BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia berdasarkan prinsip demokrasi dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dikenal dengan UUD 1945 pasal 1 ayat (2) dengan jelas menyebutkan bahwa Kedaulatan negara berada di tangan rakyat. Makna dari kedaulatan berada di tangan rakyat dalam hal ini ialah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undangundang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masingmasing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Selain itu di dalam UUD 1945 juga memberikan hak untuk berkumpul dan berserikat serta kebebasan untuk menyatakan pendapat sebagai perwujudan dari demokrasi, hal ini sesuai dengan pasal 28 UUD 1945. Sedangkan di dalam 1
2 sila ke empat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan merupakan salah satu prinsip adanya demokrasi. Dengan begitu demokrasi di negara Indonesia bersifat normatif. Dikatakan demikian karena sudah menjadi suatu keharusan bagi rakyat untuk menjalankannya. Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari
3 siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat. perlakuan yang sama, serta bebas dan kecurangan pihak manapun. Pelaksanaan suatu pemilihan umum sebagaimana dimaksud memerlukan perangkat-perangkat demi kesuksesan pemilihan umum itu sendiri. Salah satu perangkat pemilihan umum di Indonesia adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berkedudukan di tingkat pusat, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di tingkat provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kecamatan (KPUK) di tingkat kabupaten atau kota. Mengenai sejarah pemilu di Indonesia yakni delapan pemilu yang lalu adalah sebagai berikut 1 : 1 Goenawan Mohamad, Sejarah Pemilu di Indonesia, dalam http://www.tempointeraktif.com, Jum at 19 Maret 2004/13:24 WIB. Diakses tanggal 21 Januari 2011
4 1. Pemilu 1955 Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. 2. Pemilu 1971 Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968. 3. Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. 4. Pemilu 1999 Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti.
5 Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Penyelesaian sengketa dari beberapa periode pemilihan umum tersebut keputusan adalah di tangan MA, dan baru mulai tahun 2004 keputusan adalah di tangan MK. Hal ini sesuai dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang pemerintah daerah penyelesaian keputusan dari MA ke PT. Dalam UU No. 32/2004 pasal 106 ayat (4) dijelaskan bahwa Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh pengadilan negeri/pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung, pada ayat (6) disebutkan Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota. Menurut UU No. 12/2008 tetang perubahan kedua atas undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah Pasal 236c berbunyi penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahmakah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Hasil pemilihan umum merupakan hasil dari kompetisi politik antar peserta pemilihan umum. Kualitas demokrasi sangat tergantung kepada
6 kualitas hasil pemilihan umum, dan kualitas hasilnya tergantung pula pada kualitas proses penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri. Oleh sebab itu, pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menentukan, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, setiap lima lima tahun sekali. Jika sebelumnya asas pemilhan umum hanya ditentukan langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), maka sangatlah baik setelah ditambah dengan dua asas lagi yaitu jujur dan adil. Jika dalam penyelenggaraan penghitungan suara hasil pemilihan umum itu timbul perselisihan pendapat diantara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu, maka perselisihan semacam itu apabila tidak dapat diselesaikan melalui upaya-upaya yang bersifat administrasi, maka akan diselesaikan melalui berperkara di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi harus menyediakan jalan konstitusi atau mekanisme hukum untuk menyelesaikan perselisihan mengenai hasil pemilu itu. 2 Hasil pemilihan umum tidak selamanya atau bahkan sering para pihak terutama yang kalah dalam pemilihan umum merasa tidak puas dan menuduh ada rekayasa atau tuduhan pelanggaran terhadap ketentuan pemilu yang jujur dan adil sehingga timbullah sengketa Pemilu Pilpres maupun Pilkada tidak dapat dihindari. Adanya rasa ketidakpuasan oleh salah satu pihak membuat Mahkamah Konstitusi harus bekerja lebih keras untuk dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hamper disetiap daerah selalu memiliki permasalahan 2 Asshiddiqie Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal 240.
