KAJIAN PENDALAMAN. Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TENTANG PENGELOLAAN, PENATAUSAHAAN, SERTA PENCATATAN ASET DAN KEWAJIBAN D

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Oleh Oktaviaa Ester Pangaribuan,

No Restrukturisasi Perbankan, Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan tentang Penanganan Permasalahan Solvabilitas Bank Sistemik, Peraturan Lembaga

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 1/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan

2017, No tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 T

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

BAB V PENUTUP. jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Penyelesaian piutang perbankan BUMN pra Putusan Mahkamah

BAB III PELAKSANAAN PENJAMINAN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN SESUAI DENGAN UU RI NOMOR 7 TAHUN 2009

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

2017, No tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 T

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN NOMOR 3/PLPS/2005 TENTANG PENYELESAIAN BANK GAGAL YANG TIDAK BERDAMPAK SISTEMIK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/ 19 /PBI/2003 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI

PENANGANAN BANK GAGAL BERDAMPAK SISTEMIK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Bentuk Usaha, Kepengurusan serta Modal Penyertaan Koperasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

Peran Lembaga Penjamin Simpanan Terhadap Klaim Dana Nasabah Bank Likuidasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015 Kekuasaan Negara terhadap Ketenagalistrikan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

I. PEMOHON - Magda Safrina, S.E., MBA... Selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 Tugas Pengaturan Dan Pengawasan Di Sektor Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

7. ASPEK HUKUM LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN ANDRI HELMI M, SE., MM.

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

RANCANGAN POJK BANK PERANTARA

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN NOMOR 2/PLPS/2005 TENTANG LIKUIDASI BANK DEWAN KOMISIONER LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN,

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

GUBERNUR BANK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XI/2013 Tentang Penetapan Batam, Bintan dan Karimun Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

GUBERNUR BANK INDONESIA,

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 Tugas Pengaturan Dan Pengawasan Di Sektor Perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2002 TENTANG RESTRUKTURISASI KREDIT USAHA KECIL, DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LIKUIDASI BANK DAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN. Pengertian Likuidasi Bank menurut Pasal 1 angka 13 Peraturan Lembaga

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 98/PUU-XV/2017 Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Aparatur Sipil Negara

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 1/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. mendukung sistem perekonomian suatu negara. Jika industri perbankan dalam

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

INDEPENDENSI OJK TERUSIK? Oleh: Wiwin Sri Rahyani *

Kuasa Hukum Hendrayana, S.H., Mappinawang, S.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Oktober 2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

Perlindungan hukum atas dana nasabah pada bank melalui lembaga penjamin simpanan

SALINAN PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN NOMOR 1/PLPS/2005 TENTANG PROGRAM PENJAMINAN SIMPANAN DEWAN KOMISIONER LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

BAB I. KETENTUAN UMUM

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 17/PUU-XIV/2016 Kewenangan Daerah dan Penyediaan Tenaga Listrik

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pemberi layanan perbankan bagi masyarakat. Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang ada di Indonesia.

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH *

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

KAJIAN PENDALAMAN Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 Tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Kewenangan LPS untuk Melakukan Tindakan Hapus Buku dan Hapus Tagih terhadap Aset Berupa Piutang Pusat Pengkajian dan Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Perpustakaan KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTITUSI 2018 1

1. Identitas Perkara Nomor Perkara Pasal yang Diuji 1/PUU-XVI/2018 Pasal 6 ayat (1) huruf c UU LPS: Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: c. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS; Dasar Pengujian dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 1. Kajian a. Isu konstitusionalitas/posita Isu konstitusional dalam permohonan a quo adalah: apakah Pasal 6 ayat (1) huruf c UU LPS yang berbunyi, Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: c. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945? Sebelum menjawab mengenai isu konstitusional tersebut, terlebih dahulu disebutkan bahwa alasan permohonan ini adalah sebagai berikut: 2

