BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis. Tuberkulosis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pembangunan kesehatan diharapkan akan tercapai

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menimbulkan komplikasi kesakitan (morbiditas) dan kematian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. pengobatan. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini pembangunan

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis complex (Depkes RI, 2008). Tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN. utama. The World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mikobakterium tuberculosis dan kadang-kadang oleh Mikobakterium bovis

BAB I PENDAHULUAN. (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

Identifikasi Faktor Resiko 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB I PENDAHULUAN. komplikasi berbahaya hingga kematian (Depkes, 2015). milyar orang di dunia telah terinfeksi bakteri M. tuberculosis.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk yang paling banyak dan paling penting (Widoyono, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesehatan penduduk Indonesia. Mycrobacterium Tuberculosis (Mansyur, 1999). Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB dapat disembuhkan dengan pengobatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. mengganti aktor pusat menjadi daerah dalam hal pengambilan kebijakan. dengan masyarakat. Dengan begitu, informasi tentang proses

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang. Badan kesehatan dunia, World Health Organitation

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN DUKUNGAN PASANGAN PENDERITA TB DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan. masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. TB sudah dilakukan dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed

BAB I PENDAHULUAN. berobat dan putus berobat selama 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN MOTIVASI PETUGAS TBC DENGAN ANGKA PENEMUAN KASUS TBC DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN BOYOLALI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World. Health Organization (WHO) dalam Annual report on global TB

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang. disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium Tuberculosis yang pada

BAB I. Treatment, Short-course chemotherapy)

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

MULTI DRUG RESISANT TUBERCULOSIS (MDR-TB): PENGOBATAN PADA DEWASA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi TB Paru di Indonesia dan negara negara sedang berkembang lainnya

I. PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis atau yang sering disebut TB Paru adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program MDGs. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis (Global Report, 2009). Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak (Budiman, 2010). WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terdapat 550.000 kasus TB Paru. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita TB Paru dengan BTA Positif yang diobati. Tiga perempat dari kasus berusia 15-49 tahun dan baru 20 % yang tercakup dalam program pemberantasan TB yang dilaksanakan oleh pemerintah. Guna strategi DOTS (Direcly Observed Treatment Short Course) yang mengandung lima komponen yaitu perlu

komitmen politik penentu kebijakan, diagnosis mikroskopik yang baik, jaminan ketersediaan obat, serta pencatatan dan pelaporan dalam mengawasi penderita menelan obat secara teratur dan benar oleh PMO. DOTS merupakan strategi WHO yang paling efektif untuk memastikan kepatuhan berobat dan kelengkapan pengobatan, dapat mengurangi biaya pengobatan TB Paru, mengurangi frekuensi resistensi MDR (Multi Drugs Resistensi) TB, kasus kambuh, kasus gagal pengobatan dan meningkatkan kesembuhan (Depkes RI, 2007). WHO dalam global tuberculosis control tahun 2009 melaporkan bahwa Indonesia masih menempati urutan ketiga sebagai Negara yang memiliki jumlah kasus TB Paru terbesar setelah India dan Cina sampai akhir periode tahun 2007. Adapun lima Negara dengan jumlah pasien TB paru terbanyak dengan urutan sebagai berikut: India terdapat 2 juta orang, Cina 1,3 juta orang, Indonesia 0,53 juta orang, Nigeria 0,46 juta orang, dan Afrika Selatan 0,45 juta orang (WHO, 2009 ).Hampir 10 tahun Indonesia menempati urutan ke 3 sedunia dalam jumlah hal penderita TB.Baru pada tahun ini turun ke peringkat ke-4 dan masuk dalam Milestone atau pencapaian kinerja 1 tahun kementrian Kesehatan. WHO pada Global Report (2010), didapat data TB Indonesia, total seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213 adalah kasus TB baru BTA+, 108.616 adalah kasus TB BTA negatif, 11.215 adalah TB ekstra paru, 3.709 adalah kasus TB kambuh dan 1.978 adalah kasus pengobatan ulang di luar kasus kambuh.