7 yang berbeda. Salah satu contoh adalah sengketa yang terjadi saat Pilkada pemilihan gubernur Jawa Timur. Jika kita cermati putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan keberatan terhadap penetapan perhitungan suara hasil pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur dengan putusan No. 41/PHPU.D-VI/2008, hal tersebut menjadi sangat menarik bukan karena angka statiknya. Meskipun tidak dipungkiri bahwa angka statistik juga sangat mempengaruhi, namun dalam hal ini yang membuat menjadi lebih menarik adalah sejauh mana sebenarnya wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan perubahannya terutama dalam kaitanya dengan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak memberikan peluang adanya putusan yang memungkinkan pencoblosan ulang setelah penetapan pasangan terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mahkamah Konstitusi memberi putusan yang tidak lazim dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur, hal ini karena jika dilihat dari sisi hukum kenegaraan, putusan yang diberikan tersebut dapat melahirkan preseden yang penting untuk melihat kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diperluas oleh keputusannya sendiri, khususnya menyangkut
8 amar putusan yang memerintah Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur untuk penyelenggarakan pemungutan suara ulang di Sampang dan Bangkalan. Dalam putusan tersebut memberi penjelasan bahwasanya pemungutan suara ulang di 2 (dua) Kabupaten dilakukan dalam waktu paling lambat 60 (enampuluh) hari dan perhitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan dilaksanakan paling lambat 30 (tigapuluh) hari. Melihat kondisi yang sedemikian rupa, yang patut dipertanyakan adalah apa konsekuwensi atau akibat hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang jelas hal tersebut diluar kewenangannya. Hal ini patut dipertanyakan dan akan menjadi penting karena tidak adanya ruang yang memungkinkan untuk mengoreksi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Mahkamah Konstitusi melangkah lebih jauh dengan mempertimbangkan bukti-bukti materiil dan bukan hanya sekedar bukti formil. Menurut Mahkamah Konstitusi yang berdasarkan pada alat bukti dan keyakinan para hakim menilai bahwa telah terjadi pelanggaran sistematis, terstruktur, dan massif di daerah pemilihan Sampang, Bangkalan, Kabupaten Pamekasan yang bertentangan dengan konstitusi, khususnya dalam hal Pemilihan Kepala Daerah secara demokratis. Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi dalam surat kabar Jawa Pos pada tangal 2 Desember 2008 memberikan penjelasan bahwa, Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipasang hanya oleh ketentuan Undang-Undang yang
9 ditafsirkan secara sempit. Masih menurut beliau, penafsiran sempit itu adalah Mahkamah Konstitusi hanya boleh menilai hasil Pemillhan Kepala Daerah dan melakukan perhitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur. Hal tersebut menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi terkesan berani yaitu dengan menganut apa yang disebut dengan keadilan substansif, dengan cara mempertimbangkan semua alat bukti yang diajukan dalam sidang untuk sampai kepada perintah dilakukannya pemungutan suara ulang dan/atau penghitungan suara ulang. Badan peradilan secara konstitusional adalah merupakan suatu lembaga independen sehingga dalam pengambilan putusan atas perkara yang diajukan, hakim harus bersikap imparsial. Meskipun demikian, putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Kosntitusi tidak luput dari berbagai kritik, baik dari kalangan yang tidak diuntungkan dengan adanya putusan tersebut maupun oleh kalangan hukum yang memang memahami bahwa ada masalah baru yang timbul dari adanya putusan tersebut. Akan tetapi gencatan kritik yang ditujukan untuk Mahkamah Konstitusi dalam konteks putusan Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur tidak akan mengubah keadaan yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi karena putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Dengan kata lain dengan dikeluarkannya putusan tersebut, maka tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh.
