BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara yang melakukan kegiatan perekonomian biasanya ditujukan

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dilakukan bertujuan untuk mengentaskan pengangguran dan

Analisis Perkembangan Industri

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH


BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan penggunaan waktu (Boediono, 1999). pada intinya PDB merupakan nilai moneter dari seluruh produksi barang jadi

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. selalu mengalami kenaikan dalam jumlah maupun kualitas barang dan jasa

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai keberhasilan Otonomi Daerah. hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya.

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dikatakan baik apabila terjadi peningkatan pada laju pertumbuhan di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. investasi merupakan faktor penting yang berperan besar dalam pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN. Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU)

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. akumulasi modal yang diperlukan untuk pembangunan perekonomian.

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ACEH

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian yang secara terus menerus tumbuh akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang

BAB I PENDAHULUAN. bukan lagi terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, tetapi meluas keaspek

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi banyak dilakukan di beberapa daerah dalam

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN III-2014

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

KAJIAN KAPASITAS KABUPATEN SEMARANG DALAM MELAKUKAN PINJAMAN (STUDI KASUS : PEMDA DAN PDAM KABUPATEN SEMARANG) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan berbagai indikator-indikator yang dapat menggambarkan potensi. maupun tingkat kemakmuran masyarakat suatu wilayah.

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional secara keseluruhan dengan tujuan akhir untuk. daerah, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi beorientasi pada

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. ketertinggalan dibandingkan dengan negara maju dalam pembangunan

Profile Daerah Kabupaten Sumedang Tahun

IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding pertumbuhan rata-rata 1988-1997 yang mencapai 7,8 persen. Faktor rendahnya pertumbuhan ini salah satunya disebabkan rendahnya investasi swasta. Tingkat investasi swasta tak sampai separuh yaitu sebesar 8 persen sebelum krisis 1997. Padahal investasi swasta secara langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2009). Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh karenanya, memperbaiki iklim investasi merupakan suatu tugas yang penting bagi setiap pemerintah, terutama negara-negara yang memiliki daya saing investasi yang rendah seperti Indonesia (KPPOD, 2005). Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi iklim investasi swasta di Indonesia dinilai masih belum membaik. Dari hasil survey lembaga internasional tersebut, memperlihatkan bahwa posisi peringkat daya saing investasi swasta Indonesia masih berada pada kelompok peringkat bawah dan selalu berada di bawah negara-negara di sekitar kita, seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Vietnam (Tabel 1). Peringkat ini juga tidak meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun setelah otonomi daerah. Hal ini menunjukkan seriusnya persoalan iklim investasi swasta di Indonesia yang harus segera disikapi. Perbaikan iklim investasi swasta bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, namun seluruh lapisan pemerintahan dan masyarakat secara umum, agar perekonomian Indonesia segera pulih dari krisis yang berkepanjangan. Kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2001 telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah

2 untuk turut berperan besar dalam upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerahnya (KPPOD, 2005). Tabel 1 Easy of Doing Business di beberapa negara tahun 2007 2010 Negara 2007 2008 2009 2010 Singapura 1 1 1 1 Malaysia 25 24 20 23 Korea Selatan 23 30 23 19 Jepang 11 12 12 15 Cina 93 83 83 89 Thailand 18 15 13 12 Indonesia 135 123 129 122 Vietnam 104 91 92 93 Sumber : Doing Business 2007-2010 Salah satu daerah di Indonesia yang telah melakukan perbaikan iklim investasi adalah Kabupaten Sragen. Perbaikan yang dilakukan sejak tahun 2001 itu dengan melakukan reformasi birokrasi, pelayanan prima (excellent service), dan pemberdayaan masyarakat dan PNS. Hasil dari perbaikan iklim investasi tersebut mulai terlihat sejak tahun 2002 sampai dengan 2009, dimana terjadi kenaikan investasi yang sangat signifikan dari 592 milyar pada tahun 2002 menjadi 1,35 trilyun pada tahun 2009 (Gambar 1), selain itu dampak kenaikan investasi adalah penyerapan tenaga kerja juga tinggi, dimana setiap tahun rata-rata Kabupaten Sragen mampu menciptakan lapangan kerja sekitar 40 ribu orang. Juta Rupiah 1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Sragen, 2009 Gambar 1 Nilai investasi Kabupaten Sragen tahun 2002-2009