Secara Nasional dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan (DepKes) tahun 2004 didapatkan Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit Kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran pernafasan serta peyebab kematian nomor 1 pada semua golongan umur dari golongan penyakit infeksi. WHO (1998) memperkirakan terdapat 450.000 penderita baru TB paru dengan ditemukan BTA pada dahaknya (BTA (+)) di Indonesia serta terdapat 175.000 kematian karena TB setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2010 sebanyak 73,8% TB Paru BTA Positif terdapat di Sumatera Utara yaitu 15.614 orang penderita TB Paru BTA+ (Dinkes Sumut, 2010). Secara nasional Sumatera Utara berada di urutan ke 6 setelah Sulawasi Utara, DKI, Jakarta, Maluku, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat (Profil Kes. Indonesia, 2011). Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara melalui Ka.Bid Penanggulangan masalah Kesehatan (PKM), mengatakan bahwa TB Paru menduduki peringkat keempat penyebab kematian di Sumut (). Menurut profil Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu kasus TB merupakan penyakit menular terbanyak setelah ISPA yaitu berjumlah 4.095 orang. Kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) akan berpengaruh terhadap proses penyembuhan dari infeksi tuberkulosis. Kepatuhan pasien dilihat dari keteraturan, waktu dan cara minum obat. Petunjuk dalam mengkonsumsi OAT perlu diperhatikan untuk mencegah resistensi terhadap obat. Obat anti tuberkulosis seperti Isoniazid dan Rifampin lebih baik diminum pada saat perut kosong, minimal setengah jam sebelum makan, tujuannya selain untuk mencegah mual juga untuk

meningkatkan penyerapan obat di dalam tubuh dan menghindari interaksi dengan makanan (Schwenk et al, 2004). Penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden (57,6%) patuh terhadap anjuran minum obat. Penelitian ini menunjukan ketidakpatuhan penderita pada anjuran minum obat terletak pada ketidakteraturan minum obat. Penelitian ini menemukan beberapa penderita lupa minum obat karena masing-masing obat dikonsumsi dalam waktu yang berbeda. Pada beberapa penderita, obat yang diberikan seringkali tidak tertelan karena dimuntahkan oleh sang anak. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan diduga dapat menyebabkan kekebalan bakteri terhadap obat-obatan yang dikonsumsi (Multiple Drugs Resistance/MDR). Hal tersebut akan mengakibatkan pengobatan menjadi lebih lama (Bello, 2010). Kondisi di lapangan masih terdapat penderita TB Paru yang gagal menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur. Keadaan ini disebabkan oleh banyak faktor, tetapi yang paling banyak memainkan perannya adalah ketidakpatuhan penderita dalam menjalani pengobatan (Sukana dkk, 2003). Kepatuhan adalah hal yang sangat penting dalam perilaku hidup sehat. Kepatuhan minum OAT adalah mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat. Pengobatan hanya akan efektif apabila pasien mematuhi aturan dalam penggunaan obat (Laban, 2008). Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit TB Paru memerlukan jangka waktu yang lama dan rutin yaitu 6-8 bulan. Dengan demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur atau tidak selesai, justru akan mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap obat Anti- Tuberkulosis (OAT), yang akhirnya untuk pengobatannya penderita harus

mengeluarkan biaya yang tinggi/ mahal serta dalam jangka waktu yang relatif lebih lama (Handhayani, 2011). Oleh karena itu dalam standar Internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB harus dilakukan (Hudoyo, 2012). Sudah banyak penelitian yang berkaitan dengan Tuberkulosis. Hasil penelitian yang dilakukan Pemerintah Kab. Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2000 menyimpulkan ada 8 variabel yang memengaruhi kegagalan konversi pada penderita TB Paru yang telah berobat yakni status gizi, lantai rumah, jendela rumah, merokok, peran keluarga dalam pengobatan, ketersediaan PMO, penyuluhan paramedis, dan kepatuhan berobat penderita (Akbar, 2008).

Menurut penelitian Simamora (2004) yang dilakukan di Puskesmas Kota Binjai, ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB paru yaitu : pengetahuan penderita tentang pengobatan TB paru, ada tidaknya Pengawas Minum Obat (PMO), efek samping obat, perilaku petugas pelayanan kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan, dan jarak antara rumah pasien ke puskesmas. Analisa hasil penelitiannya menyimpulkan penderita TB paru yang pengetahuannya kurang baik terhadap pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan 6,097 kali lebih besar teratur berobat dibandingkan pada penderita yang pengetahuannya baik terhadap pengobatan TB paru. Selain itu juga menurut hasil penelitian Zuliana (2009) di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan terdapat pengaruh yang bermakna antara variabel pengetahuan dan peran PMO terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru. Penelitian lainnya yang berkaitan dengan TB Paru yaitu yang dilakukan oleh Susanti (2008) di Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya, diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis paru dengan keteraturan berobat di wilayah kerja puskesmas. Lamanya waktu pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Adapun bagi penderita yang memiliki keinginan atau motivasi yang kuat akan terhindar dan sembuh dari penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara teratur. Namun Susanti kurang menjelaskan tentang deskripsi dari motivasi tersebut. Oleh karena itu, maka dirasa perlu untuk dilaksanakan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor motivasi yang

memengaruhi kepatuhan berobat di suatu Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang melayani pengobatan TB Paru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Isa & Nafika (2003) tentang efektifitas penggunaan kartu berobat terhadap keteraturan berobat di wilayah kotamadya Banjarmasin menunjukkan bahwa 85,4% sampel patuh terhadap pengobatan dan 14,6% tidak patuh terhadap pengobatan. Menurut Isa presentasi tersebut di dukung dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan kartu berobat seperti tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan dan kemudahan dalam menjangkau pelayanan kesehatan. Salah satu penyebab utama tidak berhasilnya pengobatan pasien Tuberkulosis paru bermula pada perilaku berobat pasien misalnya, keteraturan minum obat, kepatuhan pengambilan obat, dan (pemeriksaan ulang dahak). Sehingga masih banyak pasien yang terlambat mencapai konversi pada akhir fase intensif pengobatan, dengan demikian dalam pengobatan pasien Tuberkulosis perlu kepastian bahwa seorang pasien memakan obatnya dan menyelesaikan jadwal pengobatan secara benar (Aditama, 1994). Suatu harapan baru yang lebih baik dalam penanggulangan TB Paru dengan dilaksanakannya cara pengobatan strategi DOTS dan diketahui hal-hal yang memengaruhi keberhasilan pengobatan serta perkembangan baru obat-obatan anti tuberkulosis, sehingga cakupan dan keberhasilan pengobatan akan meningkat. Faktor yang memengaruhi perilaku kepatuhan pasien dalam minum obat adalah faktor predisposing meliputi pengetahuan, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, sikap; faktor enabling meliputi ketersediaan sarana atau fasilitas kesehatan; dan faktor

reinforcing yaitu dukungan keluarga dan sikap petugas kesehatan. selanjutnya tentang pengetahuan dalam ranah kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synteshsis) dan evaluasi (evaluation). Sikap juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Dukungan keluarga merupakan bagian dari pasien yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga dari faktor pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga sangat berpengaruh dalam meningkatnya kepatuhan minum obat TB Paru (Ariani dkk, 2011). Dukungan keluarga sangat berperan dalam rangka meningkatkan kepatuhan minum obat. Keluarga adalah unit terdekat dengan pasien dan merupakan motivator terbesar dalam perilaku berobat penderita TB Paru. Pada saat ini belum ada data yang pasti tentang bobot pengaruh dukungan keluarga yang diperlukan pasien Tb Paru dalam hal ini adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit. Menurut Friedman (1998), keluarga memandang selalu siap memberikan dukungan agar pasien rutin dalam pengobatan. Adanya perhatian dan dukungan keluarga dalam mengawasi dan mengingatkan penderita untuk minum obat dapat memperbaiki derajat kepatuhan penderita. Menurut Kelman yang dikutip dalam Sarwono (1997) perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin

menghindari hukuman atau sanksi jika tidak patuh, atau memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan. Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Salah satu aspek yang turut menentukan perilaku individu dalam hal ini kepatuhan adalah motivasi. Berdasarkan hasil survei pendahuluan di Kabupaten Labuhanbatu khususnya di desa Sri dua, bahwa terdapat 10 orang pasien TB Paru yang telah diwawancarai, hanya 8 orang yang terus melanjutkan pengobatannya karena belum sembuh dan 4 orang yang selalu didukung keluarganya. Ditemukan 6 pasien yang dibiarkan oleh keluarganya dalam pengobatan karena kebutuhan ekonomi. Berdasarkan keadaan di atas peneliti ingin mengetahui hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu tahun 2013. 1.2 Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian adalah bagaimana hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu tahun 2013.

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten Labuhanbatu tahun 2013. 1.4 Hipotesis Ada hubungan perilaku keluarga dengan kepatuhan pengobatan penderita TB Paru di Kabupaten LabuhanBatu tahun 2013. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Dinas Kesehatan Labuhan Batu agar dapat memberikan masukan untuk pengembangan program pengobatan TB Paru. 2. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan untuk dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan perilaku keluarga dalam kepatuhan pengobatan TB paru pasien. 3. Bagi Peneliti untuk mendapat pengalaman dan wawasan yang menunjang aplikasi nyata ilmu Promosi Kesehatan.