10 Salah satu kritikan yang ditujukan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dari Ketua Perkumpulan Pemilihan Umum, Topo Santoso adalah sebagai berikut : Seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi memberi sinyal atas tafsir yang lebih luas dalam memutuskan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah. Karena biasanya Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan benar atau tidak mengenai perhitungan oleh Komisi Pemilihan Umum. 3 Tidak heran jika putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada akhirnya menjadi pemicu kekacauan pada level bawah penyelenggara maupun pihak yang bersengketa. Normatifnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan penghitungan mana yang benar. Putusan Mahkamah Konstitusi jelas-jelas mencoreng kinerja Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas pemilihan Umum yang dinilai tidak melakukan tugas dengan baik, sehingga terjadi adanya perselisihan hasil Pemilu. Tentu berbeda bagi Mahkamah Konstitusi, melalui ketua Mahkamah Konstitusi justru menilai putusan tersebut sebagai suatu kemajuan yang perlu diapresiasi, berupaya menggunting setiap hasil pemilu yang tidak benar atau melanggar prinsip demokrasi. Fakta hukum yang terungkap di persidangan merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya keniscayaan pelaksanaan pilkada secara demokratis (pasal 18 ayat 4 UUD 1945) dan asas-asas pemilu 3 Gerakan Pemuda Ansor, Langkah Berani MK?, http://gp-ansor.org/7329-04122008.html, 4 Desember 2008 (tgl. Acces).
11 yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (pasal 22E ayat 1 UUD 1945). Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dianggapnya sebagai terobosan baru dalam melakukan berbagai upaya mencapai keadilan substantif. Masalahnya, benarkah putusan tersebut mencerminkan keadilan substantif? Apalagi jika hanya mengandalkan sekian banyak saksi dan bukti yang belum tentu secara substantif mencerminkan kebenaran sejati. 4 Dari uraian latar belakang permasalahan di atas dapat diketahui bahwa perlu adanya pemahaman yang lebih jelas mengenai putusan Mahkamah Konstitusi No. 41/PHPU.D-VI/2008 Tentang Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur dengan mengkaji secara yuridis normatif. Hal ini karena putusan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dan putusan tersebut dirasa tidak lazim. Berdasarkan pada latar belakang permasalahan yang dikemukaan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS NORMATIF TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 41/PHPU.D-VI/2008 TENTANG SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH JAWA TIMUR 4 Ibid
12 B. Perumusan Masalah Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul serta mengacu kepada latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis memberikan batasan masalah atau identifikasi masalah sehingga tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi pokok bahasan. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 41/PHPU.D-VI/2008 tentang sengketa pemilihan kepala daerah Jawa Timur? 2. Dampak hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 41/PHPU.D.VI/2008 terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia C. Tujuan Penelitian Dengan mengacu pada permasalahan yang ada di dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal penyelesaian sengketa Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur. Hal ini karena putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai sangat kontroversial. 2. Untuk menganalisa problematik hukum yang muncul pasca adanya putusan tersebut yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
13 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a) Bagi ilmu pengetahuan, khususnya Hukum Tata Negara, hasil penulisan skripsi ini dapat dijadikan sebagai tambahan literatur dalam memperluas pengetahuan hukum masyarakat serta memberikan sumbangan pemikiran dalam kajian mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dan akibat hukum dari setiap putusannya. b) Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir yuridis normatif konstitusional tentang Mahkamah Konstitusi. 2. Manfaat Praktis a) Bagi Mahkamah Konstitusi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam memutus setiap perkara khususnya menyangkut perselisihan hasil Pemilihan Umum yang menjadi wewenangnya. b) Bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam membuat atau merumuskan peraturan perundang-undangan yangberkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. E. Metode Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 41/PHPU.D.VI/2008 Tentang Sengketa Pemilihan
14 Kepala Daerah Jawa Timur, maka penelitian yang digunakan adalah Metode penelitian yuridis normatif, melalui : E.1 Metode Pendekatan Meteode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan atau untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan metode yuridis normatif yang sistematis dan terarah sehingga diperoleh kejelasan mengenai permasalahan yang akan dibahas, sehingga diharapkan dapat memberikan pemecahan dari permasalahan yang ditimbulkan. Topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka digunakan penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini menekankan pada materi hukum, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok masalah yang dibahas. Pendekatan yuridis normatif yang menekankan pada aturan hukum yang berlaku dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maka menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
15 pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk menelaah, mengkritisi, serta dapat diharapkan dapat memberikan solusi, khususnya yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Pemilihan Kepala Daerah yang kewenagannya diberikan oleh Undang-Undang, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan beberapa Undang-Undang lainnya yang relevan dengan objek yang diteliti. E.2 Jenis Bahan Hukum Secara umum, jenis data atau bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga) jenis data, yaitu bahan primer dan bahan sekunder. a. Bahan Hukum Primer Adalah data yang diperoleh penliti dari peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Bahan hukum terdiri dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 41/PHPU.D.VI/2008 Tentang Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur.
