BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dewasa ini bersamaan semakin berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, perilaku dan karakter dari generasi bangsa khususnya remaja justru semakin memprihatinkan. Kini telah banyak remaja yang terlibat dalam kasus kriminal baik itu dalam skala besar maupun dalam skala kecil. Banyaknya kasus kriminal yang dialami oleh para remaja inilah yang kini menjadi keresahan dan keprihatinan bagi para orangtua, masyarakat luas, dan terkhusus negara tentang masa depan dan nasib bangsa kedepan. Mengapa para penerus bangsa yang harusnya menjadi aktor dari pembangunan dari kemajuan bangsa kini justru menjadi penghambat negara untuk menjadi lebih baik dan unggul dari negara lain. Saat ini baik media kabar offline maupun online telah santer membicarakan kasuskasus dari perilaku kenakalan remaja di seluruh Indonesia dan tidak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pelajar, ternyata justru memiliki pelajar dan remaja-remaja yang tidak mencerminkan kota pelajar yang sesungguhnya. Menurut data pemerintah kota Yogyakarta, telah ada 135 anak yang tersandung masalah hukum (Kurniawan, 2015). Masalah hukum yang biasanya melibatkan remaja sebagai pelaku maupun korbannya salah satunya adalah tindakan bullying. Menurut data KPAI, saat ini kasus bullying telah menduduki peringkat teratas dari pengaduan masyarakat. Dari tahun 2011 hingga 2014, KPAI telah mencatat ada 369 pengaduan terkait masalah tersebut (Setyawan, 2014). Di Yogyakarta, beberapa kasus bullying pernah terjadi dan salah satunya yang sempat menggemparkan warga Yogyakarta dan sekitarnya adalah meninggalnya seorang remaja perempuan yang
berinisial LA di daerah Bantul, karena dianiaya dan dibunuh oleh beberapa teman sebayanya sendiri hanya karena memiliki tatto hello kitty yang sama (Apriyadi, 2015). Arti dari bullying sendiri menurut Jolliffe & Farrington (2006) adalah tindakan negatif berulang yang bertujuan untuk menyakiti atau menyebabkan penderitaan yang dilakukan oleh pihak lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Dampak buruk dari tindakan bullying ini bermacam-macam, namun salah satunya akan menyebabkan korban bullying menjadi pelaku bullying di masa depan. Menurut Levianti (2008) anak yang pernah menjadi korban atau menyaksikan tindak bullying itu berkemungkinan menjadi pelaku bullying atau menganggap bullying sebagai hal yang wajar. Meningkatnya kasus dan tindakan bullying di kalangan remaja sebenarnya telah membuat keprihatinan bagi negara dan terkhusus masyarakat sekitar mengenai generasi muda di kemudian hari. Bagaimana bisa Yogyakarta yang notabenenya adalah sebuah kota pelajar justru memiliki pelajar yang berperilaku yang tidak terpelajar dan tidak berhati nurani sehingga dengan teganya membunuh dan menganiaya temannya sendiri hanya dikarenakan masalah yang sepele. Semakin banyaknya tindak kenakalan dan kejahatan yang dilakukan remaja di era ini, sebenarnya mampu mengindikasikan bahwa remaja saat ini sedang mengalami sebuah krisis empati. Dimana remaja tidak mampu merespon dengan baik kondisi serta perasaan tidak menyenangkan yang dialami oleh orang lain. Sehingga, untuk menekan angka kasus bullying di kalangan remaja, dibutuhkan keterampilan sosial penting seperti empati guna meningkatkan kepekaan dan kepedulian remaja dalam memahami serta mengenali kondisi setiap orang. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Stanbury, Bruce, Jain, & Stellern (2009) bahwa program pembangunan empati itu memiliki efek positif secara statistik pada penurunan perilaku bullying dan mengembangan kesadaran akan efek buruk perilaku bullying pada orang lain. Seseorang yang memiliki kompetensi
empati yang baik, tentunya tidak akan mudah menyakiti dan melukai orang lain tanpa memikirkan keadaan dan perasaan dari orang tersebut. Sehingga besar kemungkinan bahwa meningkatnya bullying dikalangan remaja itu dilatar belakangi oleh krisis empati yang dimiliki remaja saat ini. Hal tersebut juga sejalan dengan pernyataan dari dr Erikavitri Yulianti SpKJ, bahwa perilaku bullying dapat muncul sejak remaja dan Satu karakteristik kunci pelaku bullying adalah miskinnya empati (Surendra, 2014). Kusuma (2014) menambahkan bahwa pelaku bullying itu merupakan seeseorang yang memiliki kekuatan fisik ataupun sosial yang lebih unggul, bertemperamen tinggi, dan memiliki rasa empati yang rendah. Remaja pada dasarnya belum memahami dan mengetahui dengan baik bahwa sebenarnya perilaku-perilaku negatif yang mereka lakukan di usia perkembangan mereka terebut beresiko tinggi bagi pertumbuhan optimalnya seperti self-esteem yang rendah, efikasi rendah, konsep diri buruk, dan prestasi akademik yang menurun. Kemudian tanpa adanya sebuah empati, sikap dan perilaku negatif yang remaja lakukan pada masa ini, memiliki kemungkinan besar untuk menjadi faktor resiko bagi remaja untuk melanjutkan dan mengembangkan hal tersebut pada aktivitas yang berdekatan dengan dunia kriminal di masa depan ataupun di usia dewasanya nanti. Sehingga penting untuk membekali generasi mudah saat ini dengan sesuatu hal yang dapat mengikat, membatasi, serta meningkatkan kepekaanmereka terhadap sesama manusia lainseperti empati. Karena selain menjadi pencegah seseorang menjadi pelaku bullying, kemampuan empati yang baik yang dimiliki oleh remaja juga dapat membantu seseorang terjadinya tindak perilaku bullying di lingkungan sekitarnya. Hal tersebut juga sejalan menurut Gagnon (2012) bahwa defisit empati itu berperan dalam kemungkinan terjadinya perilaku bullying. Correia & Dalbert (2008) juga menambahkan bahwa semakin empatik anak, maka semakin besar kemungkinan mereka untuk membela korban dari bullying.
Sehingga dapat dikatakan bahwa selain menjadi prediktor keterlibatan seseorang menjadi pelaku bullying, krisis empati juga dapat menyebabkan tindakan bullying meraja lela di lingkungan remaja. Definisi empati sendiri adalah reaksi seseorang terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang mirip dengan perasaan orang tersebut (Santrock, 2007). Sedangkan menurut Decety & Lamn (2006) empati adalah kemampuan untuk mengalami dan memahami perasaan orang lain dan memainkan peran penting penting dalam interaksi interpersonal. Empati tumbuh dan berkembang sejak masa bayi. Ketiadaan rasa empati menimbulkan orang nekat bertindak untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan mengabaikan kebutuhan orang lain (Setyastuti, 2001). Tanpa empati seseorang akan lebih mudah menyakiti dan melukai orang lain tanpa memikirkan perasaan serta keadaan orang yang tersakiti. Empati yang berkembang dengan baik di usia remaja mampu menjadi sebuah keterampilan sosial untuk lebih memahami dan peka terhadap kondisi orang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi empati diantaranya adalah pola asuh, keluarga, jenis kelamin, dan usia (Setyastuti, 2001). Sedangkan menurut McDonald & Messinger (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan empati adalah genetik, neurodevelopmental, temperamen, facial mimicry & imitation, pengasuhan, dan kualitas kelekatan aman.dari dua pendapat tokoh diatas, menunjukan bahwahubungan orangtua pada anak memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan empati.hal ini juga didukung oleh Barnet (dalam Riaz, 2012) bahwa perkembangan empati pada anak-anak paling mungkin terjadi di lingkungan keluarga mereka sendiri. Kemudian, menurut Gunarsa & Gunarsa (2004) keluarga merupakan tempat yang paling penting bagi seorang remaja untuk pembentukan sosial dan emosional remaja khususnya kondisi remaja yang berada dalam masa transisi saat ini. Sehingga dapat dilihat bahwa, perkembangan dan
penanaman empati akan berkembang secara optimal jika ia mendapatkan pengaruh dan stimulasi yang positif dari orangtua terutama dalam hal pengasuhan dan kelekatan yang aman.kestenbaum(dalam Malekpour, 2007) mengemukakan bahwa baik kualitas pengasuhan maupun kelekatan aman itu mempengaruhi kapasitas empati, regulasi emosional, perkembangan kognitif, dan kontrol perilaku di masa kanak-kanak akhir atau menjelang remaja.sehingga, penting bagi remaja untuk menjaga dan mempertahankan hubungan kelekatan dengan orangtua sejak usia dini. Karena nyatanya kelekatan aman yang terjalin antara orangtua dan anak itu mampu membantu anak mengembangkan empati di usia selanjutnya terutama saat menginjak remajananti. Kelekatan sendiri didefinisikan menurut Passer& Smith (2007) sebagai suatu ikatan emosi kuat yang berkembang antara anak-anak dan pengasuh utamanya. Anak memiliki kemampuan untuk mennjalin kelekatan dengan siapa saja, termasuk dengan ibu, ayah, nenek, ataupun asisten rumah tangga. Namun ketika seseorang memasuki usia remaja, kelekatan dapat muncul pada orangtua maupun teman sebayanya. Hal tersebut sejalan dengan Santrock (2003) bahwa figur lekat remaja akan berkembang menjadi dua yakni dari orang tua dan teman sebayanya. Walaupunsaat di usia remaja mereka berkemungkinan untuk menjalin kelekatan dengan teman sebaya, namun orangtua tetap menjadi dasar dari rasa aman remaja. Menurut Rice & Dolgin (2001) ketika remaja mulai belajar menjalin hubungan dengan orang diluar keluarganya, dukungan dari keluarga itu akan membantu remaja untuk lebih percaya diri dan terbuka terhadap orang lain. Kebanyakan orang lebih sering mengkaitkanibu sebagai figur lekat anakibu dibanding dengan ayah, namun kenyataanya kelekatan juga dapat terbentuk antara seorang remaja dengan ayahnya. Saat memaasuki fase remaja, remaja akan melakukan identifikasi diri terhadap role model-nya untuk memenuhi tugas perkembangannya seperti membentuk identitas diri, konsep diri, melakukan penyesuaian diri, dsb. Karena sifat, kepribadian
