BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding pertumbuhan rata-rata 1988-1997 yang mencapai 7,8 persen. Faktor rendahnya pertumbuhan ini salah satunya disebabkan rendahnya investasi swasta. Tingkat investasi swasta tak sampai separuh yaitu sebesar 8 persen sebelum krisis 1997. Padahal investasi swasta secara langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2009). Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh karenanya, memperbaiki iklim investasi merupakan suatu tugas yang penting bagi setiap pemerintah, terutama negara-negara yang memiliki daya saing investasi yang rendah seperti Indonesia (KPPOD, 2005). Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi iklim investasi swasta di Indonesia dinilai masih belum membaik. Dari hasil survey lembaga internasional tersebut, memperlihatkan bahwa posisi peringkat daya saing investasi swasta Indonesia masih berada pada kelompok peringkat bawah dan selalu berada di bawah negara-negara di sekitar kita, seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Vietnam (Tabel 1). Peringkat ini juga tidak meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun setelah otonomi daerah. Hal ini menunjukkan seriusnya persoalan iklim investasi swasta di Indonesia yang harus segera disikapi. Perbaikan iklim investasi swasta bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, namun seluruh lapisan pemerintahan dan masyarakat secara umum, agar perekonomian Indonesia segera pulih dari krisis yang berkepanjangan. Kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2001 telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah
2 untuk turut berperan besar dalam upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerahnya (KPPOD, 2005). Tabel 1 Easy of Doing Business di beberapa negara tahun 2007 2010 Negara 2007 2008 2009 2010 Singapura 1 1 1 1 Malaysia 25 24 20 23 Korea Selatan 23 30 23 19 Jepang 11 12 12 15 Cina 93 83 83 89 Thailand 18 15 13 12 Indonesia 135 123 129 122 Vietnam 104 91 92 93 Sumber : Doing Business 2007-2010 Salah satu daerah di Indonesia yang telah melakukan perbaikan iklim investasi adalah Kabupaten Sragen. Perbaikan yang dilakukan sejak tahun 2001 itu dengan melakukan reformasi birokrasi, pelayanan prima (excellent service), dan pemberdayaan masyarakat dan PNS. Hasil dari perbaikan iklim investasi tersebut mulai terlihat sejak tahun 2002 sampai dengan 2009, dimana terjadi kenaikan investasi yang sangat signifikan dari 592 milyar pada tahun 2002 menjadi 1,35 trilyun pada tahun 2009 (Gambar 1), selain itu dampak kenaikan investasi adalah penyerapan tenaga kerja juga tinggi, dimana setiap tahun rata-rata Kabupaten Sragen mampu menciptakan lapangan kerja sekitar 40 ribu orang. Juta Rupiah 1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Sragen, 2009 Gambar 1 Nilai investasi Kabupaten Sragen tahun 2002-2009
3 Dengan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) untuk lebih leluasa dalam menciptakan iklim investasi di daerahnya masing-masing, maka proses pengambilan kebijakan pembangunan yang sebelumnya lebih banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat, selanjutnya menjadi lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui UU No.22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, mengarahkan pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru dalam pelaksanaan sistem desentralisasi di bidang perekonomian, administrasi dan fiskal. Oleh karena itu pemerintah daerah diharapkan dapat mengembangkan potensi daerahnya sendiri dan menggali sumber dana yang ada dan potensial guna mewujudkan peningkatan kesejahteraan warga masyarakatnya. Akibatnya mekanisme pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah berubah yaitu diutamakan semaksimal mungkin berasal dari potensi penerimaan asli daerah baik melalui pajak daerah, retribusi daerah maupun dari laba BUMD dan penerimaan lain yang dianggap sah serta potensi penerimaan lain yang masih belum terjangkau oleh PAD. Selain itu sebagian besar proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan pemerintahan yang dulu ditangani dan dibiayai oleh pemerintah pusat sekarang akan menjadi beban pemerintah daerah. Dengan demikian pemerintah daerah akan menanggung beban belanja atau pengeluaran yang jumlahnya besar. Beberapa daerah seperti Kabupaten Bogor terus mengalami defisit APBD dapat dilihat di Gambar 3, padahal tuntutan masyarakat terhadap penyediaan fasilitas atau sarana dan prasarana umum juga semakin meningkat. Jika dibandingkan dengan belanja pegawai sebesar 57,26 persen dari ABPD Kabupaten Bogor pada tahun 2010, maka belanja modal masih relatif kecil hanya sebesar 18,62 persen dari total APBD Kabupaten Bogor pada tahun 2010, ini mengakibatkan banyak public services yang merupakan pelayanan dasar masih relatif terbengkalai seperti pembangunan jalan, pembangunan jembatan dan pembangunan sekolah.
4 dalam rupiah juta 500,000 400,000 300,000 200,000 121,053 100,000 2005 407,631 387,901 324,045 103,103 77,,283 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2010 Gambar 2 Defisit APBD Kabupaten Bogor Tahun 2005-2010 Jika dilihat dari PDRB berdasarkan pengeluaran n sebagai salah satu indikator makro ekonomi (Gambar 3), pada kenyataannyaa bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor selama ini lebih didorong oleh besarnyaa konsumsi rumah tangga pada tahun 2009 mencapai sebesar 54 persen, sementara investasi (investasi swasta dan pemerintah) hanya sebesar 25 persen dan ekspor sebesar 15 persen, dan disusul oleh pengeluaran pemerintah 5 persen, pengeluarann Lembaga Non Pemerintah sebesar 1 persen, hal ini tidak mengalami banyak perubahan dari tahun 2006, padahal pertumbuhan yang lebih banyak didorong oleh konsumsi sangat rentan terhadap inflansi. persen 60 50 40 30 20 10 2006 2007 2008 2009 Tahun Pengeluaran Konsumsi RT Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stock Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2010 Gambar 3 PDRB berdasarkan penggunaan Kabupaten Bogor tahun 2006-2009
5 Indikator makro lain yang cukup mengkhawatirkan adalah makin tingginya pengangguran di Kabupaten Bogor, hal ini bisa dilihat Gambar 4, pada tahun 2003 jumlah pengangguran 230.834 orang menjadi bertambah dua kali lipat pada tahun 2008 yaitu sebesar 598.230 orang. Makin tingginya pengangguran bisa menjadi indikasi bahwa kurangnya penciptaan lapangan kerja, tentunya ini merupakan akibat menurunnya investasi yang dilakukan di Kabupaten Bogor. Jumlah orang 700,000 600,000 500,000 400,000 459,197 598,032 300,000 200,000 100,000 230,834 194,902 204,858 193,244 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Tahun Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2009 Gambar 4 Jumlah pengangguran Kabupaten Bogor tahun 2000-2008 Investasi merupakan sumber pertumbuhan output daerah yang relatif lebih berkelanjutan dibandingkan pengeluaran konsumsi karena mencakup aktivitas-aktivitas sektor swasta yang cukup produktif (Widodo, 2006). Selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, investasi juga mampu mengurangi kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja (Bank Dunia, 2005). Investasi bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi maupun pembiayaan daerah dibalik kesulitan pemerintah daerah Kabupaten Bogor membiayai pengeluarannya dari penerimaan daerah, oleh karena itu menjadi penting mengkaji Bagaimana strategi meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor?
6 1.2. Perumusan Masalah Pada tahun 2007 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan penurunan yaitu dari 6,05 persen, menjadi 5,58 persen pada tahun 2008. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah Pembentukan Modal Tetap (PMTB) selama tahun 2008 lebih banyak terjadi pada sektor tersier (24,60 persen) dan sektor primer (12,64%) dengan volume investasi yang relatif kecil dibandingkan dengan volume investasi di sektor sekunder sebesar 57,66 persen (Laporan Akhir Kabupaten Bogor, 2009). Baik PMDN dan PMA di Kabupaten Bogor memiliki pola yang sama yaitu pada saat PMA menurun maka PMDN juga ikut turun, begitu sebaliknya pada saat PMA naik maka PMDN juga ikut naik.. Hal tersebut mengindikasikan bahwa investor asing dan domestik mempunyai ekspektasi yang sama terhadap iklim investasi di Kabupaten Bogor. Ada kecenderungan bahwa nilai investasi swasta baik PMA maupun PMDN di Kabupaten Bogor sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 berfluktuasi (Gambar 5). Padahal proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah bersangkutan (Kuncoro, 2004). 10000 Milyar Rupiah 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Total Investasi PMDN PMA Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, 2003-2010. Gambar 5 Nilai PMA dan PMDN Kabupaten Bogor tahun 2003-2010
7 Penurunan investasi ini berakibat pada makin sulitnya pemerintah daerah Kabupaten Bogor menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sementara jika melihat Kabupaten Sragen sebagai pembanding, investasinya cenderung mempunyai grafik yang meningkat dimana terjadi kenaikan investasi yang sangat signifikan dari 592 milyar pada tahun 2002 menjadi 1,35 trilyun pada tahun 2009 (110 persen) walaupun secara nilai investasi Kabupaten Sragen masih jauh dibawah Kabupaten Bogor. Relatif berfluktuasinya perkembangan investasi mencerminkan masih belum membaiknya pemanfaatan potensi ekonomi dan iklim investasi di Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut menjadi pertanyaan spesifik pertama dalam kajian ini yaitu Bagaimana potensi ekonomi dan perkembangan investasi swasta baik PMA maupun PMDN di Kabupaten Bogor? Untuk menarik investasi swasta, baik domestik maupun luar negeri melalui Penanaman Modal Dalam Negeri maupun Penanaman Modal Luar Negeri, pemerintah daerah harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi ekpektasi investor (Widodo, 2007). Oleh karena itu tantangan yang dihadapi di masa yang akan datang adalah bagaimana meningkatkan iklim investasi Kabupaten Bogor yang dapat menarik investasi swasta, sehingga pertanyaan perumusan masalah yang kedua adalah Seberapa besar tingkat kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor? Gambaran kondisi investasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor sangat dibutuhkan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam merencanakan pembangunan ekonomi yang tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi tapi juga menciptakan lapangan kerja, terutama di era desentralisasi saat ini. Di era ini pemerintah kabupaten/kota diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatkan investasi swasta yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya Kabupaten Bogor. Dari rumusan permasalahan kedua di atas akan diperoleh suatu model yang berguna dalam penentuan strategi peningkatan investasi swasta swasta, sehingga rumusan permasalahan terakhir adalah Strategi apa yang diperlukan untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor?
8 1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian Melalui pendalaman pembahasan perkembangan investasi swasta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dari hasil kajian diharapkan akan tercapai tujuan-tujuan antara lain: 1. Menganalisis kondisi perkembangan investasi swasta di Kabupaten Bogor. 2. Menyusun tingkat kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor. 3. Memformulasikan program bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kajian ini meliputi dua hal pokok yaitu: 1. Mendukung teori ilmiah atau akademik bahwa pendekatan investasi swasta Kabupaten Bogor dapat dijadikan dasar sebagai salah satu pendekatan dalam usaha peningkatan pembangunan ekonomi daerah. 2. Menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Kabupaten Bogor dalam penanganan masalah, penentuan kebijakan, dan pelaksanaan program pembangunan terkait dengan usaha-usaha peningkatan investasi swasta.