16 b. Bahan Hukum Sekunder Adalah data-data yang diperoleh dari literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Bahan-bahan sekunder ini terdiri dari buku-buku, surat kabar, majalah, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah, juranl-jurnal, artikel, maupun internet. c. Bahan Hukum Tersier Adalah bahan hukum yang diperoleh dari Jurnal maupun Kamus yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. E.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pada penulisan hukum ini yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research) yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber yang dipublikasikan secara luas dan dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif adalah penulisan yang didasarkan atas data-data yang dijadikan obyek penelitian seperti: buku-buku, pustaka, majalah, artikel-artikel, surat kabar, internet, buletin tentang segala permasalahan yang sesuai dengan skripsi ini yang akan disusun dan dianalisa untuk dikelola lebih lanjut. E.4 Analisa Bahan Hukum Dalam menganalisis data penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel akan diuraikan dan
17 dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengelolaan bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Selanjutnya bahan yang dianalisis untuk melihat bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur. F. Sistematika Penulisan Penulisan ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam 4 (empat) bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Merupakan pendahuluan yang menguraikan Latar Belakang Masalah sehingga muncul gagasan-gagasan dan ide-ide dalam pemecahan sebuah permasalah yang di angkat dan mencari solusi dalam penulisan ini, untuk memperkuat gagasan dan ide, penelitipun menyertakan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan yang digunakan sebagai pisau analisa dalam
18 melakukan penelitian dan bagian ini akan menjadi acuan bagi pembaca dalam pembahasan berikutnya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan diberikan penjelasan mengenai pengertianpengertian, beberapa teori serta konsep yang nantinya akan menjadi acuan dalam memberikan analisa pembahasan masalah, sehingga dapat membantu pembaca dalam memahami bab berikutnya. Adapun teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi; Konsep Negara Hukum, Demokrasi, Pemilihan Kepala Daerah, Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, Penyelesaian Sengketa, Tinjauan Tentang Mahkamah Konstitusi yang meliputi Mahkamah Konstitusi di Indonesia maupun kewenangan Mahkamah Konstitusi, serta Penyelesaian sengketa Pemilihan Kepala Daerah yang ditinjau dari Perundang-undangan maupun Peraturan Pemerintah. BAB III PEMBAHASAN Bagian ini merupakan sebuah analisis yang diberikan dari rumusan masalah yang beracuan pada tinjauan pustaka. Pada Bab ini akan berisikan pembahasan mengenai apa sebenarnya yang menjadi dasar pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.41/PHPU-D.VI/2008, dan problematik hukum yang timbul dari adanya putusan Mahkamah
19 Konstitusi No. 41/PHPU-D.VI/2008, Serta dampak hukum dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia. BAB IV PENUTUP Pada bagian terakhir, akan ditarik suatu kesimpulan dari apa yang telah dibahas dan beberapa saran yang nantinya dapat dijadikan masukan oleh pembaca sebagai acuan dalam menyelesaikan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan.