terlibat.. Wilayah yang ditetapkan sebagai pusat agropolitan adalah wilayah dengan potensi kinerja pembangunan (yaitu kinerja ekonomi dan kinerja ekonomi pertanian) yang tinggi serta memiliki sumberdaya yang potensial, seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial. Selanjutnya pada pusat agropolitan tersebut juga ditentukan komoditi unggulan yang akan dikembangkan lebih lanjut menjadi agroindustri. Selain itu, sarana prasarana seperti fasilitas transportasi, telekomunikasi, dan utilitas untuk selanjutnya ditetapkan agar dapat mendukung pengembangan agropolitan. Demikian juga dengan kelembagaan dan pola kerjasama, merupakan hal yang penting untuk ditentukan agar keberlangsungan sistem terjaga. 5.3 Agropolitan Terintegrasi Kawasan Pasar Friedmann dan Douglass (1976) mengemukakan beberapa syarat agar pembangunan kawasan agropolitan berkelanjutan, yaitu: (1) Harus diupayakan otonomi lokal sehingga setiap kawasan memiliki wewenang dan sumber-sumber ekonomi sehingga dapat merencanakan dan melaksanakan sendiri pembangunannya, (2) Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan setempat harus ditanam kembali untuk menaikkan daya-hasil dan menciptakan suatu keadaan yang mendorong pertumbuhan ekonomi selanjutnya, dan (3) Pemakaian sumberdaya alam yang lebih rasional dan produktif dengan menentukan batasbatas minimum dan maksimum luas tanah milik/land reform. Menurut Stohr (1981), untuk menghindari backwash effect dari wilayah yang sudah lebih maju, kawasan agropolitan ini secara seleksi tertutup dari hubungan khusus dengan wilayah lainnya (selective spatial closure). Berbagai keputusan, baik dalam pemelihan teknologi produksi yang dipakai, tujuan pembangunan, maupun inisiatif untuk membangun, diserahkan kepada penduduk setempat. Demikian juga faktor produksi seperti lahan, harus dimiliki oleh

59 penduduk setempat. Hal ini sejalan dengan pendapat Fridmann dan Douglass (1976) dalam syarat kedua dalam pembangunan agropolitan. Batasan kawasan agropolitan seharusnya tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi juga tetap memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Batasan ekonomi tersebut dipergunakan di dalam pengembangan agropolitan dengan memperhatikan syarat dan tujuan pengembangan agropolitan. Agar diperoleh keberlangsungan ekonomi pada suatu kawasan agropolitan, maka diperlukan pula koordinasi horisontal antar kawasan yang memiliki komoditi / produk sejenis dengan daerah pasar yang sama. Agropolitan yang terintegrasi horisontal pada kawasan pasar dapat menyelaraskan perencanaan produksi antar daerah produsen dengan konsumen sehingga dapat menciptakan stabilitas harga. Koordinasi vertikal dan koordinasi horizontal pada agropolitan dapat dilihat pada Gambar 13. Pemasaran Daerah 1 Daerah 2 Agroindustri Koordinasi vertikal pada kabupaten Pusat Agropolitan Sentra Produksi Komoditi Unggulan Produk A Produk B Produk A Produk B Koordinasi horizontal pada kawasan pasar Gambar 13 Koordinasi vertikal dan horisontal dalam kawasan agropolitan