1. Terkait eksistensi Pemohon dalam melaksanakan program penjaminan terhadap simpanan nasabah bank guna mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil, serta untuk menunjang terwujudnya perekonomian nasional yang stabil dan tangguh. LPS juga memiliki fungsi untuk menjamin simpanan nasabah penyimpanan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. 2. Bahwa oleh karena eksistensi Pemohon ada untuk mendukung sistem perbankan, maka mutatis mutandis dalam hal penyelesaian piutang pun tunduk kepada standar sistem perbankan, termasuk piutang yang timbul atas pembayaran biaya dari bank dalam likuidasi (BDL) kepada Pemohon. 3. Pemohon dapat memperoleh aset berupa piutang dalam rangka pelaksanaan likuidasi bank non sistemik (berdasarkan UU LPS), yakni untuk pembayaran atas dana/biaya yang telah dikeluarkan Pemohon. Di samping itu, Pemohon juga dapat memperoleh aset berupa piutang yang berasal dari sisa aset setelah Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) yang telah diakhiri Presiden dari bank sistemik (UU PPKSK). 4. Bahwa sebagai lembaga yang memiliki kekayaan berupa aset negara yang dipisahkan dan memiliki karakteristik sebagai badan-badan usaha, maka sulit dihindari bagi Pemohon dalam menjalankan fungsi dan tugasnya untuk menghindari piutang, seperti piutang yang timbul dari penanganan bank gagal, misalnya pembayaran biaya yang dikeluarkan terhadap BDL. 5. Bahwa piutang Pemohon yang muncul dalam likuidasi bank menempatkan Pemohon sebagai Kreditur prioritas pelunasannya dari kewajiban BDL terhadap Pemohon. Dalam konteks tersebut, BDL dapat membayar kewajibannya berupa non-tunai (piutang). Biaya-biaya yang telah dikeluarkan tersebut dibayarkan kepada Pemohon setelah selesainya proses likuidasi melalui Tim Likuidasi selaku pemegang tanggung jawab dan kepengurusan BDL (Pasal 46 ayat (1) dan (2) UU LPS). Pembayaran kewajiban BDL (melalui Tim Likuidasi) yang ditawarkan kepada Pemohon dapat berupa piutang. Pada titik inilah terdapat peralihan antara piutang yang dimiliki BDL menjadi milik Pemohon (aset Pemohon). Hubungan hukumnya menjadi Pemohon dengan debitur (mantan debitur BDL), sementara itu, Pemohon tidak bisa menolak pembayaran dari aset BDL yang berupa piutang, sebab jika menolak tentu Pemohon akan mengalami kerugian. Piutang tersebut 3

menjadikan tetap hidupnya piutang lama beserta dengan bunga dan denda (apabila tidak dibayarkan dalam batas waktu tertentu), dimana ini akan mengakibatkan piutang menjadi bertambah dari nilai pokok dan bunga serta denda. 6. Bahwa dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), terhadap debitur bank sistemik, Pemohon diberikan dan ditegaskan secara eksplisit wewenang untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih (vide, Pasal 46 ayat (5) UU PPKSK), sementara terhadap debitur bank non-sistemik dalam Pasal a quo UU LPS Pemohon tidak ditegaskan secara eksplisit wewenang tersebut. Padahal kondisi wewenang hapus buku dan hapus tagih di UU PPKSK bukan dalam kondisi krisis (normal), melainkan pasca krisis (Pasal 46 ayat (5) UU PPKSK), sama halnya pada kondisi di UU LPS yang bukan dalam kondisi krisis, sehingga Pemohon mengalami ketidakpastian dari Pasal a quo apakah dapat melakukannya atau tidak. b. Ringkasan keterangan Presiden, DPR, saksi dan ahli 1. Keterangan Presiden Terkait pokok permohonan Pemohon, bahwa LPS sebagai lembaga yang bertujuan untuk mendukung sistem perbankan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang LPS mempunyai kewenangan untuk mengelola dan menatausahakan semua asetnya. Menurut Pemohon, diperlukan adanya kepastian hukum bahwa LPS memiliki kewenangan untuk dapat melakukan hapus buku dan hapus tagih atas piutang yang diperoleh dari BDL sebagai pengembalian atas pembayaran klaim penjaminan simpanan. Dalam keterangannya Presiden menyebutkan bahwa Selain diatur dalam Undang-Undang LPS, kewenangan LPS terkait dengan bank likuidasi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Keuangan atau Undang-Undang PPKSK, yakni dalam Pasal 66 yang mengatur dalam rangka menjalankan Program Restrukturisasi Perbankan atau PRP, LPS diberikan kewenangan untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih guna menyelesaikan aset dan kewajiban yang masih tersisa dari PRP setelah presiden memutuskan untuk mengakhiri PRP. 4