maupun konsep diri remaja akan terbentuk dengan baik apabila ia memiliki figur role model yang tepat. Dalam keluarga, anak kerap melakukan identifikasi diri pada orangtuanya. Baik ayah maupun ibu, keduanya memiliki peran yang cukup penting sebagai role model anak terutama di usia remaja. Walaupun sebagian besar remaja akan lebih banyak mengidentifikasi dirinya dengan orangtuanya yang bergender sama, namun seiring bertambahnya usia, remaja akan mampu mengidentifikasi diri dengan kedua orangtuanya secara tepat berdasarkan fungsi dan peran gender mereka masing-masing yang saling melengkapi. Pemilihan role model pada remaja biasanya didasari oleh kedekatan dan kesamaan yang remaja miliki dengan figur role model-nya. Pandangan tradisional masyarakat mengenai peran gender, nampaknya lebih memberikan tanggung jawab yang besar pada seorang ayah dibanding ibu. Peran ayah yang bertugas sebagai kepala keluarga dan ujung tombak dalam kelangsungan kehidupan keluarga nampaknya menjadi dasar & memperkuat seorang ayah sebagai role model bagi anak maupun istrinya. Ayah yang baik akan membantu anak dalam membentuk kepribadian serta identitas diri dengan baik pula. Dalam perkembangan sosial anak, kedekatan dan kelekatan baik yang terjalin antara ayah dengan remaja akan membantunya dalam mengidentifikasi diri secara tepat mengenai hal-hal positif dan baik yang sebaiknya diterapkan dalam kehidupan berkehidupan sosial. Selain itu, dari pendapat beberapa ahli juga telah mengemukakan bahwa anak yang memiliki keterlibatan dengan ayahnya lebih berkemungkinan untuk memiliki hubungan yang positif dengan teman sebayanya seperti minim terlibat konflik, jarang berperilaku agresif dan lebih memiliki kualitas pertemanan yang positif dibanding yang tidak (Allen & Daly, 2007). Maka dari itu penting bagi remaja untuk membentuk dan mempertahankan kelekatan yang positif dengan ayahnya. Menurut Hart (dalam Yuniardi, 2009) ada delapan arti penting peran ayah dalam keluarga, yakni pencari nafkah, sahabat &teman bermain, pengasuh, guru &role model,
monitor & disciplinarian, pelindung, advocate, danresource. Dari delapan peran ayah dalam keluarga, dapat terlihat arti penting kehadiran ayah dalam keluarga.peran ayah sebagai guru dan role modelmenunjukan bahwa seorang ayah akan selalu menjadi role model atau acuan yang tepat bagi anak-anak remaja untuk berperilaku. Karakter seperti disiplin, tegas, pengertian dan penyayang memang sebagian besar dimiliki oleh seorang ayah ketika mengasuh anak-anaknya. Kemudian berdasarkan hasil penelitian dari Clark & Tekin (2011) ketidakhadiran figur ayah dalam keluarga itu lebih memungkinkan anak terlibat dalam kenakalan remaja, hal tersebut juga ditunjukan dari 64/100 subjek dalam penelitian ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayah memiliki andil yang besar dalam perkembangan sosial remaja. Remaja yang memiliki kedekatan dan kelekatan yang baik dengan ayahnya sejak kecil memiliki kemampuan sosial yang lebih tinggi dibandingkan remaja lainnya. Sehingga rendahnya keterlibatan atau kelekatan ayah dengan anaknya itu memiliki kemungkinan sebagai salah satu prediktor dari rendahnya empati pada remaja.karena selain menjadi kepala keluarga, ayah juga berperan sebagai role model bagi remaja.sehingga peran kelekatan ayah dalam perkembanganremaja memiliki porsi yang cukup penting bagi para remaja untuk membentuk identitas diri, kepribadian, maupun keterampilan yang dibutuhkan dalam berkehidupan di masyarakat. Remaja yang memiliki kelekatan yang aman dengan ayahnya akan memiliki kompetensi sosial yang lebih baik. Kompetensi sosial tersebut mencakup kemampuan empati dimana membantu remaja untuk lebih peka dalam memahami dan mengenali perilaku maupun perasaan dari orang lain.
B. RUMUSAN MASALAH Apakah kemampuan empati remaja dapat dikaitkan dengan kelekatan terhadap ayah? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan ayah dengan empati pada remaja. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini dapat menambah dan melengkapi referensi penelitian dalam bidang psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan penjelasan pada remaja bahwa kelekatan aman antara ayah dan anak itu memiliki andil dalam perkembangan optimal empati pada remaja.