3 Dengan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) untuk lebih leluasa dalam menciptakan iklim investasi di daerahnya masing-masing, maka proses pengambilan kebijakan pembangunan yang sebelumnya lebih banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat, selanjutnya menjadi lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui UU No.22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, mengarahkan pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru dalam pelaksanaan sistem desentralisasi di bidang perekonomian, administrasi dan fiskal. Oleh karena itu pemerintah daerah diharapkan dapat mengembangkan potensi daerahnya sendiri dan menggali sumber dana yang ada dan potensial guna mewujudkan peningkatan kesejahteraan warga masyarakatnya. Akibatnya mekanisme pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah berubah yaitu diutamakan semaksimal mungkin berasal dari potensi penerimaan asli daerah baik melalui pajak daerah, retribusi daerah maupun dari laba BUMD dan penerimaan lain yang dianggap sah serta potensi penerimaan lain yang masih belum terjangkau oleh PAD. Selain itu sebagian besar proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan pemerintahan yang dulu ditangani dan dibiayai oleh pemerintah pusat sekarang akan menjadi beban pemerintah daerah. Dengan demikian pemerintah daerah akan menanggung beban belanja atau pengeluaran yang jumlahnya besar. Beberapa daerah seperti Kabupaten Bogor terus mengalami defisit APBD dapat dilihat di Gambar 3, padahal tuntutan masyarakat terhadap penyediaan fasilitas atau sarana dan prasarana umum juga semakin meningkat. Jika dibandingkan dengan belanja pegawai sebesar 57,26 persen dari ABPD Kabupaten Bogor pada tahun 2010, maka belanja modal masih relatif kecil hanya sebesar 18,62 persen dari total APBD Kabupaten Bogor pada tahun 2010, ini mengakibatkan banyak public services yang merupakan pelayanan dasar masih relatif terbengkalai seperti pembangunan jalan, pembangunan jembatan dan pembangunan sekolah.

4 dalam rupiah juta 500,000 400,000 300,000 200,000 121,053 100,000 2005 407,631 387,901 324,045 103,103 77,,283 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2010 Gambar 2 Defisit APBD Kabupaten Bogor Tahun 2005-2010 Jika dilihat dari PDRB berdasarkan pengeluaran n sebagai salah satu indikator makro ekonomi (Gambar 3), pada kenyataannyaa bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor selama ini lebih didorong oleh besarnyaa konsumsi rumah tangga pada tahun 2009 mencapai sebesar 54 persen, sementara investasi (investasi swasta dan pemerintah) hanya sebesar 25 persen dan ekspor sebesar 15 persen, dan disusul oleh pengeluaran pemerintah 5 persen, pengeluarann Lembaga Non Pemerintah sebesar 1 persen, hal ini tidak mengalami banyak perubahan dari tahun 2006, padahal pertumbuhan yang lebih banyak didorong oleh konsumsi sangat rentan terhadap inflansi. persen 60 50 40 30 20 10 2006 2007 2008 2009 Tahun Pengeluaran Konsumsi RT Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stock Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2010 Gambar 3 PDRB berdasarkan penggunaan Kabupaten Bogor tahun 2006-2009

5 Indikator makro lain yang cukup mengkhawatirkan adalah makin tingginya pengangguran di Kabupaten Bogor, hal ini bisa dilihat Gambar 4, pada tahun 2003 jumlah pengangguran 230.834 orang menjadi bertambah dua kali lipat pada tahun 2008 yaitu sebesar 598.230 orang. Makin tingginya pengangguran bisa menjadi indikasi bahwa kurangnya penciptaan lapangan kerja, tentunya ini merupakan akibat menurunnya investasi yang dilakukan di Kabupaten Bogor. Jumlah orang 700,000 600,000 500,000 400,000 459,197 598,032 300,000 200,000 100,000 230,834 194,902 204,858 193,244 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Tahun Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2009 Gambar 4 Jumlah pengangguran Kabupaten Bogor tahun 2000-2008 Investasi merupakan sumber pertumbuhan output daerah yang relatif lebih berkelanjutan dibandingkan pengeluaran konsumsi karena mencakup aktivitas-aktivitas sektor swasta yang cukup produktif (Widodo, 2006). Selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, investasi juga mampu mengurangi kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja (Bank Dunia, 2005). Investasi bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi maupun pembiayaan daerah dibalik kesulitan pemerintah daerah Kabupaten Bogor membiayai pengeluarannya dari penerimaan daerah, oleh karena itu menjadi penting mengkaji Bagaimana strategi meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor?

6 1.2. Perumusan Masalah Pada tahun 2007 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan penurunan yaitu dari 6,05 persen, menjadi 5,58 persen pada tahun 2008. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah Pembentukan Modal Tetap (PMTB) selama tahun 2008 lebih banyak terjadi pada sektor tersier (24,60 persen) dan sektor primer (12,64%) dengan volume investasi yang relatif kecil dibandingkan dengan volume investasi di sektor sekunder sebesar 57,66 persen (Laporan Akhir Kabupaten Bogor, 2009). Baik PMDN dan PMA di Kabupaten Bogor memiliki pola yang sama yaitu pada saat PMA menurun maka PMDN juga ikut turun, begitu sebaliknya pada saat PMA naik maka PMDN juga ikut naik.. Hal tersebut mengindikasikan bahwa investor asing dan domestik mempunyai ekspektasi yang sama terhadap iklim investasi di Kabupaten Bogor. Ada kecenderungan bahwa nilai investasi swasta baik PMA maupun PMDN di Kabupaten Bogor sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 berfluktuasi (Gambar 5). Padahal proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah bersangkutan (Kuncoro, 2004). 10000 Milyar Rupiah 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Total Investasi PMDN PMA Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, 2003-2010. Gambar 5 Nilai PMA dan PMDN Kabupaten Bogor tahun 2003-2010

7 Penurunan investasi ini berakibat pada makin sulitnya pemerintah daerah Kabupaten Bogor menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sementara jika melihat Kabupaten Sragen sebagai pembanding, investasinya cenderung mempunyai grafik yang meningkat dimana terjadi kenaikan investasi yang sangat signifikan dari 592 milyar pada tahun 2002 menjadi 1,35 trilyun pada tahun 2009 (110 persen) walaupun secara nilai investasi Kabupaten Sragen masih jauh dibawah Kabupaten Bogor. Relatif berfluktuasinya perkembangan investasi mencerminkan masih belum membaiknya pemanfaatan potensi ekonomi dan iklim investasi di Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut menjadi pertanyaan spesifik pertama dalam kajian ini yaitu Bagaimana potensi ekonomi dan perkembangan investasi swasta baik PMA maupun PMDN di Kabupaten Bogor? Untuk menarik investasi swasta, baik domestik maupun luar negeri melalui Penanaman Modal Dalam Negeri maupun Penanaman Modal Luar Negeri, pemerintah daerah harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi ekpektasi investor (Widodo, 2007). Oleh karena itu tantangan yang dihadapi di masa yang akan datang adalah bagaimana meningkatkan iklim investasi Kabupaten Bogor yang dapat menarik investasi swasta, sehingga pertanyaan perumusan masalah yang kedua adalah Seberapa besar tingkat kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor? Gambaran kondisi investasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor sangat dibutuhkan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam merencanakan pembangunan ekonomi yang tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi tapi juga menciptakan lapangan kerja, terutama di era desentralisasi saat ini. Di era ini pemerintah kabupaten/kota diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatkan investasi swasta yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya Kabupaten Bogor. Dari rumusan permasalahan kedua di atas akan diperoleh suatu model yang berguna dalam penentuan strategi peningkatan investasi swasta swasta, sehingga rumusan permasalahan terakhir adalah Strategi apa yang diperlukan untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor?

8 1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian Melalui pendalaman pembahasan perkembangan investasi swasta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dari hasil kajian diharapkan akan tercapai tujuan-tujuan antara lain: 1. Menganalisis kondisi perkembangan investasi swasta di Kabupaten Bogor. 2. Menyusun tingkat kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor. 3. Memformulasikan program bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kajian ini meliputi dua hal pokok yaitu: 1. Mendukung teori ilmiah atau akademik bahwa pendekatan investasi swasta Kabupaten Bogor dapat dijadikan dasar sebagai salah satu pendekatan dalam usaha peningkatan pembangunan ekonomi daerah. 2. Menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Kabupaten Bogor dalam penanganan masalah, penentuan kebijakan, dan pelaksanaan program pembangunan terkait dengan usaha-usaha peningkatan investasi swasta.