Bahwa kewenangan LPS untuk dapat melakukan hapus buku dan hapus tagih, secara eksplisit diberikan dalam Undang-Undang PPKSK. Kewenangan hapus buku dan hapus tagih tersebut merupakan langkah akhir dari suatu rangkaian penyelesaian krisis yang penanganannya dilakukan oleh suatu komite stabilitas sistem keuangan yang unsurnya terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan. Untuk itu, diamanatkan tata cara hapus buku dan hapus tagih oleh LPS diatur dengan peraturan pemerintah. Bahwa untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih dalam pelaksanaan penanganan aset eks-bank gagal Undang-Undang LPS memang tidak secara eksplisit menyebutkan kewenangan untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih dalam pelaksanaan penanganan aset eks-bank gagal. Kewenangan yang secara eksplisit disebutkan adalah untuk melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS, yaitu dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b untuk menguasai dan mengelola aset kewajiban bank gagal yang diselamatkan maupun bank yang dilikuidasi sesuai Pasal 43 huruf a. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS membentuk LPS sebagai badan hukum yang mandiri, yang akan berperan untuk menjaga stabilitas perbankan sebagai bagian dari stabilitas keuangan nasional. Dengan pembentukan LPS diharapkan stabilitas perbankan dapat terjaga sedini mungkin, sehingga negara terhindarkan dari melakukan penjaminan secara langsung sebagaimana terjadi dalam krisis perbankan tahun 1998. Undang-Undang LPS telah memberikan kewenangan kepada LPS untuk merumuskan kebijakan. Antara lain, kebijakan untuk melaksanakan tugas menguasai dan mengelola aset atau kekayaan dan kewajibannya maupun aset dan kewajiban bank gagal yang diserahkan penanganan penyelesaiannya kepada LPS. Tentunya, pembentuk Undang-Undang LPS melalui perumusan normanorma dalam Undang-Undang LPS menginginkan perumusan kebijakan sebagai pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan LPS dengan memerhatikan prinsipprinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas untuk menjamin tercapainya tugas dan fungsi pembentukan LPS dalam turut serta menjaga stabilitas sistem perbankan nasional sebagai bagian dari sistem keuangan nasional dan sehingga tidak menimbulkan beban atau risiko terhadap negara. 5

Dengan demikian, Pemerintah berpendapat rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang LPS tidak ada yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Keterangan DPR Arteria Dahlan Ketiadaan wewenang hapus buku dan hapus tagih dalam UU LPS karena sesungguhnya telah diatur dalam UU PPKSK Pasal 46 ayat (3). Dengan demikian, wewenang hapus buku dan hapus tagih tidak perlu lagi diatur dalam UU LPS karena kendati wewenang tersebut tidak diatur langsung dalam UU LPS, tetapi hal tersebut tidak mengurangi wewenang LPS. UU LPS ditujukan untuk penjaminan simpanan nasabah yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan sehingga dapat meminimalkan risiko yang akan membebani anggaran negara. Adapun UU PPKSK dibentuk sebagai landasan hukum bagi lembaga untuk berkoordinasi dalam menjaga serta menciptakan stabilitas sistem keuangan negara. Dengan demikian, UU PPKSK melengkapi UU LPS untuk pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Oleh karena itu, wewenang LPS mengenai hapus buku dan hapus utang sudah cukup diatur dalam Pasal 46 ayat (3) UU PPKSK. Selain itu, wewenang LPS tersebut juga terdapat pada Pasal 46 ayat (7) UU PPKSK yang menyatakan ketentuan tata cara penghapusbukuan dan penghapustagihan. Meskipun amanah pasal tersebut sampai saat ini belum dilaksanakan pemerintah karena masih dalam penyusunan RPP. Jadi apabila PP tersebut ditetapkan, maka sebenarnya akan jelas kewenangan LPS, baik dari segi prosedur, mekanisme, dan pelaporan LPS kepada PPKSK sehingga tanpa perlu adanya penegasan kewenangannya lagi dalam UU LPS. Jadi, UU PPKSK dan peraturan pelaksananya telah mampu memberikan kewenangan dan kepastian hukum. Dengan demikian berdasarkan keterangannya, DPR juga berpendapat bahwa rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang LPS tidak ada yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6

3. Keterangan Ahli AHLI PEMOHON 1. Sigit Pramono LPS didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dengan tujuan mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil dengan didasarkan pada pengalaman Bangsa Indonesia menghadapi krisis, khususnya krisis moneter dan perbankan yang terjadi tahun 1998 yang hampir membangkrutkan bangsa dan negara kita. Karena akibat krisis, banyak bank yang gagal dan terpaksa harus diselamatkan oleh negara. Dalam upaya penyelamatan itu, digunakan dana yang berasal dari APBN. Dibentuknya LPS sebagai penjamin simpanan nasabah bank, diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Jika ada bank gagal dan harus diselamatkan, maka tidak langsung menggunakan dana APBN, tetapi menggunakan dana LPS yang dihimpun dari premi simpanan perbankan. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, LPS melakukan tindakan penyelesaian atau penanganan terhadap bank yang mengalami kesulitan keuangan atau bank gagal, baik dalam kondisi ekonomi yang normal maupun krisis. Dalam penyelesaian atau penanganan bank bermasalah, LPS melakukan tidakan-tindakan layaknya seperti bank. Bekerja dalam sistem operasional perbankan dan tentu harus sesuai juga dengan praktik perbankan pada umumnya. Dunia perbankan mengenal istilah hapus buku dan hapus tagih sebagai salah satu upaya penanganan kredit bermasalah. Hapus buku adalah tindakan administratif bank untuk menghapus kredit macet dari neraca bank. Istilah hapus buku dalam perbankan dikenal juga dengan sebutan write-off, yaitu pinjaman macet yang tidak dapat ditagih lagi, dihapuskan dari neraca atau on balance sheet dan dicatat pada rekening administratif menjadi off balance sheet. Namun, bank tetap melakukan upaya penagihan. Sedangkan hapus tagih adalah tindakan untuk menghapus kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan yang akan dihapus, benar-benar akan dihapus dari neraca bank, baik on balance sheet maupun off balance sheet. Ketentuan hapus buku dan hapus tagih telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 69 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14, 15 PBI Tahun 2012 tentang penilaian kualitas aset bank umum yang mewajibkan bank membuat ketentuan dan prosedur tertulis mengenai pelaksanaan hapus buku dan hapus tagih. 7

Bank dapat melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap kredit yang bermasalah setelah upaya-upaya penyelamatan kredit bermasalah antara lain penagihan, intensif, persyaratan kembali atau reconditioning, penjadwalan kembali atau rescheduling, dan penataan kembali atau restructuring tidak berhasil. Tujuan dari pemberian hapus buku dan hapus tagih dilakukan agar kualitas neraca bank menjadi lebih baik. Piutang kredit yang tidak menghasilkan tunggakan pokok kredit, bunga, dan denda dapat dikeluarkan dari neraca bank. Pelaksanaan hapus buku dan hapus tagih kredit bermasalah tidak hanya dilakukan pada bank swasta saja, tetapi juga oleh bank-bank badan usaha milik negara atau bank-bank badan usaha milik daerah. Hal ini semakin diperkuat pasca-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, yaitu PP Nomor 33 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa pengurusan piutang perusahaan negara atau daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perseroan terbatas dan BUMN beserta peraturan pelaksanaannya. Terkait dengan Permohonan Pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang- Undang LPS, dimana LPS selaku Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa wewenang LPS untuk melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang-Undang LPS dimaknai termasuk untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang adalah sejalan dengan tugas LPS untuk merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik dan dalam melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang LPS. Pada saat LPS menerima pengalihan piutang bermasalah dari tim likuidasi tersebut, maka LPS akan melakukan penagihan dan pengelolaan piutang dengan jumlah yang akan terus bertambah karena adanya perhitungan bunga dan denda, sehingga semakin kecil kemungkinan debitur bank gagal melakukan pembayaran utangnya. Upaya penagihan dan penyelesaian utang atau kredit bermasalah yang dilakukan LPS menjadi tidak efektif dan tidak efisien, dimana LPS akan terus mengeluarkan dan menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya pengelolaan dan 8

penagihan, sedangkan jumlah utang yang ditagihkan akan menjadi sebatas nilai yang tercatat semata, yang belum tentu akan diterima oleh LPS. Pelaksanaan wewenang LPS untuk mengelola kekayaan dan kewajiban dapat dimaknai LPS untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih, termasuk pemberian potongan atau diskon terhadap bunga, denda, dan pokok utang sebagai salah satu kebijakan penyelesaian bank gagal dalam rangka pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS. 2. Paripurna Suganda Tindakan hapus buku dan hapus tagih merupakan perbuatan hukum yang lazim dilakukan lembaga c.q. LPS agar memperoleh gambaran yang nyata mengenai mengenai kekayaan lembaga tersebut. Lingkungan hukum yang melingkupi hubungan hukum antara bank dalam likuidasi dengan debiturnya tetap dapat ikut serta berlaku pada hubungan hukum antara LPS, yaitu yang menggantikan kedudukan BDL dengan eks debitur DBL. Hapus buku dan hapus tagih merupakan inherent right LPS. Tidak ada potensi kerugian pihak ketiga dalam penghapusbukuan dan penghapustagihan yang dilakukan oleh LPS terhadap eks debitur DBL. Wewenang hapus buku dan hapus tagih piutang yang dimiliki oleh LPS bukan karena adanya istilah sisa aset yang diperoleh PRP, akan tetapi karena LPS mendapatkan aset berupa piutang dan aset itu menjadi aset LPS, Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang PPSK. Dengan demikian, kedua ahli berpendapat rumusan pasal-pasal dalam Undang- Undang LPS tidak ada yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Keterangan Saksi Saksi Pemohon 1. Maulana Abraham Terkait dengan Permohonan Pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang- Undang LPS kepada Mahkamah Konstitusi, LPS merupakan badan hukum yang berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, LPS bertugas untuk merumuskan dan menetapkan 9

kebijakan pelaksanaan penjamin simpanan, melaksanakan penjaminan simpanan, merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. Merumuskan, dan menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal yang tidak sistemik dan melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik. Dalam pelaksanaan penanganan bank gagal yang tidak diselamatkan, LPS akan melakukan likuidasi bank dengan membentuk tim likuidasi. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2017, LPS telah melikuidasi 85 bank, yaitu satu bank umum, 79 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan lima BPR Syariah. Selama LPS berdiri sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini, LPS telah menerima sisa aset nontunai berupa piutang yang ditawarkan oleh tim likuidasi sesuai dengan ketentuan Pasal 42 Peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan LPS Nomor 1 Tahun 2015. LPS menerima penawaran sisa aset sesuai dengan nilai wajar yang diajukan oleh tim likuidasi melalui penilaian sendiri ataupun hasil penilaian dari pihak ketiga yang ditunjuk. Penerimaan piutang tersebut dilakukan sesuai dengan mekanisme sesi atau hak tagih sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku. Terhadap penerimaan piutang tersebut, LPS melakukan penagihan kepada debitur-debitur eks-bank likuidasi dengan perhitungan kewajiban debitur yang didasarkan pada hak tagih yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit. Termasuk perhitungan bunga dan denda, antara debitur dan eks-bank likuidasi. Piutang LPS kepada debitur menjadi terus bertambah dengan adanya perhitungan bunga dan denda. Sedangkan di sisi lain, debitur yang sejak awal sudah memiliki kolektibilitas kredit macet semakin tidak memiliki kemampuan untuk melunasi seluruh kewajibannya. Sebagai bagian dalam pelaksanaan tugasnya, LPS terus melakukan upaya penagihan intensif kepada debitur, baik dengan memberikan surat tagihan maupun dengan melakukan visit, untuk melakukan penagihan. Hal tersebut dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, namun tetap tidak memberikan hasil yang baik. Kondisi yang terjadi justru LPS disibukkan mengurus keberatan dan komplain dari debitur terhadap perhitungan jumlah piutang. Bahkan berujung gugatan di meja pengadilan. Hal ini secara langsung menyebabkan biaya pengelolaan piutang bertambah dan secara tidak langsung berdampak pada reputasi LPS sendiri. Di sisi lain, LPS 10

harus memberikan pelayanan yang terbaik bagi industri perbankan dan masyarakat dalam pelaksanaan jaminan dan resolusi bank sesuai dengan Undang-Undang LPS. Oleh karenanya, beberapa pertimbangan yang logis terkait dengan perlu adanya aturan yang mengatur mengenai hapus buku dan hapus tagih, termasuk pemberian potongan atau haircut dalam pengelolaan piutang LPS. Sebagai upaya pengelolaan piutang bermasalah dengan melakukan hapus buku, dan hapus tagih, termasuk memberikan potongan (haircut) tentunya akan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, yaitu setelah LPS melakukan upaya penagihan intensif sesuai dengan jumlah kewajiban, sesuai dengan ketentuan, namun debitur tetap tidak memiliki kemampuan untuk membayar. Pemberian hapus buku dan hapus tagih dilakukan setelah aset milik debitur telah dicairkan, namun tidak mencukupi kewajiban debitur. Selain itu, terhadap debitur yang dapat mengajukan permohonan pemotongan utang atas kewajiban diberikan setelah dilakukan analisa mendalam terkait dengan kemampuan debitur dan aset yang dimiliki oleh debitur tersebut, serta menilai apakah debitur termasuk penyebab bank gagal, tidak? Bahwa LPS merupakan lembaga yang oleh undang-undang diberikan tugas dan fungsi, serta kewenangan untuk melakukan penanganan bank, baik dalam kondisi ekonomi normal maupun krisis, yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya akan terus menghadapi permasalahan dalam penyelesaian piutang bermasalah. Oleh karenanya, LPS membutuhkan kepastian hukum dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya berdasarkan Undang-Undang LPS sebagaimana LPS telah mendapatkan kepastian hukum dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya dalam penanganan bank gagal dalam kondisi krisis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Jadi menurut keterangan saksi, Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang-Undang LPS Dengan bertentangan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, permohonan Pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang-Undang LPS kepada Mahkamah Konstitusi terkait dengan wewenang LPS untuk melakukan pengelolaan kekayaannya, dan kewajibannya, termasuk untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih menjadi sangat penting untuk memberikan kepastian hukum bagi LPS dalam pelaksanaan fungsi dan tugas LPS, khususnya dalam pengelolaan piutang bermasalah di masa mendatang. 11

c. Analisis Mengenai legal standing dari pemohon yang menilai pasal tersebut tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945 tentang perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, terutama efisiensi berkeadilan. Pemohon beralasan uji materi pasal ini menimbulkan kerugian (materil) karena LPS tidak bisa menolak pembayaran piutang (pihak ketiga) ketika pengelolaan aset bank dalam status Bank Dalam Likuidasi (BDL). Piutang tersebut tetap hidup beserta dengan bunga dan denda, apabila tidak dibayarkan dalam batas waktu tertentu. Hal ini akan mengakibatkan piutang menjadi bertambah dari nilai pokok dan bunga serta denda. Hal yang dipermasalahkan pemohon pada pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang-Undang LPS ini adalah tentang kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan hapus buku dan hapus tagih. Dimana kewenangan hapus buku dan hapus tagih tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang LPS, melainkan hal ini secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Hal ini dianggap pemohon mengkhawatirkan LPS jika nanti memberikan hapus tagih atau memberikan potongan kepada debitur yang bermasalah, LPS akan disangka merugikan Negara karena menghilangkan hak negara di dalam penagihan. Terkait mengapa di Undang-Undang LPS tidak ada kewenangan hapus buku dan hapus tagih dan di Undang-Undang PPKSK ada kewenangan ini? Sebetulnya kalau mau merujuk kepada Undang-Undang PPKSK ini, LPS sudah punya kewenangan hapus buku dan hapus tagih, selesai. Persoalannya di Undang-Undang LPS-nya kewenangan itu tidak ada. Mengapa itu bisa terjadi? Berdasarkan keterangan dari ahli pemohon Sigit Pramono menjelaskan bahwa ketika membahas Undang-Undang LPS, Bangsa Indonesia hanya fokus bagaimana membuat suatu lembaga yang kalau ada krisis ini tidak langsung minta dana dari APBN karena itu yang membebani kita sampai Rp600 triliun ketika krisis tahun 1998. Rp.600 triliun lebih dana APBN digunakan untuk menyelamatkan sistem perbankan dan sistem moneter yang mana saat itu hanya focus kepada Lembaga Penjamin Simpanan, setelah terjadi lagi krisis 2008, di Undang-Undang mengenai PPKSK ini ditambahkan kewenangan mengenai hapus tagih dan hapus buku. Kemudian diberikanlah kewenangan kepada LPS melalui Undang-Undang PPKSK. Hanya saja LPS tidak mendapatkan kepastian hukum karena tidak diatur dalam Undang-Undang LPS. 12

Mengenai permohonan kewenangan tentang hapus buku adalah praktik akutansi dimana apabila mempunyai piutang dan sudah lama tidak bisa ditagih maka akan dilakukan hapus buku tetapi hak LPS untuk menagih tidak akan hilang. Menurut ahli dari pemohon walaupun Mahkamah Konstitusi memutuskan menyetujui permohonan dari Pemohon tidak serta merta akan langsung memberikan potongan kepada semua debiturnya, karena Undang-Undang LPS maupun Undang-Undang PPKSK sudah menjelaskan bahwa LPS wajib hukumnya untuk melakukan upaya penagihan dahulu yang jika tidak bias ditagih lagi akan dilakukan dengan risk conditioning atau restrukturisasi kredit bermasalah. Selain itu ketiadaan wewenang hapus buku dan hapus tagih dalam UU LPS karena sesungguhnya telah diatur dalam UU PPKSK Pasal 46 ayat (3). Dengan demikian, wewenang hapus buku dan hapus tagih tidak perlu lagi diatur dalam UU LPS karena kendati wewenang tersebut tidak diatur langsung dalam UU LPS, tetapi hal tersebut tidak mengurangi wewenang LPS. UU LPS ditujukan untuk penjaminan simpanan nasabah yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan sehingga dapat meminimalkan risiko yang akan membebani anggaran negara. Adapun UU PPKSK dibentuk sebagai landasan hukum bagi lembaga untuk berkoordinasi dalam menjaga serta menciptakan stabilitas sistem keuangan negara. Dengan demikian, UU PPKSK melengkapi UU LPS untuk pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Oleh karena itu, wewenang LPS mengenai hapus buku dan hapus utang sudah cukup diatur dalam Pasal 46 ayat (3) UU PPKSK. Apabila kita telisik lagi sebagaimana yang dimintakan pemohon dalam petitum, terkait frasa termasuk dapat melakukan tindakan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang sama saja dengan perumusan norma baru dalam UU LPS yang merupakan kewenangan pembuat undang-undang, yaitu DPR bersama Pemerintah. 13